Skor APRI Pada Fibrosis Hati yang dibandingkan dengan FibroScan

(1)

SKOR APRI PADA FIBROSIS HATI YANG

DIBANDINGKAN DENGAN FIBROSCAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Magister Dalam Bidang Patologi Klinik Pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh: Dr. SITI HAJAR

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU PATOLOGI KLINIK DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H.ADAM MALIK MEDAN


(2)

SKOR APRI PADA FIBROSIS HATI YANG

DIBANDINGKAN DENGAN FIBROSCAN

TESIS

Oleh:

Dr. SITI HAJAR

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK ILMU PATOLOGI KLINIK DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H.ADAM MALIK MEDAN


(3)

Medan, Januari 2012 Tesis ini diterima sebagai salah satu syarat Program Pendidikan untuk mendapatkan gelar Magister Kedokteran Patologi klinik (Mag.Clin Path) di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.Adam Malik Medan.

Disetujui

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Prof.Dr. Burhanuddin Nst, SpPK-KN Prof. Dr.Lukman Hakim

Zain,SpPD-KGEH

Disyahkan oleh

Ketua Departemen Patologi Klinik Ketua Program Studi Departemen FK USU / RSUP H.Adam Malik Patologi Klinik FK USU/

RSUP H.Adam Malik

(Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH-FISH) (Prof.DR.dr.Ratna Akbari Ganie,SpPK-KH-FISH)


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang.

Segala puji dan syukur hanyalah bagi Allah SWT pemilik seluruh alam semesta, Maha pemberi kemudahan dan kelapangan, dan dengan pertolongan Allah jua tesis saya berjudul : “Skor APRI Pada Fibrosis Hati yang dibandingkan dengan FibroScan” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan magister di bidang Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dapat dirampungkan.

Terima kasih, rasa hormat dan penghargaan yang sangat tinggi penulis sampaikan kepada :

Prof.dr.Adi Koesoema Aman,SpPK-KH-FISH sebagai Ketua Departemen patologi Klinik FK-USU /RSUP H.Adam Malik Medan yang telah memberi kesempatan, kemudahan dan perhatian selama penulis mengikuti pendidikan.

Prof.DR.dr.Ratna Akbari ganie, SpPK-KH-FISH sebagai Ketua Program Studi Departemen patologi Klinik FK-USU /RSUP H.Adam Malik Medan yang selama ini telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, nasehat, serta motivasi selama penulis menjalani pendidikan.

Dr.Riecke Loesnihari,SpPK-K, sekretaris Program Studi

Departemen patologi Klinik FK-USU /RSUP H.Adam Malik Medan, yang telah memberi dukungan selama pendidikan.

Prof.Burhanuddin Nst. SpPK(KN) sebagai dosen pembimbing, sekaligus pembimbing pertama dalam penulisan tesis ini, yang senantiasa dengan tulus memberi motivasi, mencurahkan perhatian dan pikirannnya untuk kebaikan penyelesaian tesis ini.

Prof.Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, dukungan dan bantuan sejak awal hingga selesainya tesis ini.


(5)

Seluruh guru-guru saya, Prof. Dr. Herman Hariman PhD SpPK-KH-FISH, Dr.Zulfikar Lubis,SpPK-K, Dr.Muzahar,DMM,SpPK-K, dr.Nelly Elfrida S, SpPK.

Drs.Abdul Jalil Amri A,M. Kes, yang memberikan bimbingan dan bantuan dibidang statistik sejak awal penyusunan hingga selesainya tesis ini.

Teman sejawat PPDS Departemen penyakit Dalam Divisi Hepato-Gastroenterologi FK-USU /RSUP H.Adam Malik Medan, yang telah memberi bantuan dan kerjasama yang baik pada saat penelitian dilaksanakan.

Seluruh Teman sejawat PPDS, analis dan pegawai Departemen Patologi Klinik FK-USU /RSUP H.Adam Malik Medan, yang telah memberikan kemudahan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalani pendidikan.

Doa senantiasa penulis mohonkan kepada Yang Maha Pencipta tertuju kepada Almarhumah Ibunda Siti Chadijah dan almarhum ayahanda Ahmad Mersa yang selama kehidupannya mencurahkan segenap kasih sayang dan berjuang menyekolahkan penulis, semoga segala amal ibadah dan ilmu bermanfaat penulis mengalir pahalanya tiada henti kepada kedua orang tua penulis. Terima kasih kepada ibunda mertua Ratibah Hanum yang senantiasa memberi doa , dukungan untuk menyelesaikan pendidikan.

Terima kasih dan penghormatan yang tinggi kepada suamiku Zamharir yang telah mendampingi dengan pengertian, kesetiaan, kesabaran, ketabahan, atas perjuangan dan pengorbanan yang telah di berikan, semoga apa yang diraih bermanfaat menambah Ridho Allah SWT, kebaikan dan kebahagiaan keluarga di dunia dan akhirat. Demikian juga kepada keempat putra kesayangan umi; Dingga Yorizqa Z, Rofangga Yota Z, Hilga Yowinfa Z, Gispaga Yope Z, mohon ampun kepada Allah SWT dan umi mohonkan maaf kepada anak-anak umi


(6)

karena telah banyak kehilangan perhatian dan kasih sayang selama umi menjalani pendidikan.

Demikian juga kepada seluruh keluarga besar yang dengan ikhlas membantu, mendukung dan memotivasi penulis.

Semoga Allah SWT membalas berlipat ganda atas seluruh bantuan, dukungan dan kemudahan yang telah diberikan.

Semoga Allah SWT tiada henti melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua.

Medan, Januari 2012

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar isi ………... i

Daftar singkatan ... iv

Daftar Tabel ... v

Daftar Gambar ... vi

Daftar lampiran ... vii

Ringkasan ... viii BAB 1

1. Pendahuluan ...

1.1. Latar belakang penelitian ... 1.2. Perumusan masalah ...………...

1.3. Hipotesa penelitian ... 1.4. Tujuan penelitian ………...

1.5. Manfaat penelitian . ………... 1.6. Kerangka Konsep . ………... BAB 2 . Tinjauan Kepustakaan

2.1. Fibrosis hati ...………... 2.2. Sel-sel sinusoidal ... 2.3. Faktor Faktor yang mempengaruhi terjadinya fibrosis hati ...

2.4. Patogenitas fibrosis hati ... 2.4.1. Aktivasi sel HSC ...

2.4.2. Perubahan matriks ektraseluler ... 1 1 5 5 6 6 7 8 9 10 11 14 17


(8)

2.4.3. Kematian sel hati ... 2.5. Evaluasi fibrosis hati... 2.5.1. Biopsi Hati ... 2.5.2. FibroScan ... 2.5.3. Pemeriksaan Laboratorium ... 2.5.3.1. Petanda langsung ... 2.5.3.2. Petanda tidak langsung ... 2.6. APRI ... 2.6.1. Aspartat Amino-transferase (AST)... 2.6.2. Trombosit ... BAB 3. Metode penelitian

3.1. Desain penelitian ... 3.2. Tempat dan waktu ... 3.3. Populasi Penelitian ………... 3.4. Subyek Penelitian ………... 3.5. Variabel penelitian... 3.6. Batasan dan defenisi operasional ... 3.7. Perkiraan Besar Sampel ………... 3.8. Analisa Data ………... 3.9. Bahan dan Cara Kerja .

3.9.1. Anamnese ………... 3.9.2. Pengambilan dan pengolahan sampel………... 3.9.3. Pemeriksaan laboratorium sampel darah... 3.9.3.1. Pemeriksaan darah lengkap ...

19 20 20 23 24 24 25 25 27 28 30 30 30 31 31 31 33 33 34 34 35 35


(9)

3.9.3.2. Pemeriksaan Aspartat aminotransferase ... 3.10. Pemantapan kualitas pemeriksaan ... 3.11. Ethical Clearance dan Informed Consent ………... 3.12. Kerangka kerja ... BAB IV. HASIL PENELITIAN... BAB V. PEMBAHASAN ... BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan ... VI.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA . ...

36 37 41 42 43 55 63 63 64 65


(10)

DAFTAR SINGKATAN ALT : Alanin aminotrasferase

APRI : Aspartat- to- Platelet Rasio Index AST : Aspartat aminotransferase AUC : Area Under Curve

EDTA : Etilen Diamine Tetra-acetic Acid GOT : Glutamat-Oksaloasetat Transaminase HSC : Hepatic Stellate Cells

IFFC : International Federation of Clinical Chemistry IL : Interleukin

kPa : KiloPascal

MES : Matriks EkstraSeluler MDH : Maleat Dehidrogenase MMP : Matrix Metaloproteinase

NAD : Nikotinamid Adenin Dinukleotida PDGF : Platelet Derived Growth Factor ROS : Reactive Oxygen Spesies ULN : Upper Limit Normal TNF : Tumor Necrosis Factor TGF : Transforming Growth Factor TIMP : Tissue Inhibitor Metalloproteinase


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Metode evaluasi fibrosis hati. 20

Tabel 2 : Fibrosis marker berdasarkan struktur molekul. 24 Tabel 3 : Pemantapan Kualitas Menggunakan Kontrol Precinorm U 39 Tabel 4 : Pemantapan Kualitas Menggunakan Kontrol e-check 40

Tabel 5 : Karakteristik sampel 44

Tabel 6 : Gambaran umum hasil penelitian 44 Tabel 7 : Distribusi sampel berdasarkan riwayat penyebab penyakit 45 Tabel 8 : Distribusi stage penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan

fibroScan 46

Tabel 9 : Deskriptif berdasarkan penyebab 47 Tabel 10: Jumlah kasus kelompok fibrosis (F1) dan Signifikan fibrosis

(≥F2) berdasarkan hasil pemeriksaan FibroScan 49 Tabel 11: Sensitivitas, spesifisitas, PPV dan NPV skor APRI 50 Tabel 12: Distribusi stage berdasarkan kelompok fibrosis (F1) dan

signifikan fibrosis (≥F2) 51 Tabel 13: Korelasi APRI dengan fibroScan 54


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 : Perubahan pada arsitektur hati 9 Gambar 2 : Ilustrasi patogenesis fibrosis hati 13 Gambar 3 : Ilustrasi inisiasi dan maintenance fibrogenesis hati. 14

Gambar 4 : Aktivasi sel HSC. 16

Gambar 5 : Arsitektur sinusoidal dan lokasi sel HSC 18 Gambar 6 : Skor Metavir pada fibrosis hati 22 Gambar 7 : Distribusi sampel berdasarkan riwayat penyebab penyakit 45 Gambar 8 : Grafik distribusi sampel berdasarkan stage. 46 Gambar 9: Distribusi stage berdasarkan hasil Fibroscan berdasarkan

penyebab 49

Gambar 10: ROC Curve (cut-off F1) untuk seluruh sampel. 50 Gambar 11: Diagram korelasi antara skor APRI dengan FibroScan 52 Gambar 12: Diagram korelasi antara skor APRI dengan FibroScan untuk

kelompok fibrosis (F1) 53

Gambar 13 : Diagram korelasi antara skor APRI dengan FibroScan untuk


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 :Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian 75 Lampiran 2 :Lembar persetujuan setelah penjelasan

(informed Consent) 77 Lampiran 3 :Status pasien 78 Lampiran 4 :Data dasar sampel penelitian 79 Lampiran 5 : Tabel dan grafik pemantapan kualitas pemeriksaan

AST menggunakan bahan kontrol Precinorm U dan kontrol e-check untuk pemeriksaan jumlah trombosit 81 Lampiran 6 : Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan

Penelitian Bidang kesehatan 81 a Lampiran 7 : Surat izin penelitian di RSUP HAM 81 b


(14)

RINGKASAN

Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama, dan baru terdeteksi ketika fibrosis telah sampai pada keadaan irreversibel.

Fibrosis hati adalah terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, ketergantungan alkohol, nonalkoholik steatohepatitis dan penyebab lainnya. Bila fibrosis berjalan secara progresif, dapat menyebabkan sirosis hati.

Penentuan derajad fibrosis sangat diperlukan untuk memberikan pengobatan dini dan benar, penting untuk prognosis, juga penentuan derajat fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat alamiah penyakit dan faktor faktor resiko yang berkaitan dengan progresifitas penyakit.

Pemeriksaan biopsi hepar menjadi gold standart terhadap penilaian dan penegakkan diagnosis penyakit hati kronis, pemeriksaan invasiv ini memiliki beberapa keterbatasan.

FibroScan adalah alat non-invasiv yang dapat mengukur kekakuan jaringan hati, dengan metode transient elastography yang dianggap menjanjikan menggantikan biopsi yang memiliki banyak kelemahan Sampling error lebih kecil, mudah digunakan, tidak membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan cepat, tetapi teknologi ini masih mahal


(15)

dan tidak tersedia secara luas, terbatas pada sentra sentra pelayanan tertentu saja.

Aspartat- to- Platelet Ratio Index (skor APRI) merupakan pemeriksaan indirect marker meliputi dua parameter pemeriksaan laboratorium yakni pemeriksaan Aspartat aminotransferase (AST) dan jumlah platelet yang rutin dilakukan pemeriksaannya pada semua pasien dan dapat dilakukan di laboratorium di daerah , dengan biaya yang relatif murah. Wai CT memformulasikan indeks rasio aspartat aminotransferase dan platelet (Skor APRI) dengan persamaan:

= Aspartat aminotransferase (AST) (U/L)/ batas atas normal x 100 jumlah platelet(109

AST akan dibebaskan dalam jumlah yang lebih besar pada gangguan hati kronis yang disertai kerusakan progresif, karena banyaknya sel hati yang hancur, dimana 80 % konsentrasi AST hepatosit berada di dalam mitokondria.

/L).

Kerusakan hati akan mempengaruhi pembentukan trombopoeitin, suatu hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh hepatosit sehingga akan terganggu keseimbangan antara destruksi dan produksi trombosit dengan akibat trombositopenia,

Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan antara skor APRI dengan derajad beratnya penyakit hati. Penelitian-penelitian

disamping juga penurunan jumlah trombosit akibat splenomegali dan penekanan sum-sum tulang oleh karena infeksi virus Hepatitis C.


(16)

yang mendukung adanya hubungan skor APRI dengan derajad beratnya penyakit hati antara lain Castera dkk (2005), Mahassadi AK dkk (2010), Putte DF dkk (2011). Penelitian lain Wai CT(2006), Kim BK (2007), dan juga Mahtab M (2008) melaporkan hubungan yang lemah antara skor APRI dan hasil histologi hati pada penyakit hati kronik yang disebabkan oleh HBV.

Peneliti ingin mengetahui sejauh mana skor APRI yang relatif murah dan pemeriksaannya dapat dilakukan hampir diseluruh laboratorium di daerah, bermanfaat untuk menilai derajat fibrosis hati pada penyakit hati kronik, dengan membandingkan dengan FibroScan yang masih relativ mahal dan hanya tersedia pada sentra pelayanan tertentu. Penelitian ini dilakukan secara Cross Sectional , dilaksanakan mulai Maret 2011 sampai dengan Juli 2011.

Subjek penelitian ditentukan secara consecutive sampling pada penderita Penyakit Hati Kronik yang menjalani pemeriksaan FibroScan yang dilakukan hanya oleh Prof. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, penderita yang memenuhi kriteria inklusi, setelah mendapat penjelasan dan menandatangani inform consent, dilakukan anamnese dan pemeriksaan laboratorium, diperiksa kadar serum Aspartat Aminotransferase (AST).

Sebanyak 5 cc sampel darah yang diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti, selanjutnya dibagi dalam dua tabung. Tabung pertama berisi EDTA 3,6 mg diisi 2 cc darah untuk pemeriksaan darah lengkap


(17)

dan diperiksa pada alat sysmex XT 2000 i, tabung kedua dimasukkan sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan untuk mendapatkan serum dan dilakukan pemeriksaaan AST pada alat Cobass 6000.

Sejumlah 40 orang penderita penyakit hati kronik yang menjalani pemeriksaan fibroScan ikut serta dalam penelitian. Peserta terdiri dari 14 orang (35 %) perempuan dan 26 orang (65%) laki-laki dengan rerata umur 49,98 tahun. 10 orang (25 %) dengan riwayat Hepatitis C Virus (HCV) dan 30 orang (75%) dengan riwayat Hepatitis B Virus (HBV).

Pada analisa Receiver Operating Characteristics (ROC) diperoleh luas area dibawah kurva sebesar 0,285 dan bermakna secara signifikan dengan p < 0,025. Dengan menghitung sensitivitas dan spesifisitas tertinggi diperoleh cut-of APRI untuk stage >F1 atau ≥ F2 (signifikan fibrosis) adalah 0,81.

Pada cut-off > 0,81 diperoleh sensitivitas dan spesifisitas APRI masing – masing 0,73 dan 0,72, Nilai Positif Prediktif value skor APRI adalah 0,61, dan Nilai Negatif Prediktif value adalah 0,82.

Dari hasil uji korelasi Spearmen pada sampel penelitian didapatkan korelasi antara skor APRI dengan FibroScan pada sampel, bermakna secara statistik (r = 0,527, p< 0,00), artinya ada kecenderungan semakin

besar nilai skor APRI, akan semakin tinggi derajad fibrosis hati. Pada kelompok fibrosis F1 dengan uji korelasi Pearson diperoleh bahwa


(18)

p<0,178). Sedangkan pada kelompok ≥ F2 (signifikan fibrosis), diperoleh korelasi yang bermakna secara statistik (r= 0,545; p< 0,009).

Kesimpulan dari penelitian ini APRI pada cut-off >0,81 diharapkan dapat dipakai sebagai petanda signifikan fibrosis hati, dengan sensitivitas dan spesifisitas skor APRI masing –masing 0,73 dan 0,72. Nilai positif prediktif skor APRI pada cut-off 0,81 adalah 0,61, dan Nilai negatif prediktif adalah 0,82.

Pada seluruh sampel terdapat korelasi yang bermakna secara statistik skor APRI dengan hasil FibroScan (r=0,527,p<0,001), hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi skor APRI, semakin meningkat pula derajad fibrosis hati.

Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara skor APRI dengan hasil FibroScan pada fibrosis ringan (F1). (r= 0,332; p< 0,178)

Terdapat korelasi positif antara skor APRI dengan hasil FibroScan dan bermakna secara signifikan pada kelompok signifikan fibrosis (≥F2) (r=0,545, p< 0,009 ). Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi skor APRI, semakin meningkat pula derajad fibrosis hati.


(19)

RINGKASAN

Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama, dan baru terdeteksi ketika fibrosis telah sampai pada keadaan irreversibel.

Fibrosis hati adalah terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, ketergantungan alkohol, nonalkoholik steatohepatitis dan penyebab lainnya. Bila fibrosis berjalan secara progresif, dapat menyebabkan sirosis hati.

Penentuan derajad fibrosis sangat diperlukan untuk memberikan pengobatan dini dan benar, penting untuk prognosis, juga penentuan derajat fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat alamiah penyakit dan faktor faktor resiko yang berkaitan dengan progresifitas penyakit.

Pemeriksaan biopsi hepar menjadi gold standart terhadap penilaian dan penegakkan diagnosis penyakit hati kronis, pemeriksaan invasiv ini memiliki beberapa keterbatasan.

FibroScan adalah alat non-invasiv yang dapat mengukur kekakuan jaringan hati, dengan metode transient elastography yang dianggap menjanjikan menggantikan biopsi yang memiliki banyak kelemahan Sampling error lebih kecil, mudah digunakan, tidak membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan cepat, tetapi teknologi ini masih mahal


(20)

dan tidak tersedia secara luas, terbatas pada sentra sentra pelayanan tertentu saja.

Aspartat- to- Platelet Ratio Index (skor APRI) merupakan pemeriksaan indirect marker meliputi dua parameter pemeriksaan laboratorium yakni pemeriksaan Aspartat aminotransferase (AST) dan jumlah platelet yang rutin dilakukan pemeriksaannya pada semua pasien dan dapat dilakukan di laboratorium di daerah , dengan biaya yang relatif murah. Wai CT memformulasikan indeks rasio aspartat aminotransferase dan platelet (Skor APRI) dengan persamaan:

= Aspartat aminotransferase (AST) (U/L)/ batas atas normal x 100 jumlah platelet(109

AST akan dibebaskan dalam jumlah yang lebih besar pada gangguan hati kronis yang disertai kerusakan progresif, karena banyaknya sel hati yang hancur, dimana 80 % konsentrasi AST hepatosit berada di dalam mitokondria.

/L).

Kerusakan hati akan mempengaruhi pembentukan trombopoeitin, suatu hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh hepatosit sehingga akan terganggu keseimbangan antara destruksi dan produksi trombosit dengan akibat trombositopenia,

Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai hubungan antara skor APRI dengan derajad beratnya penyakit hati. Penelitian-penelitian

disamping juga penurunan jumlah trombosit akibat splenomegali dan penekanan sum-sum tulang oleh karena infeksi virus Hepatitis C.


(21)

yang mendukung adanya hubungan skor APRI dengan derajad beratnya penyakit hati antara lain Castera dkk (2005), Mahassadi AK dkk (2010), Putte DF dkk (2011). Penelitian lain Wai CT(2006), Kim BK (2007), dan juga Mahtab M (2008) melaporkan hubungan yang lemah antara skor APRI dan hasil histologi hati pada penyakit hati kronik yang disebabkan oleh HBV.

Peneliti ingin mengetahui sejauh mana skor APRI yang relatif murah dan pemeriksaannya dapat dilakukan hampir diseluruh laboratorium di daerah, bermanfaat untuk menilai derajat fibrosis hati pada penyakit hati kronik, dengan membandingkan dengan FibroScan yang masih relativ mahal dan hanya tersedia pada sentra pelayanan tertentu. Penelitian ini dilakukan secara Cross Sectional , dilaksanakan mulai Maret 2011 sampai dengan Juli 2011.

Subjek penelitian ditentukan secara consecutive sampling pada penderita Penyakit Hati Kronik yang menjalani pemeriksaan FibroScan yang dilakukan hanya oleh Prof. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, penderita yang memenuhi kriteria inklusi, setelah mendapat penjelasan dan menandatangani inform consent, dilakukan anamnese dan pemeriksaan laboratorium, diperiksa kadar serum Aspartat Aminotransferase (AST).

Sebanyak 5 cc sampel darah yang diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti, selanjutnya dibagi dalam dua tabung. Tabung pertama berisi EDTA 3,6 mg diisi 2 cc darah untuk pemeriksaan darah lengkap


(22)

dan diperiksa pada alat sysmex XT 2000 i, tabung kedua dimasukkan sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan untuk mendapatkan serum dan dilakukan pemeriksaaan AST pada alat Cobass 6000.

Sejumlah 40 orang penderita penyakit hati kronik yang menjalani pemeriksaan fibroScan ikut serta dalam penelitian. Peserta terdiri dari 14 orang (35 %) perempuan dan 26 orang (65%) laki-laki dengan rerata umur 49,98 tahun. 10 orang (25 %) dengan riwayat Hepatitis C Virus (HCV) dan 30 orang (75%) dengan riwayat Hepatitis B Virus (HBV).

Pada analisa Receiver Operating Characteristics (ROC) diperoleh luas area dibawah kurva sebesar 0,285 dan bermakna secara signifikan dengan p < 0,025. Dengan menghitung sensitivitas dan spesifisitas tertinggi diperoleh cut-of APRI untuk stage >F1 atau ≥ F2 (signifikan fibrosis) adalah 0,81.

Pada cut-off > 0,81 diperoleh sensitivitas dan spesifisitas APRI masing – masing 0,73 dan 0,72, Nilai Positif Prediktif value skor APRI adalah 0,61, dan Nilai Negatif Prediktif value adalah 0,82.

Dari hasil uji korelasi Spearmen pada sampel penelitian didapatkan korelasi antara skor APRI dengan FibroScan pada sampel, bermakna secara statistik (r = 0,527, p< 0,00), artinya ada kecenderungan semakin

besar nilai skor APRI, akan semakin tinggi derajad fibrosis hati. Pada kelompok fibrosis F1 dengan uji korelasi Pearson diperoleh bahwa


(23)

p<0,178). Sedangkan pada kelompok ≥ F2 (signifikan fibrosis), diperoleh korelasi yang bermakna secara statistik (r= 0,545; p< 0,009).

Kesimpulan dari penelitian ini APRI pada cut-off >0,81 diharapkan dapat dipakai sebagai petanda signifikan fibrosis hati, dengan sensitivitas dan spesifisitas skor APRI masing –masing 0,73 dan 0,72. Nilai positif prediktif skor APRI pada cut-off 0,81 adalah 0,61, dan Nilai negatif prediktif adalah 0,82.

Pada seluruh sampel terdapat korelasi yang bermakna secara statistik skor APRI dengan hasil FibroScan (r=0,527,p<0,001), hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi skor APRI, semakin meningkat pula derajad fibrosis hati.

Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara skor APRI dengan hasil FibroScan pada fibrosis ringan (F1). (r= 0,332; p< 0,178)

Terdapat korelasi positif antara skor APRI dengan hasil FibroScan dan bermakna secara signifikan pada kelompok signifikan fibrosis (≥F2) (r=0,545, p< 0,009 ). Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi skor APRI, semakin meningkat pula derajad fibrosis hati.


(24)

Bab 1

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Penyakit hati kronis merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang sangat lama, dan baru terdeteksi ketika fibrosis telah sampai pada keadaan irreversibel.1

Fibrosis hati adalah terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, ketergantungan alkohol, nonalkoholik steatohepatitis dan penyebab lainnya. Bila fibrosis berjalan secara progresif, dapat menyebabkan sirosis hati.

2,3.4,5.

Fibrosis disebabkan oleh penumpukan protein matriks ekstraseluler (MES) yang berlebihan. Penumpukan protein matriks ekstraseluler yang berlebihan akan menyebabkan gangguan arsitektur hati, terbentuk jaringan ikat yang diikuti regenerasi sel hepatosit.

6,7.

Penentuan derajat fibrosis mempunyai peranan penting dalam hepatologi karena pada umumnya penyakit hati kronis berkembang menjadi fibrosis dan dapat berakhir menjadi sirosis. Penentuan derajad fibrosis sangat diperlukan untuk memberikan pengobatan dini dan benar, penting untuk prognosis, juga penentuan derajat fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat alamiah penyakit dan faktor faktor resiko yang berkaitan dengan


(25)

progresifitas penyakit untuk dijadikan panduan variasi terapi antifibrotik.

Fibrosis hepar merupakan tanda histopatologis utama pada individu dengan penyakit hati kronis dan sirosis hepatis. Derajad fibrosis ditentukan berdasarkan hasil biopsi hepar yang menjadi gold standart terhadap penilaian dan penegakkan diagnosis penyakit hati kronis

8,9,10,11.

9,12, pemeriksaan invasiv ini memiliki beberapa keterbatasan seperti potensi komplikasi sesudah dilakukan tindakan (mortalitas, komplikasi perdarahan ), ketidak nyamanan pasien, rasa nyeri, biaya, selain juga adanya variasi inter observer dan intra observer dalam melakukan interpretasi hasil biopsi dan kesalahan dalam pengambilan sampel biopsi. Sehingga walaupun menjadi baku emas, banyak pasien yang keberatan untuk dilakukan pemeriksaan biopsi, apalagi pemeriksaan biopsi berulang, sehingga menyulitkan monitor efek terapi dan monitor perkembangan penyakit.10,13.

Berdasarkan hal diatas, beberapa tahun terakhir berkembang penelitian-penelitian non invasiv yang dapat menggambarkan fibrosis hati.

FibroScan adalah metode noninvasiv dengan tehnik Transient Elastography (FibroScan, Echosens, Franc) menggunakan gelombang suara untuk mengukur kekakuan hati yang dinyatakan dalam kilopascal (kPa). FibroScan mudah digunakan, tidak membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan hasilnya cepat diperoleh; tetapi tehnik ini masih relatif mahal dan tidak tersedia luas.14,15,16,17.


(26)

Alternatif noninvasiv lain yang digunakan untuk menentukan derajat fibrosis hati adalah pemeriksaan biomarker dengan beberapa parameter yang berbeda,18,19 salah satunya adalah petanda tidak langsung (indirect marker) yakni indeks rasio Aspartat aminotransferase dan platelet (Aspartat- to- Platelet Ratio Index – APRI), yang selanjutnya disebut skor APRI.

Skor APRI diperoleh dari penghitungan dua parameter pemeriksaan laboratorium yakni nilai Aspartat aminotransferase (AST) dan jumlah trombosit, yang pemeriksaannya rutin dilakukan pada semua pasien, dapat dilakukan di laboratorium di daerah , dengan biaya yang relatif murah.

20.21.

Pada penyakit hati kronik terjadi kerusakan sel, sel yang mengalami cedera, akan diikuti dengan pengeluaran enzim aminotransferase memasuki aliran darah yang dalam keadaan normal berada di intrasel. AST akan dibebaskan dalam jumlah yang lebih besar pada gangguan hati kronis yang disertai kerusakan progresif. Hal ini terjadi karena pada gangguan yang kronis, proses kerusakan dan kehancuran sel hati yang pada awalnya akan meningkatkan kadar Alanin aminotransferase (ALT) serum, namun kemudian AST akan dilepaskan ke dalam sirkulasi dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari ALT oleh karena banyaknya sel hati yang hancur, dimana 80 % konsentrasi AST hepatosit berada di dalam mitokondria.

20.

Kerusakan hati akan mempengaruhi pembentukan trombopoeitin, suatu hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh hepatosit, sedikit pada ginjal,


(27)

limpa, paru, sum-sum tulang dan otak, bekerja sebagai pengatur utama produksi trombosit dengan cara menstimulasi megakariopoesis dan maturasi trombosit sehingga akan menyebabkan terganggunya keseimbangan antara destruksi dan produksi trombosit yang mengakibatkan trombositopenia, 26,27,28,29 disamping juga penurunan jumlah trombosit akibat splenomegali dan penekanan sum-sum tulang oleh karena infeksi virus Hepatitis C.

Wai CT dkk memformulasikan indeks rasio aspartat aminotransferase dengan platelet – APRI - dengan persamaan.

30,31,32

20.

Dalam penelitian yang dilakukan di Michigan Medical School , tahun 2003, Wai CT mendapatkan bahwa nilai skor APRI memiliki tingkat akurasi yang tinggi sebagai prediktor fibrosis dan sirosis pada penderita hepatitis C

McGoogan KE dkk dalam penelitian terhadap penderita pediatrik dengan infeksi kronik hepatitis virus mendapatkan ROC APRI 0,71 pada fibrosis dan 0,52 untuk sirosis pada hepatitis C virus (HCV)

20.

33.

Mahassadi AK dkk menyimpulkan bahwa skor APRI dapat dipakai untuk memprediksi sirosis hati pada orang Afrika berkulit hitam penderita Hepatitis B virus

.

34 .

= Aspartat aminotransferase (AST) (U/L) / batas atas normal x 100


(28)

Demikian juga penelitian Castera dkk sehubungan dengan elastograf transient, tidak menemukan perbedaan signifikan secara statistik antara fibroScan dan skor APRI pada METAVIR F2 – F4 Fibrosis (AUC: 0,83 dan 0,78).

Dengan dasar teori diatas, peneliti ingin mengetahui sejauh mana skor APRI yang relatif murah dan pemeriksaannya dapat dilakukan hampir diseluruh laboratorium di daerah, bermanfaat untuk menilai derajat fibrosis hati pada penyakit hati kronik, dengan membandingkan dengan FibroScan yang masih relativ mahal dan hanya tersedia pada sentra pelayanan tertentu.

35

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

Apakah terdapat korelasi antara skor APRI dengan FibroScan dalam menilai derajat fibrosis hati pada penyakit hati kronik.

1.3. Hipotesa Penelitian

Terdapat korelasi antara skor APRI dengan FibroScan dalam menilai derajat fibrosis hati pada penyakit hati kronik.


(29)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

Mengetahui korelasi antara skor APRI dengan FibroScan untuk penilaian derajat fibrosis hati pada penyakit hati kronik.

1.5. Manfaat penelitian

Dengan mengetahui skor APRI yang merupakan metode noninvasiv yang sederhana, murah, dan tersedia luas , dapat ditentukan derajat fibrosis hati sehingga diharapkan bermanfaat dalam menyusun strategi dan tatalaksana penyakit hati kronis, serta dapat mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi.


(30)

1.6. Kerangka konsep

Penderita Penyakit hati

Kronik

Fibrosis Hati

Skor APRI

FibroScan

Korelasi

splenomegali, penekanan sum-sum tulang

Trombositopenia

Kerusakan hepatosit

Kadar AST serum Trombopoeitin


(31)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. FIBROSIS HATI

Penyakit hati kronis adalah penyakit hati yang berlangsung lebih dari enam bulan.36 Pada fibrosis hati terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis ditandai oleh aktivasi Hepatic Stellate Cells (HSC) dan produksi berlebih komponen Matriks Ekstraseluler (MES). Penumpukan protein matriks ekstraseluler yang berlebihan akan menyebabkan gangguan arsitektur hati, terbentuk jaringan ikat yang diikuti regenerasi sel hepatosit.2,6 Bila fibrosis berjalan secara progresif, dapat menyebabkan sirosis hati 1,2,3,4.

Penentuan derajat fibrosis mempunyai peranan penting dalam hepatologi karena pada umumnya penyakit hati kronis berkembang menjadi fibrosis dan dapat berakhir menjadi sirosis. Selain penting untuk prognosis, penentuan derajat fibrosis hati dapat mengungkapkan riwayat alamiah penyakit

.

1,2 dan faktor faktor resiko yang berkaitan dengan progresifitas penyakit untuk dijadikan panduan variasi terapi antifibrotik

Patogenesa fibrosis hati merupakan proses yang sangat kompleks yang melibatkan sel stellata hati (HSC) sebagai sel utama, sel kupffer, lekosit, berbagai mediator, sitokin, growth factors dan inhibitor, serta berbagai jenis kolagen.

12.


(32)

2.2.Sel Sel Sinusoidal

Hati memiliki sinusoidal yang terdiri dari sel sel endotelial, pits cells, kupffer dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Sel kupffer dan sel HSC berperan penting dalam proses fibrogenesis hati. Sel sel endotelial membatasi sinusoid-sinusoid dan memiliki fenestra yang memungkinkan terjadinya pertukaran zat antara hepatosit dan sel endotel. Antara hepatosit dan sel endotelial terdapat ruang Disse (subendotel) yang merupakan tempat dimana HSC berada.

Sel kupffer melekat pada sel endotel dan merupakan derivad sel monosit. Fungsi sel kupffer adalah memfagosit sel hepatosit tua, debris sel, benda asing, sel tumor dan berbagai mikroorganisme.

1,2,37,38

39,40.

Gambar 1. Perubahan pada arsitektur hati. Dikutip dari Bataller R, Brenner D A, modified from Science & Medicine, 2005.


(33)

Produk dari kupffer yang aktif terdiri dari berbagai interleukin (IL); IL-1, IL-6, IL-10, interferon-α dan β, transforming growth factor (TGF), TNF, hidrogen peroksida, nitric oxide (NO).

HSC memiliki sitoplasma yang panjang sampai sinusoid yang bersentuhan dengan hepatosit, sehingga berperan dalam menentukan besarnya aliran darah hepatik. Pada keadaan inaktif HSC merupakan tempat penyimpanan retinoid sehingga memiliki morfologi Cytoplasmic lipid droplets. Pada keadaan aktif akibat terjadinya cedera hati, HSC akan kehilangan lipid droplets, berproliferasi dan kemudian bermigrasi ke zona 3 asinus lalu berubah menjadi sel miofibroblas yang memproduksi kolagen tipe I, III, IV dan laminin. Miofiobroblas bersifat kontraktil karena memiliki filamen aktin dan miosin..HSC merupakan sel yang berperan utama dalam memproduksi MES pada hati normal dan fibrosis hati.41,42.

2.3. Faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya fibrosis hati.

Transformasi sel normal menjadi sel yang fibrotik merupakan proses yang sangat rumit. Terdapat interaksi antara HSC dengan sel-sel parenkimal, sitokin, growth factor, berbagai protease matriks beserta inhibitornya dan MES.

1,2,3.

Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya fibrosis hati. .

1. Cedera hati


(34)

a. Infiltrasi dan aktivasi dari berbagai sel seperti : netrofil, limfosit, trombosit dan sel-sel endotelial, termasuk sel kupffer.

a. Pelepasan berbagai mediator, sitokin, growth factor, proteinase berikut inhibitornya dan beberapa jenis substansi toksik seperti reactive oxygen spesies (ROS) dan peroksida lipid.

3. Aktivasi dan migrasi sel HSC ke daerah yang mengalami cedera. 4. Perubahan jumlah dan komposisi MES akibat pengaruh HSC serta

pengaruh berbagai sel, mediator dan growth factor.

5. Inaktivasi HSC, apoptosis serta hambatan apoptosis oleh berbagai komponen yang terlibat dalam perubahan MES.

2.4. Patogenitas Fibrosis hati.

.

Fibrosis hati adalah terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis yang dapat disebabkan oleh infeksi virus, ketergantungan alkohol, nonalkoholik steatohepatitis dan penyebab lainnya.

2,43,44,45.

Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika hepatosit yang rusak mati, diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan pelepasan sitokin dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel yang mati akan mengaktifkan sel kupffer di sinusoid hati dan menarik sel inflamasi (granulosit, limfosit dan monosit). Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin kemudian dilepaskan dari sel kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat.


(35)

Faktor pertumbuhan dan sitokin ini selanjutnya :

- Mengubah sel HSC penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas

- Mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif

- Memicu prolifrasi fibroblas

Aksi kemotaktik transforming growth factor β (TGF- β) dan protein kemotaktik monosit (MCP-1), yang dilepaskan dari sel HSC (dirangsang oleh tumor necrosis factor α (TNF-α), platelet- derived growth factor (PDGF), dan interleukin akan memperkuat proses ini, demikian pula dengan sejumlah zat sinyal lainnya. Akibat sejumlah interaksi ini (penjelasan yang lebih rinci belum dipahami sepenuhnya), pembentukan matriks eksraseluler ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblas, yang berarti peningkatan penimbunan kolagen (Tipe I, III, IV), proteoglikan (dekorin, biglikan,lumikan, agrekan), dan glikoprotein (fibronektin, laminin, tenaskin dan undulin) di ruang disse. Fibrinolisis glikoprotein di ruang disse menghambat pertukaran zat antara sinusoid darah dan hepatosit, serta meningkatkan resistensi aliran di sinusoid.38,44 Terjadinya fibrosis hati diilustrasikan pada gambar 2


(36)

Gambar 2. Ilustrasi patogenesis fibrosis hati.

di kutip dari Bataller R., Brenner DA., E Miscellaneous, Overview of liver fibrosis, Textbook of Gastroenterology.

Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak (mula-mula oleh metaloprotease), dan hepatosit dapat mengalami regenerasi. Jika nekrosis terbatas di pusat lobulus hati, pergantian struktur hati yang sempurna dimungkinkan terjadi. Namun jika nekrosis telah meluas menembus parenkim perifer lobulus hati, akan terbentuk septa jaringan ikat. Akibatnya, regenerasi fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi terjadi dan akan terbentuk nodul yang dikenal dengan sirosis.38 Ilustrasi inisiasi dan maintenance fibrogenesis diilustrasikan dalam gambar 3.


(37)

Gambar 3. Ilustrasi inisiasi dan maintenance fibrogenesis hati.

Dikutip dari Safadi R, Friedman SL. Hepatic Fibrosis; Role of hepatic stellata cell activation. MedGenMed 2002.

2.4.1. Aktivasi sel HSC

Terjadinya fibrosis hati dimulai dengan aktivasi HSC yang dibagi dalam beberapa fase, walaupun pada kenyataannya proses ini berlangsung simultan dan tumpang tindih.2,42.

A. Fase inisiasi

Merupakan fase aktivasi HSC menjadi miofibroblas yang bersifat proliferatif, fibrogenik dan kontraktil. Terjadi induksi cepat terhadap gen HSC akibat rangsangan dari parakrin yang berasal dari sel-sel inflamasi, hepatosit yang rusak, sel-sel duktus biliaris serta perubahan awal komposisi MES. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan HSC responsif terhadap berbagai sitokin dan


(38)

stimulasi lokal lainnya. Pada fase inisiasi ini, setelah cedera pada sel hati, terjadi stimulasi parakrin terhadap HSC oleh sel-sel yang berdekatan dengan HSC seperti sel endotelial dan hepatosit serta sel kupffer, platelet dan lekosit yang menginfiltrasi lokal cedera hati. Stimulasi parakrin berupa :

1. Inflamasi akibat pelepasan berbagai sitokin seperti IL-1, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 yang terutama di hasilkan oleh limfosit TH2, pelepasan berbagai sitokin, faktor-faktor nekrosis dan interferon yang dihasilkan oleh sel kupffer.

2. Oksidasi, terutama oleh reactive oxygen (ROS) dan peroksida lipid yang dihasilkan oleh netrofil dan sel kupffer. Oksidan-oksidan tersebut meningkatkan sintesis kolagen oleh HSC.

3. Pelepasan dan aktivitas berbagai growth factors yang terutama dihasilkan oleh sel kupffer yang teraktivasi oleh sel-sel endotelial lainnya.

4. Pengeluaran proteinase

5. Gangguan reseptor HSC. Peroxisome proliferator activated reseptor yang terdapat pada reseptor HSC.

B. Fase “pengkekalan” (perpetuation phase)

Terjadi respon selular akibat proses inisiasi. Pada fase ini terjadi berbagai reaksi yang menguatkan fenotip sel aktif melalui peningkatan ekspresi berbagai faktor pertumbuhan dan responnya yang merupakan hasil rangsangan autokrin dan parakrin, serta


(39)

akselerasi remodelling MES. Fase ini sangat dinamis dan berkesinambungan.

Fase pengkekalan ini merupakan hasil stimulasi parakrin dan autokrin, meliputi tahap proliferasi, fibrogenesis, peningkatan kontraktilitas, pelepasan sitokin proinflamasi, kemotaksis, retinoid loss dan degradasi matriks .

Gambar 4. Aktifasi sel HSC.

Dikutip dari dikutip dari Friedman SL, Arthur MJ. Reversing hepatic fibrosis. Sci Med 2002.

Tahap akhir dari fase pengkekalan adalah degradasi matriks, yuang diatur oleh keseimbangan antara matrix metalloproteinase (MMP) dan antagonisnya yaitu TIMP (tissue inhibitor metalloproteinase).


(40)

Degradasi MES terdiri dari degradasi restoratif yang merusak kelebihan jaringan parut, dan yang menyebabkan degradasi patologik adalah MMP-2 dan MMP-9 dimana kedua enzim ini merusak kolagen tipe IV, serta membran type metalloproteinase 1 dan 2 ( aktivator MMP-2)

C. Fase resolusi

Pada fase ini jumlah HSC yang aktif berkurang dan integritas jaringan kembali normal. Terjadi 2 keadaan pada fase ini yaitu reversi, dimana terjadi perubahan HSC aktif menjadi inaktif dan apoptosis. Pada cedera hati apoptosis dihambat oleh berbagai faktor dan komponen matriks yang terlihat dalam proses inflamasi, dimana yang berperan penting dalam menghambat apoptosis adalah IGF-1 dan TNF-γ.

2.4.2. Perubahan Matriks Ekstraseluler

Pada jaringan hati normal terdapat MES yang merupakan kompleks yang terdiri dari tiga group makromolekul yakni kolagen, glikoprotein dan proteoglikan. Makromolekul utama adalah group kolagen yang paling dikenal pada fibrosis hati, terdiri dari kolagen interstisial atau fibrillar (kolagen tipe I,III) yang memiliki densitas tinggi dan kolagen membran basal (kolagen tipe IV) yang memiliki densitas rendah di dalam ruang Disse. Kolagen terbanyak pada jaringan hati yang normal adalah kolagen tipe IV.

2,46.

Pada fibrogenesis terjadi peningkatan jumlah MES 3 sampai 8 kali lipat, dimana kolagen tipe I dan tipe III menggantikan kolagen tipe IV.


(41)

Glikoprotein adhesif yang dominan adalah laminin yang membentuk membran basal dan fibronektin yang berperan dalam proses perlekatan, diferensiasi dan migrasi sel. Proteoglikan merupakan protein yang berperan sebagai tulang punggung MES dalam ikatannya dengan glikosaminoglikan. Pada fibrogenesis terjadi peningkatan fibronektin, asam hialuronat, proteoglikan dan berbagai glikokonjugat. Pembentukkan jaringan fibrotik terjadi karena sintesis matriks yang berlebihan dan penurunan penguraian matriks. Penguraian matriks tergantung kepada keseimbangan antara enzim-enzim yang melakukan degradasi matriks dan inhibitor enzim-enzim tersebut.

Akumulasi MES lebih sering berawal dari ruang Disse perisinusoid terutama pada metabolic zone 3 di asinus hati (perivenous) menuju fibrosis perisentral.

Gambar 5. Arsitektur sinusoidal dan lokasi sel HSC.

dikutip dari Friedman SL, Arthur MJ. Reversing hepatic fibrosis. Sci Med 2002;


(42)

2.4.3. Kematian Sel Hati

Struktur dan fungsi hati yang normal tergantung pada keseimbangan antara kematian sel dan regenerasi sel. Kematian sel hati dapat terjadi melalui dua proses, yakni nekrosis dan apoptosis. Pada nekrosis yang merupakan keadaan yang diawali oleh kerusakan sel, terjadi gangguan integritas membran plasma, keluarnya isi sel dan timbulnya respon inflamasi. Respon ini meningkatkan proses penyakit dan mengakibatkan bertambahnya jumlah sel yang mati.

2,3,4.

Mekanisme apoptosis merupakan respon tubuh untuk menyingkirkan sel yang rusak, berlebihan maupun sel yang sudah tua. Terjadi fragmentasi DNA sedangkan organel sel tetap viabel.

Saat dibutuhkan tambahan hepatosit, sel hati yang inaktif dirangsang oleh berbagai mediator termasuk sitokin untuk masuk kedalam fase G1 dari siklus mitosis sel, dimana berbagai faktor pertumbuhan termasuk nuclear factors yang merangsang sintesis DNA, keadaan ini disebut regenerasi. Pada keadaan sirosis hati terjadi regenerasi secara cepat dan berlebihan sehingga nodul nodul beregenerasi. Pada kerusakan hati yang luas, hepatosit dapat dihasilkan oleh sel-sel yang berhubungan dengan duktus biliaris yang disebut dengan sel oval dan dari stemsel ekstrahepatik seperti sumsum tulang.


(43)

2.5. Evaluasi Fibrosis Hati.

Dalam praktek klinis , ada tiga metode untuk mengevaluasi fibrosis hati: 2,46,47.

- Biopsi Hati, yang masih dianggap sebagai baku emas

- Penanda serum (Biochemical markers)

- Radiologi

Tabel 1. Metode evaluasi fibrosis hati.

Dikutip dari Grigorescu M. Noninvasiv biochemical marker of liver fibrosis. J gastrointestin Liver Dis. 2006.

2.5.1. Biopsi hati

Biopsi hati merupakan tindakan invasif, merupakan metode yang paling akurat dan baku emas untuk menilai derajat fibrosis dan progresifitas sirosis hati, namun pemeriksaan invasiv ini memiliki beberapa keterbatasan seperti potensi komplikasi sesudah tindakan (mortalitas , komplikasi perdarahan non-fatal ), ketidaknyamanan pasien, rasa nyeri , biaya, selain


(44)

juga adanya variasi inter observer dan intra observer dalam melakukan tindakan interpretasi hasil biopsi dan kesalahan dalam pengambilan sampel biopsi (memerlukan keahlian khusus,minimal dievaluasi 4 saluran porta, panjang biopsi 2,5 cm,perbedaan kesulitan tempat pengambilan sampel pada lobus, tingkat kesulitan lebih tinggi pada lobus kiri).

Berbagai sistem skoring telah dipakai untuk menilai stage dari fibrosis, tetapi saat ini yang direkomendasikan adalah skor menurut METAVIR yang diajukan oleh Poynard dkk, yang terdiri dari 5 stage yaitu :

FO ( tanpa fibrosis )

F1 (Fibrosis ringan), ekspansi fibrosis sekitar zona portal atau vena sentral

F2 (Fibrosis moderat), septa yang meluas sampai ke lobulus hati

F3 (Fibrosis moderat) disertai bridging fibrosis (portal portal, sentral-sentra, portal sentral.

F4 (Sirosis) nodulasi parenkimal dikelilingi septa fibrotik dan kerusakan arsitektur hati.


(45)

Gambar 6. Skor Metavir pada fibrosis hati

Dikutip dari : Beddosa P, Paradis V; Classifications, scoring system and morphometry in liver pathology, Textbook of Hepatology From Basic Science to Clinical Practice.

Penilaian stage dan laju fibrosis dapat digunakan untuk ;

- Memperkirakan respon terapi

9,51

- Memberikan terapi sesuai terapi sesuai kebutuhan. Jika didapatkan

hanya sedikit laju fibrosis pada interval pengamatan yang relatif lama, maka pengobatan antiviral dapat ditunda sampai terapi diperkirakan dapat lebih efektif dan toleransi.

- Memperkirakan waktu terjadinya sirosis hati. Hal ini diperlukan


(46)

2.5.2. FIBROSCAN

FibroScan (FibroScan, Echosens, Franc) adalah alat yang dapat mengukur kekakuan jaringan, dengan metode transient elastography, tehnik yang didasarkan pada kecepatan propagasi gelombang. Elastisitas jaringan dapat diperkirakan berdasarkan kecepatan propagasi dari gelombang. Semakin kaku suatu jaringan, semakin tinggi kecepatan propagasi gelombang.16

Hasil pemeriksaan Fibroscan dinyatakan dalam kilopascal (kPa). Hasil pengukuran berkisar dari 1,3 kPa sampai 75,4 kPa.

.

Keuntungan dari metode FibroScan adalah kesalahan pengukuran (sampling error) lebih kecil, mudah digunakan, tidak membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan cepat. Kelemahan metode ini antara lain, sulit mengukur kekakuan hati pada orang yang gemuk, tidak mungkin pula dilakukan pada penderita asites atau bila ruang interkostal yangsempit. FibroScan dapat mengevaluasi beberapa penyalit hati antara lain hepatitis B dan C, dan penyakit hati karena alkohol dan NADFL

Derajat fibrosis hati berdasarkan hasil FibroScan di bagi atas : F0; Normal (<5 kPa), F1; Mild (5,1 – 9 kPa), F2;Moderate (9,1 – 11 kPa), F3; Severe (11,1 – 14,5), F4; Sirosis (> 14,5 kPa).

52,53,54.

55.

FibroScan dianggap menjanjikan untuk menggantikan pemeriksaan biopsi yang memiliki banyak kelemahan, akan tetapi teknologi


(47)

ini relatif masih mahal dan tidak tersedia secara luas, terbatas pada sentra sentra pelayanan tertentu saja.

2.5.3 .Pemeriksaan laboratorium

Petanda serum meliputi : Petanda Langsung (direct marker) dan petanda Tidak langsung (indirect marker). Petanda langsung mencerminkan pergantian (turnover) MES, sedangkan petanda tidak langsung mencerminkan perubahan fungsi hati.

.

2.5.3.1. Petanda langsung

19

Fibrosis hati menyebabkan perubahan secara kualitatif dan kuantitatif MES, dan menggambarkan fibrogenesis dan regresi fibrosis. Petanda langsung terlibat langsung dalam pengendapan dan penghancuran MES yaitu fibrogenesis dan fibrinolisis, termasuk penanda metabolisme matriks seperti sitokin.

Tabel 2 Fibrosis marker berdasarkan struktur molekul. 19

Dikutip dari Grigorescu M. Noninvasiv biochemical marker of liver fibrosis. J gastrointestin Liver Dis. 2006.


(48)

2.5.3.2. Petanda tidak langsung. Petanda tidak langsung antara lain :

1. APRI : Terdiri dari pemeriksaan AST dan jumlah trombosit. 14.

2. Fibrotest: Terdiri dari pemeriksaan-pemeriksaan alfa-2 makroglobulin, alfa-2 globulin, gamma globulin, apolipoprotein A1, Gamma GT, dan bilirubin total.

3. Fibroindeks yang memakai pemeriksaan trombosit,AST dan gamma globulin.

4. Skor PGA : Terdiri dari kombinasi pengukuran indeks protrombin, GGT dan apolipoprotein A1.

5. PGAA: Kombinasi pengukuran indeks protrombin, GGT,

apolipoprotein A1 dan α 2-makroglobulin.

6. FORN: melibatkan jumlah trombosit, umur, kadar kolesterol dan GGT.

7. ActiTest: meliputi apolipoprotein A1, α 2-makroglobulin dan

haptaglobulin.

2.6. APRI (Aspartat- to- Platelet Ratio Index )

Wai CT dkk (2003) memformulasikan indeks rasio aspartat aminotransferase dengan platelet – APRI - dengan persamaan :

2.3.4.1.Aspartat aminotransferase

35,36,37,38,39,40,42,42,43,44.,45,46,47,48,49.

= Aspartat aminotransferase (AST) (U/L) / batas atas normal x 100


(49)

Indeks APRI mempunyai kelebihan, karena hanya meliputi dua pemeriksaan laboratorium dengan biaya yang murah, dan rutin dilakukan pemeriksaannya pada semua pasien.20 Shaheen (2007) melaporkan bahwa untuk identifikasi fibrosis dengan penyebab HCV kronik, pada skor APRI kurang dari 0,5 memiliki nilai prediktif negatif (NPV) sebesar 86 %, sedangkan pada skor yang lebih besar dari 1,5 memiliki nilai prediktif positif (PPV) sebesar 88 %. Dalam kajian sistematis ini, skor APRI memiliki akurasi yang sedang untuk fibrosis hati pada pasien pasien penderita hepatitis C (AUC 0,76). Berdasarkan nilai prediktif tersebut , penulis menyimpulkan bahwa skor APRI dapat meniadakan biopsi pada sekitar setengah dari pasien.21

Selanjutnya banyak studi telah berupaya untuk memvalidasi secara eksternal hasil temuan ini, tetapi hasilnya bersifat kontroversial. Perbedaan dalam populasi pasien, termasuk prevalensi fibrosis signifikan, dan tingkatan referensi untuk AST, dapat menjelaskan perbedaan-perbedaan tersebut.

21

Mahassadi AK. dkk menyimpulkan bahwa skor APRI dapat dipakai untuk memprediksi sirosis hati pada orang Afrika berkulit hitam penderita Hepatitis B virus.

Kim BK Wai CT dan juga Mahtab M menemukan hubungan yang lemah antara skor APRI dan hasil histologi hati pada penderita penyakit hati


(50)

kronik oleh penyebab HBV, hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah platelet yang terlihat turun pada infeksi dengan penyebab HCV.

Keterbatasan APRI

APRI kurang sensitivitasnya untuk fibrosis ringan hingga sedang, dimana AST kadarnya meningkat dan jumlah trombosit turun relatif lebih lama dalam perkembangan penyakit. Pada pasien sirosis dengan kompensasi dan dengan nilai AST yang kadang kadang normal, APRI juga tidak signifikan sebagai prediktor fibrosis hati.

56,57.

2.6.1. Aspartat aminotransferase (AST)

21

Aspartat aminotransferase (AST), adalah salah satu enzim aminotransferase atau transaminase, yang dulu dikenal dengan “glutamat-oksaloasetat transaminase” (GOT). Enzim Aspartat aminotransferase mempunyai aktivitas mengkatalisis pemindahan yang reversibel satu gugus amino antara suatu asam amino dengan suatu asam alfa keto. AST terdapat di jantung, hati, dalam otot bergaris, ginjal juga di otak. Didalam hepatosit AST terdapat di dalam sitoplasma dan mitokondria dengan half life di dalam darah 12 – 22 jam.

58,59,60.

58,59,60.

Nilai rujukan AST ; 10 – 38 U/L pada laki-laki dan 10-32 U/L pada perempuan

61.

Bila sel mengalami cedera, enzim aminotransferase yang dalam keadaan normal berada intrasel akan keluar dari sel dan masuk ke aliran darah. Pada gangguan yang melibatkan hati, kadar AST dan ALT serum


(51)

secara umum akan naik dan turun secara bersamaan. AST akan dibebaskan dalam jumlah yang lebih besar pada ganguan hati

kronis yang disertai kerusakan progresif. Hal ini terjadi karena pada gangguan yang kronis proses inflamasi mendahului proses kerusakan dan kehancuran sel hati yang pada awalnya akan meningkatkan kadar ALT serum, namun kemudian AST akan dilepaskan ke dalam sirkulasi dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari ALT oleh karena banyaknya sel hati yang hancur, dimana 80 % konsentrasi AST hepatosit berada di dalam mitokondria.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium AST: 58.

61

- Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat menurunkan kadar AST

-Hemolisis sampel darah

-Obat-obatan dapat meningkatkan kadar AST : antibiotik (ampisilin, doksisiklin, narkotika (kodein, morfin).

2.6.2 Trombosit.

Trombosit merupakan komponen darah yang mempunyai fungsi homeostasis. Jumlah trombosit yang ada dalam sirkulasi darah normalnya berada dalam kesetimbangan antara destruksi, dan produksi dalam sum-sum tulang. Trombositopenia merupakan salah satu kelainan darah yang paling sering ditemukan pada sirosis hati .


(52)

Mekanisme terjadinya trombositopenia ini secara klasik diduga akibat adanya pooling dan percepatan penghancuran trombosit akibat pembesaran dan kongesti limpa yang patologis yang disebut hipersplenisme.

Namun dari pengalaman klinis, banyak pasien sirosis hati dengan splenomegali memiliki jumlah trombosit normal, sebaliknya banyak di antara mereka mengalami trombositopenia tanpa adanya pembesaran limpa. Sehingga muncul dugaan bahwa ada mekanisme lain dalam patogenesis terjadinya trombositopenia pada sirosis hati.

Trombopoeisis merupakan proses yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sitokin dan trombopoeitin. Trombopoeitin merupakan hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh hepatosit, sedikit pada ginjal, limpa, paru, sum-sum tulang dan otak. Trombopoetin adalah pengatur utama produksi trombosit. Trombopoetin bekerja dengan cara menstimulasi megakariopoesis dan maturasi trombosit. Kerusakan hati. akan mempengaruhi pembentukan trombopoeitin sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan antara destruksi dan produksi trombosit dengan akibat trombositopenia.

62,63.

28

Hal ini dibuktikan oleh Goulis dkk yang melakukan penelitian pada 23 pasien dewasa dengan sirosis hati yang menjalani transplantasi hati dibandingkan dengan 21 pasien normal. Setelah dilakukan transplantasi hati didapatkan peningkatan jumlah trombopoeitin dan jumlah trombosit yang bermakna dibandingkan


(53)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan dengan observasional analitik dengan cara cross sectional (potong lintang). Pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling terhadap penderita penyakit hati kronis dan telah dinilai derajat fibrosis hati dengan FibroScan. Jumlah sampel dibatasi sesuai perkiraan jumlah minimal sampel atau sampai batas waktu pengumpulan sampel yang ditetapkan.

3.2. Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan bekerja sama dengan Sub Gastroenterologi -Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK- USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, mulai bulan Maret 2011 sampai dengan Juli 2011.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah penderita penyakit hati kronik yang dinilai dan ditentukan derajat fibrosis melalui pemeriksaan FibroScan yang hanya dilakukan oleh Prof.Lukman Hakim Zain,SpPD-KGEH, pada penderita yang berobat jalan dan yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Seluruh peserta yang ikut dalam penelitian ini diberikan


(54)

informed-consent dan telah mendapat penjelasan tentang prosedur penelitian dan kemungkinan efek yang kurang menyenangkan yang mungkin timbul meskipun kecil.

3.4. Subjek penelitian

Persyaratan umum subjek penelitian 3.4.1. Kriteria inklusi

1. Bersedia ikut dalam penelitian.

2. Penderita penyakit hati kronis yang ditentukan derajat fibrosis hati melalui pemeriksaan fibroScan .

3. Usia dari > 17 tahun. 3.4.2. Kriteria Eksklusi

Penderita tidak diikut sertakan dalam penelitian jika : 1. Tidak bersedia ikut serta dalam penelitian ini.

2. Pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mengganggu penilaian AST (contohnya doksisiklin) dalam satu minggu terakhir.

3. Pasien yang sedang menjalani kemoterapi dan pasien yang sedang menjalani hemodialisa.

3.6. Batasan dan definisi operasional 62

• Populasi sampel adalah penderita Penyakit Hati Kronis dan

ditentukan derajat fibrosis hati dengan pemeriksaan FibroScan. Pemeriksaan fibroScan dilakukan hanya oleh Prof. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH.


(55)

• FibroScan adalah alat yang dapat menilai elastisitas jaringan hati.

Semakin kaku suatu jaringan, semakin tinggi kecepatan propagasi gelombang dan dinyatakan dalam kilopascal (kPa).

Derajat fibrosis hati berdasarkan hasil FibroScan di bagi atas : F0; Normal (<5 kPa), F1; Mild (5,1 – 9 kPa), F2;Moderate (9,1 – 11 kPa), F3; Severe (11,1 – 14,5), F4; Sirosis (> 14,5 kPa).

• Dinyatakan sebagai fibrosis dan menjadi sampel penelitian bila

pada hasil pemeriksaan fibroscan lebih dari 5 kPa (F1-F4), selanjutnya derajad fibrosis hati di bagi dalam kelompok fibrosis (F1) dan kelompok fibrosis yang signifikan (≥ F2)

• Skor APRI adalah skor yang didapatkan dari hasil perhitungan sbb

= Aspartat aminotransferase (AST) (U/L)/ batas atas normal x 100 jumlah platelet(109

• Batas atas normal aspartat aminotransferase pada laki-laki 38 U/L

dan 32 U/L pada perempuan

/L).

• Satuan nilai trombosit yang dipakai adalah 109

• Obat-obatan yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium

AST:

/L

61antibiotik (ampisilin, doksisiklin) dan narkotika (kodein, morfin).


(56)

3.7.Perkiraan besar sampel

Untuk mengetahui besar sampel minimal pada penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis beda beda proporsi sebagai berikut :

64

n = ( Z α √ P0 QO + Zβ √ Pa Qa )2

( P

o – Pa)2 Keterangan :

n = Jumlah minimal sampel

Zα = Nilai baku alfa

untuk α 5 % seperti tercantum dalam tabel dua arah

diperoleh nilai 1,96 (α = 0,05  Zα = 1,96)

Zβ = Nilai baku beta .untuk β = 0,20 Zβ = 0,842 Po

Po - P

= Proporsi / prevalensi, fibrosis hati = 0,55

a

P

= Selisih yang bermakna = 0,03

a = Proporsi fibrosis hati

Berdasarkan rumus diatas, dapat diperhitungkan besar sampel

dalam penelitian ini digunakan nilai : 0,85

minimal dalam penelitian ini adalah : n = 24 orang 3.8. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan menggunakan perhitungan statistik. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik penderita dan distribusi frekuensi berbagai variabel. Sebelum


(57)

menganalisis hubungan antar variabel terlebih dahulu dilakukan uji normalitas secara analitik.

Untuk menilai hubungan antara skor APRI dengan derajat fibrosis yang dinilai dengan FibroScan digunakan analisis bivariat yaitu uji korelasi pearson.

Semua analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak komputer dengan menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas kemaknaan.

3.9. Bahan dan Cara kerja 3.9.1. Anamnese

Anamnese dilakukan dengan wawancara berpedoman pada daftar pertanyaan pada status yang telah disiapkan dan keterangan yang ada pada medical record. Seluruh data dan hasil pemeriksaan dicatat dalam status khusus penelitian.

3.9.2. Pengambilan dan pengolahan sampel

Sampel darah diambil melalui vena punksi dengan vacum venoject dari vena mediana cubiti tanpa stasis vena yang berlebihan, Tempat vena terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah selanjutnya diisi kedalam 2 tabung berbeda yaitu:


(58)

(2 ml) dalam tabung yang berisi 3,6 mg K2 EDTA dan dicampurkan secara perlahan.

Tabung 2: Dimasukkan darah sebanyak 3 ml kedalam tabung tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan AST. Darah dibiarkan dalam suhu kamar selama 30 menit, kemudian dilakukan pemutaran dengan sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit untuk mendapatkan serum yang jernih.

3.9.3. Pemeriksaan laboratorium sampel darah

a. Pemeriksaan darah lengkap menggunakan alat sysmex XT 2000 i.

b. Apabila diperlukan dilakukan pemeriksaan konfirmasi jumlah trombosit dengan pembuatan sediaan apus darah tepi dan menggunakan pewarnaan giemsa.

c. Pemeriksaan AST (Aspartat aminotransferase).

Pemeriksaan Aspartat aminotransferase (AST), dengan metoda enzimatik sesuai dengan yang disarankan oleh International federation of Clinical Chemistry (IFFC), menggunakan alat Cobass 6000 C 501.

3.9.3.1. Pemeriksaan darah lengkap

61,66

Pemeriksaan darah lengkap dengan bahan sampel darah K2 EDTA dilakukan pada alat automatic cell counting Sysmex XT-2000i, segera (10 – 20) menit setelah pengambilan sampel darah vena.


(59)

Prinsip pemeriksaan trombosit pada alat automatic cell counting Sysmex XT 2000 i adalah metode electrical impedance, dimana jumlah trombosit dihitung berdasarkan banyaknya pulse listrik ketika trombosit melewati apertura.

Cara Kerja :

67

- Darah K2 EDTA diperiksa pada alat automatik Sysmex XT 2000 i segera saat sampel diambil.

- Tempatkan sampel pada rak setelah ID sampel di masukkan komputer

- Tekan sampel start pada komputer

- Apabila diperlukan nilai trombosit di konfirmasi dengan pemeriksaan darah tepi.

3.9.3.2. Pemeriksaan Aspartat aminotransferase (AST).

Metode: Metode enzimatik kinetik yang disarankan oleh IFCC dengan panjang gelombang 340 nm.

61,68.

Prinsip :

Tes kinetik UV dengan reaksi persamaan sebagai berikut :

- Sampel ditambah dengan R1 berupa buffer/ enzim/ koenzim, selanjutnya dengan penambahan R2 (a-ketoglutarat) dimulai reaksi antara:

AST

a-ketoglutarat + L-aspartat  L- glutamat + oksaloasetat

Oksaloasetat kemudian bereaksi dengan NADH yang dikatalisis oleh maleat dehidrogenase (MDH) menjadi bentuk NAD


(60)

MDH

Oksaloasetat + NADH + H+  L- malat + NAD

Oksaloasetat yang di hasilkan sebanding dengan oksidasi dari NAD. Reaksi tersebut menggambarkan aktivitas AST dan diukur secara fotometrik.

+

Cara Kerja :

- Pemeriksaan AST dilakukan pada saat sampel diambil dari pasien dengan alat Automatic analyzer Cobass 6000 C 501.

61.

- Reagensia diletakkan pada disk reagensia dan kontrol precinorm U diletakkan pada disk kontrol.

- Sampel yang akan diperiksa ditempatkan pada rak sampel. - Masukkan ID sampel pada komputer, kemudian pilih

pemeriksaan AST, tentukan rak dan posisi sampel kemudian alat dijalankan dengan menekan start.

- Nilai batas atas normal yang dipakai untuk laki-laki adalah 38 U/L dan 32 U/L untuk perempuan.

3.10. Pemantapan kualitas pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium klinik baik apabila test tersebut tepat (precision) dan akurat (accuracy). Pemantapan kualitas laboratorium yang baik harus dilakukan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat dipercaya (valid).

Pemantapan kualitas dilakukan pada tahap pra-analitik, analitik dan post-analitik.


