Media dan Kontribusinya
1. Media dan Kontribusinya
Secara terminologi Media merupakan bentuk jamak dari kata medium yang berarti tengah atau perantara, sementara massa berasal dari bahasa Inggris yaitu mass yang berarti kelompok atau kumpulan. (Echolols, Jhon M. & Hasan Shadily, 2000). Dengan kata lain, media massa dapat diartikan sebagai bentuk perantara atau alat-alat yang digunakan oleh massa (kelompok atau kumpulan) orang dalam hubungannya satu sama lain (Soehadi, 1978).
Media massa dapat berwujud pada beragam jenis, di antaranya printed media, seperti koran, majalah, surat kabar, tabloid, dan news letter, kemudian electronic media seperti radio, televisi, dan film, sementara yang terakhir berwujud pada cybermedia.
Sebagai pelantara dalam berhubungan dengan kelompok, Media masa berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pasal 3 Ayat (1), sementara dalam pasal 4 ditambahkan bahwa media massa juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Dilihat dari segi fungsinya to inform, to educate, to control, and to entertain, media massa mempunyai dua kecenderungan besar, kecenderungan ini bersifat “pengendalian”, dalam literasi bahasa pengendalian merupakan sinonim dari kata pengawasan, yang bermakna: inspeksi, kontrol, pemeliharaan, pemeriksaan, pencegahan, penelitian, pengamatan, pengendalian, penilikan, penjagaan, penyeliaan, perlindungan, dan atau supervise. (KBBI, 2008). Sesuai dengan konsep kecenderungan ini, realisasinya kehadiran media massa membawa pengaruh, baik berupa idiologi, nilai, atau hasutan yang mampu mempengaruhi, artinya pengaruh tersebut bersifat provokasi maupun menciptakan keharmonisan, dengan kata lain media massa dalam realisasinya mempunyai dua kecenderungan, yakni berpotensi dalam pemicu konflik dan berpotensi dalam menciptakan keharmonisan bagi kelompok masyarakat.
Pertama; media massa dan potensinya sebagai pemicu konflik. Melihat fungsinya yang mencakup dalam lima lini sekaligus, tentu tiada yang menyangka bahwa media massa mampu berpotensi dalam memicu konflik, karena media dipercaya penuh sebagai pusat informasi kepada masyarakat, sebagai bentuk Pertama; media massa dan potensinya sebagai pemicu konflik. Melihat fungsinya yang mencakup dalam lima lini sekaligus, tentu tiada yang menyangka bahwa media massa mampu berpotensi dalam memicu konflik, karena media dipercaya penuh sebagai pusat informasi kepada masyarakat, sebagai bentuk
Dikatakan media berpotensi menimbulkan konflik dapat dijelaskan bahwa media sendiri menumbuhsuburkan prasangka masyarakat terhadap suatu hal, biasanya hal tersebut yang bertalian erat dengan ras, etnik, budaya, golongan, maupun agama, atau kasus-kasus lain yang mengandung unsur SARA. Akibatnya, masyarakat menjadi terprovokasi sehingga berpotensi meningkatkan prasangka negative menjadi perlakukan diskriminatif bahkan berujung konflik terbuka.
Hal ini dapat dilihat melalui beberapa kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, pemeriannya pasca terjadinya bom Bali, muncul prasangka negatif masyarakat Bali terhadap pendatang terutama mereka yang beragama Islam. Prasangka tersebut bertumbuh semakin subur bukan hanya karena satu per satu orang Bali membenci pendatang, tetapi karena media lokal terus-menerus menampilkan berita negatif mengenai pendatang (Islam) sehingga mempengaruhi prasangka yang sudah ada sebelumnya. Salah satu media yang paling kelihatan adalah Bali Post (Burhanuddin, 2008). Bali Post bahkan turut mensponsori gerakan Ajeg Bali, yakni gerakan yang mengajak masyarakat Bali untuk berpikir, berkata, dan berbuat bagi kejaegan Bali, khususnya di bidang agama dan budaya. Gerakan ini sebenarnya bertujuan baik, untuk menjaga adat dan budaya asli Bali dari intervensi luar. Tetapi dalam pelaksanaannya Ajeg Bali kerap disalahgunakan sebagai dasar untuk mendiskriminasikan pendatang. (Ranggabumi Nuswantoro, 2013).
Pemerian lainnya kita bisa mengaca dari kasus runtuhnya menara WTC pada 11 September 2011). Pasca kejadian tersebut, kaum Muslim menjadi objek kecurigaan di tengah masyarakat Eropa, terlebih di Amerika serikat. (Tarmizi Taher, 2004). Mereka menuduh masyarakat Islam sengaja melakukan penyerangan Pemerian lainnya kita bisa mengaca dari kasus runtuhnya menara WTC pada 11 September 2011). Pasca kejadian tersebut, kaum Muslim menjadi objek kecurigaan di tengah masyarakat Eropa, terlebih di Amerika serikat. (Tarmizi Taher, 2004). Mereka menuduh masyarakat Islam sengaja melakukan penyerangan
Melihat dua kasus besar di atas, berimplikasi bahwa media massa mempunyai kecenderungan dalam menciptakan kebencian di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak dapat dipungkiri prasangka-prasangka negative akan muncul dan prilaku diskriminatif atas suatu golongan tidak dapat terelakkan lagi.
Sementara itu menurut Baowollo (2012) sebagaimana yang dikutip oleh Ranggabumi Nuswantoro menyatakan setidaknya ada 4 konsep yang harus diperhatikan ketika membicarakan media dalam situasi konflik: (1) kepemilikan media; (2) bandwagon effect; (3) infection; (4) bahasa-bahasa media. (Ranggabumi Nuswantoro, 2013). Melalui hal ini berimplikasi ketika media massa mempunyai tenaga kerja yang handal, adanya kekuatan modal yang besar, dan informasi serta teknologi yang mutakhir, maka media massa akan mampu menciptakan kondisi dan berbuat banyak hal dalam masyarakat. Sementara itu dalam mendukung hal tersebut, hal yang paling dominan adalah hadirnya media owner itu sendiri, James Watson (1998) menyatakan bahwa siapa yang mengontrol proses komunikasi massa niscaya mendapat pengaruh besar dalam konteks sosial yang lebih luas. Sementara itu Das Freedman memberikan tesis menarik mengenai hal ini: sistem media dibentuk oleh pemilik media dengan tujuan ekonomi politik tertentu, dengan nuansa-nuansa teknologi, ekonomi, dan sosial di dalamnya. Maka dapat dikatakan pemilik media memiliki kepentingan ekonomi politik dari media yang dimilikinya. (Das Freedman, 2008).
Kedua; Media massa berpotensi menciptakan keharmonisan. Sama halnya media massa dilihat dari lini potensi konflik maka akan terlahir kecurigaan- kecurigaan dalam pandangan masyarakat yang diakibatkan dari pengaruh atau infeksi dari apa yang telah dilihatnya melalui media, tidak jauh berbeda, masih menganulir dari kata pengaruh dan infeksi, media nyatanya juga mampu melahirkan atau menciptakan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat dengan apa yang ditayangkan,
massa mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam membangun mindset masyarakat karena perannya yang sangat potensial untuk mengangkat opini publik sekaligus sebagai wadah berdialog antar lapisan. (Mas’udi, 2013).
Secara lebih spesifik dilihat dari potensi positifnya media massa berperan: (1) kontribusi dalam menyebarluaskan dan memperkuat kesepahaman antar warga; (2) pemahaman terhadap adanya kemajemukan sehingga melahirkan penghargaan terhadap budaya lain; (3) sebagai ajang publik dalam mengaktualisasikan aspirasi yang beragam; (4) sebagai alat kontrol publik masyarakat dalam mengendalikan seseorang, kelompok, golongan, atau lembaga dari perbuatan sewenang-wenang, (5) meningkatkan kesadaran terhadap persoalan sosial, politik, dan lain-lain di lingkungannya. (Tatang Muttaqin, 2006).
Kedua kecenderungan media massa di atas diibaratkan seperti dua sisi uang koin yang tidak dapat terpisahkan, pertama berpotensi konflik sementara pada sisi yang lain mampu menciptakan keharmonisan, yang mana kedua kecenderungan tersebut sangat oleh bahasa penyampaian.
Bahasa sendiri dapat dimaknai sebagai alat pokok media dalam menyampaikan informasi kepada publik, dengan kata lain bahasa adalah perangkat utama media dalam melakukan konstruksi realitas, bahasa ibarat alat konseptualisasi dan alat narasi. Melihat begitu fundamentalnya bahasa dalam media, maka berimplikiasi tiada bahasa maka tiada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (makna) tertentu (Sudibyo, dkk, 2001). Ini artinya bahasa dijadikan sebagai suatu alat bantu dalam memahami sekaligus menentukan respons Bahasa sendiri dapat dimaknai sebagai alat pokok media dalam menyampaikan informasi kepada publik, dengan kata lain bahasa adalah perangkat utama media dalam melakukan konstruksi realitas, bahasa ibarat alat konseptualisasi dan alat narasi. Melihat begitu fundamentalnya bahasa dalam media, maka berimplikiasi tiada bahasa maka tiada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (makna) tertentu (Sudibyo, dkk, 2001). Ini artinya bahasa dijadikan sebagai suatu alat bantu dalam memahami sekaligus menentukan respons
Selain itu, kehadiran bahasa sebagai alat bantu dalam penyampaian informasi serta perolehan informasi atas realita pluralitas agama dengan beragam kecenderungannya di Indonesia ini, tidak dapat menafikkan bahwa di sini perlu adanya kecerdasan masyarakat dalam membaca media dan mengambilnya sebagai sebuah referensi, membaca media massa lebih kepada kompetensi memilih media yang falid dan meninggalkan media yang berkecenderungan menampilkan berita- berita hoax, dikarenakan dengan apa yang masyarakat pahami tentang pluralitas agama sesuai dengan apa yang didapat melalui media nantinya membawa pada respons selanjutnya.