Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab

tersebut hanya dipegang oleh agama Islam dan Yahudi. Sedangkan Kristen dan Hindu dengan paham trinitas dan tiga dalam satu tidak dapat dikatakan agama monoteisme. 14 Maka yang dimaksud dengan pernikahan beda agama di sini adalah perkawinan orang Islam priawanita dengan orang bukan Islam priawanita. Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut : Pernikahan antar seorang pria muslim denga wanita ahli kitab, Pernikahan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik; perkawinan antar wanita muslimah dengan pria non muslim. 15

B. Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab

Dalam masalah pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena perbedaan pendapat tentang kedudukan wanita ahli kitab. Menurut Syaikh Hasan Ayyub kaum musyrikin terdiri dari tiga macam: Pertama, yang mempunyai kitab. Kedua, yang tidak mempunyai kitab. Ketiga, yang diduga mempuyai kitab. Ulama sepakat yang mempnyai kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai kitab adalah para penyembah 14 Harun Nasution, Islam Ditijau dari Berbagai Aspek, Jil. 1, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979, h. 12-16 15 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, cet, X, Jakarta: Gunung Agung, 1997, h. 4 berhala, batu-batuan, binatang, matahari, bulan, dan lain sebagainya. Mereka yang diduga mempunyai kitab adalah para penganut Majusi. 16 Nikah dengan wanita ahli kitab merdeka dan tidak berzina, berdasar atas zahir ayat adalah halal, baik ahli kitab dzimmiyyah maupun harbiyyah. Lafadz al- Musyrikin tidak mencakup ahli kitab. Kehalalan nikah dengan wanita ahli kitab adalah takhsis kekhususan atau istisna pengecualian dari larangan nikah dengan wanita-wanita musyrik pada umumnya. Imam-imam madzhab empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama, yaitu wanita ahli kitab boleh dinikahi, sekalipun berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini kebenaran trinitas. Hal terakhir ini syirik yang nyata, tetapi karena mereka mempunyai Kitab Samawi mereka halal dinikahi sebagai takhsis dari Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman Q.S. al-Baqarah: 221. Pentakhsisnya ialah “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan al-muhsanat di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu” Q.S. al-Maidah: 5. 17 16 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah, M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Al-Kaitsar, 2006, h. 142-144 17 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 19 Maka dalam hal ini terdapat perbedaan para ulama atas tiga golongan: 18 1. Golongan pertama berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab Yahudi atau Nasrani halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini adalah jumhur ulama’. Golongan ini berdasarkan kepada firman Allah SWT Q.S. al-Maidah ayat 5 : Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan sembelihan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik….. Q.S. al-Maidah : 5 Alasan kedua pada golongan ini adalah melihat kepada sejarah yang telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi wanita ahli 18 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, Jil. I. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2003, h. 287 kitab. Hal mana menunjukan bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal hukumnya. Menurut mereka dari ayat di atas dapat ditarik dua argument. Pertama, ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab kecuali jenis yang diharamkan dan membolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab yang muhsanat; Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat penunjukan ayat ini terhadap hukum. 19 Selain berdasarkan kepada Q.S. al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan Sunnah Nabi, dimana Nabi pernah menikah dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah al- Qibtiyyah Kristen. Demikian pula sahabat Nabi termasuk senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah nikah dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. 20 2. Golongan kedua berpendirian bahwa menikah dengan wanita ahli kitab hukumnya haram. Yang termuka dari kalangan sahabat dari golongan ini adalah Ibnu Umar. Ketika Ibnu Umar ditanya tentang nikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, ia menjawab “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musrik bagi kaum muslimin. Aku tidak tahu syirik, syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa 19 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 130 20 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, h. 6 Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seoarang di antara hamba Allah. Pendapat ini menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah. 21 adapun dalil dipegang oleh golongan ini adalah firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah ayat 221: Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. Q.S. al-Baqarah: 221 Dan firman Allah SWT Q.S. al-Mumtahanah ayat 10 : Artinya: “Janganlah kamu pegang yakni, ceraikanlah perempuan- perempuan kafir yang kamu nikahi” Q.S. al-Mumtahanah: 10 Ayat di atas melarang menikahi wanita-wanita kafir. Ahli kitab termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi menuhankan Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa Ibnu Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT. Jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum mereka mati. Adapun lafadz muhsanat menurut golongan ini di-istimal-kan kepada perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam, atau di-istimal-kan kepada pengertian 21 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer , h. 22 bahwa kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu adalah masa keadaan perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya. 22 3. Golongan ketiga berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal hukumya, tapi karena situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain. Pandangan ini berdasarkan bahwa sayyidina Umar penah menyuruh sahabat untuk menceraikan wanita ahli kitab. Selain itu, kekhawatiran kaum laki-laki akan terikat hatinya pada istrinya, apalagi setelah mendapatkan keturunan. Dan dikhawatirkan pula ketentraman dan kenyamanan dalam rumah tangga yang menjadi tujuan tidak dapat tercapai. 