Penyimpangan Dalam Bertafakkur SISTEMATIKA TAFAKKUR

syahwat dan daya pengendali keseimbangan bagi ketiga daya sebelumnya. 41 Keempat daya ini akan diukur dengan standar Al-Quran dan Al-hadis, yang berarti menempatkannya pada pengawasan akal. Otoritas akal bagi daya rasional, daya amarah, daya syahwat adalah sebagai acuan reflektif sedangkan daya pengendalian bertindak dalam hal-hal aktivitas. Prosesnya menggiring hati pada tataran hikmah jalan tengah. Hikmah ini meliputi kepandaian, keberanian, kesederhanaan dan keseimbangan. Potensi-potensi hikmah inilah yang memunculkan ketrampilan dan kecerdasan spiritual, seperti ketajaman pikiran, keberanIan pendirian dan sebagainya. Pada taraf inilah tafakkur berperan aktif dalam menjaga dan memelihara keseimbangan yang dibina di dalam hati. Tafakkur menjadi salah satu tentara bagi hati. Proses tafakkur dalam tahapan ini bisa dijelaskan melalui sinergisasi antara daya akal dan hati. Kondisi hati pada tahapan inilah yang siap menangkap hakikat segala sesuatu, laksana cermin yang merefleksikan setiap bayangan. Ketika hakikat segala sesuatu telah ditangkap gambarannya dalam hati maka akal akan menerjemahkannya dalam bahasa rasional. Terjemahan ini disebut ilmu dan akan mengalami reproduksi secara dinamis seiring dengan kapasitas akal itu sendiri. Inilah tafakkur.

C. Penyimpangan Dalam Bertafakkur

Jika kita kembalikan kepada prinsip tafakkur secara esensial,yang mana secara langsung dan tidak langsung sangat tergantung terhadap potensialisitas hati dan perangkat-perangkatnya, maka aplikasi tafakkur mutlak menuntut sinergisasi harmonis komponen-komponen pendukungnya. Kualitas tafakkur terukur dengan daya kerja akal dan sintesa ilmu yang dengan standarisasi Al-Quran dan Al- Hadis. Secara alamiah ,tafakkur rentan dengan penyimpangan-penyimpangan struktural. Hal ini lumrah jika dikaitkan dengan aspek relativitas hati yang terbuka 41 Imam Al-Ghazali,Metode Menaklukkan Jiwa,Bandung:Mizan,2002Cet.II,h.87 terhadap dua pengaruh fitrah penciptaanya yaitu Tashdiq pembenaran dan Juhudpengingkaran. Tashdiq adalah salah satu tentara akal dan merujuk pada fitrah “makhmurah” terfermentasi, sedangkan Juhud termasuk tentara Jahal nafsudan berkaitan dengan fitrah “mahjubah” terhijab. 42 Tafakkur adalah bagian dari Tashdiq karena dalam prosesnya tafakkur berkolaborasi dengan “cahaya keimanan”. Cahaya keimanan adalah implementasi tatanan ruh suci yang siap menerima hakikat-hakikat imani dan perkara-perkara yang haq kebenaran, dengan kata lain antagonis dengan kebodohan,kebatilan,dan aspek negatif lainnya yang membawa hati kepada hijab yang menjauhkannya dari kebahagiaan makrifat. Kondisi Tashdiq adalah kondisi ideal bagi eksplorasi tafakkur dan senantiasa tuntutan kondisi ini membuat konflik tanpa batas dengan Juhud. Konflik ini dalam batas-batas tertentu mengakibatkan penyimpangan dalam bertafakkur. Juhud diwujudkan dalam keterhijaban hati dalam esensi kebenarannya dengan adanya hijab-hijab penghalang fitrah.Ada tiga macam hijab yang akan menghalangi munculnya fitrah yaitu:hijab alam jiwa rendah, hijab konvensi sosial dan hijab salah paham. 43 Hijab-hijab inilah yang membuka akses sifat-sifat tercela yang mengkontaminasi kesucian hati dan secara laten berpeluang mengakibatkan penyimpangan bertafakkur. Bentuk-bentuk penyimpangan dalam bertafakkur bisa dipicu oleh taklid dan penolakan-penolakan integratif terhadap kaidah-kaidah tertentu. Dalam prosesnya, penyimpangan dalam tafakkur membuat hijab bagi hati yang mengakibatkan daya akal mengalami malfungsi dalam kesejatiannya sebagai posos pengendali bagi hati. Keterperdayaan dan kepercayaan secara mutlak terhadap akal akan menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar dalam bertafakkur bagi pelakunya. Padahal pendayagunaan akal ini harus selalu terkait dengan hati 42 Imam Khomeini, Insan Ilahiah, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004 Cet. I, h.131 43 Syah Waliyyullah Ad-Dihlawi, Argumen Puncak Allah, Jakarta: Serambi, 2005 Cet.I, h. 234 sebagai subyek terpenting bagi referensi-referensi tafakkur sebagaimana yang diketahui tentang hakikat hati dan fungsinya. Tetapi dalam kasus ini yang terjadi justeru sebaliknya, akal difungsikan secara otonom dan dominan daripada hati. Sekalipun terkadang tafakkur ini bersifat positif secara praktis tapi jika dikaitkan dengan dengan konsep makrifatullah tetap merupakan hijab terbesar. Firman Allah Taala pada surat Al-Jin ayat ke26-27:                       Artinya:“Dia mengetahui yang gaib,tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang gaib itu.Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya,maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga malaikat di depan dan di belakangnya.” 44 Ayat ini menjelaskan tentang pengetahuan gaib ladunni yang hanya diberikan kepada orang yang diridhaiNya dengan dikuatkan oleh daya-daya malaikat . Ayat ini adalah dalil tak terbantahkan tentang bagaimana pengetahuan gaib yang termasuk rahasia-rahasia ke-Tuhan-an hanya bisa diakses oleh kaum Rasul yang diketahui terkenal dengan kesucian hatinya dan bukan dengan penalaran fungsi akal. Konsep transendensi pengetahuan gaib inilah yang diingkari oleh akal sebagai wujud interaksinya dengan pengetahuan - pengetahuan material-elementer. Tersirat dalam ayat tadi tiga tingkatan hijab yang mengindikasikan konsekuensi daya akal yang menyimpang dari esensialisitasnya. Tingkatan pertama adalah turunan pertama dari gerbang makrifat yang disebutkan dalam isyarat ayat “Dia mengetahui yang gaib”. Dalam literatur sufi ,makrifat tertinggi adalah kebodohan itu sendiri sebab tidak ada yang mengenal hakikat Allah Taala kecuali diriNya sendiri atau jika dianalogikan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada manusia hanya seperti setetes air dari sanudera luas 44 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang:Toha Putra,1995, h.986 sebagaimana juga analogi pada surat Al-Kahfi. Pengetahuan gaib makrifat adalah pijakan terakhir daya akal dalam kapasitasnya sebagai sarana pengetahuan teoritis untuk berafiliasi dengan cahaya Ilahi sebagai modus dan supremasi independen bagi pengungkapan-pengungkapan makrifat. Ketika daya akal masih begitu kuat dalam tafakkur ilmiah yang meliputi kajian-kajian teoritis dalam tatanan muamalah , aqidah , fiqih dan lain-lain telah menjadi hijab bagi toleransi makrifatnya. Kasus-kasus ini banyak menimpa kaum salikun , abid, serta kaum sufi yang masih dalam taraf pendakian spritual . Jadi, pada tingkatan pertama relasi antara akal dan hati positif karena akal telah berfungsi dalam suplementasi ilmu bagi hati tafakkur sekalipun jika diukur dengan hakikat makrifat sebagai tujuan final tetap merupakan sebuah penyimpangan dalam wujud hijab. Tingkatan kedua adalah turunan dari tingkatan pertama yang diisyaratkan dengan perkataan “..kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya..” adalah hegemoni ke-Tuhan-an yang terkait dengan aspek hijab internal manusia. Daya akal dalam keadaan ini mengalami gangguan dari daya-daya luar seperti: daya emosi, syahwat, setan yang mengakibatkan tafakkur mengalami penyimpangan. Kasus konkritnya adalah fanatisme madzhab dan taklid buta, ikhtilaf negatif yang menimpa ahli-ahli kalam, fiqh filsafat dan juga menimpa kaum sufi yang masih dalam tahapan mujahadah. Dalam ushul fiqh misalnya ada persoalan - persoalan yang memungkinkan timbulnya penafsiran -penafsiran yang berbeda atau yang berasal dari qiyas, sehingga orang menafsirkan tergiring kepada suatu keputusan hukum yang berbeda 45 . Skema tafakkur seperti ini rentan dipengaruhi daya-daya negatif sehingga tafakkur kehilangan akses dalam penyempurnaan kesucian hati. Penyimpangan ini didasarkan atas adanya intervensi faktor-faktor luar bagi akal sebagai akibat adanya interaksi dengan hati. Penyimpangan ini terkait 45 Imam As-Syafi’i, Ar-Risalah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. V, h. 339 dengan dengan subyektifitas hati sebagai faktor induktif bagi konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan. Seperti diketahui sebelumnya, upaya-upaya penyucian hati telah menarik akal sebagai sebagai mediator penting dalam pencapaian makrifat sebagai tujuan penyucian hati mujahadah. Dalam sufisme, kondisi-kondisi ini maqmat ahwal menciptakan kontraksi-kontraksi yang ditimbulkan oleh daya- daya malaikat, setan, nafsu, emosi yang membawa perubahan-perubahan bagi hati. Daya akal mengalami pengaturan-pengaturan generatif dan bahkan bisa kehilangan fungsi sebagai akibat faktor luar tadi. Dalam hal ini,akal akan mengalami dua kondisi yakni kondisi yang menerima “cahaya” hati sebagai implementasi kesucian serta kondisi “kegelapan” sebagai atribut karena kontaminasi dengan faktor-faktor negatif. Kondisi pertama adalah medan tafakkur sedangkan kondisi kedua mengalami penyimpangan-penyimpangan. Contoh aplikatifnya, seperti daya setan akan mempengaruhi akal sehingga terjadi keraguan , was-was, sikap berlebih-lebihan, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan serta adanya kerancuan dalam proses-proses tafakkur. Daya nafsu akan mematikan kreatifitas tafakkur sedangkan daya emosi akan mendorong pemikiran emosional yang melahirkan pemikiran-pemikiran fanatis dan sebagainya. Penyimpangan dalam bentuk ini juga bisa dijelaskan dengan teori konvergensi . Teori konvergensi berpendapat bahwa di dalam perkembangan individu itu dasar pembawaan bakat maupun lingkungan memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu, akan tetapi bakat itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Jadi, dalam prosesnya daya akal mengalami benturan -benturan internal dan eksternal yang mengakibatkan adanya pengaruh -pengaruh polutif bagi optimalisasi fungsional akal. Tingkatan ketiga adalah turunan tingkatan kedua yang diisyaratkan dengan perkataan Ilahi:”Dia mengadakan penjaga-penjaga malaikatdi depan dan di belakangnya”. Ayat ini mengisyaratkan aspek fitrah manusia dengan daya kemanusiannya sebagai subyek yang yang membutuhkan daya-daya malakuti bagi pemenuhan kebutuhannya. Tafakkur telah difungsikan bagi pengembangan-pengembangan ilmu-ilmu teoritis seperti ilmu-ilmu sains dan teknologi non- agama. Sehingga daya hati terkadang tidak berfungsi dan terjadilah proses rasionalisasi murni. Padahal akal sendiri tidak memiliki apa-apa. Pengetahuan yang ada di dalamnya berkat kemampuan daya tampung yang dimilikinya. Jika kemampuan semacam ini ada,tentu apa yang telah dijelaskan Tuhan tentang diriNya sendiri lebih utama untuk diterima daripada logika pikiran. 46 Penyimpangan sifatnya menyeluruh bagi setiap kalangan awam dan non- Islam. Diantara bentuk konkritnya adalah sikap keterperdayaan terhadap akal dan percaya secara mutlak kepadanyalogika murni. Padahal Tuhan telah membuat batas akal dalam jangkauan pemahamannya, sebagaimana Dia membuat batas bagi penglihatan dan pendengaran . Ketergantungan dan kepercayaan secara mutlak terhadap akal ini akan menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar dalam berpikir. Maka muncullah darinya sekolah-sekolah pemikiran materialis yang ingkar. Paradigma lain dari penyimpangan ini bisa dijelaskan dengan logika analogi. Dalam logika analogi,”wujud”merupakan” sebab absolut” dari suatu fenomena agar memenuhi prinsip ” pasti ada” mewujud maka dalam kegiatannya , tipologi dari gambaran kesimpulan ini adalah deduksi “akibat dari sebab”. Tetapi,jika sesuatu yang dari segi “wujud” bukan ” sebab absolut” maka suatu akibat tidak dapat disimpulkan berasal dari”sebab” karena sekaitan dengan eksistensi “sebab absolut”, suatu akibat hanya menemukan kebutuhan ihwal eksistensi dari dirinya sebab absolut. 46 Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, Jakarta: Cakrawala, 2008 Cet.I. h. 467 Dapat dikatakan bahwa suatu akibat mempunyai kebutuhan deduktif wujud bil-qiyas terhadap “sebab absolut”. 47 . Jika dalam hal ini ,”wujud” adalah akal sebagai “sebab absolut” bagi fenomena ilmubeing science maka dalam aplikasinya terjadi proses dimana eksistensi sintesa ilmu mengakibatkan ketergantungan mutlak tanpa adanya penyaring filter sesuai tatanan kondisional hati. Akibatnya daya akal menjadi hijab murni bagi hati. Secara global penyimpangan ini mewabah di kalangan ademisi. 47 M.T.M Yazdi, Freedom, Jakarta:Al-Huda,2006,Cet.I h.115 41

BAB III IMAM AL- GHAZALI