Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan

6

Bab II SISTEMATIKA TAFAKKUR

A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan

1. Pengertian Tafakkur Dalam surat As-Shad ayat ke-29 terdapat firman Allah SWT :           Artinya:”Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat- ayatnya dan agar orang – orang yang berakal sehat mendapat pelajaran . 1 Dalam ayat ini terdapat dua aktivitas ibadah untuk memahami Al – Qur’an sebagai sumber ilmu yaitu aktivitas tadabbur penghayatan dan aktivitas tadzakkur mengingat – ingat . Keduanya merupakan bagian dari aktivitas berpikir tafakkur . Jadi, proses berpikir tafakkur dalam Al- Qur’an melibatkan dua faktor esensial yaitu hati sebagai obyek tadabbur dan akal dalam proses tadzakkur. Dalam kolaborasi keduanya tercipta kesimpulan dan prosesnya dinamakan tafakkur. Asal kata tafakkur berasal dari suku kata”fakara”,”fakr” dan “fikr” yang berarti mempergunakan akal dalam sesuatu.“Fakara”,“afkara” dan “tafakkara” semua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu berpikir atau memikirkan dan “fakara fisy – sya’i” artinya memikirkan tentang sesuatu. Dalam buku mufradat Al- Qur’an disebutkan, “tafakkur adalah kekuatan yang mampu memicu pengetahuan menjadi yang diketahui, perguliran kekuatan sesuai dengan pandangan akal”. Itu terjadi pada manusia dan tidak terjadi pada binatang, serta tidak mungkin dinyatakan kecuali pada 1 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1995 Cet. 1995, h.736 apa yang mungkin dapat diperoleh gambarannya di dalam hati. Maka di dalam sebuah riwayat dikatakan, “ Pikirkanlah tentang nikmat – nikmat Allah dan jangan memikirkan tentang zat Allah, sebab Allah Maha Suci dari gambaran yang dapat diungkapkan” . 2 Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat ke-8:                         Artimya:“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang kejadian diri mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di anatara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak di antara manusia benar – benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”. 3 “Rajulun fakir” artinya orang yang banyak pemikiran, kebalikan dari kata “fakr”menggosok, menggaruk, tetapi “fakr” digunakan dalam segi makna yaitu memecahkan dan membahas perkara agar sampai pada hakikatnya. 4 Definisi tafakkur menurut Imam Al- Ghazali adalah “ menghadirkan dua makrifat dan dalam hati agar dapat membuah dari keduanya akan buah yang ketiga. 5 Imam Al -Ghazali menyebutkan hati sebagai basis kronologis pengambilan kesimpulan dan mensyaratkan pengetahuan – pengetahuan elementer sebagai generalisasi makna rasional dan intuisi dalam produksi kesimpulan – kesimpulan baru. Titik kumulatif tafakkur adalah daya 2 Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, Jakarta: Cakrawala, 2008 Cet. І, h.7-8 3 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya Semarang: Toha Putra, 1995 Cet. 1995, h. 642 4 Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, Jakarta: Cakrawala, 2008 Cet. І, h.8 5 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Semarang:Pustaka Asy-Sifa, 2003 Cet. 2003, h.238 fungsional hati sebagai obyek sentral dalam wacana – wacana tasawuf sufistik . Pemikiran juga bisa dinamakan pandangan, karena ia adalah penelusuran dengan hati terhadap objek yang dipandang. Dinamakan mengambil pelajaran i’tibar. “I’tibar” adalah bentuk “ ifti’al” dari kata “ ubur” menyeberang, karena ia beralih kepada pandangan yang lain, atau dari hal yang dipikirkan itu beralih kepada yang lain. Lalu dari hal yang dipikirkannya itu beralih menjadi pengetahuan ketiga , dan itulah yang dimaksud dengan mengambil pelajaran. 6 Adanya variasi pemahaman ini mengindikasikan bahwa dalam prosesnya tafakkur nantinya akan terlibat dalam turunan-turunan kualitatif yang disesuaikan dengan bentuk-bentuk struktural kajian ilmunya. Ini menimbulkan sebuah pemahaman multi-dimensi yang membentuk sebuah kesimpulan bahwa tafakkur merupakan ritual ibadah yang terorganisir dalam runtutan mendalam antara wujud partikulariat akal dengan dimensi “dzauq “yang nantinya akan membentuk sebuah pemahaman bipolar. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke-82:               Artinya:“ Maka tidaklah mereka menghayati mendalam Al Quran ? Sekiranya Al Qur’an itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. 7 Dalam ayat di atas tafakkur identik dengan penghayatan tadabbur karena ia memandang pada akhir-akhir perkara dan akibatnya menghayati perkataan. Menghayati perkataan itu dengan memperhatikan awal dan akhirnya. Kemudian mengulang lagi perhatiannya selama beberapa kali. 6 Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, Jakarta: Cakrawala, 2008 Cet. І, h.6 7 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya,Semarang:Toha Putra, 1995 h,232 Maka, susunan katanya berdasarkan bentuk “tafaul” seperti “tajaru” mengeruk, ”tafahum”memahami dan “tabayun” mengklarifikasi. 8 Maksudnya proses tafakkur adalah aplikasi tadabbur yang merupakan proses eksplorasi menyeluruh terhadap satu batas kesatuan korelatif yang bermuara terhadap pemahaman tauhid. Dalam ayat di atas terdapat dua batas dwi-fungsional yang mengindikasikan dua dimensi pemahaman logika dan esoterika yang tersurat pada kata Al-Qur’an dan Allah SWT. Al-Qur’an sarat dengan tafsiran yang menerima aplikasi-aplikasi justifikasi akal dan hati menuju konsep ketauhidan. Ada tafsiran yang membuka akses dalam proses berpikir yang memberikan sebuah hierarki global konsep-konsep keesaan Tuhan yang menerima secara terbuka ruang-ruang pemahaman universal yang diisyaratkan dengan keanekaragaman kekuatan aqidah, simbolisme ibadah, corak aplikatif syariat dan sebagainya yang terstruktur dalam firman-firman suci. Terkadang Al-Qur’an telah menjadi sebuah pintu transendensi dalam wujud tafsiran mistis yang memberikan sebuah wujud pemahaman esoteris yang dapat dicapai dengan sebuah metode tertentu yang dalam sufisme dikenal dengan sebutan tarekat. Al-Qur’an melibatkan proses tafakkur dan tadabbur secara sekaligus sebagai bentuk struktur formalitas yang selanjutnya dibawa kepada wujud realitas mutlak melalui intuisi dzauq. Kompromitas kata Allah merupakan sandaran mutlak bahwa tafakkur dan tadabbur pada esensinya hanya merupakan jalan atau bentuk pemahaman terstruktur yang tergeneralisasi dalam batasan-batasan definitif dan bukan merupakan tujuan final dalam spritualitas, sekalipun dalam bidang-bidang mutual mendapat korelasi yang differensial secara random. Kata Allah dalam ayat di atas merupakan standar dan variabel bagi aktivitas tafakkur. Sebagai standar dikarenakan daya fungsional tafakkur secara esensial diarahkan untuk tujuan-tujuan mistis seperti pencapaian makrifat dan hakikat terhadap Allah 8 Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, Jakarta: Cakrawala, 2008 Cet. І, h.7 SWT. Sebagai variabel dikarenakan aktivitas tafakkur ternyata memberi nilai bagi sebuah pencapaian tingkatan spritual tertentu. Ketika kedua aspek ini disinergikan terlihatlah bahwa tafakkur hanya ruang peralihan bagi sebuah wujud manifestasi agung Allah SWT dengan strukturalisasi Al-Qur’an. Ayat di atas secara tersirat juga memberikan pemahaman baru tentang fungsi tadabbur sebagai penjelas bagi hal-hal yang kontradiktif sebagaimana tersebut pada petikan “....pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya”. Kontradiksi memuat ragam definisi dan sejatinya selalu bersifat kontroversi sebagai wujud kausalitas dari alam ciptaan. Ketika tadabbur dihadapkan kepada hal-hal yang kontradiktif maka struktur bipolar akan terwujud. Struktur polar pertama adalah rekonstruksi daya akal yang secara induktif dan deduktif akan memberikan pola-pola solusi yang melibatkan segenap afiliasi wujud partikulariat dalam sebuah sistem terpadu yang dikenal dengan ilmu. Ilmu inilah yang menjadi sumber pengetahuan pertama dalam basis kausalitas yang mandiri dalam wujudnya. Kemandirian wujud ilmu didasarkan pada pandangan bahwa ilmu bebas dalam ekspresi orientasinya dan cenderung impulsif seakan-akan memiliki tatanan sumber otonom. Akibat kemandirian wujud inilah yang terkadang disalahtafsirkan