23 Adapun Hanafiah berpendapat, menikahi wanita ahli kitab yang berada Darul Harbi, merupakan pembuka pintu ‘fitnah”. Mendahulukan nikah dengan mereka adalah makruh tahrim, karena membawa kepada mafasid, nikah dengan wanita Dzimmiyah yang tunduk kepada Undang-Undang Islam adalah makruh tanzih. Di kalangan Malikiyah ada dua pendapat. Pertama, nikah dengan wanita ahli kitab makruh mutlak, baik dzimmiyah maupun harbiyah. Kedua, tidak makruh secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak. 24 22 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, h. 289 23 Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 136 24 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer , h. 23-24 Menurut Imam Syafi’I mengatakan dihalalkan menikahi wanita-wanita ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah SWT menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang Masyhur yakni Taurat dan Injil, dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani, adapun Majusi tidak termasuk. Dihalalkan pula menikahi wanita-wanita dari golongan Shabi’un dan Samirah dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al- Kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi demikian diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaimana diharamkan menikahi wanita Majusi. 25 Imam Syafi’I juga menjelaskan bahwa kebolehan laki-laki mengawini wanita ahli kitab, apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an. Namun setelah diturunkannya al-Qur’an mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Berbeda dengan imam-imam yang lain yang membolehkan mengawini ahli kitab secara mutlak. 26 25 Imam Syaf’I, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah: Imron Rosadi dan Imam Awaludin, Jilid II, Cet. 2. Jakarta: Pustaka Azzam, 2005, h. 351 26 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, h. 344-345 Menjawab pertanyaan tentang menikahi Nasraniah dan Yahudiah, Ibnu Taimiah menjawab, nikah dengan wanita ahli kitab boleh, berdasarkan Q.S. al- Maidah ayat 5, ini pendapat jumhur salaf dan khalaf dari imam-imam madzhab empat. Ahli kitab tidak termasuk musyrikin. Ayat al-Baqarah umum, ayat al-Ma’idah khusus. Dapat juga dikatakan ayat al-Maidah nasikh dari ayat al-Baqarah. 27 Menurut Qaul Mu’tamad dalam Madzhab Syafi’I, wanita ahli kitab yang halal dinikahi oleh orang muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagai agama keturunan dari orang-orang nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rosul yakni sebelum al-Qur’an diturunkan tegasnya, orang yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sesudah al-Qur’an diturunkan, mereka itu tidaklah dianggap ahli kitab, karena terdapat perkataan min qoblikum dari sebelum kamu dalam surat al-Maidah ayat 5. perkataan min qoblikum menjadi qayd bagi ahli kitab yang dimasksud. Jalan fikiran madzhab Syafi’I ini mengakui bahwa ahli kitab itu bukan karena agamanya, melainkan karena menghormati asal keturunannya. 28 Yusuf Qardhawi menatarjih pendapat jumhur, sebenarnya kebolehan mengawini wanita ahli kitab adalah benar, karena surat al-Ma’idah ayat 5 tersebut adalah ayat yang turun terakhir sebagaimana disebut dalam Hadits. Adapun surat al-Baqarah ayat 221 adalah umum dan ditakhsis oleh ayat tersebut . menurut 27 H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer , h. 20 28 Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, h. 290-291 Yusuf Qardhawi asal hukum nikah tersebut adalah mubah, dengan tujuan menimbulkan keinginannya memeluk agama Islam, mendekatkan hubungan Islam dan ahli kitab, dan melonggarkan toleransi antara keduanya. Namun, dengan kemubahan ini terikat dengan beberapa aturan yang pokok , antara lain: a. Harus dapat dipercaya wanita ahli kitab tersebut benar-benar beriman kepada agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani, artinya secara garis besar beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Rosul SAW dan beriman kepada Hari Akhir. b. Wanita tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya, karena Allah tidak sembarang membolehkan menikah dengan ahli kitab, bahkan menjadi syarat, sebagaimana dalam ayat pembolehannya. Dan wanita yang menjaga kehormatannya adalah wanita yang menjaga dirinya dari perbuatan zina, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Katsir. c. Wanita tersebut bukan dari golongan yang memerangi dan memusuhi umat Islam. Terhadap dzimmiyah fuqoha membolehkannya, sedangkan harbiyyah tidak boleh. Pendapat ini dikemukakan Ibnu Abbas. d. Dibalik perkawinan ini tidak terdapat fitnah atau mudharat yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi. Bila secara umum mudharat akan terjadi, maka pelarangannya secara umum, namun bila mudharat secara khusus maka pengharamannya pada situasi tertentu saja. Diantara mudharatnya adalah pernikahan dengan wanita ahli kitab menjadi tersebar dan sering dilakukan, sementara wanita-wanita muslimah yang lebih layak terkesampingkan. 29 Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam mengawini wanita non muslim, baik ahli kitab maupun bukan, tidak diperbolehkan, yang telah dirumuskan pada pasal 40 c. Larangan ini lebih mengambil kepada pendapat sebagian madzhab Syafi’I yang melihat keberadaan kitab mereka dinasakh oleh kehadiran al-Qur’an dan kajian empiris, bahwa perkawinan antar pemeluk agama banyak menimbulkan persoalan. Selain itu juga mengambil para pendapat Majelis Ulama Indonesia yang melarang perkawianan antar pemeluk agama. 30

C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik