Etiologi Karsinoma Nasofaring 1. Faktor Genetik

dan dapat menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher Gustafson dan Neel, 1989.

2.4 Prevalensi Karsinoma Nasofaring

Indonesia termasuk salah satu Negara dengan prevalensi penderita karsinoma nasofaring yang termasuk tinggi di luar Cina. Di Indonesia, karsinoma nasofaring menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke-1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok THT. Hampir 60 tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring Nasir, 2009. Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 6,2100.000 penduduk dengan 13.000 kasus karsinoma nasofaring baru setiap tahunnya. Insiden kejadian karsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3100.000 penduduk Adham et al , 2012. Di Indonesia Karsinoma Nasofaring paling banyak dijumpai diantara tumor ganas di bidang THT dan usia terbanyak yang menderita adalah usia 40 tahun keatas Munir, 2006.

2.5 Etiologi Karsinoma Nasofaring 1. Faktor Genetik

Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik. Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA Human Leukocyte Antigen serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E CYP2E1 adalah gen yang rentan terhadap karsinoma nasofaring Nasir, 2009. Pada keluarga dengan karsinoma nasofaring, haplotipe HLA yang sama ditemukan 21 kali lipat pada penderita dengan keluarga karsinoma nasofaring. Penelitian di Medan didapati bahwa frekwensi alel gen yang paling tinggi pada penderita karsinoma nasofaring adalah gen HLA-DRB112 dan HLA-DQB0301 dimana alel gen yang Universitas Sumatera Utara paling berpotensi menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB108 Munir D, 2007.

2. Infeksi Virus Epstein - Barr

Salah satu penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein Barr. Sebagian besar infeksi VEB tidak menimbulkan gejala. VEB menginfeksi dan menetap secara laten pada 90 populasi dunia. Di Hong Kong, 80 anak terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100 mengalami serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi VEB primer biasanya subklinis. Transmisi utama melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama VEB, jalur masuk VEB ke sel epitel masih belum jelas, replikasi VEB dapat terjadi di sel epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat menetap persisten, tersembunyi laten dan sepanjang masa life- long Yenita, 2012. Selain itu, Virus Epstein-Barr VEB juga berperan dalam perkembangan karsinoma nasofaring. Reaktivasi VEB pada sel B sel bisa dipicu oleh produk seluler tumor sel. Sebaliknya, VEB mungkin bertindak sebagai umpan balik untuk promoter tumorgenesis. Reaktivasi VEB dikaitkan dengan peningkatan tingkat sitokin dan faktor pertumbuhan, yaitu, interleukin-6, interleukin-10, mengubah faktor pertumbuhan- β1, dan endotel vascular faktor pertumbuhan, yang dapat berkontribusi terhadap poliferasi sel, sistem gangguan kekebalan tubuh, dan angiogenesis Guo et al , 2014.

3. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan. Serbuk kayu pada industri mempunyai hubungan yang kuat dengan penderita karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring juga berhubungan akibat sering kontak dengan bahan karsinogen antara lain bezopyrenen, benzoanthrancene, gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan Ahmad, 2002. Universitas Sumatera Utara

2.6 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring