BAB IV PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI
SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI KONVENSI
THE WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION WCPFC OLEH INDONESIA
4.1 Hak dan Kewajiban Negara-Negara anggota The Western and Central
Pacific Fisheries Commission WCPFC dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh
Suatu perjanjian Internasional agar berhasil dilaksanakan, maka para pihak harus sepakat untuk menerima beban atas hak-hak serta kewajiban-kewajiban
tertentu. Hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak merupakan keinginan yang disepakati dalam proses perundingan yang dapat bersifat umum
maupun khusus. Namun pada umumnya tidak bermaksud membebani para pihak sehingga perjanjian internasional sulit dilaksanakan.
107
Kesepakatan untuk mengikatkan diri consent to be bound
108
pada suatu perjanjian internasional merupakan tindakan selanjutnya setelah perjanjian
internasional tersebut diselesaikan dalam suatu perundingan.
109
107
Andreas Pramudianto, SH., M. SI, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional Implementasi Humum Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia, Setara
Press: Malang, 2014, hal. 110.
Dalam hal
108
Dalam hal mulai berlakunya suatu perjanjian internasional ditentukan dalam perjanjian itu sendiri. Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties menyebutkan bahwa suatu perjanjian
internasional mulai berlaku dengan mengikti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian atau sesuai dengan persetujuan antara negara-negara yang berunding, dan mungkin pula suatu
perjanjian internasional mulai berlakusegera setelah semua negara yang berunding setuju untuk diikat dalam perjanjian. Lihat Boer Mauna, Op.Cit., hal. 124.
109
Ibid. hal. 153.
persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, dapat dilakukan dengan pertukaran dokumeninstrumen yang pada dasarnya merupakan perjanjian
internasional biasanya dengan menggunakan instrumen Exchange of LettersNotes, Agreed Minutes, Summary Records, Modus Vivendi, Memorandum
of Understanding, dan sebagainya. Oleh karena itu negara-negara peserta menghendaki bahwa sejak dipertukarannya instrumendokumen tersebut, negara-
negara telah menyatakan terikat pada perjanjian.
110
Persetujuan mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dilakukan dengan ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan, diatur Pasal 14 Vienna Convention
on the Law of Treaties yang menyatakan:
111
1. The consent of a state to be bound by a treaties is expressed by
ratification when: a.
The treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification;
b. It is otherwise established that the negotiating States were agreed
that ratification should be required; c.
The representative of the State has signed the treaty subject to ratification; or
d. The intention of the State sign the treaty subject to ratification
appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.
2. The consent of a State to be bound by a treaty is expressed by
acceptance or approval under conditions similar to those which apply to ratification.
110
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Bandung: Mandar Maju: Bandung, 2002, hal. 114.
111
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. Pasal 14.
Penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya. Bagi perjanjian yang seperti itu penandatanganan perjanjian
tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya atau sering dinamakan ratifikasi
112
, yaitu untuk melibatkan legislatif dalam proses pengecekan kembali naskah perjanjian secara konstitusional yang dianggap perlu,
namun juga secara hukum negara tidak dapat diwajibkan untuk meratifikasi perjanjian tersebut.
113
Pengaturan pengelolaan perikanan di wilayah Konvensi WCPFC dilaksanakan melalui Convention on the Conservation and Management of Highly
Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean Konvensi WCPFC sebagai dasar pembentukan yang diadopsi pada tanggal 5 September
2000. Konvensi WCPFC ini terdiri dari dari 12 Bab dengan 47 Pasal. Namun, tidak semua pasal yang dituangkan dalam Konvensi WCPFC menimbulkan
implikasi bagi Indonesia.
114
Pada Konvensi WCPFC 2000 terdapat sembilan hal yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia sebagai negara anggota, yaitu: 1 Wilayah
penerapan, 2 Azas-azas dan langkah-langkah untuk konservasi dan pengelolaan, 3 Penerapan pendekatan kehati-hatian, 4 Pelaksanaan azas-azas di wilayah-
wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, 5 Kesesuaian langkah-langkah
112
Dalam Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986 Pasal 2 menyatakan “ratification”
means the international act so named whereby a State established on the international plane its consent to be bound by a treaty.
113
Boer Mauna Op.Cit. hal. 117.
114
Ariadno, 2012. Review of Policy and Legal Arrangements of WCPFC Related Matters and Checklist of Compliance Shortfalls. Policy Paper. WCPFC.
konservasi dan pengelolaan, 6 Kewajiban Para Anggota Komisi, 7 Kewajiban- Kewajiban Negara Bendera, 8 Penaatan dan Penegakan, dan 9 Itikad Baik dan
Penyalahgunaan Hak. Dalam hal wilayah penerapan konvensi, terdapat pengaturan yang juga
diatur dalam wilayah Inter American Tropical Tuna Commission IATTC, dimana bagian timur WCPFC bertindihan dengan pengaturan dengan wilayah
IATTC. Namun pada tahun 2009 antara WCPFC dan IATCC mengadakan perjanjian bersama yang meliputi pertukaran data dan informasi, kerjasama
penelitian terutama pada sediaan spesies yang diatur kedua RFMO, dan kerjasama tindakan konservasi dan pengelolaan. Pada 27 November 2012 IATTC dan
WCPFC telah menyepakati rekomendasi tentang wilayah yang menjadi tumpang tindih dan mengatur kewajiban negara bendera yang menangkap ikan diwilayah
sangketa. Berdasarkan dua kesepakatan tersebut dapat dikatakan bahwa telah ada upaya Komisi WCPFC untuk menyelesaikan batas koordinat yang menjadi
sangketa pada bagian timur Konvensi WCPFC. Sedangkan pada bagian barat wilayah Konvensi yakni Laut Cina Selatan dan Perairan Asia Tenggara tidak ada
batas tegas koordinat pengelolaan dan upaya komisi untuk menyelesaikannya melalui suatu ketentuan. Meskipun hal ini telah dibahas sejak Pertemuan
konferensi Multilateral tingkat tinggi dalam pengelolaan dan konservasi ikan bermigrasi jauh ketiga MHLC ke-3 sampai dengan MHLC ke-6, namun tidak
ada ketentuan terkait dengan batas wilayah Konvensi pada perairan tersebut. Meskipun pada Chair Statement penutupan MHLC ke-6 pada tanggal 11-19 April
2000 di Honolulu disampaikan bahwa Perairan Asia Tenggara dan Laut Cina
Selatan bukan merupakan bagian Samudera Pasifik, namun pernyataan bukanlah ketentuan yang mengikat.
Disamping itu, Indonesia berkeberatan wilayah sebagian besar perairan Indonesia masuk menjadi wilayah Konvensi WCPFC kecuali ZEE Samudera
Hindia dan Laut Timor. Sikap ini juga didukung oleh Philipinna, Kepulauan Salomon dan Papua New Guinea yang juga berkeberatan wilayah perairan
teritorialnya masuk menjadi wilayah Konvensi. Pengelolaan sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi termasuk
Indonesia diatur dengan dasar pelaksanaan azaz, yakni:
115
a. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan keberlanjutan jangka
panjang sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi dan mempromosikan tujuan pemanfaatan sediaan secara optimal.
b. Memastikan bahwa langkah-langkah yang didasarkan pada bukti
ilmiah terbaik yang tersedia dan di rancang untuk mempertahankan atau memulihkan sediaan pada tingkat yang mampu memproduksi
hasil maksimal yang berkelanjutan, seperti yang disyaratkan oleh faktor-faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk
persyaratan-persyaratan khusus bagi negara-negara berkembang di wilayah konvensi, khususnnya negara-negara pulau kecil yang sedang
berkembang SIDSSmall Island Developing State dan mempertimbangkan pola-pola penangkapan ikan, saling
ketergantungan antar sediaan dan standar minimal internasional yang
115
Pasal 5 Konvensi WCPFC 2000
pada umumnya di rekomendasikan, baik sub-regional, regional ataupun global.
c. Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Konvensi ini dan
semua standar internasional terkait yang di setujui dan praktek-praktek dan prosedur yang direkomendasikan.
d. Mengkaji dampak dari penangkapan ikan, kegiatan lain manusia, dan
faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang
bergantung kepada atau berhubungan dengan sediaan target; e.
Mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran
yang berasal dari kapal-kapal perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun non-ikan selanjutnya disebut spesies non-target dan
dampaknya terhadap spesies yang berhubungan atau bergantung, khususnya spesies yang terancam punah dan mempromosikan
pengembangan dan penggunaan secara selektif alat dan teknik penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berbiaya efektif;
f. Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut;
g. Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meniadakan
penangkapan ikan yang berlebihan dan kapasitas penangkapan ikan yang berlebihan dan untuk memastikan bahwa tingkat upaya
penangkapan ikan tidak melebihi tingkat upaya yang setara dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan;
h. Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
i. Mengumpulkan dan membagi data secara tepat waktu, lengkap dan
akurat mengenai kegiatan penangkapan ikan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan non-target dan upaya penangkapan ikan,
serta informasi dari program penelitian nasional dan internasional; dan j.
Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengendalian dan pengawasan secara
efektif. Dengan demikian terdapat sembilan azas tindakan konservasi dan
pengelolaan pada WCPFC yakni : a.
Optimalisasi pemanfaatan spesies ikan yang beruaya jauh highly migratory speies;
b. Penggunaan data ilmiah terbaik yang tersedia the best scientific
evidence avalaible; c.
Penerapan pendekatan kehati-hatian; d.
Kajian dampak terhadap sediaan target, spesies non-target, dan spesies yang berasal dari ekosistem yang sama atau yang bergantung kepada
atau berhubungan dengan sediaan target; e.
Menimalisasi limbah, buangan, tangkapan oleh alat yang hilang, atau yang ditinggalkan, pencemaran yang berasal dari kapal-kapal
perikanan, spesies non-target, baik ikan ataupun non-ikan; f.
Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut; g.
Mempertimbangkan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;
h. Memberikan informasi kegiatan penangkapan ikan;
i. Melaksanaan pemantauan, pengendalian dan pengawasan Monitoring
Controlling SurveilneMCS secara efektif. Dengan resminya meratifikasi WCPFC 2000, maka Indonesia
berkewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian., yaitu;
116
1. Menerapkan Pendekatan kehati-hatian yang merupakan upaya untuk
menghindari terjadinya kehancuran perikanan, baik dalam konteks nasional suatu negara pantai maupun di perairan internasional laut
lepas. Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal
dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004. Artinya, pendekatan kehati-
hatian dalam pengelolaan perikanan Indonesia dilaksanakan secara optimal, berkelanjutan dan kelestarian yang dilaksanakan dengan;
a. menerapkan pedoman yang dijelaskan pada lampiran II
Persetujuan, yang merupakanbagian tidak terpisahkan dari Konvensi ini, dan menetapkan, berdasarkan informasi ilmiah
terbaik yang tersedia, titik-titik acuan spesifik sediaan dan tindakan yang akan diambil apabila dilampauinya acuan spesifik sediaan
tersebut; b.
memerhatikan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas sediaan, titik-titik acuan, kondisi sediaan
116
Pasal 6 Konvensi WCPFC 2000
yang berhubungan dengan titik-titik acuan tersebut, tingkat dan distribusi mortalitas [kematian] ikan dan dampak kegiatan
penangkapan ikan terhadap spesies non-target dan spesies yang berhubungan atau bergantung, maupun kelautan yang ada dan yang
diprediksikan, kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi; dan c.
mengembangkan program pengumpulan data dan penelitian untuk mengkaji dampak penangkapan ikan terhadap spesies non-target
dan spesies yang berhubungan atau yang bergantung dan lingkungannya, dan bilamana diperlukan menerapkan rencana
untuk memastikan konservasi spesies-spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang menjadi perhatian khusus.
2. Indoneia wajib lebih berhati-hati apabila informasi tidak pasti, tidak
dapat diandalkan, atau tidak memadai. 3.
Indonesia wajib mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa, apabila telah mendekati titik acuan, titik acuan tersebut tidak
akan dilampaui. 4.
Indonesia wajib mengusahakan agar sediaan dan spesies tersebut dilakukan pemantauan secara lebih baik untuk meninjau ulang
statusnya dan keefektifan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan 5.
Wajib melaksanakan sesegera mungkin langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, termasuk, antara lain, batas-batas hasil tangkapan dan
batas-batas upaya
6. Indonesia wajib melaksanakan langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan secara darurat untuk memastikan bahwa kegiatan penangkapan ikan tidak memperparah dampak negatif tersebut.
Dalam Pelaksanaan azas-azas di wilayah-wilayah berdasarkan yurisdiksi nasional, Indonesia sebagai negara pantai wajib melaksanakan azas-azas dan
langkah-langkah konservasi dan pengelolaan dan harus mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan masing-masing negara pantai yang sedang berkembang
di wilayah Konvensi.
117
Kewajiban negara Indonesia yang telah meratifikasi konvensi juga diatur, yaitu dalam hal setiap tahun memberikan kepada Komisi data statistik, biologis,
dan data lain dan informasi sesuai dengan Lampiran I Persetujuan dan, sebagai tambahan, data dan informasi yang mungkin dibutuhkan oleh Komisi. Indonesia
juga berkewajiban memberi informasi mengenai aktivitas penangkapan ikannya di Wilayah Konvensi, termasuk wilayah penangkapan ikan dan kapal perikanan juga
informasi mengenai tahapan yang diambil untuk melaksanakan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang telah diterima oleh Komisi.
Dalam hal Kesesuaian langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, pasal 8 Konvensi ini mengamanatkan bahwa Indonesia harus bekerja
sama untuk tujuan mencapai tindakan yang kompatibel dalam hal sediaan ikan yang beruaya jauh di wilayah konvensi.
118
Indonesia sebagai negara bendera berkewajiban dalam mengambil langkah-langkah: kapal-kapal ikan yang mengibarkan bendera negaranya
mematuhi ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan langkah-langkah konservasi dan
117
Pasal 7 Konvensi WCPFC 2000
118
Pasal 23 Konvensi WCPFC 2000
pengelolaan yang diterima sesuai dengan Konvensi ini dan kapal-kapal tersebut tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang mengurangi keefektivitasan langkah-
langkah tersebut; kapal-kapal ikan yang mengibarkan bendera negaranya tidak melakukan penangkapan ikan secara tidak sah di wilayah di bawah yurisdiksi
negara Pihak Penandatangan Konvensi. Indonesia wajib menjamin kapal-kapal yang mengibarkan benderanya untuk menangkap ikan di Wilayah Konvensi di
luar wilayah yurisdiksi nasional hanya apabila yang bersangkutan dapat melaksanakan secara efektif tanggungjawabnya sehubungan dengan kapal-kapal
tersebut berdasarkan Konvensi 1982, Kesepakatan dan Konvensi ini. Untuk tujuan efektivitas pelaksanaan Konvensi, Indonesia wajib mencatat kegiatan kapal
perikanan yang memiliki lisensi. Indonesia juga berkewajiban memelihara catatan tentang kapal perikanan yang berhak mengibarkan benderanya dan diijinkan untuk
digunakan guna menangkap ikan di Wilayah Konvensi di luar wilayah yurisdiksi nasionalnya, dan wajib memastikan bahwa seluruh kapal perikanan tersebut
dimuat dalam catatan tersebut. Pada lampiran IV Konvensi ini memberi kewajiban bagi negara anggota untuk memberikan informasi yang ditetapkan. Selain itu juga
wajib memastikan bahwa setiap kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang menangkap ikan yang beruaya jauh di area konvensi di bawah yurisdiksi nasional
dari anggota lain untuk menggunakan transmitter. Dan salah satu kewajiban juga yaitu untuk bekerja sama untuk memastikan kesesuaian antara sistem pemantauan
kapal nasional dan sistem pemantauan kapal di laut lepas.
119
119
Pasal 24 Konvensi WCPFC 2000
Di lain sisi Indonesia wajib menegakkan ketentuan Konvensi ini dan setiap langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh Komisi dan
wajib menyelidiki secara menyeluruh setiap dugaan pelanggaran oleh kapal perikanan yang mengibarkan benderanya atas ketentuan Konvensi ini atau
langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang diterima oleh Komisi.
120
Selain kewajiban yang diatur dalam konvensi, maka dengan ratifikasi maka Indonesia juga harus melaksanakan kewajiban yang diatur dalam dokumen
Tindakan Pengelolaan dan Konservasi yaitu Conservation and Management Measure CMM yang memuat Sembilan hal yang harus menjadi perhatian dan
kesiapan Indonesia, yaitu: 1 Penggunaan Transmitter VMS, 2 Penegakan hukum, 3 Kapal Penangkapan Ikan, 4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan, 5 Pengelolaan Tangkapan Utama, 6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan, 7 Program Observer dan Inspeksi Kapal, 8 Data
Buoys, dan 9 Transhipmentand Resolutions of the Western Central Pacific Fisheries Commission WCPFC yang juga menetapkan pengaturan terkait
tindakan pengelolaan dan konservasi di wilayah WCPFC. Dalam pasal 33 konvensi ini mengamanatkan dalam pelaksanannya negara
anggota dalam hal ini Indonesia wajib melaksanakan berdasarkan asas itikad baik.
Indonesia juga wajib melakukan Pengelolaan perikanan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,
dan kelestarian yang berkelanjutan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 2004, juga prinsip- prinsip umum yang di muat dalam UU No. 21 Tahun 2009, yaitu:
120
Pasal 25 Konvensi WCPFC 2000
a. Mengambil tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang
sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimal sediaan ikan tersebut;
b. Menjamin bahwa tindakan tersebut di dasarkan pada bukti ilmiah
terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang
lestari; c.
Menerapkan pendekatan kehati-hatian; d.
Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya, dan faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang
termasuk dalam ekosistem yang sama atau menyatuberhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut;
e. Mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam
ekosistem yang sama atau menyatuberhubungan dengan atau bergantung pada sediaan target tersebut;
f. Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan
tangkapan yang tidak berguna, alat tangkap yang ditinggalkan tangkapan spesies non target, baik ikan maupun bukan spesies ikan,
dan dampak terhadap spesies, melalui tindakan pengembangan dan penggunaan alat tangkap yang selektif serta teknik yang ramah
lingkungan dan murah; g.
Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut;
h. Mengambil tindakan untuk mencegah danatau mengurang kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha
penangkapan ikan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;
i. Memerhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;
j. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang
lengkap dan akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan
ikan, serta informasi dari program riset nasional dan internasional; k.
Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan
ikan; l.
Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan, dan pengendalian.
4.2 Implementasi Perjanjian Internasional terkait Pengelolaan dan