(61)

I. Untuk pemantapan kualitas pemeriksaan aspartat aminotransferase pada tahap pra-analitik pemeriksaan tidak dapat dilakukan bila sampel serum hemolisis.

Pada tahap analitik, kalibrasi harus dilakukan apabila nilai kontrol Precinorm U tidak masuk kedalam nilai target. Kalibrasi juga dilakukan pada awal setiap pergantian reagen dengan nomor lot baru.

Kalibrasi alat dilakukan dengan menggunakan sera assay C.f.a.s (Calibrator for automated system) universal yang dilarutkan dengan 5 ml steril water

Bila hasil pemeriksaan dengan bahan kontrol Precinorm U yang dilakukan setiap hari masuk dalam batas nilai target kontrol yang dikeluarkan oleh pabrik pembuat (dicantumkan dalam leaflet), yakni 36,2-52,4 U/L maka sampel penelitian dianggap terkontrol . Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan aspartat aminotransferase pada sampel.

61.

Serum AST akan stabil disimpan selama 7 hari pada suhu 2– 8˚ C, dan satu hari pada suhu 20-25˚C.

61.

Stabilitas reagen sampai kadaluarsa bila reagen tidak dibuka, dan stabil selama empat minggu bila sudah dibuka pada suhu 2– 8˚ C.


(62)

Tabel 3. Contoh Pemantapan Kualitas Menggunakan Kontrol Precinorm U pada tanggal 28/03/2011 untuk pemeriksaan AST(lampiran 7a)

No Tanggal Nilai Precinorm U ( U/L )

Nilai Target AST ( U/L )

1 28/03/2011 47,2 36,2 – 52,4

Grafik Nilai Kontrol Precinorm U untuk Pemeriksaan AST

II. Untuk pemantapan kualitas pemeriksaan jumlah trombosit, dilakukan pada tahap pra-analitik yakni dengan segera dilakukan pemeriksaan darah K2 EDTA 10–20 menit setelah pengambilan darah vena.

Pada tahap analitik digunakan bahan kontrol komersial darah lengkap yakni e-check (XE) assay setday to day, dengan tiga level nilai target kontrol yang telah ditetapkan oleh pabrik pembuat (dicantumkan dalam leaflet). Nilai target kontrol normal: 139 x 109/L -243 x 109/L, Nilai target kontrol rendah : 34 x 109/L – 80 x 109/L dan nilai target kontrol tinggi :


(63)

419 x 109/L – 545 x 109/L. Bila hasil pemeriksaan bahan kontrol e-check masuk dalam batas nilai target yang dapat diterima (telah ditetapkan oleh pabrik pembuat dan dicantumkan dalam leaflet), maka sampel penelitian dianggap baik.67.

Kalibrasi harus dilakukan apabila nilai kontrol e-check tidak masuk kedalam nilai target. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan produk material kalibrasi sysmex XT-2000i.

Selanjutnya dilakukan pemeriksaan darah lengkap pada sampel, bila diperlukan, dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah tepi, dan kemudian dicatat hasil pemeriksaan jumlah trombosit.

Stabilitas reagen pemeriksaan darah lengkap bila reagen tidak dibuka sampai tanggal kadaluarsa, dan stabil selama satu minggu pada suhu

2-8 ˚C bila reagen sudah dibuka.

Tabel 4.Contoh Pemantapan Kualitas Menggunakan Kontrol e-check pada tanggal 28/03/2011 untuk pemeriksaan jumlah trombosit.

NO Tanggal Level nilai kontrol e-check untuk trombosit

Nilai kontrol trombosit e-check (x109

Nilai target trombosit e-check (x10

/L) 9/L)

1 28/03/2011 kontrol nilai rendah 58 34 – 80


(64)

3 Kontrol nilai tinggi 422 419 – 545

Grafik Kontrol e-check nilai normal dan nilai rendahuntuk trombosit

Grafik kontrol e-Check nilai tinggi untuk trombosit

3.11. Ethical clearance dan Informed Consent

Ethical clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Inform consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari penelitian ini.


(65)

3.12. Kerangka kerja

Subjek penelitian

Penderita Penyakit Hati Kronis

Eksklusi

Kriteria inklusi

Pengisian formulir penelitian/ Inform consern

Pengambilan sampel darah

APRI

Serum Korelasi

Anamnese

Trombosit AST

Darah K2 EDTA


(66)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan secara Cross Sectional , dilaksanakan mulai bulan Maret 2011 sampai dengan Juli 2011.

Populasi penelitian adalah penderita penyakit hati kronik yang didiagnosa oleh Sub Gastro-enterologi Departemen Penyakit Dalam FK USU/RSUP H.Adam Malik.

Subjek penelitian ditentukan secara consecutive sampling pada

penderita Penyakit Hati Kronik rawat jalan dan rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan, yang menjalani pemeriksaan FibroScan yang dilakukan oleh Prof. Lukman Hakim Zain SpPD-KGEH, penderita yang memenuhi kriteria inklusi, setelah mendapat penjelasan dan menandatangani inform consent, dilakukan pemeriksaan laboratorium serum Aspartat Aminotransferase (AST) dan jumlah trombosit, untuk menghitung skor APRI.

Sejumlah 40 orang penderita penyakit hati kronik yang menjalani pemeriksaan fibroScan ikut serta dalam penelitian. Peserta terdiri dari 14 orang (35 %) perempuan dan 26 orang (65%) laki-laki dengan rerata umur 49,98 tahun.


(67)

Hasil penelitian tersebut diuraikan dalam tabel berikut: Tabel 5: Karakteristik sampel

Karakteristik Nilai

Jenis Kelamin : n (%)

Laki-laki 26 (65%)

Perempuan 14 (35%)

Umur (tahun): Mean (min-max) 48,98 (19-75)

Tabel 6. Gambaran umum hasil penelitian

No Variabel Minimum Maksimum (Mean±SD)

1` Umur (tahun) 19 75 48,98±12,63

2 AST (U/L) 17 418 77,8±79,9

3 JumlahTrombosit (109/L) 29 360 162,7±77,4

4 Skor APRI 0,16 13 2,12±2,97

5 Hasil FibroScan (kPa) 5,1 75 18,89±17,8

Dari 40 orang penderita penyakit hati kronik yang diteliti, berdasarkan riwayat penyebab penyakit yang tercantum dalam medical record dan data pasien FibroScan di catat dalam status khusus penelitian, 10 orang (25 %) dengan riwayat Hepatitis C Virus (HCV) dan 30 orang (75%) dengan riwayat Hepatitis B Virus (HBV).


(68)

Tabel 7. Distribusi sampel berdasarkan riwayat penyebab penyakit

Riwayat penyebab n ( % )

Hepatitis C Virus (HCV) 10 (25%)

Hepatitis B Virus (HBV) 30 (75%)

0 10 20 30 40 50 60 70 80

%

HCV HBV

Gambar 7 Distribusi sampel berdasarkan riwayat penyebab penyakit

Pada penelitian ini stage penyakit hati kronik ditentukan berdasarkan hasil fibroScan, dan dibagi dalam kelompok F1; Mild (5,1–9 kPa), F2;Moderate (9,1 – 11 kPa), F3;Severe (11,1 – 14,5), F4;Sirosis (> 14,5 kPa)

Dari 40 orang sampel, 16 orang (40 %) termasuk dalam stage F1, 5 orang (12,5 %) stage F2, 4 orang (10 %) stage F3 dan 15 orang (37,5 %) stage F4 atau sirosis.


(69)

Tabel 8. Distribusi stage penyakit berdasarkan hasil pemeriksaan FibroScan

Stage n ( %)

F1 16 ( 40 %)

F2 5 (12,5 % )

F3 4 ( 10 % )

F4 15 ( 37,5 % )


(70)

Tabel 9 Deskriptif berdasarkan penyebab

HCV HBV Jumlah sampel (%) 10 (25%) 30 (75 %)

Jenis Kelamin n (%)

Laki-laki 5 ( %) 21 (70 %) perempuan 5 (50 %) 9 (30 %) Umur (tahun)

Minimum 33 19

Maksimum 75 74

Mean ± SD 57± 12,4 46,3 ± 11,7 AST (U/L)

Minimum 34 17

Maksimum 210 418

Mean± SD 77,2 ± 55,2 78 ± 87,4 Trombosit (109

Minimum 73 29

/L)

Maksimum 339 360

Mean± SD 180,9 ± 84,7 156,7 ± 75,4 APRI

Minimum 0,3 0,16

Maksimum 3,07 13

Mean± SD 1,57±1,12 2,43 ± 3,35 FibroScan (kPa)

Minimum 6,9 5,1

Maksimum 45 75

Mean± SD 17,4±12,5 19,4 ± 19,4 Stage

F1 2 (20%) 14 (46,7 %)

F2 3 (30%) 2 (6,7 %)

F3 1 (10%) 3 (10%)

F4 4 (40%) 11 (36,6 %)

Pada tabel 7 terlihat ada perbedaan pada kelompok yang disebabkan oleh HBV jenis kelamin laki-laki lebih banyak(70%) dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan (30 %). Nilai AST minimal adalah 34 U/L pada kelompok dengan penyebab HCV dan 17 U/L pada kelompok dengan


(71)

penyebab HBV, sedang nilai maksimum AST:adalah 210 U/L pada kelompok dengan penyebab HCV dan 418 U/L pada kelompok dengan penyebab HBV. Nilai trombosit minimal adalah 73x109/L pada kelompok dengan penyebab HCV dan 29x109/L pada kelompok dengan penyebab HBV, sedang nilai maksimum trombosit adalah 339x109/L pada kelompok dengan penyebab HCV dan 360x109

Hasil fibroScan minimal adalah 6,9 kPa pada kelompok dengan penyebab HCV dan 5,1 kPa pada kelompok dengan penyebab HBV, sedang nilai maksimum fibroScan 45 kPa pada kelompok dengan penyebab HCV dan 75 kPa pada kelompok dengan penyebab HBV.

/L pada kelompok dengan penyebab HBV. Skor APRI minimal adalah 0,3 pada kelompok dengan penyebab HCV dan 0,16 pada kelompok dengan penyebab HBV, sedang nilai maksimum APRI adalah 3,07 pada kelompok dengan penyebab HCV dan 13 pada kelompok dengan penyebab HBV.

Berdasarkan distribusi stage: F1 20% pada kelompok dengan penyebab HCV dan 46,7 % pada kelompok dengan penyebab HBV. F2 30% pada kelompok dengan penyebab HCV dan 6,7 % pada kelompok dengan penyebab HBV. F3: 10% pada kelompok dengan penyebab HCV dan HBV. F4: 40% pada kelompok dengan penyebab HCV dan 46,6 % pada kelompok dengan penyebab HBV.


(72)

Gambar 9 Distribusi stage dari hasil pemeriksaan Fibroscan berdasarkan penyebab

Tabel 10. Jumlah kasus kelompok fibrosis (F1) dan Signifikan fibrosis (≥ F2) berdasarkan hasil pemeriksaan FibroScan

Kelompok Fibrosis n %

F 1 16 (40%)

≥ F2(Signifikan Fibrosis) 24 (60%)

Pada tabel 8, dari hasil pemeriksaan fibroScan terlihat sebanyak 16 orang ( 40 %) termasuk kelompok derajat fibrosis; F 1 dan 24 orang (60 %) termasuk dalam kelompok Signifikan fibrosis (≥ F2).


(73)

Analisa ROC

Nilai potong (cut off) APRI untuk mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas tertinggi dilakukan dengan analisa Receiver Operating Characteristics (ROC).

