suami istri yang berlainan agama, kemungkinan mengalami benturan dalam hal kewarisan, karena pasangan suami istri tidak tunduk pada hukum yang sama.
48
Meskipun ada yang berpendapat bahwa umat Islam bisa menerima pusaka dari kafir zimmi, sebagaimana yang diulas oleh Muhammad Amin Suma, dalam
pemikiran Ibnu Taimiyah, Islam boleh menerima warisan dari kerabat ahli waris yang kafir zimmi, tetapi tidak sebaliknya. Ada pula diantara mereka menggunakan
analogi kebolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab atau sebaliknya. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan jumhur ulama’.
49
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewaris sebagai penghalang
mewarisi. KHI hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris, yaitu pada pasal 171 huruf c: “ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempuyai hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”
2. Perwalian dalam Pernikahan
Perwalian dalam pernikahan pada hakikatnya hanya pada agama Islam, selain agama Islam memadang perwalian anak dalam pernikahan hanya sebagai pelengkap,
48
Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 173
49
Ibid, h. 174
bukan syarat sah pernikahan. Sedangkan dalam agama Islam perwalian dalam pernikahan merupakan hal yang terpentig.
Sebagian besar fuqaha sepakat bahwa wali masuk dalam rukun pernikahan, hanya Hanafi mengatakan wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suami dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik perawan maupun janda.
50
Hal ini mengisyaratkan bahwa tanpa wali yang sah, maka pernikahan seseorang dapat dipertanyakan.
Aturan ini didasarkan pada Hadits Rosulullah SAW :
+,ﻥ .
Artinya: “barang siapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal”.
HR Empat Ahli Hadits keculai Nasa’I
Hadits lain Rosulullah SAW bersabda:
0 1 2 3 ﻥ
Artinya: “ tidak sah nikah itu tanpa wali dan dua orsang saksi”. HR. Ahmad
51
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya pasal 19 KHI.
Apabila tidak dipenuhi maka status perkawinannya tidak sah, ketentuan ini
50
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 345
51
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, Jakarta: Pustaka Setia, 1999, h. 67
berdasarkan Hadits diatas.
52
karena keberadaan wali menjadi salah satu rukun nikah, maka ada syarat wali yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah perwalian,
diantaranya adalah Islam, Baligh, berakal, laki-laki, adil, dan tidak sedang ihram atau umrah.
53
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat 1 dirumuskan: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.” Yang menjadi syarat wali disebutkan adalah muslim, maka orang tua yag non
muslim tidak dapat menikahkan anak perempuanya yang muslim. Sangat disangsikan orang yang bukan Islam dapat bertindak menjadi wali dalam pernikahan
seorang perempuan yang Islam.
54
Hal serupa juga ditegaskan oleh Sayyid Sabiq,
55
bahwa syarat Islam ditambahkan jika menikah adalah Islam. Sedangkan untuk selain Islam tidak boleh menurut syara’, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’
ayat 141:
Artinya: “….. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.
52
Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris., h. 83
53
Ahmad Sukardja dan Bakri A. Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan, dan Hukum PerdataBW,
h. 28
54
Asaf A.A. Fyzee dkk, Pokok-Pokok Hukum Islam I, penejemah: Arifin Bey, Jakarta: Tinta Mas, 1959, h. 272
55
Sayyid Sabiq, fiqih Sunnah, Jilid II, Semarang: Toha Putra, h. 111
Menurut kesepakatan para ulama, diantaranya Imam Malik, Syafi’I, Abu Ubaid, Ahmad, dan para penganut Madzhab Hanafi, seorang kafir sama sekali tidak
diperbolehkan menikahkan seorang muslimah, dan tidak pula seorang muslim boleh menikahkan wanita kafir, kecuali jika orang muslim itu seorang hakim atau tuan dari
budak wanita kafir. Adapun seorang hakim, ia mempunyai hak perwalian atas ahlu dzimmah wanita kafir yang tinggal di negri Islam yang tidak mempunyai wali,
karena perwaliannya bersifat umum bagi penduduk Darul Islam, dan ahlu dzimmah itu termasuk dari penduduk dari penduduk Darul Islam, sehingga ia ditetapkan bagi
hakim hak perwalian atasnya, sebagaimana atas wanita muslimah. Sedangkan seorang majikan muslim mempunyai hak atas budak wanita kafir untuk
menikahkannya, karena wanita kafir itu tidak boleh dinikahkan oleh muslim. Jika seorang muslim menikahi wanita dzimmi, maka wali dari wanita adalah orang
kafir.
56
Apabila terjadi perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim, maka sang ayah tidak punya hak perwalian terhadap anak perempuan dalam
pernikahan. Karena melihat esensi dari pentingnya wali sebagai pengarah dan pemberi tanggung jawab kepada calon suami serta melihat syarat yang telah
disepakati oleh ulama- ulama jumhur dan pasal 20 ayat 1 KHI, maka seorang ayah non muslim bukan termasuk wali yang ditetapkan.
56
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarg, h. 55-56
Dalam hal ini, berarti perwalian sesuai dengan kedekatan hubungan dengan calon perempuan, atau sampai akirnya harus memakai wali hakim, sesuai dengan
Pasal 21, 22, 23 Kompilasi Hukum Islam KHI
BAB III KONSEP HAK ASASI MANUSIA DALAM KEBEBASAN