sebagai pencapaian tujuan padahal fase ini baru langkah awal sebagaimana adanya istilah-istilah ilmul yaqin,’ainal yaqin dan haqqul yaqin dalam terminologi sufi yang mengisyaratkan hal ini. Struktur polar kedua adalah dengan cahaya hati yang merekonstruksi ilmu dalam tatanan dzauq. Idealnya ilmu akan memberikan pengaruh bagi hati yang disesuaikan dengan toleransi hati dalam menyerap sebuah konsep dari ilmu. Atas dasar inilah dalam ajaran Islam terdapat anjuran dalam mencari ilmu yang bermanfaat bagi hati.Sebab ilmu yang tidak bermanfaat bagi hati hanya akan menjadi hijab yang mengakibatkan kegagalan hati dalam membuka aksesnya ke dalam dunia gaib. Ilmu yang bermanfaat bagi hati akan memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas ibadah dan dzauq yang merupakan tahapan pertama dalam pendakian spritual kaum Salikin. Dari argumen-argumen di atas, kita bisa memberikan definisi tafakkur adalah proses pemaduan antara dua ilmu konektif dengan subyek ilmu yang sedang dipelajari diteliti dengan syarat, tidak terjadi kontradiksi yang meragukan kebenaran kedua ilmu tersebut, disamping hati harus konsentrasai terhadap keduanya dan benar- benar meneliti dengan sungguh- sungguh. Dengan demikian hati yang semula kosong akan menjadi penuh dengan kedua ilmu tersebut. Proses tafakkur akan memberikan nilai afektif bagi hati. Nilai ini terkait erat dengan kaidah, pendapat, aktifitas, yang memberikan solusi-solusi persuasif bagi pelaksanaan syariat sehingga kondisi spritual dapat diidentifikasikan. Tafakur adalah wajib hukumnya bila berhadapan dengan sesuatu yang masih meragukan dan syubhat belum jelas persoalannya atau disaat ingin mengobati penyakit jiwa yang susah disembuhkan. Sedangkan ilmu berpikir ini terbagi dalam lima macam : a. Ilmu yang wajib, seperti ilmu ushul dasar – dasar keimanan, baik tentang Allah, malaikat, kitab – kitabNya, rasul – rasulNya dan hari akhir. b. Ilmu ibadah yang terkait dengan aktifitas jasmani dan harta benda. c. Ilmu yang terkait dengan panca indra, seperti : lisan, alat kelamin, perut, pendengaran dan penglihatan . d. Ilmu tentang akhlaq tercela yang wajib dihilangkan dari hati. e. Ilmu tentang akhlaq terpuji yang wajib dilakukan hati terhadap Allah. 9 2. Ruang Lingkup Tafakkur Dalam menjelaskan ruang lingkup tafakkur di dalam Al- Qur’an Surat Ar- Rum ayat ke- 8 telah diisyaratkan tentang hal ini : 9 Imam Al-Ghazali,Mihrab Kaum Arifin,Surabaya:Pustaka Progresif:2002Cet.II ,h.170                         Artinya:“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang diri mereka ? Tuhan tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak diantara manusia benar- benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”. 10 Aplikasi utama ayat ini adalah pencarian hikmah pada tatanan koneksi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Koneksi ini bersifat mutlak dan termasuk komposisi sentral dalam ritus-ritus keagamaan Islam yang diistilahkan dengan aspek ubudiyah dan uluhiyyah. Pada akhirnya ruang lingkup ini akan bermuara pada dua tema sentral yaitu relasi dengan Tuhan habluminallah dan relasi dengan masyarakat Islam hablumminannas. Berbicara tentang Habluminallah adalah refleksi aplikasi akidah yang tentunya bersifat pribadi dan merupakan buah dari tafakkur. Kita hanya bisa memasukkan proses tafakkur hanya pada tataran konsep – konsep keilmuan Islam, seperti : aqidah , syariat , tasawuf dan lain – lain yang menjadi suatu tolak ukur keimanan kita dan terkait dengan integrasinya dengan “maqamat- ahwal” sebagai basis reproduksi dan afiliasi ilmu sebagaimana yang diklaim oleh kaum sufi. Jadi , ruang lingkup tafakkur sungguh luas karena proses interaksinya dengan ilmu dan sumber ilmu hati itu sendiri. Beberapa contoh ruang lingkup terkait dengan aplikasi tafakkur antara lain: 10 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1995, h, 642 a. Ruang Lingkup Teologis Ruang lingkup teologis secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu – ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan yang lainnya. 11 Ruang lingkup teologis memberikan akses dalam pengembangan kualitas keimanan kaum muslimin. Para ulama dan fuqaha sejak generasi salaf telah berupaya memberikan konsep-konsep kontemporer dalam rangka mereformasi nilai-nilai Islam yang dimulai dengan metode, bentuk aplikatif, wacana dan sebagainya agar susunan totalitas ajaran Islam senantiasa mendapatkan varian-varian konstruktif dalam setiap masa dan peradaban. Sejak dulu, bagian-bagian dari ruang lingkup ini telah menghadirkan klaim- klaim perbedaan yang dilihat dari banyaknya penganut aliran-aliran sekte- sekte yang merupakan bukti nyata bahwa pola rekonstruktif dari tafakkur senantiasa memberikan propaganda tertentu yang diisyaratkan dengan sabda Nabi yang terkenal tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan. Ruang lingkup teologis adalah wujud cerminan tatanan kerangka segenap aspek aqidah diekspresikan untuk senantiasa dicari wujud haqiqinya bagi para pencari kebenaran dari seluruh golongan dari agama ini. Dalam ruang lingkup teologis, dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil dan argumentasi. Sementara ruang lingkup normatif, cara berpikirnya lebih ditekankan kepada pemahaman bahwa agama dari segi 11 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004 Cet.IX, h. 28 ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. 12 b. Ruang Lingkup Antropologis Ruang lingkup antropologis dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yag tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sifatnya langsung, bahkan sifatnya partisipatif.Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif dalam pengamatan sosiologis. 13 Ruang lingkup ini mencoba membagi wujud nilai-nilai Islam pada setiap corak kebudayaan yang pada akhirnya membentuk pola sosialisasi yang cenderung akomodatif. Seringkali terjadi konflik internal dan eksternal yang justru dijadikan refererensi justifikasi dalam penyusunan argumen-argumen keseimbangan atas dasar toleransi inheren dalam berbagai aspek. c. Ruang Lingkup Sosiologis Dalam ruang lingkup sosiologis digunakan pola – pola tafakkur yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan – ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya, memahami sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup serta kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam organisasi. 14 Dalam ruang lingkup ini ada beberapa faktor landasan pentingnya eksplorasi tafakkur, diantaranya : Pertama, bahwa syariat Islam memberikan ruang bagi aspek-aspek muamalah yang nyatanya banyak membutuhkan pola-pola pengembangan struktural yang terkait dengan pengembangan kualitas kehidupan keduniawian 12 Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004 Cet. IX, h. 34 13 M.Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan, Jakarta: Rajawali Press, 2004 Cet. II, h .19 14 Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983 Cet. III, h. 70 sebagai aspek yang selaras dengan masalah akhirat. Pengembangan ini mendorong terciptanya sebuah kajian referensif yang terbuka dengan metode- metode simulatif yang selanjutnya memberikan solusi-solusi verbal bagi wacana-wacana kausalitas yang rentan dan mendorong partisipasi aktif dalam pemecahannya secara general. Kedua, bahwa dalil-dalil naqli menunjukkan secara jelas bahwa dalam soal-soal muamalah, syariat tetap mengacu kepada bentuk ”mashlahah” dari suatu perbuatan hukum yang substansinya dapat ditangkap oleh nalar. Keterangan ini menunjukkan perbedaan yang nyata antara ibadah dan muamalah sekalipun ada korelasi antara keduanya. Makna yang terkandung dalam semua ibadah tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu yang harus diterima dan dilaksanakan oleh manusia dengan penuh kepatuhan. Di sisi lain,akal bisa mengetahui makna dalam muamalah. Ketiga, bahwa syariat berbeda fungsi dalam aspek ibadah dan muamalah. Dalam hal ibadah, syariat berfungsi sebagai pembentuk dan pencipta hukum.Di lain pihak, syariat berfungsi sebagai penyempurna bagi pengetahuan akal yang terlebih dahulu telah memahami substansi muamalah. Hal ini dikarenakan karena akal manusia tidak berwenang dalam menentukan bentuk-bentuk ibadah. Keempat adanya aspek-aspek komplementer dalam Islam. Contohnya dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karma melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya tebusannya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial . Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin. d. Ruang Lingkup Filosofis Tafakkur pada ruang lingkup ini adalah upaya-upaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Ini bertujuan dalam memberikan penafsiran-penafsiran agama secara komprehensif dalam tataran tertentu yang disesuaikan dengan kapasitas seseorang dalam pemahamannya tentang agama. Ini penting dikarenakan agama bersifat universal yang berarti diperlukan sebuah skema tertentu untuk mengkomunikasikannya dengan pemahaman umat dalam berbagai aspek yang diyakini bisa memberikan kontribusi solutif. Ruang lingkup filosofis menyediakan akses bagi pengembangan metode-metode baru tentang tafsiran Islam terutama yang terkait dengan wacana-wacana transendental melalui filsafat Iluminasi. e. Ruang Lingkup Historis. Tafakkur historis mencoba menghadirkan hikmah-hikmah dari berbagi peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar, dan pelaku dari perisriwa tersebut. Dalam Al-Qur’an sendiri banyak konsep- konsep yang membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai islam, seperti kisah-kisah historis yang secara langsung membuka perenungan untuk memperoleh hikmah, Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa- peristiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia di ajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis atau pun menyangkut simbol-simbol. 15 f. Ruang Lingkup Psikologis Tafakkur psikologis berusaha mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Darajat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. 16 Dengan adanya tafakkur bagi seorang muslim akan amat 15 Kantowijoyo, Paramadina Islam Interupsi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991 Cet .I, h. 328 16 Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama Jakarta: Bulan Bintang, 1987 Cet.I, h. 76 mempengaruhi kehidupannya, sehingga setiap apa yang dia lakukan adalah tak lepas dari apa yang dia yakini. Dengan bertafakur, kehidupan seorang muslim baik lahir maupun lahir tidak akan terlepas dari sikap beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Secara global ruang lingkup tafakkur terkait dengan obyek kajian ilmu itu sendiri. Ini berarti bisa kita bagi ke dalam dua kelompok besar yakni yang bersifat rohani keagamaan Islam dan keduniawian. Ruang lingkup kerohanian Islam bersifat absolut dari berbagai sisi dikarenakan intensitas tujuannya sedangkan ruang lingkup keduniawian bersifat terbatas dikarenakan aspek temporalitas. 3. Tujuan Tafakkur Secara global, tujuan tafakkur adalah upaya mendapatkan kebahagiaan kimia kebahagiaan dengan cara mendayagunakan potensi-potensi internal dan eksternal manusia. Potensi internal meliputi daya-daya batin yang terkait dengan alam ghaib malakut sementara potensi eksternal meliputi daya-daya lahir yang terkait dengan alam indera syahadah.“Kimia kehabagiaan” ini hanya ada di perbendaharaan Allah SWT, melalui cahaya kenabian nubuwwah. Ini tersirat pada firman-Nya surat Al-Qaf ayat ke-22:             Artinya:” Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari hal ini, Maka kami singkapkan daripadamu tutup yang menutupimatamu,maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam” 17 . Penyingkapan tutup pada ayat tersebut adalah realisasi dari mujahadah yaitu membersihkan diri pekerti-pekerti yang tercela dan dari sifat-sifat kebinatangan, serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai sifat utama. 17 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1995, h. 853 Posisi tafakkur adalah penyempurnaan kebahagiaan manusia sebab esensi kebahagiaan tidak lain dari makrifat kepada Allah SWT. Makrifat kepada Allah SWT tidak akan sempurna tanpa tafakkur. Sementara kunci makrifat adalah pengenalan diri yang juga merupakan bagian dari tafakkur sebagaimana tercermin pada firman-Nya surat Al-Fushilat ayat ke-53:                      Artinya:”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” 18 Sabda Nabi Muhammad SAW yang terkenal : “Barang siapa telah mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya”. Melalui tafakkur, kita harus mengenali diri kita, darimana dan untuk apa kita diciptakan. Dengan apa kita bahagia dan hal-hal apa saja yang akan membuat kita sengsara. Tafakkur adalah makanan bagi ruh yakni hakikat elemen diri sedangkan yang lain adalah asing dan sekedar pinjaman yang ada pada diri kita. Kita harus mengerti bahwa bagi masing-masing karakter ciptaan memiliki unsur kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan tertinggi adalah kebahagian para malaikat yang fitrahnya adalah kebahagiaan dalam makrifat kepada Allah SWT. Kalau kita termasuk dari anasir-anasir malaikat, maka 18 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1995 Cet.1995, h. 781 kita harus bersungguh-sungguh dalam mengenali asal penciptaan kita, sehingga mampu mengenal jalan menuju hadlirat Ilahi, mencapai tingkat musyahadah penyaksian terhadap Zat yang Maha Agung dan Maha Indah, melepaskan diri dari belenggu nafsu dan angkara murka. 19 Tafakkur membuka pengembangan pengetahuan inderawi fisik, rasional dan keagamaan, secara fitrah, manusia diciptakan secara sederhana tidak mengetahui apapun, kemudian dia meningkat dengan kekuatan memahami al-idrak. Pertama kali dia mengetahui hal-hal iderawi melalui bantuan panca indera, seperti pendengaran, penglihatan, peraba, perasa dan penciuman. Kemudian menapaki tahapan berikutnya, memahami alam yang berbeda dari wujud-wujud inderawi fisik, dengan akalnya, seperti pengetahuan yang bersifat keharusan dlaruriyat, pengetahuan tentang yang wajib, yang jaiz mungkin dan yang mustahil serta pengetahuan terhadap makna-makna universal selain yang dipahami indera dan terhadap sejumlah hakikat rasional yang merupakan persoalan metafisika. Puncaknya adalah makrifatullah. Lalu bagaimana hubungan tafakkur dengan makrifat sebagai tujuan utamanya? Untuk menjelaskan hal ini, kita perlu tahu konsep makrifat sufistik yang merupakan syarat mutlak dalam mencapai kebahagiaan tadi. Makrifat adalah kedekatan, yaitu gerakan hati dengan segala pengaruhnya yang dapat mempengaruhi seluruh anggota tubuh. Kalau ilmu bisa dicontohkan sebagai melihat api, maka makrifat adalah rasa panas yang ditimbulkannya. Makrifat dalam pengertian bahasa adalah ilmu yang tidak lagi diragukan. Sementara istilah ilmu dalam pengertian konversional adalah istilah untuk pengetahuan yang diawali dari ketidaktahuan. Makrifat dalam 19 Imam Al-Ghazali, Manajemen Hati,Surabaya: Pustaka Progresif, 2002 Cet.II,h.44 pengertian kaum sufi adalah ilmu yang tidak menerima keraguan lagi jika yang diketahui itu zat Allah dan sifat-sifatNya. 20 Jadi, makrifat bukanlah medan akal rasional, tapi merupakan peran fungsional qalbu hati, serta dzauq. Yang dimaksud dengan kata dzauq adalah daya hati bagi jalan kepada pengetahuan metafisika dan meta-rasional. Dzauq semacam itu berada di atas ilmu, sebab dzauq bersumber kepada rasa bathin sedangkan ilmu bersumber dari analogi. Rasa batin ini dzauq tersebut tidak akan mantap kecuali bagi orang yang mengalaminya dan melatihnya secara aktual dalam olah spiritual. Prosesnya terjadi di qalbu hati yang laksana cermin memantulkan persoalan-persoalan meta-inderawi, serta hal-hal yang ada di Lauh Mahfud dengan syarat tabir telah tersingkap darinya. Produknya disebut ilham ilmu ladumi yang merupakan keutamaan yang diberikan Allah bagi kita serta merupakan cahaya yang bersinar pada qalbu kita dari sisi-Nya. Jadi, tafakkur berada pada tatanan ilmu dalam rangka pencapaian makrifat. Kesimpulannya tafakkur berperan sebagai proses data yang diperoleh melalui sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber-sumber ini bisa berupa dengan belajar dan tanpa belajar, seperti intuisi dzauq dan perubahan sifat-sifat yang diindikasikan dengan maqamat-ahwal.

B. Komponen-Komponen Tafakkur