1 - Specificity

1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 S en si ti vi ty 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0

Gambar 10. ROC Curve (cut-off F1) untuk seluruh sampel.

Dari gambar diperoleh luas area dibawah kurva sebesar 0,285 dan bermakna secara signifikan dengan p < 0,025. Dengan menghitung sensitivitas dan spesifisitas tertinggi diperoleh cut-of APRI untuk stage >F1 atau ≥ F2 ( signifikan fibrosis) adalah >0,81.0

Pada cut-off > 0,81 diperoleh sensitivitas dan spesifisitas APRI masing – masing 0,73 dan 0,72, Nilai Positif Prediktif (NPP) skor APRI adalah 0,61, dan Nilai Negatif Prediktif (NNP) adalah 0,82.

Tabel 11. sensitivitas, spesifisitas, PPV dan NPV skor APRI

Skor APRI Sensitivitas Spesifisitas PPV NPV Signifikan Fibrosis > 0,8 0,73 0,72 0,61 0,82


(74)

Tabel 12. Distribusi stage berdasarkan kelompok fibrosis (F1) dan signifikan fibrosis (≥F2)

APRI (n;%) FibroScan (n;%) F1 18 (45%) 16 (40%)

≥F2 22 (55%) 24 (60%)

Pada tabel 12 memperlihatkan dari hasil analisis ROC dengan cut-off skor APRI >0,81, maka terdapat 18 orang (45%) termasuk F1 sedangkan hasil fibroScan terdapat 16 orang (40%). 22 orang (55%) dengan analisa skor APRI termasuk kedalam stage signifikan fibrosis (≥F2) sedangkan hasil fibroScan sebanyak 24 orang (60%).

Analisa korelasi APRI dengan FibroScan

Sebelum menganalisis hubungan antar variabel terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel untuk seluruh sampel berdistribusi normal.

Hubungan antara skor APRI dan FibroScan dianalisis dengan uji korelasi Pearson.

Dari analisis ini didapatkan korelasi antara skor APRI dengan FibroScan pada sampel, bermakna secara statistik (r = 0,527 p < 0,001).


(75)

Gambar 11. Diagram korelasi antara skor APRI dengan FibroScan

Fibro scan

80.00 60.00

40.00 20.00

0.00

AP

RI

12.500

10.000

7.500

5.000

2.500

0.000

R Sq Linear = 0.386

Korelasi skor APRI dengan fibroScan Pada stage F1

Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel untuk stage 1 berdistribusi normal.

Hubungan antara skor APRI dan FibroScan untuk kelompok stage 1 dianalisis dengan uji korelasi Pearson.

Dari analisis ini didapatkan korelasi antara skor APRI dengan FibroScan pada sampel untuk kelompok stage 1, tidak bermakna secara statistik (r = 0,332 p < 0,178 ).


(76)

Gambar 12. Diagram korelasi antara skor APRI dengan FibroScan untuk kelompok stage 1

Fibro scan

35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00

AP

RI

0.800

0.600

0.400

0.200

R Sq Linear = 0.11

Korelasi skor APRI dengan fibroScan Pada stage ≥ F2 (signifikan fibrosis)

Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel untuk kelompok stage

≥F2 (signifikan fibrosis) berdistribusi normal.

Hubungan antara skor APRI dan FibroScan untuk kelompok stage ≥ F2 (signifikan fibrosis) dianalisis dengan uji korelasi Pearson.

Dari analisis ini didapatkan korelasi antara skor APRI dengan FibroScan pada kelompok stage ≥F2 (signifikan fibrosis), bermakna secara statistik (r = 0,545 p < 0,009 ).


(77)

Gambar 13. Diagram korelasi antara skor APRI dengan FibroScan untuk kelompok kelompok stage ≥ F2 (signifikan fibrosis).

Fibro scan

80.00 60.00

40.00 20.00

0.00

AP

RI

12.500

10.000

7.500

5.000

2.500

0.000

R Sq Linear = 0.297

Tabel 13. Resume korelasi APRI dengan fibroScan

r p

Sampel (n= 40) 0,527 (p< 0,0001) F1 (n=18) 0,332 (p<0,178)

≥ F2 (n=22) 0,545 (p<0,009)

Tabel 10 memperlihatkan korelasi skor APRI dengan FibroScan pada kelompok stage F1 tidak bermakna signifikan secara statistik (r=0,332,p<0,178).

Sedangkan korelasi skor APRI dengan FibroScan pada kelompok seluruh sampel dan pada kelompok stage F2 ≥ (signifikan fibrosis) bermakna signifikan secara statistik, masing-masing (r= 0,527 :p< 0,0001) dan ( 0,545: p<0,009)


(78)

BAB V PEMBAHASAN

Fibrosis hati terjadi karena kerusakan kronik pada hati yang dihubungkan dengan ECM. Akumulasi dari ECM menyebabkan kerusakan struktur hati dengan terbentuknya jaringan ikat. Fibrosis merupakan respon penyembuhan terhadap cedera hati kronik yang terutama disebabkan oleh infeksi kronis virus hepatitis B dan C, alkohol dan non alcoholic steatohepatitis.

Penentuan derajat fibrosis hati sangat diperlukan untuk pemberian terapi dini dan penetuan prognosis. Biopsi hati masih dianggap baku emas dalam menilai derajat fibrosis hati, tetapi pemeriksaan ini bersifat invasif dan banyak kesulitan dalam melakukan metode ini, sehingga banyak dilakukan penelitian untuk mencoba menilai derajat fibrosis hati dengan metode dan pemeriksaan non invasiv.

1,2.4.

FibroScan adalah metode noninvasiv dengan tehnik Transient Elastography (FibroScan, Echosens, Franc) menggunakan gelombang suara untuk mengukur kekakuan hati, dan dinyatakan dalam kilopascal (kPa). FibroScan mudah digunakan, tidak membutuhkan anestesi dan rawat inap, tidak nyeri, dan cepat, tetapi masih relatif mahal dan hanya tersedia pada sentra pelayanan tertentu.

13,

15,16.

Alternatif noninvasiv lain yang digunakan untuk menentukan derajat fibrosis hati adalah penentuan dengan pemeriksaan biomarker,


(1)

Grafik 2.Kontrol e-check nilai normal untuk trombosit

Tabel 3. Kontrol e-check nilai rendah untuk trombosit

No tanggal

Kontrol nilai rendah trombosit

mean Min max

1 28/02/2011 58 57 34 80

2 08/03/2011 56 57 34 80

3 10/03/2011 38 57 34 80

4 23/03/2011 41 57 34 80

5 27/03/2011 39 57 34 80

6 28/03/2011 72 57 34 80

7 31/03/2011 37 57 34 80

8 09/04/2011 69 57 34 80

9 27/04/2011 37 57 34 80

10 30/04/2011 41 57 34 80

11 02/05/2011 52 57 34 80

12 03/05/2011 61 57 34 80

13 04/05/2011 73 57 34 80

14 06/05/2011 59 57 34 80

15 09/05/2011 47 57 34 80

16 24/05/2011 49 57 34 80

17 27/05/2011 59 57 34 80

18 28/05/2011 55 57 34 80

19 09/06/2011 48 57 34 80

20 13/06/2011 63 57 34 80

21 21/06/2011 67 57 34 80

22 24/06/2011 51 57 34 80

23 27/06/2011 52 57 34 80


(2)

Grafik 3. Kontrol e-check nilai rendah trombosit

Tabel 4. Nilai Kontrol Tinggi e-Check untuk trombosit

No tanggal Min max mean

kontrol nilai tinggi untuk trombosit

1 28/02/2011 419 545 482 492

2 08/03/2011 419 545 482 458

3 10/03/2011 419 545 482 478

4 23/03/2011 419 545 482 507

5 27/03/2011 419 545 482 521

6 28/03/2011 419 545 482 468

7 31/03/2011 419 545 482 477

8 09/04/2011 419 545 482 455

9 27/04/2011 419 545 482 499

10 30/04/2011 419 545 482 476

11 02/05/2011 419 545 482 438

12 03/05/2011 419 545 482 506

13 04/05/2011 419 545 482 494

14 06/05/2011 419 545 482 469

15 09/05/2011 419 545 482 489

16 24/05/2011 419 545 482 465

17 27/05/2011 419 545 482 473


(3)

19 09/06/2011 419 545 482 499

20 13/06/2011 419 545 482 490

21 21/06/2011 419 545 482 428

22 24/06/2011 419 545 482 495

23 27/06/2011 419 545 482 471

24 28/06/2011 419 545 482 534


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS

Nama : dr. Siti Hajar

Tempat/Tgl. Lahir : Aceh Tengah, 18 Agustus 1971 Suku/Bangsa : Gayo Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Cempaka Raya, Villa pesona Tiga no A2. Medan KELUARGA

Suami : Zamharir SE

Anak : 1. Dingga Yorizqa Z

2. Rofangga Yota Z 3. Hilga Yowinfa Z 4. Gispaga Yope Z PENDIDIKAN

1. MIN I Janarata : Tahun 1984 2. SMP Negeri I Janarata : Tahun 1987 3. SMA Negeri 6 Medan : Tahun 1990 4. Fakultas Kedokteran USU : Tahun 1996

5. Mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan, mulai : 1 Juli 2008 s/d 12 Januari 2012


(5)

RIWAYAT PEKERJAAN

1 Dokter PTT di Puskesmas Lubuk Pempeng Peurlak Aceh Timur 2. Kepala Puskesmas Isaq Aceh Tengah

3. Kepala Puskesmas Bintang Aceh Tengah 4. Dokter Poliklinik Pemda Kab.Aceh Tengah

5. Kepala Puskesmas Kebayakan Kab. Aceh Tengah 6. Kasie Surveilans P2P Dinkes Kab.Aceh Tengah 7. Kepala Puskesmas Kota Takengon Aceh Tengah

PERKUMPULAN PROFESI 1. Anggota IDI

2. Anggota PDS PATKLIN

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH NASIONAL 1. Poster Presentator KONAS/ AScpalm di Jakarta 2. Peserta KONAS/ AScpalm di Jakarta

3. Oral prensentation PELATIHAN/WORKSHOP

-

JOURNAL READING

1. Evaluation of Rapid Gram Stain Interpretation Methode for Diagnosis of Bacterial Vaginosis

2. Bacterial Contaminant of Patients Medical Charts in a Surgical Ward and the Intensive Care Unit : Impact on Nosocomial Infection


(6)

3. Sensitivity and Spesificity of MCH for Screening Alpha Thalassemia Trait and Beta Thalassemia Trait

4. Comparative study of peripheral blood smear, quantitative buffy coat and modified centrifuged blood smear in malaria diagnosis.

5. Performance of the AST-to-Platelet Ratio Index as a Noninvasive Marker of Fibrosis in Pediatric Patients With Chronic Viral Hepatitis

6. Evaluation of the NS1 Rapid Test and the WHO Dengue Classification Schemes for Use as Bedside Diagnosis of Acute Dengue Fever in Adults TULISAN

1. Peran Akut Phase Protein dalam Sistem Imun

2. Gambaran Morfologi Abnormal pada Sediaan Hapus Darah Tepi 3. Bakteri Kokus Gram Positif

4. Selulitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus 5. Immune Thrombocytopenia Purpura

6. Spektrophotometer 7. Ion Selective Electroda

8. Analisa Laboratorium Faal Tiroid

9. Pemantapan Kualitas di bidang Kimia Klinik 10. Skor Apri Pada penderita Hepatitis C Kronik 11. Kadar Beta-hCG pada molahidatidosa