namun bila mudharat secara khusus maka pengharamannya pada situasi tertentu saja. Diantara mudharatnya adalah pernikahan dengan
wanita ahli kitab menjadi tersebar dan sering dilakukan, sementara wanita-wanita muslimah yang lebih layak terkesampingkan.
29
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam mengawini wanita non muslim, baik ahli kitab maupun bukan, tidak diperbolehkan, yang telah dirumuskan pada pasal 40
c. Larangan ini lebih mengambil kepada pendapat sebagian madzhab Syafi’I yang melihat keberadaan kitab mereka dinasakh oleh kehadiran al-Qur’an dan kajian
empiris, bahwa perkawinan antar pemeluk agama banyak menimbulkan persoalan. Selain itu juga mengambil para pendapat Majelis Ulama Indonesia yang melarang
perkawianan antar pemeluk agama.
30
C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik
Islam melarang pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrikah, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221:
Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman…..
“Q.S. Al-Baqarah: 221
29
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid I, Penerjemah: As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996, h. 587-590
30
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 345
Fuqaha sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh nikah dengan wanita yang tidak beragama samawi, yaitu agama yang mempunyai kitab yang diturunkan Tuhan
melalui Nabi yang namanya disebut dalam al-Qur’an. Setiap wanita yang tidak beragama samawi, tidak halal dinikahi. Mereka tergolong musyrikah yang termasuk
ke dalam larangan umum.
31
Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah yang haram dinikahi itu? menurut Ibnu Jarir al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa
musyrikah yang dilarang untuk dinikahi ialah musyrikah dari Bangsa Arab saja, karena Bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab
suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari non-Arab, seperti wanita Cina, India, yang
diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup
sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sepakat dengan pendapat ini.
32
31
H.Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer
, h. 18
32
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, h. 4
Jumhur berpendapat bahwa musyrikah adalah mereka yang beragama selain dari agama Islam, Yahudi, Nasrani di luar atau dalam arab, jadi hukum pernikahan
terhadap mereka juga haram.
33
Adapun menurut Yusuf Qardhawi, selain ayat diatas, dia menambahkan surat al-Mumtahanah ayat 10 :
Artinya:“……..Janganlah kamu pegang yakni, ceraikanlah perempuan-perempuan kafir yang kamu nikahi……”
Q.S. al-Mumtahanah: 10
Konteks ayat ini beserta asbabun nuzul-nya, al-Kawafir adalah musyrikah, yakni al-Wastaniyah atau penyembah berhala. Hikmah pengharaman ini jelas, yaitu
ketidak mungkinan bertemunya dengan keberhalaan. Selanjutnya penyembah berhala tidak mempnyai kitab suci yang mu’tabar dan tidak mempunyai Nabi yang dikenal
dan diketahui. Dengan demikian, menurut Hardhawi al-Wasthaniyah dan Islam ada pada dua kutub yang saling bertentangan. Maka hukum menikahi wanita musyrikah
haram, ditetapkan berdasarkan Ijma’ dan Nash yang jelas, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd pada Bidayatul Mujtahid.
34
Sedangkna menurut Abu A’la al- Maududi, larangan tersebut karena hubungan dalam pernikahan ini, karena
33
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Pers, 2003, h. 260
34
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 580
perbedaan agama dan kebudayaan antara keduanya, membuat hubungan itu hanya hubungan fisik saja, bukan menjadi hubungan yang membudaya yang menjadi azas
pernikahan dalam Islam.
35
D. Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim