Gerakan Literasi Sekolah

A. Gerakan Literasi Sekolah

Literasi secara sempit diartikan sebagai kemampuan dalam membaca dan menulis. National Literacy Forum (2014) menyatakan bahwa ada empat cara yang harus dilakukan dalam membangun literasi yang universal yaitu; a) meningkatkan kemampuan bahasa sejak dini di rumah dan dalam pendidikan nonformal; b) lebih mengefektifkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan keterampilan membaca dan menulis di sekolah; c) adanya akses untuk membaca dan program yang membuat anak merasa senang melakukan kegiatan literasi, d) menciptakan kerjasama antara sekolah, lingkungan, keluarga, dan lingkungan kerja untuk dapat mendukung budaya literasi. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah sebuah gerakan yang digagas Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia guna menumbuhkan minat baca peserta didik. Gerakan ini muncul karena keprihatinan bahwa peserta didik di Indonesia masih tegolong rendah dalam hal literasi. Gerakan ini dimulai sejak tahun 2015 dan sudah mulai dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan di tanah air. Gerakan Literasi Sekolah merangkul seluruh elemen baik elemen pendidikan maupun elemen masyarakat dan pihak pemangku kebijakan agar pelaksanaannya sukses dan mencapai hasil yang maksimal. Pada praktiknya GLS mengajak peserta didik untuk membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, namun hal ini tidak menjadi aturan yang baku. Sekolah dapat memodifikasi dan mengembangkan konsep GLS sesuai kebutuhan dan kondisi sekolah.

Gerakan Literasi Sekolah juga membutuhkan Tim Literasi Sekolah (TLS) yang dapat dibentuk oleh kepala sekolah dengan anggota pusatakawan, guru bahasa, dan pengajar yang tertarik dengan dunia literasi.

Secara garis besar Gerakan Literasi Sekolah di tingkat SMA memiliki tiga tahapan yaitu tahapan pembiasaan, tahapan pengembangan, dan tahapan pembelajaran. Kegiatan literasi di tahap pembiasaan yaitu membaca dalam hati. Secara umum tahapan ini memiliki tujuan; a) meningkatkan rasa cinta baca di luar jam pelajaran; b)

meningkatkan kemampuan memahami bacaan; c) meningkatkan rasa percaya diri sebagai pembaca yang baik; dan d) menumbuhkembangkan penggunaan berbagai sumber bacaan. Pada tahapan pembiasaan peserta didik diminta membaca buku nonpelajaran selama 15 menit baik di awal, tengah maupun akhir. Kegiatan membaca tersebut tidak diikuti dengan tugas-tugas yang bersifat tagihan. Pada tahapan selanjutnya yaitu tahapan pengembangan memiliki tujuan; a) mengasah kemampuan peserta didik dalam menanggapi buku pengayaan secara lisan maupun tulisan; b) membangun interaksi antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan guru tentang buku yang dibaca; c) mengasah kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis, analitis, kreatif dan inovatif; dan d) mendorong peserta didik untuk selalu mencari keterkaitan antara buku yang dibaca dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kegiatan literasi pada tahap ini dapat diikuti dengan kegiatan presentasi singkat, menulis, kriya, atau seni peran dapat dinilai secara nonakademik. Pada tahapan pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat; a) mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi sehingga terbentuk pribadi pembelajar sepanjang hayat; b) mengembangkan kemampuan berpikir kritis; dan c) mengolah dan mengelola kemampuan komunikasi secara kreatif (verbal, tulisan, visual, dan digital) melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan (Sutrianto dkk., 2016).

Secara konseptual, pengertian literasi yang diadopsi dan disosialisasikan kemendikbud bukan sekedar kegiatan membaca dan menulis. Lebih dari itu, literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk mewujudkan warga sekolah yang literat, dekat dengan buku, dan terbiasa menggunakan bahan bacaan dalam memecahkan beragam masalah kehidupan.