Hak memilih agama bagi anak dari pasangan beda agama dalam persepektif Hak Asasi Manusia

(1)

HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN BEDA AGAMA DALAM PERSEPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi syarat-syarat mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh : Azazi 104044101394

Di Bawah Bimbingan

Dr. Jaenal Arifin, MA. NIP. 150 289 202

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1429 H / 2008 M


(2)

HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN BEDA AGAMA DALAM PERSEPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Oleh : Azazi 104044101394

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1429 H / 2008 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN BEDA AGAMA DALAM PERSEPEKTIF HAK ASASI MANUSIA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah.

Jakarta, 23 September 2008 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. (………..)

NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. (………..)

NIP. 150 285 972

3. Pembimbing : Dr. Jaenal Aripin, MA. (………..)


(4)

4. Penguji I : Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. (………...)

NIP. 150 210 422

5. Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. (………..)


(5)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirahim

Alhamdulillah kita panjatkan syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan karunia dan nikmat akal, sehingga kita dapat menuntut ilmu, menambah wawasan melalui ilmu-ilmu yang Allah telah berikan. Dengan rasa bahagia, penulis juga mengucapkan Alhamdulillah, karena telah menyelesaikan judul skripsi ini.

Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kepada kebaikan, kita dapat membedakan baik dan buruk. Beliau sebagai tauladan kita dan menjadikan Beliau sebagai landasan dalam menjalani hidup.

Dengan penuh kerendahan hati, bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, terdapat pihak-pihak yang telah membantu, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yaitu :

1. Bpk Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bpk Dr. Jaenal Aripin, MA., dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, selama membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi

3. Bpk Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA., Ketua Studi Ahwal Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bpk Kamarusdiana, S.Ag, MH., Sektretaris Program Studi


(6)

Ahwal Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen atau staf pengajar pada jurusan al-Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku kuliah

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Fakultas Syariah dan Hukum, kepala Perpustakaa Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi sebagai bahan rujukan skripsi

6. Sahabat-sahabat seperjuangan Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004

Sekian dari penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Masih banyak banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis perlukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 12 September 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI………iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Batasan dan Rumusan Masalah……….8

C. Tujuan dan Manfaat………...9

D. Metode Penelitian……….10

E. Sistematika Penulisan………...12

BAB II HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA A. Pengertian………14

B. Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab………17

C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik………26

D. Pernikahan Wanita Muslim dengan Pria Non Muslim………....29

E. Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama……….31

BAB III KONSEP HAM DALAM KEBEBASAN BERAGAMA A. Pengertian dan Perbedaannya Menurut Islam dan Barat………..40


(8)

C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konsep Barat (UDHR)…………..52

D. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstitusi (UUD 1945)…………..53

BAB IV HAK ANAK MENURUT HAM DALAM MEMILIH AGAMA A. Kedudukan Agama Anak Menurut Agama-agama di Indonesia……..58

B. Kepemilikan Hak Bagi Anak dalam Memilih Agama………..66

C. Hak Anak Menurut HAM dalam Memilih Agama……..………70

D. Analisis……….79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………...82

B. Saran-saran………...84

DAFTAR PUSTAKA………86


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tanga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Jalan yang dipilih Allah SWT untuk melestarikan keturunan. Dikeluarkannya Adam dan Hawa dari Syurga untuk kemudian ditempatkan di bumi dapat dikatakan sebagai cikal bakal penciptaan manusia Manusia menurut ajaran agama Islam adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk lainnya. Manusia adalah sebagai pemimpin atau wakil Tuhan di muka bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut “Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta.2 oleh karena itu, untuk menjaga kemulian, akhlak, dan kesusilaan, diaturlah bagi diri manusia dengan pernikahan.

Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya fikih sunnah : Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan

1

Depag RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, 2001), h. 131

2


(10)

peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan”. Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara anarki. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah SWT membuat hukum sesuai dengan martabatnya.3

Masalah pernikahan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai unifikasi hukum dan menghapus peraturan atau Undang-Undang Perkawinan sebelumnya. Peraturan yang mengatur perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang ini tidak berlaku lagi. Sebagaimana pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesiers S. 1993 No. 74), peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemangde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Permasalahan akan muncul apabila ada manusia yang ingin melaksanakan pernikahan tetapi berbeda agama, karena Undang-Undang ini tidak mengatur pernikahan beda agama, tapi dalam Undang-Undang ini hanya memungkinkan bagi

3


(11)

mereka yang ingin melaksanakan pernikahan beda agama untuk dapat melangsungkan pernikahannya selama dibolehkan oleh agamanya masing-masing. Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita yang sama aqidah, akhlak dan tujuanya. Dibawah naungan itu suami dan istri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Kehidupan seperti tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami istri berpegang kepada agama yang sama. Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan dilingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan, pembinaan tradisi kegamaan, dan lain-lain.4

Pada dasarnya seluruh agama menghendaki umatnya menikah dengan seiman, karena untuk menjaga keturunan dan menjaga keyakinan agama kepada penerusnya. Semua agama menitikberatkan pernikahan kepada keturunan yang akan dihasilkan, kedua orang tua ingin memberikan apapun yang terbaik kepada anaknya. Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga. Sebagai amanah Allah SWT, maka orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa.

4

H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 9


(12)

Anak mempunyai hak terhadap orang tuanya, yaitu orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik. Pemeliharaan anak artinya tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri. Dan pendidikan anak artinya kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut manjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkannya di tengah-tengah masyarakat sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari tangung jawab orang tua. 5

Tentu suatu pernikahan beda agama akan mengakibatkan perbedaan dalam pemeliharaan dan pendidikan anaknya, khususnya dalam pendidikan agama anaknya. Perebutan antara suami dan istri memberikan efek pendidikan yang buruk terhadap anaknya. Ketika salah satu orang tua memberikan pilihan masing-masing agama, maka anak akan merasa bingung dan kehilangan kebebasannya untuk menentukan pilihan agamanya.6 Hal itu akan mempengaruhi dalam pertumbuhan

5

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 283-284

6

Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005), h. 167


(13)

pribadi anak, karena berlainannya pendidikan yang diberikan. Sikap orang tua yang berbeda akan menyebabkan si anak terombang-ambing diantara dua kekuatan yang berpengaruh. Pertanyaan yang akan selalu ada dipikiran anak adalah dia akan mengikuti agama siapa? ayah atau ibunya, ia akan merasa kebingungan terhadap keputusan yang akan ambil.

Bagitu juga bagi suami istri yang memberikan pilihan agama pada si anak, besar kemungkinan anak akan menjadi korban, mereka sulit memilih pada agama siapa ia berpijak. Membiarkan anak memilih akan bermasalah jika tidak bijaksana, karena keyakinan agama ditentukan oleh pendidikan sejak kecil, bahkan sangat membahayakan anak karena dapat menjadi atheis.7

Sebagai orang tua sudah menjadi kewajiban memberikan hak-hak anak tersebut, orang tua pasti ingin memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, dan kemungkinan besar menginginkan anaknya mengikuti agama mereka. Maka orang tua yang berbeda agama sudah tentu memberikan pendidikan agama terhadap anaknya dengan cara berbeda, di sinilah penulis ingin bahas, seorang anak yang dihadapkan dua pilihan dalam menentukan agamanya. apakah anak mempunyai hak bebas memilih atau apakah orang tua memberikan hak kebebasan sepenuhnya kepada anaknya atau kedua orang tua memaksa anaknya untuk mengikuti salah satu agama.

7Ibid , h. 168


(14)

Sebagai contoh penulis kemukakan keluarga yang saat ini menjalani rumah tangga dengan perbedaan agama, penulis akan menggambarkan secara umum tentang keluarga ini dalam membina rumah tangganya.

“Seorang perempuan muslim bernama Sriastuti menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Basuki yang saat ini beragama Kristen. Ketika melakukan akad Basuki telah mengucapkan syahadat dan beragama Islam kemudian melaksanakan pernikahan di KUA Bogor pada bulan Desember tahun 1997. Dari hasil pernikahan itu Sriastuti dan Basuki mempuyai tiga orang anak, yang pertama berumur sepuluh tahun, yang kedua berumur tujuh tahun dan yang ketiga baru berumur satu tahun. Karena faktor ekonomi tidak mencukupi kebutuhan keluarga dan Basuki sering mendapat bantuan dari gereja dan ikut kegiatan ibadah agama Kristen, Basuki akhirnya pindah ke agama Kristen. Kemudian Basuki ingin mengajak anaknya yang pertama yaitu Agus Wiyanto ikut agama Kristen dengan selalu mengajak ke gereja setiap hari minggu. Kalau Agus tidak mau, Basuki sering memaksa dan memukul lalu Agus menangis. Karena Agus sudah mengerti, ia ingin ikut pendidikan agama Ibunya. Karena teman-temanya juga beragama Islam, ia ingin belajar mengaji bersama teman-temanya, tapi kalau ketahuan Basuki ia dilarang dan dimarahi. Karena Basuki suka emosi, maka Sriastuti memberikan pendidikan agama Islam secara sembunyi-sembunyi kepada Agus”8

8


(15)

Agus Wiyanto sering ditanya di sekolahnya oleh ibu Guru, apa agamamu? Agus sering menjawab agamanya adalah Islam, tapi Agus juga menanyakan, kenapa saya tidak diberi buku agama. Agus juga takut kalau ketahuan ayahnya. Agus merasa dipaksa oleh ayahnya kelau diajak ke gereja untuk beribadah sampai-sampai ia sering menangis. Agus merasa tertekan oleh ayahnya, karena ayahnya suka marah-marah, sedangkan ibunya tidak dapat berbuat apa-apa. Agus sering disuruh ibunya belajar mengaji bersama teman-temanya dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan ayahnya.9

Cerita di atas adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa anaklah yang menjadi obyek yang dirugikan oleh posisi kedua orang tua yang berbeda keyakinan, baik kedua orang tua yang berebut atas status agama anaknya maupun salah satu memaksakan kehendaknya. Inilah yang akan menyebabkan anak akan merasa bingung dan tidak baik bagi perkembangan jiwa anak.

Maka berkaitan dengan hal di atas, maka penulis ingin menulis dalam skripsi ini dengan judul “HAK MEMILIH AGAMA BAGI ANAK DARI PASANGAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”

9

Agus Wiyanto, anak dari ibu Sriastuti dan Pak Basuki, Wawancara Pribadi, Tangerang, 25 Juni 2008


(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam skripsi ini penulis membatasi permasalahanya sebagai berikut : a. Kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia.

b. Kepemilikan hak bagi anak dalam memilih agama dari pasangan beda agama c. Hak bagi anak dalam memilih agama dari pasangan beda agama dalam

perspektif Hak Asasi Manusia 2. Perumusan Masalah

Semestinya anak mempunyai hak kebebasan dalam memilih agama sekalipun orang tuanya berbeda agama atau keyakinan, tapi dalam kenyataannya terjadi penekanan atau deskriminasi terhadap anak sehingga ia tidak mempunyai kebebasan dalam memilih agama. Hal inilah yang ingin penulis telusuri dalam skripsi ini.

Rumusan diatas dapat dirinci dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikit : a. Bagaimana Kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia? b. Apakah anak dari pasangan beda agama memiliki hak memilih agama? c. Bagaimana hak memilih agama bagi anak dari pasangan nikah beda agama


(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pandangan agama-agama tentang Kebebasan beragama 2. Untuk mendapatkan informasi yang faktual berkaitan dengan hak memilih

bagi anak dalam memilih agama

3. Untuk mengetahui hak memilih agama bagi anak dalam perspektif Hak Asasi Manusia.

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan pemahaman tentang kebebasan beragama menurut masing-masing agama

2. Dapat mendeskripsikan permasalahan tentang hak bagi anak memilih agama dari pasangan beda agama

3. Dapat memberikan wacana dan pemahaman terhadap bagi anak memilih agamanya dalam perspektif Hak Asasi Manusia


(18)

D. Metode Penelitian 1. Pendekatan

Dalam pendekatan penulis menggunakan pendekatan secara emperis, yaitu memperhatikan dan memahami secara langsung keadaan keluarga yang menjalani kehidupan rumah tangga yang berbeda agama kemudian dikaitkan dengan penelaahan sumber-sumber yang relevan dengan tema penelitian

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri, atau penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas subjektif. Mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusian.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu pengumpulan data kepustakaan (Library Research) dan lapangan (Field Research). Adapun dalam pengumpulan data kepustakaan penulis mengambil dari berbagai literatur atau sumber-sumber bacaan yang ada, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Sedangkan dalam pengumpulan data lapangan penulis mengadakan wawancara mendalam (Deep Interview). Wawancara dilakukan terhadap keluarga Bapak Basuki


(19)

dan Ibu Sriastuti yang saat ini masih berbeda agama, dan kepada Agus Wiyanto sebagai anak dari pasangan beda agama.

4. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh, penulis kwalifikasikan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun data primer diperoleh langsung dari wawancara dengan keluarga yang menjalani rumah tangga yang berbeda agama, sedangkan data sekunder dipeoleh dari literatur, yaitu buku-buku, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan buku-buku yang memuat keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok penelitian.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam skripsi ini adalah Deskriptif Kualitatif. Digunakan untuk menuturkan, menafsirkan dan menguraikan data yang bersifat kualitatif, baik data yang diperoleh dari literatur-literatur maupun data yang dperoleh dari wawancara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah. Penulisan dengan ketentuan sebagai berikiut:


(20)

1. Terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi walaupun kurang dari enam baris

2. kutipan dari buku-buku yang masih dalam ejaan lama disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan (EYD)

3. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditulis pada urutan pertama, kemudian sumber lainya

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi di bagi atas lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab. Perincian sistemetika tersebut adalah sebagai berikut:

Bab I. Pendahuluan; yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode pembahasan, dan sistematika penulisan.

Bab II. Hukum pernikahan beda agama; membahas masalah pernikahan pria dengan wanita ahli kitab, pernikahan pria dengan wanita musyrik, pernikahan wanita dengan pria non muslim, dan akibat hukumnya

Bab III. Konsep HAM dalam kebebasan beragama, mencakup pengertian HAM dan perbedaannya menurut Islam dan Barat, hak kebebasan beragama dalam konsep Islam, hak kebebasan beragama dalam konsep barat (UDHR), dan hak kebebasan beragama dalam konstitusi (UUD 1945)


(21)

Bab IV. Hak anak menurut HAM dalam memilih agama, dengan pembahasan kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia, kepemilikan hak bagi anak dalam memilih agama, hak memilih agama bagi anak menurut hak asasi manusia, dan analisis

Bab V. Penutup, bagian akhir dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.


(22)

BAB II

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA A. Pengertian

Pernikahan adalah sunnatullah, yang dilakukan oleh manusia, hewan atau tumbuhan. Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara yang ada di dunia, maka dari itu Allah meletakkan aturan pernikahan khusus bagi mereka, tidak seperti makhluk lain, yang aturan-aturan itu tidak boleh dilanggar.

Secara bahasa nikah adalah Ad-dhammu dan Al-wath’u yang berarti berkumpul dan bersetubuh. Sedangkan secara syara’ nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz Inkah dan Tazwij. Dikalangan ahli fiqih tidak ada perbedaan yang signifikan dalam definisi pernikahan, kecuali pada redaksi saja. Mereka sepakat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak untuk memilliki penggunaan terhadap faraj perempuan dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.10

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

10

Ahmad Sukardja dan Bakri A. Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan, dan Hukum Perdata/BW, ( Jakarta: Hidayah Karya Agung, 1981), h. 11-12


(23)

Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Adapun agama-agama yang dimaksud adalah agama yang mempunyai kitab yang jelas diberikan oleh Allah SWT, seperti agama Islam, Yahudi, dan Nasrani dan ada pula agama yang mempunyai kitab yang mirip dengan kitab (wahyu) seperti agama Zoroaster (Majusi) dan mani.11 Selain itu agama yang disebut dalam al-Qur’an, tetapi beberapa agama dalam al-Qur’an tersebut bukan berarti dapat dikatakan pemberian legitimasi atas keabsahan eksistensi agama tersebut. Diantaranya adalah QS. al-Baqarah ayat (62), QS. al-Maidah ayat (69), QS. al-Hajj ayat (17).

Dilihat secara global dari penjelasan al-Qur’an, dari kepercayaan yang dianut oleh manusia ada empat kelompok, yaitu: Pertama, Allazina amanu (yaitu orang-orang beriman pengikut Nabi Muhammad SAW; Kedua, Allazina hadu (yaitu pengikut Nabi Musa a.s.); Ketiga, Wa al-Nashara (yaitu pengikut Nabi Isa a.s.); Keempat, As-sabi’in (orang-orang yang keluar dari kelompok yahudi dan nasrani dan mereka menyembah Malaikat).12

11

Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, terj. Asywadie Syukur, (Surabya: Bina Ilmu, 2006), h. 29

12


(24)

Menurut penelitian Taib Taher Abdul Muin, orang-orang Yahudi atau Bani Isra’il di sekitar Palestina mempunyai kitab suci yang disebut Taurat, yang diturunkan kepada Nabi Musa di gunung Tursina. Mereka terus menerus berselisih karena perubahan kitab suci, sehingga menjadi terpecah-pecah. Adapun agama Nasrani, agama yang diamanatkan kepada Nabi Isa dan diturunkan di Palestina ketika agama yang dibawa Nabi Musa telah diselewengkan. Kitab yang dibawa Nabi Isa adalah Injil. Sepeninggal Nabi Isa, agama Nasrani mengalami perubahan berangsu-angsur, sehingga menimbulkan beberapa golongan. Hampir dari semua golongan mengakui bahwa setelah Nabi Isa bangkit dari kubur ia mi’raj ke langit. Sejak itulah kaum Nasrani berbeda pendapat tentang sifat ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri al-Masih. Salah satu penyimpangan agama Nasrani sampai sekarang adanya pembangkangan terhadap agama monoteis yang menjadi ciri-ciri agama samawi saat ini, yaitu paham trinitas yang diyakini kaum Nasrani saat ini. Selain itu ada juga agama Hindu. Hindu adalah agama yang mempercayai tiga Tuhan yang dianggap suci. Ketiganya bersatu dan tidak dapat dipisahkan, karena asal kejadiannya satu, tapi mereka tetap berpendapat bahwa tiga itu adalah satu.13

Hakikat agama yang diwahyukan adalah monoteisme atau bertauhid kepada Allah, baik itu Yahudi, Nasrani maupun Islam. Walaupun ada yang memasukkan agama Hindu sebagai agama monoteisme, tapi tidak satu rumpun seperti ketiga agama di atas. Dalam perjalanannya agama yang masih menjaga keesaan Tuhan

13Ibid


(25)

tersebut hanya dipegang oleh agama Islam dan Yahudi. Sedangkan Kristen dan Hindu dengan paham trinitas dan tiga dalam satu tidak dapat dikatakan agama monoteisme.14

Maka yang dimaksud dengan pernikahan beda agama di sini adalah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut : Pernikahan antar seorang pria muslim denga wanita ahli kitab, Pernikahan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik; perkawinan antar wanita muslimah dengan pria non muslim.15

B. Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab

Dalam masalah pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena perbedaan pendapat tentang kedudukan wanita ahli kitab.

Menurut Syaikh Hasan Ayyub kaum musyrikin terdiri dari tiga macam:

Pertama, yang mempunyai kitab. Kedua, yang tidak mempunyai kitab. Ketiga, yang

diduga mempuyai kitab. Ulama sepakat yang mempnyai kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai kitab adalah para penyembah

14

Harun Nasution, Islam Ditijau dari Berbagai Aspek, Jil. 1, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1979), h. 12-16

15


(26)

berhala, batu-batuan, binatang, matahari, bulan, dan lain sebagainya. Mereka yang diduga mempunyai kitab adalah para penganut Majusi.16

Nikah dengan wanita ahli kitab merdeka dan tidak berzina, berdasar atas zahir ayat adalah halal, baik ahli kitab dzimmiyyah maupun harbiyyah. Lafadz al-Musyrikin tidak mencakup ahli kitab. Kehalalan nikah dengan wanita ahli kitab adalah takhsis (kekhususan) atau istisna (pengecualian) dari larangan nikah dengan wanita-wanita musyrik pada umumnya.

Imam-imam madzhab empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama, yaitu wanita ahli kitab boleh dinikahi, sekalipun berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini kebenaran trinitas. Hal terakhir ini syirik yang nyata, tetapi karena mereka mempunyai Kitab Samawi mereka halal dinikahi sebagai takhsis dari Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman (Q.S. al-Baqarah: 221). Pentakhsisnya ialah “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhsanat) di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu” (Q.S. al-Maidah: 5).17

16

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah, M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaitsar, 2006), h. 142-144

17

H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 19


(27)

Maka dalam hal ini terdapat perbedaan para ulama atas tiga golongan:18 1. Golongan pertama berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab (Yahudi

atau Nasrani) halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini adalah jumhur ulama’. Golongan ini berdasarkan kepada firman Allah SWT Q.S. al-Maidah ayat 5 :

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik….. (Q.S. al-Maidah : 5)

Alasan kedua pada golongan ini adalah melihat kepada sejarah yang telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi wanita ahli

18

Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, Jil. I. (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2003), h. 287


(28)

kitab. Hal mana menunjukan bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal hukumnya.

Menurut mereka dari ayat di atas dapat ditarik dua argument. Pertama, ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab yang muhsanat; Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat penunjukan ayat ini terhadap hukum.19

Selain berdasarkan kepada Q.S. al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan Sunnah Nabi, dimana Nabi pernah menikah dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah al-Qibtiyyah (Kristen). Demikian pula sahabat Nabi termasuk senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah nikah dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.20

2. Golongan kedua berpendirian bahwa menikah dengan wanita ahli kitab hukumnya haram. Yang termuka dari kalangan sahabat dari golongan ini adalah Ibnu Umar. Ketika Ibnu Umar ditanya tentang nikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, ia menjawab “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musrik bagi kaum muslimin. Aku tidak tahu syirik, syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa

19

Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 130 20


(29)

Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seoarang di antara hamba Allah. Pendapat ini menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah.21 adapun dalil dipegang oleh golongan ini adalah firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah ayat 221:

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (Q.S. al-Baqarah: 221)

Dan firman Allah SWT Q.S. al-Mumtahanah ayat 10 :

Artinya: “Janganlah kamu pegang (yakni, ceraikanlah) perempuan-perempuan kafir yang kamu nikahi” (Q.S. al-Mumtahanah: 10)

Ayat di atas melarang menikahi wanita-wanita kafir. Ahli kitab termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi menuhankan Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa Ibnu Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT. Jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum mereka mati.

Adapun lafadz muhsanat menurut golongan ini di-istimal-kan kepada perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam, atau di-istimal-kan kepada pengertian

21

H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 22


(30)

bahwa kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu adalah masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.22

3. Golongan ketiga berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal hukumya, tapi karena situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain. Pandangan ini berdasarkan bahwa sayyidina Umar penah menyuruh sahabat untuk menceraikan wanita ahli kitab. Selain itu, kekhawatiran kaum laki-laki akan terikat hatinya pada istrinya, apalagi setelah mendapatkan keturunan. Dan dikhawatirkan pula ketentraman dan kenyamanan dalam rumah tangga yang menjadi tujuan tidak dapat tercapai.23

Adapun Hanafiah berpendapat, menikahi wanita ahli kitab yang berada Darul Harbi, merupakan pembuka pintu ‘fitnah”. Mendahulukan nikah dengan mereka adalah makruh tahrim, karena membawa kepada mafasid, nikah dengan wanita Dzimmiyah yang tunduk kepada Undang-Undang Islam adalah makruh tanzih. Di kalangan Malikiyah ada dua pendapat. Pertama, nikah dengan wanita ahli kitab makruh mutlak, baik dzimmiyah maupun harbiyah. Kedua, tidak makruh secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak.24

22

Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, h. 289 23

Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 136 24

H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 23-24


(31)

Menurut Imam Syafi’I mengatakan dihalalkan menikahi wanita-wanita ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah SWT menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang Masyhur (yakni Taurat dan Injil), dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani, adapun Majusi tidak termasuk. Dihalalkan pula menikahi wanita-wanita dari golongan Shabi’un dan Samirah dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al-Kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi demikian diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaimana diharamkan menikahi wanita Majusi.25 Imam Syafi’I juga menjelaskan bahwa kebolehan laki-laki mengawini wanita ahli kitab, apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an. Namun setelah diturunkannya al-Qur’an mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Berbeda dengan imam-imam yang lain yang membolehkan mengawini ahli kitab secara mutlak.26

25

Imam Syaf’I, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah: Imron Rosadi dan Imam Awaludin, Jilid II, Cet. 2. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), h. 351

26

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 344-345


(32)

Menjawab pertanyaan tentang menikahi Nasraniah dan Yahudiah, Ibnu Taimiah menjawab, nikah dengan wanita ahli kitab boleh, berdasarkan Q.S. al-Maidah ayat 5, ini pendapat jumhur salaf dan khalaf dari imam-imam madzhab empat. Ahli kitab tidak termasuk musyrikin. Ayat al-Baqarah umum, ayat al-Ma’idah khusus. Dapat juga dikatakan ayat al-Maidah nasikh dari ayat al-Baqarah.27

Menurut Qaul Mu’tamad dalam Madzhab Syafi’I, wanita ahli kitab yang halal dinikahi oleh orang muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagai agama keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rosul (yakni sebelum al-Qur’an diturunkan) tegasnya, orang yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sesudah al-Qur’an diturunkan, mereka itu tidaklah dianggap ahli kitab, karena terdapat perkataan min qoblikum (dari sebelum kamu) dalam surat al-Maidah ayat (5). perkataan min qoblikum menjadi qayd bagi ahli kitab yang dimasksud. Jalan fikiran madzhab Syafi’I ini mengakui bahwa ahli kitab itu bukan karena agamanya, melainkan karena menghormati asal keturunannya.28

Yusuf Qardhawi menatarjih pendapat jumhur, sebenarnya kebolehan mengawini wanita ahli kitab adalah benar, karena surat al-Ma’idah ayat 5 tersebut adalah ayat yang turun terakhir sebagaimana disebut dalam Hadits. Adapun surat al-Baqarah ayat (221) adalah umum dan ditakhsis oleh ayat tersebut . menurut

27

H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 20

28


(33)

Yusuf Qardhawi asal hukum nikah tersebut adalah mubah, dengan tujuan menimbulkan keinginannya memeluk agama Islam, mendekatkan hubungan Islam dan ahli kitab, dan melonggarkan toleransi antara keduanya. Namun, dengan kemubahan ini terikat dengan beberapa aturan yang pokok , antara lain:

a. Harus dapat dipercaya wanita ahli kitab tersebut benar-benar beriman kepada agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani, artinya secara garis besar beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Rosul SAW dan beriman kepada Hari Akhir.

b. Wanita tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya, karena Allah tidak sembarang membolehkan menikah dengan ahli kitab, bahkan menjadi syarat, sebagaimana dalam ayat pembolehannya. Dan wanita yang menjaga kehormatannya adalah wanita yang menjaga dirinya dari perbuatan zina, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Katsir.

c. Wanita tersebut bukan dari golongan yang memerangi dan memusuhi umat Islam. Terhadap dzimmiyah fuqoha membolehkannya, sedangkan harbiyyah tidak boleh. Pendapat ini dikemukakan Ibnu Abbas.

d. Dibalik perkawinan ini tidak terdapat fitnah atau mudharat yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi. Bila secara umum mudharat akan terjadi, maka pelarangannya secara umum,


(34)

namun bila mudharat secara khusus maka pengharamannya pada situasi tertentu saja. Diantara mudharatnya adalah pernikahan dengan wanita ahli kitab menjadi tersebar dan sering dilakukan, sementara wanita-wanita muslimah yang lebih layak terkesampingkan.29

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam mengawini wanita non muslim, baik ahli kitab maupun bukan, tidak diperbolehkan, yang telah dirumuskan pada pasal 40 (c). Larangan ini lebih mengambil kepada pendapat sebagian madzhab Syafi’I yang melihat keberadaan kitab mereka dinasakh oleh kehadiran al-Qur’an dan kajian empiris, bahwa perkawinan antar pemeluk agama banyak menimbulkan persoalan. Selain itu juga mengambil para pendapat Majelis Ulama Indonesia yang melarang perkawianan antar pemeluk agama.30

C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik

Islam melarang pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrikah, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221:

Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman….. “(Q.S. Al-Baqarah: 221)

29

Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid I, Penerjemah: As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 587-590

30


(35)

Fuqaha sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh nikah dengan wanita yang tidak beragama samawi, yaitu agama yang mempunyai kitab yang diturunkan Tuhan melalui Nabi yang namanya disebut dalam al-Qur’an. Setiap wanita yang tidak beragama samawi, tidak halal dinikahi. Mereka tergolong musyrikah yang termasuk ke dalam larangan umum.31

Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah yang haram dinikahi itu? menurut Ibnu Jarir al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dinikahi ialah musyrikah dari Bangsa Arab saja, karena Bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini, seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari non-Arab, seperti wanita Cina, India, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati, dan sebagainya. Muhammad Abduh juga sepakat dengan pendapat ini.32

31

H.Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 18

32


(36)

Jumhur berpendapat bahwa musyrikah adalah mereka yang beragama selain dari agama Islam, Yahudi, Nasrani di luar atau dalam arab, jadi hukum pernikahan terhadap mereka juga haram.33

Adapun menurut Yusuf Qardhawi, selain ayat diatas, dia menambahkan surat al-Mumtahanah ayat 10 :

Artinya:“……..Janganlah kamu pegang (yakni, ceraikanlah) perempuan-perempuan kafir yang kamu nikahi……” (Q.S. al-Mumtahanah: 10)

Konteks ayat ini beserta asbabun nuzul-nya, al-Kawafir adalah musyrikah, yakni al-Wastaniyah atau penyembah berhala. Hikmah pengharaman ini jelas, yaitu ketidak mungkinan bertemunya dengan keberhalaan. Selanjutnya penyembah berhala tidak mempnyai kitab suci yang mu’tabar dan tidak mempunyai Nabi yang dikenal dan diketahui. Dengan demikian, menurut Hardhawi al-Wasthaniyah dan Islam ada pada dua kutub yang saling bertentangan. Maka hukum menikahi wanita musyrikah haram, ditetapkan berdasarkan Ijma’ dan Nash yang jelas, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusyd pada Bidayatul Mujtahid.34 Sedangkna menurut Abu A’la al-Maududi, larangan tersebut karena hubungan dalam pernikahan ini, karena

33

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2003), h. 260

34


(37)

perbedaan agama dan kebudayaan antara keduanya, membuat hubungan itu hanya hubungan fisik saja, bukan menjadi hubungan yang membudaya yang menjadi azas pernikahan dalam Islam.35

D. Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim

Ulama telah sepakat, bahwa haram hukumnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non muslim, baik calon itu termasuk pemeluk agama yang mempuyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi, atupun pemeluk agama yang mempuyai kitab serupa kitab suci. Termasuk pula disini penganut animisme, ateisme, polotiesme dan sebagainya.36

Landasan pengharaman pernikahan wanita muslimah dengan non muslim adalah surat al-Baqarah ayat 221:

Artinya: “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman”. (Q.S. al-Baqarah: 221)

Imam Syafi’I berkata: apabila seorang wanita masuk Islam atau dilahirkan dalam keadaan Islam, atau salah seorang dari kedua orang tuanya masuk Islam

35

Abu A’la al-Maududi, Kawin Cerai Menurut Islam, Penerjemah: Ahmad Rais, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1995), h. 20

36


(38)

sementara ia masih anak-anak dan belum mencapai usia baligh, maka haram atas setiap laki-laki musyrik. Ahli kitab atau penyembah berhala untuk menikahinya dalam segala keadaan. Apabila kedua orang tuanya musyrik, lalu disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam dan ia memahaminya, maka Imam Syafi’I melarang wanita dinikahi oleh laki-laki musyrik. Namun bila disebutkan kepadanya sifat-sifat Islam tapi ia tidak memahimnya, maka Imam Syafi’I lebih menyukai jika orang musyrik dilarang untuk menikahiya.37

Diantara hikmah yang dikemukakan adalah kekhawatiran kehilangan kebebasan beragama dan kerena lemahnya pendirian sehingga dapat mudah terseret kepada murtad. Demikian juga dengan keturunan, dominan akan mengikuti agama bapaknya. Dalam hal ini ada banyak fakta kasus pemurtadan dengan cara-cara pernikahan.38 Selain itu menurut pangamatan Masjfuk Zuhdi, pernikahan antar agama menjadi salah satu sumber konflik rumah tangga yang dapat mengancam keutuhan dan kelaggengan rumah tangga.39

Dan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada pasal 44, yaitu: “seorang wanita muslim dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”

37

Imam Syaf’I, Ringkasan Kitab Al-Umm., h. 350 38

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, h. 259 39


(39)

E. Akibat Hukum Pernikahan Beda Agama 1. Kewarisan

Suatu permasalahan yang akan muncul, akibat dari pernikahan beda agama yaitu masalah kewarisan. Bagaimana penyelesaian pembagian harta waris dari orang tua beda agama, khususnya antara agama Islam dan bukan Islam. karena hanya agama Islam yang mengatur secara jelas mengenai pembagian harta waris. Adapun agama lain tidak mengatur secara jelas. Dalam agama Kristen Protestan dan Katolik, mereka memandang bahwa perbedaan agama tidak menghalangi seorang anak untuk mendapatkan harta waris dari orang tuanya, karena bagaimanapun anak yang telah lahir tidak dapat dibebankan sangsi tidak mendapat harta waris yang memang menjadi milikya hanya karena perbedaan agama dengan orang tuanya. Bagitu juga dengan agama Budha dan Hindu, dua agama ini menyerahkan kepada hukum Negara. Tapi menurut agama Hindu jika perkawinan beda agama dilakukan oleh kedua orang tuanya itu tidak sah secara agama, maka si anak yang dilahirkan pun akan jatuh hina, karena tidak diakui sebagai pewaris sah dari orang tuanya.

Adapun Kewarisan dalam Islam dikenal dengan istilah Fara’id, yaitu ketentuan-ketentuan tentang siapa saja yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkan warisan, dan berapa bagian yang harus didapat oleh mereka.40 berbicara hukum Islam berarti aturan tersebut mempunyai sumber hukum yang jelas dan ditetapkan semenjak awal

40


(40)

mula turunnya Islam. dasar tersebut adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Ijtihad.41 Dalam aturan tersebuit pula dibahas tentang syarat bagi ahli waris yang bisa menerima warisan, diantaranya karena hubungan kekarabatan baik darah atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba, dan ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Ada syarat lain yang harus terpenuhi, yaitu diantara pewaris dan ahli waris tidak ada halangan untuk saling mewarisi.42

Diantara halangan pewarisan tersebut adalah adanya perbedaan agama antara pewaris dan penerima waris, yaitu bila antara salah satu pewaris atau ahli waris beragama selain Islam. mengenai kedudukan berlainan agama sebagai penghalang pewarisan telah menjadi Ijma’seluruh umat Islam.43 hal ini dikarenakan Hadits Rasulullah SAW :

!"

# $

# $

!"

Artinya: Tidaklah saling mewarisi sesuatu di antara dua orang yang berlaianan agama. Orang Islam tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak mewarisi orang Islam” (H.R. Bukhari dan Muslim).

41Ibid

, h. 22-26 42Ibid

, h. 29 43

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h. 38


(41)

Hadits ini juga dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 141:

Artinya: “….. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (untuk menguasai orang-orang yang berima”. (QS.an-Nisa’:141)

Selain itu Rosulullah SAW juga pernah mempraktekan pembagian warisan, bahwa perbedaan agama menyebabkan antara mereka tidak saling mewarisi, yaitu pada saat Abu Thalib meninggal dunia. Abu Thalib belum masuk Islam dan meninggalkan empat orang anak. Uqail dan Talib yang belum masuk Islam, Ali serta Ja’far telah masuk Islam. Oleh Rosulullah SAW harta warisan diberikan kepada Uqail dan Talib. Ini menunjukkan bahwa perbedaan agama, menjadi penghalang saling mewarisi.44

Menurut Hadits di atas ulama-ulama termasyhur dari golongan sahabat, tabi’in, dan imam-imam madzhab bahwa perbedaan agama mutlak menjadi penghalang pewarisan. Jadi seorang muslim tidak dapat mewarisi ahli warisnya yang non-muslim, begitu juga sebaliknya. Namun demikian, Mu’adz, Muawiyah, Ibn al-Musayyab, Masruq, dan an-Nakha’I, berpendapat bahwa penghalang pewarisan karena perbedaan agama, tidak termasuk bagi orang muslim untuk mewarisi harta peninggalan ahli waris yang non muslim. Hal ini dilihat dari pendapat mereka:

44


(42)

sesungguhnya seorang muslim dapat mewarisi harta seorang ahli warisnya yang kafir, tetapi tidak sebalikya, seperti halnya seorang laki-laki muslim mengawini wanita kafir, sedangkan laki-laki kafir tidak boleh mengawini wanita muslim.45

Para ulama madzhab sepakat bahwa non-muslim tidak bisa mewarisi muslim, tetapi mereka berbeda pendapat apakah non-muslim bisa mewarisi muslim? imamiyah berpendapat bolehnya mewarisi non-muslim kepada muslim, sedangkan Madzhab yang empat tidak.46 Bila merujuk kepada yang pertama, memungkikan terjadinya murtad seorang muslim dari agama Islam, berarti untuk ayah dan anakanya yang beragama Islam ia tidak lagi mewarisi, maka dalam kasus kedua boleh jadi dalam keluarga seorang yang bukan Islam, seperti anak laki-laki, masuk Islam, maka bagi golongan Sunni hubungan kewarisan tetap terputus, sedangkan bagi syiah Imamiyah ia tetap berhak untuk mewarisi orang tuanya yang kafir tanpa berhak untuk diwarisi.47

Berdasarkan Hadits dan keterangan fiqih mawaris yang telah disepakati di atas, bahwa perbedaan agama, walaupun ada hubungan kekerabatan karena mushaharah, tidak dapat saling mewarisi. Perbedaan hukum waris itu berlaku pula pada anak-anakya, seperti yang dijangkau oleh Hadits. Oleh karena itu, pasangan

45

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 38 46

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, penerjemah: Masykur dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 541

47

Sukris Sarnadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transfrmatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 29


(43)

suami istri yang berlainan agama, kemungkinan mengalami benturan dalam hal kewarisan, karena pasangan suami istri tidak tunduk pada hukum yang sama.48

Meskipun ada yang berpendapat bahwa umat Islam bisa menerima pusaka dari kafir zimmi, sebagaimana yang diulas oleh Muhammad Amin Suma, dalam pemikiran Ibnu Taimiyah, Islam boleh menerima warisan dari kerabat (ahli waris) yang kafir zimmi, tetapi tidak sebaliknya. Ada pula diantara mereka menggunakan analogi kebolehan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab atau sebaliknya. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan jumhur ulama’. 49

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewaris sebagai penghalang mewarisi. KHI hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris, yaitu pada pasal 171 huruf (c): “ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempuyai hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

2. Perwalian dalam Pernikahan

Perwalian dalam pernikahan pada hakikatnya hanya pada agama Islam, selain agama Islam memadang perwalian anak dalam pernikahan hanya sebagai pelengkap,

48

Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 173 49Ibid


(44)

bukan syarat sah pernikahan. Sedangkan dalam agama Islam perwalian dalam pernikahan merupakan hal yang terpentig.

Sebagian besar fuqaha sepakat bahwa wali masuk dalam rukun pernikahan, hanya Hanafi mengatakan wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suami dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik perawan maupun janda.50 Hal ini mengisyaratkan bahwa tanpa wali yang sah, maka pernikahan seseorang dapat dipertanyakan.

Aturan ini didasarkan pada Hadits Rosulullah SAW :

"

%& '( $ # '

)

* +,$ﻥ .

Artinya: “barang siapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal”. (HR Empat Ahli Hadits keculai Nasa’I)

Hadits lain Rosulullah SAW bersabda:

/ 0 1

2 3 $ﻥ

Artinya: “ tidak sah nikah itu tanpa wali dan dua orsang saksi”. (HR. Ahmad)51

Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (pasal 19 KHI). Apabila tidak dipenuhi maka status perkawinannya tidak sah, ketentuan ini

50

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, h. 345 51


(45)

berdasarkan Hadits diatas.52 karena keberadaan wali menjadi salah satu rukun nikah, maka ada syarat wali yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah perwalian, diantaranya adalah Islam, Baligh, berakal, laki-laki, adil, dan tidak sedang ihram atau umrah.53 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat (1) dirumuskan: “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.”

Yang menjadi syarat wali disebutkan adalah muslim, maka orang tua yag non muslim tidak dapat menikahkan anak perempuanya yang muslim. Sangat disangsikan orang yang bukan Islam dapat bertindak menjadi wali dalam pernikahan seorang perempuan yang Islam.54 Hal serupa juga ditegaskan oleh Sayyid Sabiq,55 bahwa syarat Islam ditambahkan jika menikah adalah Islam. Sedangkan untuk selain Islam tidak boleh menurut syara’, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 141:

Artinya: “….. dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (untuk menguasai orang-orang yang beriman.)

52

Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris., h. 83 53

Ahmad Sukardja dan Bakri A. Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan, dan Hukum Perdata/BW,h. 28

54

Asaf A.A. Fyzee dkk, Pokok-Pokok Hukum Islam I, penejemah: Arifin Bey, (Jakarta: Tinta Mas, 1959), h. 272

55


(46)

Menurut kesepakatan para ulama, diantaranya Imam Malik, Syafi’I, Abu Ubaid, Ahmad, dan para penganut Madzhab Hanafi, seorang kafir sama sekali tidak diperbolehkan menikahkan seorang muslimah, dan tidak pula seorang muslim boleh menikahkan wanita kafir, kecuali jika orang muslim itu seorang hakim atau tuan dari budak wanita kafir. Adapun seorang hakim, ia mempunyai hak perwalian atas ahlu dzimmah (wanita kafir yang tinggal di negri Islam) yang tidak mempunyai wali, karena perwaliannya bersifat umum bagi penduduk Darul Islam, dan ahlu dzimmah itu termasuk dari penduduk dari penduduk Darul Islam, sehingga ia ditetapkan bagi hakim hak perwalian atasnya, sebagaimana atas wanita muslimah. Sedangkan seorang majikan muslim mempunyai hak atas budak wanita kafir untuk menikahkannya, karena wanita kafir itu tidak boleh dinikahkan oleh muslim. Jika seorang muslim menikahi wanita dzimmi, maka wali dari wanita adalah orang kafir.56

Apabila terjadi perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim, maka sang ayah tidak punya hak perwalian terhadap anak perempuan dalam pernikahan. Karena melihat esensi dari pentingnya wali sebagai pengarah dan pemberi tanggung jawab kepada calon suami serta melihat syarat yang telah disepakati oleh ulama- ulama jumhur dan pasal 20 ayat (1) KHI, maka seorang ayah non muslim bukan termasuk wali yang ditetapkan.

56


(47)

Dalam hal ini, berarti perwalian sesuai dengan kedekatan hubungan dengan calon perempuan, atau sampai akirnya harus memakai wali hakim, sesuai dengan Pasal 21, 22, 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI)


(48)

BAB III

KONSEP HAK ASASI MANUSIA DALAM KEBEBASAN BERAGAMA

A. Pengertian HAM, Perbedaannya Menurut Islam dan Barat

Hak asasi manusia (HAM) pada awalnya merupakan terjemahan dari kata “droits de I’homme” (Prancis), yang terjemahan harfiahnya ialah hak-hak manusia, yaitu suatu hak-hak manusia dengan warga Negara yang dikeluarkan di Prancis dalam tahun 1789.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan kata tersebut di dalam bahasa inggrisnya disebut pada mulanya dengan istilah Fundamental human Rights, kemudian disingkat Human Rights. Sementara HAM dalam Islam dikenal dengan isltilah Huquq al-Insan ad-Dhoruriyah dan huquq Allah, dalam Islam Huquq al-Insan ad-Dhoruriyah dan huquq Allah tak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri tanpa ada keterkaitan satu dengan yang lain.57

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, hak asasi di artikan sebagai hak dasar atau pokok, seperti hak mendapatkan hidup dan hak mendapatkan perlindungan.

57 Pendidikan Kewarnageraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masayarakat


(49)

Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kondratnya, yang tak dapat dipisahkan dari pada hekekatnya dan karena bersifat suci. Sementara itu, Jan Materson, seperti dikutip Baharudin Lopa mengartikan hak-hak asasi manusia sebagai hak yang melekat pada manusia, yang tanpa denganya manusia mustahil hidup sebagai manusia. Tapi Baharudin Lopa mengomentari bahwa kalimat mustahil dapat hidup sebagai manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia di samping mempunyai hak juga harus bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya 58

Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai hak-hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pasa hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlidungan harkat dan martabat manusia”59

Pengertian HAM juga dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yakni sudut pandang HAM sebagai substansi dan HAM sebagai wacana. Sebagai substansi hak

58

Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), h. 18 59 Pendidikan Kewarnageraan (Civic Education), Demokrasi, HAM, dan Masayarakat


(50)

asasi manusia adalah modal hidup manusia yang dimiliki oleh setiap individu sejak ia lahir. Rumusan yang lebih baku seperti yang diungkapkan Yusril Ihza Mahendra yang senada dengan Barudin Lopa. Yusril mengungkapkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasariah yang dimiliki manusia karena kemanusianya. Dari defenisi Baharudin Lopa dan Yusril Ihza Mahendra dapat dipahami bahwa hak asasi manusia sebagai substansi adalah modal dasar yang dimiliki oleh setiap individu sejak lahir atau secara kodrati (tanpa usaha). Dalam pandangan orang yang menganut kepercayaan, hak itu diakui sebagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan dalam pandangan kaun animis dan filosof hukum kodrat hak-hak tersebut dianggap sebagai pemberian alam (given of nature). Dengan demikian, manusia diasumsikan tidak mempunyai perbedaan antara satu sama lain.60

Menurut Al-Maududi hak-hak tersebut adalah pemberian Tuhan kepada seorang semenjak lahir ke alam dunia. Sebab, kalau hak itu dianggap pemberian manusia, ia dapat ditarik kembali dengan cara yang sama ketika hak itu diberikan. Karena hak asasi datangnya dari Tuhan, maka tak satupun lembaga atau perorangan di dunia ini berhak mencabut atau membatalkannya.

Hak-hak asasi yang dianggap sebagai hak yang dibawa sejak lahir ke dunia itu sebenarnya adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa (hak yang bersifat kodrati). Karenanya tidak ada satu kekuasaanpun di dunia dapat mencabutnya. Meskipun demikian, menurut Baharudin Lopa, bukan berarti menusia dengan

60

Kumpulan Hasil Penelitian 2002, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan Implementasi di Indonesia, oleh Jainal Aripin, Dkk. h. 150


(51)

haknya itu dapat berbuat semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-hak dan kepentingan orang lain. Karena itu HAM atas dasar yang paling fundamental, yaitu hak kebebasan dan hak persamaan.61

Rumusan tentang hak hak-hak asasi manusia yang dianggap legal dan dijadikan standar pada saat ini adalah yang diterbitkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dideklarisakan pada 10 Desember 1948 dan lebih dikenal dengan “The Universal Declaration Of Human Rights” (Deklarasi semesta tentang hak-hak asasi manusia), disingkat dengan UDHR. Rumusan ini terdiri dari 30 pasal.62 Pertimbangan-pertimbangan dideklerasikan hak asasi manusia ini adalah untuk menghargai harkat dan martabat alami manusia, sehingga dengan demikian ia bisa hidup bebas dan menigkatkan taraf hidupnya itu secara layak.63 Nagara-negara maju (barat) pada umumnya mengacu kepada HAM yang dideklarasikan oleh Majlis PBB. Walaupun hampir diterima seluruh anggota PBB, tapi hak-hak asasi tersebut

61

Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, h. 19 62Ibid

, h. 24 63

Kumpulan Hasil Penelitian 2002, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan Implementasi di Indonesia, oleh Jainal Aripin, Dkk h. 147


(52)

belum tuntas disepakati dan belum dapat mengakomodasi keinginan bangsa-bangsa di dunia yang amat beragam latar belakang budaya dan agamanya.64

Ada tiga pandangan dari kelompok agama, termasuk umat Islam terhadap HAM yang dideklarasikan itu, yaitu: Pertama, mereka yang menerima tanpa reserve dengan alasan bahwa HAM itu sudah sejalan dengan ajaran Islam. Kedua, mereka yang menilai bahwa konsep HAM tersebut bertolak belakang dengan ajaran Islam. Ketiga, posisi kelompok moderat yang mengambil sikap hati-hati, yakni menerima dengan beberapa perubahan dan modifikasi seperlunya.65

Islam memandang rumusan-rumusan HAM yang terdapat dalam UDHR, ada permasalahan yang prinsipil yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti pasal 16 mengenai perkawinan antar umat yang berbeda agama dan pasal 18 tentang hak kebebasan keluar masuk agama. Dalam pandangan Islam, perkawinan seorang muslim dengan non muslim terlarang (haram), sedangkan kebebasan keluar masuk agama adalah suatu kemurtadan. Atas dasar ini maka negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI) membuat suatu rumusan tentang HAM berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang dideklarasikan di Kairo, Mesir tanggal 5 Agustus 1990. Rumusan ini terdiri dari 25 pasal, kemudian di sebut dengan Cairo Declaration, disingkat dengan CD. Dekalarasi Kairo tidaklah membentuk

64

Ahmad Kosasih, HAM Dalam perspektif Islam, h. 24 65Ibid


(53)

rumusan HAM yang baru sama sekali tapi mengoreksi pasal-pasal yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam, sedangkan pada pasal yang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam diberi landasan Al-Qur’an dan Sunnah.66

Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dan HAM dalam konsep barat, antara lain:

1. HAM dalam Islam bersumber pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Dasar HAM dalam Al-Qur’an dalam surat al-Hujurat ayat 13:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…..”

Dimana dikatakan bahwa manusia hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal, artinya supaya manusia saling berhubungan dan saling membantu serta saling memberi manfaat, tidak mungkin terjadi hubungan yang serasi kalau tidak terpelihara hak persamaan dan kebebasan. Bagaimana bisa kita berhubungan dengan seorang kalau ia ditekan atau dianggap berstatus lebih tinggi rendah dari pada kita. Sedangkan

66Ibid , h. 20


(54)

HAM Barat (UDHR) bersumber pada pemikiran filosofis semata, karena sepenuhnya produk otak manusia.

2. HAM dalam Islam bersifat Theosentrik, artinya manusia dalam hal ini dilihat hanya sebagai Makhluk yang dititipi hak-hak dasar oleh Tuhan, bukan sebagai pemilik mutlak. Oleh karena itu wajib memeliharanya sesuai dengan aturan Tuhan. Dalam penegakkan, selain untuk kepentingan kemanusian juga didasari atas kepatuhan dan ketaatan melaksanakan perintah Tuhan dan dalam mencari keridhoannya. Maka di dalam penegakkan HAM itu tidak boleh berbenturan dengan ajaran syari’at secara komprehensif. Sedangkan HAM Barat lebih bersifat antrofosentrik, maksudnya ialah manusialah yang menjadi fokus perhatian utama. manusia dilihat sebagai pemilik sepenuhnya hak tersebut.

3. HAM dalam Islam mengutamakan keseimbagan antara hak dan kewajiban pada seseorang. Karena itu, kepentingan sosial sangat diperhatikan. Penggunaan hak-hak pribadi di dalam Islam tidak boleh merugikan atau mengabaikan kepentingan orang lain. apabila seseorang melakukan perbuatan sebagai haknya, tapi perbuatannya merugikan orang lain maka haknya boleh dibatasi. Sedangkan HAM barat lebih mengutamakan hak dari pada kewajiban, karena itu ia lebih terkesan individualistik. Dalam hal ini,


(55)

penggunaan hak oleh seseorang kurang memperhatikan kewajiban memelihara hak orang lain.67

Jadi dapat disimpulakan bahwa HAM menurut barat adalah semata-mata hasil otak manusia, yang lebih mengutamakan manusia untuk melakukan kebebasan tanpa ada batasan-batasan. Sedangkan HAM dalam Islam merupakan salah satu bagian dari pola umum syari’at. Hak-hak ini sesuci hukum-hukum syari’at lainnya dan dengan demikian hak-hak ini harus diindahkan sesuai dengan syari’at. Tidak ada ketetapan Allah yang dapat dikurangi ataupun dibatasi demi hak-hak manusia. Jadi semua hukum yang telah ditetapkan syari’at itu membatasi ruang lingkup hak-hak manusia.68

Menurut Alwi Sihab, HAM dalam perspektif barat menempatkan manusia dalam suatu seting di mana hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut. Hak asasi manusia dinilai sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran. Sedangkan HAM dalam perspektif Islam, menganggap dan meyakini bahwa hak-hak manusia merupakan anugrah Tuhan oleh karenanya setiap individu akan merasa bertanggung jawab kepada Tuhan.

Pada hakikatnya, HAM terdiri dari dua Hak fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan, dari kedua hak ini lahir hak-hak yang lain. Adapun hak yang dikenal saat ini adalah meliputi segala hak-hak dasar, yaitu hak hidup, hak

67Ibid

, h. 36-37 68

Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Penerjemah: Abdul Rochim, (Jakarta: Gema Insani press, 1996), h. 100


(56)

berpendapat, hak beragama, hak penghidupan yang layak, hak persamaan di muka hukum, hak milik, hak memperoleh kecerdasan intelektual dan sebagainya.

Dan dalam sekripsi ini hanya membahas hak kebebasan memilih agama, selanjutnya akan dijelaskan konsep hak kebebasan dalan konsep Islam dan Barat, serta dalam Konstitusi.

B. Hak Kebebesan Beragama Dalam Konsep Islam

Agama Islam memberikan hak kebebasan memilih agama dan kepercayaan kepada seluruh umat manusia.69 Sehubungan dengan ini Al-Qur’an menyebutkan antara lain:

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah: 256)

69Ibid, h. 74


(57)

Artinya: “Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir……". (Q.S. al-Kahfi; 29)

Artinya:“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”.

(Q.S. Yunus: 99)

Al-Qur’an secara tegas menentang pemaksaan agama dan menekankan bahwa iman dan kafir, petunjuk yang benar dan kesesatan merupakan hak Allah untuk memberi atau menahannya. Prinsip ini secara jelas ditujukan kepada Nabi Muhammad yang tecantum dalam surat Yunus ayat 99. Prinsip kebebasan memilih berkenaan dengan keyakinan pribadi ditentukan oleh kekuasaan dan pengetahuan Allah yang abadi dan mutlak. Namun demikian, bahwa kekuasaan Allah dibatasi keadilan-Nya sehingga berimplikasi pada kebebasan mutlak manusia untuk memilih. Manusia diberi kebebasan untuk beriman atau kafir seperti pada surat al-Kahfi ayat 29, tapi dengan keadilan Allah maka yang beriman baginya pahala yang abadi dan yang kafir baginya hukuman yang kekal. Kebebasan untuk beriman atau kafir setelah mengetahui kebenaran, menyiratkan adanya kebebasan beragama dan tanggung


(58)

jawab pribadi. Ini juga ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 256. Tapi kebebasan beragama tidak berarti anarki religius yang tak bertanggung jawab, lanjutan ayat ini menyatakan “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah”. Dan konsekuensi dari ini dijelaskan pada akhir ayat, “karena itu barang siapa yang ingkar pada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. 70

Pada piagam madinah juga dijelaskan pada pasal 25, disebutkan “bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang-orang-orang Islam agama mereka”. Pasal ini memberikan jaminan kebebasan beragama. Diantara wujud kebebasan beragama adalah beribadat menurut ajaran agama masing-masing. Dalam kehidupan bersama dengan orang-orang Islam, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama mereka. Islam memang menunjukan sikap toleran terhadap agama lain. 71

Umat Islam diperbolehkan mengajak orang-orang non muslim untuk menuju jalan Islam, tapi tidak boleh mempengaruhi dengan cara melakukan tekanan-tekanan social dan politik. Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan petunjuk Allah, Beliau menyadari tidak akan memaksa seorangpun untuk mengikuti agama Islam.

70

Mahmoud Mustafa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen, Penterjemah: Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 299

71

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), h. 124


(59)

sepanjang hidup Beliau menganut prinsip kebebasan hati nurani dan keyakinan. 72 Nabi Muhammad tidak memaksa rakyatnya untuk mengubah agama, ia hanya mendakwahkan Islam, soal konversi ke agama Islam tergantung kepada kesadaran mereka. Disebutkan dalam piagam madinah bahwa orang-orang musyrik yang hidup pada masa beliau tidak dinyatakan sebagai musuh-musuh orang Islam. Kepada mereka disampaikan dakwah tidak dengan paksaan. Adapun tindakan kekerasan dan perang yang dilakukan Nabi Muhammad terhadap orang-orang musyrik bukan karena perbedaan agama atau mereka menyembah berhala tapi karena penghianatan politik dan pembunuhan yang mereka lakukan terhadap utusan Nabi Muhammad untuk mengajarkan agama.73

Berdasarkan ayat-ayat dan keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa masalah menganut suatu agama atau kepercayaan diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk memilihnya, tidak ada paksaan-paksaan dalam memilih agama dari siapapun. Islam hanya menyuruh untuk berda’wah, menyeruh, mengajak dan memimbing kepada kebenaran. Dengan tidak ada paksaan dalam beragama akan menimbulkan sikap tolerans terhadap penganut agama-agama lain untuk hidup berdampingan, bekerjasama, dan berlaku adil, selama mereka tidak mengganggu ketentraman umat Islam.74

72

Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 74 73

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, h. 126

74


(60)

Untuk mengimplementasikan pesan-pesan dari ayat-ayat di atas guna terciptanya suatu kerukunan hidup antar umat beragama dalam suatu Negara, Deklearasi Kairo (CD) menegaskan prinsipnya sebagaimana tercantum dalam pasal 10 berikut:

“Islam adalah agama yang murni ciptaan alam (Allah YME). Islam melarang melakukan paksaan dalam bentuk apapun atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau ketidak tahuan seseorang untuk mengubah agamanya atau menjadi atheis”.

C. Hak Kebebasan Beragama Dalam Konsep Barat (UDHR)

Hak kebebasan beragama dalam konsep Barat telah dideklarasikan dalam The Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) pada pasal 18, yaitu:

“Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama; hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaanya dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum maupun tersendiri”

Sehubungan dengan hak kebebasan memilih agama pada pasal di atas, yakni semua orang memiliki hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak


(61)

ini mencakup kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sesuai pilihannya, kebebasan baik secara individual maupun bersama-sama, baik di tempat umum maupun privat untuk menyatakan agama atau kepercayaan dalam pemujaan, pelaksanaan perintah agama, praktik dan pengajaran.

Pada awalnya pasal ini tidak mendapat pertentangan, kontroversi baru timbul saat ada usaha untuk mendefinisikin isinya, yaitu kebebasan berganti atau berpindah agama atau kepercayaan. Ini akan dapat mengakibatkan salah tafsir, terutama pada pribadi yang tidak berdasarkan kesadaran. Oleh karena itu, Negara-negara muslim mengusulkan agar klausul ini dihapus. Dan pada akhirnya, kompromi yang diterima adalah pengakuan atas hak individu untuk “memeluk atau menganut agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya”.75

D. Hak Kebebesan Beragama Dalam Konstitusi (UUD 1945)

Sebelumnya terjadi perdebatan antara para tokoh nasional tentang HAM (Hak Asasi Manusia) yang diakomodasi dalam konstitusi. Satu pihak yang diwakili Soekarno dan Soepomo memandang bahwa Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi asas kekeluargaan tidak mungkin mengakomodasi HAM di dalam konstitusi, karena konsep tersebut lahir dari ideology liberalisme dan individualisme. Sedangkan di pihak lain yaitu Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin,

75 Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, hak-hak

perempuan, dan Non-Muslim, (Jakarta: Center for the study of Religion and Culture UIN Syahid, 2007), h. 15


(62)

berpendapat bahwa HAM harus dituangkan dalam konstitusi, karena kekhawatiran akan munculnya otoritarianisme dan kesewenang-wenangan penguasa. Walaupun adanya pertentangan diantara keduabelah pihak, akhirnya HAM dimuat dalam konstitusi. 76

Mengenai hak-hak asasi manusia telah disempurnakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan telah diatur secara rinci seiring dengan bergulirnya reformasi yang terjadi pada tahun 1998, karena munculnya kesadaran bangsa yang sedemikian kuat untuk menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusian dan menjadi pedoman bagi seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai peradaban manusia yang ideal sehingga kita bisa mensejajarkan diri di antara bangsa-bangsa beradab. Sebelumnya mengenai hak asasi manusia diatur pada pasal 27 dan pasal 28. Setelah UUD 1945 diamandemen, mengenai hak-hak asasi manusia secara tekhnis dijelasakan lebih lanjut dan ditambahkan BAB X A pasal 28A sampai dengan pasal 28J.77

Kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa ber-bhineka. Kemajemukannya antara lain terletak pada keyakinan dan agama. Kemajemukan masyarakat dalam hal agama tersebut merupakan sumber kerawanan sosial apabila pembinaan kehidupan beragama tidak tertata dengan baik. Agama adalah masalah

76

Kumpulan Hasil Penelitian 2002, Hak Asasi Manusia dalam Tinjauan Islam Dan Implementasi di Indonesia, oleh Jainal Aripin, Dkk., h. 151

77

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 30-31


(63)

yang peka, yang jika tidak tertanam saling pengertian dan toleransi diantara pemeluk agama yang berbeda-beda, akan mudah menimbulkan pertentangan, bentrokan, bahkan permusuhan. Oleh karena itu, Negara memberikan kebebasan beragama, agar terciptanya perdamaian dan toleransi antara pemeluk agama.78 Secara konstitusional, kehidupan beragama di Indonesia telah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), berbunyi:

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dankepercayaan itu.

Memeluk suatu agama yang diyakini seseorang adalah sesuatu yang bersifat hakiki. Kebebasan beragama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi lainnya, karena hak ini langsung berkaitan dengan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.79 Selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga dijelaskan mengenai kebebasan beragama pada pasal 28E ayat (1) dan (2), berbunyi:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

78

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk,, h. 167

79

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, h. 28


(64)

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Suatu usaha pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama di seluruh Negara Indonesia. Pemerintah menjamin kebebasan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan sekaligus menjamin, melindungi, membina, mengembangkan serta memberikan bimbingan dan pengarahan agar kehidupan beragama lebih berkembang dan serasi dengan kebijaksanaan pemerintah dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara.80

80

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang dasar hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk, h. 168


(1)

R.I. Suhartin. C, Cara Mendidik Anak dalam Keluarga Masa Kini, Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1986

Ali Muhammad, Rusjdi, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Syari’at Islam; Mengenal Jati Diri Manusia, Jakarta: Arraniri Pres, 2004

Budi Hadrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta: PT. Khairul Bayaan, 2003

LAMPIRAN I

NAMA: Sriastuti (Wanita Muslim yang suamianya beragama Kristen) 1. Kapan Ibu menikah dengan pak Basuki?

• Saya menikah pada Bulan Desember tahun 1997

2. Apakah Ibu tahu agama pak Basuki yang sebenarnya pada waktu itu? • Ya, saya tahu, agamanya nasrani, tapi karena ketika menikah dia mau dengan

cara Islam dan menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat di depan seorang penghulu dan Akhirnya saya mau.

3. Di mana Ibu menikah dan siapa yang menjadi wali Ibu?

• Saya menikah di KUA Bogor, dan yang menjadi wali saya adalah seorang Hakim


(2)

• Anak saya sekarang berjumlah tiga orang; anak pertama berumur sepuluh tahun (kelas lima SD), anak kedua berumur tujuh tahun (kelas 2 SD) dan anak ketiga berumur satu tahun

5. Apakah Ibu tahu akibat-akibat hukum dalam Islam dari pernikahan dengan Pak Basuki sebelumnya terhadap anak-anak?

• Tidak tahu, tapi saya hanya menghawatirkan bagaimana agama anak-anak 6. Sekarang apakah anak ibu yang pertama sudah mengerti tentang

agamaya?

• Ya, ia sudah mengerti, ia sering menanyakan agamanya, karena ia selalu melihat teman-temannya belajar membaca Al-Qur’an dan di sekolah bersama teman-temannya belajar tentang agama Islam, tapi ia tidak punya buku tentang agama Islam karena dilarang oleh ayahnya (pak Basuki).

7. Kalau anak Ibu ditanya, ia mau ikut agama Ibu atau Agama pak Basuki?

• Anak saya itu cendrung mau ikut agama saya (Islam), karena dekat dengan saya dan ia sering bergaul dengan teman-temannya yang beragama Islam 8. Ketika menikah dengan Ibu pak Basuki beragama Islam, kenapa

sekarang pak Basuki pindah agama lagi?

• Karena keluarga kami tidak mencukupi dalam keuangan, suami saya (pak Basuki) hanya seorang kuli bangunan yang penghasilan tidak menentu. Suatu saat ia bertemu teman lamanya yang beragama Kristen, kemudian setiap hari


(3)

minggu mengajaknya pergi ke gereja. Dan gereja selalu memberikan sembako dan uang tapi dengan syarat mengajak saya dan anak-anak beragama Kristen

9. Apakah Ibu dan anak-anak mau diajak pak Basuki pindah ke agama Kristen?

• Kalau saya masih berkeyakinan dengan agama Islam dan anak saya yang pertama (Agus Wiyanto) juga ingin ikut agama saya, tapi suami saya selalu memaksa Agus ke gereja dengan paksa. Kalau tidak mau suami saya memukul dan Agus menangis, karena ia sering tidak mau

10.Bagaimana keadaan Agus sekarang ini?

• Agus setelah pulang sekolah hanya di rumah saja, karena dilarang oleh ayahnya untuk bermain dengan teman-temanya. Ia sering merasa minder. Ia ingin belajar sholat dan membaca al-Qur’an, tapi ia tidak berani karena takut ketahuan ayahnya

11.Apa yang ibu lakukan terhadap Agus?

• Agus sangat dekat dengan saya, ia ingin ikut agama saya, tapi kalau saya mengajarkan tentang agama Islam suami saya sangat marah. Maka saya mengajarkannya tentang agama Islam dengan diam-diam


(4)

Sriastuti

LAMPIRAN II

NAMA: Agus Wiyanto (anak pertama dari Ibu Sriastuti dan pak Basuki)

1. Apakah agus tahu agama ayah dan Ibumu?

• Ya, saya tahu, ayah beragama Kristen dan Ibu beragama Islam

2. Bagaiamana kedua orang tuamu mengajarkan agama kepadamu?

• Ayah sering mengajakku setiap hari minggu ke gereja, kata ayah untuk beribadah. Sedangkan Ibu menyuruhku untuk belajar membaca Al-Qur’an bersama teman-temanku, tapi sembunyi-sembunyi dari ayah karena ayah sering marah kalau saya belajar tentang agama Islam.

3. Agus sekarang memilih Agama siapa? Ikut agama ayahmu atau Agama Ibumu?


(5)

• Sebenarnya Saya ingin ikut agama Ibu, tapi ayah saya sangat marah-marah dan memaksa bahkan sering memukul kalau saya tidak mau ke gereja sehingga saya sering menangis. Ayah melarang untuk bermain keluar rumah. 4. Apakah Ibu Agus juga memaksa apabila menyuruh belajar membaca

Al-Qur’an?

• Tidak, karena saya ingin sekali belajar pelajaran agama Islam dan membaca Al-Qur’an seperti teman-teman saya. Ibu hanya menyuruh saja tapi tidak memaksa seperti memaksa.

5. Bagaimana keadaan Agus sekarang dengan perbedaan agama orang tua?

• Sekarang saya bingung dan merasa tertekan oleh ayah, maka sekarang saya kalau diajak ayah ke gereja saya ikut walaupun dengan keadaan terpaksa. Dan kalau di sekolah saya belajar membaca al-Qur’an dan Sholat juga bersama teman-teman.

Yang Diwawancara


(6)