Batas-Batas Nasofaring Anatomi Nasofaring

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior- posterior 2-4 cm, lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah Witte dan Neel, 1998. Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring Dikutip dari: Mills SE, Histology for Pathology. Lippincolt William and Wilkins; 2007 3 :439

2.1.1 Batas-Batas Nasofaring

Dinding anterior dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm. Dinding superior dan posterior sedikit menonjol, dinding anterior dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding posterior dibentuk oleh fasia Universitas Sumatera Utara faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Dinding inferior merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan isthmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial Gustafson dan Neel, 1989. Fossa russenmuller yang merupakan tepi dinding posterosuperior nasofaring, merupakan tempat asal munculnya sebagian besar karsinoma nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran keganasan pada nasofaring. Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis karsinoma nasofaring. Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran karsinoma nasofaring ke sinus kavernosus melalui karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial Witte dan Neel, 1998. Universitas Sumatera Utara Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu: 1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior 2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis 3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan sifat karsinoma nasofaring yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran karsinoma nasofaring ke daerah sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis Witte dan Neel, 1998.

2.1.2 Perdarahan dan Persarafan