Perumusan Masalah Keaslian Penelitian Tinjauan Kepustakaan

American Tropical Tuna Commission. Batas selatan membentang sampai 60 derajad ke selatan dan batas utara membentang sampai Alaska dan Laut Bering. 27 Peran Indonesia dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC, merupakan partisipasi Indonesia dalam hal memperjuangkan kepentingan perikanan nasional. Sementara itu, dalam diplomasi di WCPFC, Indonesia harus memerhatikan kewajiban-kewajiban yang melekat sebagaimana diatur dalam Konvensi Pembentukan WCPFC, Conservation and Management Measures CMM serta resolusi yang berkembang. Hal ini dikarenakan, sebagai subjek hukum internasional, WCPFC memiliki kemampuan untuk mengeluarkan hukum yang akan dijadikan sumber hukum.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan pengaturan Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh menurut Hukum Internasional? 2. Bagaimana Kerjasama Indonesia dengan negara-negara Kawasan Pasifik Tengah dan Barat dalam Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Beruaya Jauh? 3. Bagaimana Implikasi Ratifikasi Konvensi The Western Central Pacific Fisheries Commission WCPFC bagi Indonesia? 27 Dimuat dalam: http:www.imacsindonesia.comv5index.phpidakitivitaskebijakan traktat-internasional, diakses pada 15 Juli 2015.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Untuk mengetahui pengaturan Internasional mengenai Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh. 2. Untuk mengetahui Kerjasama Indonesia dengan negara-negara kawasan we stern central pasificdalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh. 3. Untuk mengetahui bagaimana implikasi dari ratifikasi Konvensi The Western Central Pacific Fisheries Commission WCPFC bagi Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Secara praktis dapat memberikan pengertian dan informasi tentang bagaimana Peran Indonesia dalam Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh setelah Ratifikasi Konvensi Western and Central Pasific Fisheries Commissions WCPFC. Selain itu tulisan ini juga menjadi sebuah persembahan bagi masyarakat luas terkhusus untuk mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara agar memahami bagaimana implikasi dari ratifikasi Konvensi The Western Central Pacific Fisheries Commission WCPFC bagi Indonesia.

1.4 Keaslian Penelitian

Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 16 Februari 2015. Dalam hal mendukung penelitian ini digunakan pendapat-pendapat para sarjana yang dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang dibahas. Semua sumber tesebut telah dikutip maupun dirujuk dengan benar.

1.5 Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan- laporan, dan informasi dari internet. Maka diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambil dari sumber-sumber yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang jelas. Berikut penjelasan beberapa istilah dalam tulisan ini untuk memperoleh pemahaman yang sama; a Konvensi Konvensi merupakan salah satu bentuk dari Perjanjian Internasional, dimana dalam pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties mendefinisikan Perjanjian Internasional asalah sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apa pun nama yang diberikan padanya. 28 Suatu Perjanjian internasioanal merupakan perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. 29 Dalam pembuatan perjanjian internasional biasanya melalui beberapa tahap yaitu perundingan negotiation, penandatanganan signature, dan pengesahan ratification. 30 b WCPFC Perjanjian internasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Convention konvensi. Western Central Pacific Fisheries Commission dalam hal ini disingkat menjadi WCPFC adalah sebuah perjanjian perikanan internasional yang berupaya untuk menjamin pelestarian jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan dari stok ikan ruaya jauh yakni tuna, billfish, marlin di Samudera Pasifik bagian tengah dan barat. WCPFC mencakup sebuah wilayah yang sangat luas dari Samudera Pasifik, hampir 20 dari permukaan bumi. Meskipun secara teoritis wilayah barat membentang sampai wilayah laut Asia Timur, dipahami bahwa wilayah Konvensi ini tidak mencakup Laut Cina Selatan. Di bagian timur, 28 United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, pasal 2 29 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm.117 30 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 83 Wilayah Konvensi ini berbatasan, atau tumpang tindih overlap, dengan wilayah operasi the Inter-American Tropical Tuna Commission. 31 Cakupan konvensi ini yaitu; dari pantai Selatan Australia ke arah sepanjang 141 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 55 Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur sejajar dengan 55 Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 150 Bujur Timur; kemudian sepanjang 150 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 60 sejajar Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur 60 sejajar dengan Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 130 Bujur Barat; kemudian ke Utara sejajar 130 Bujur Barat sampai perpotongannya dengan 4 sejajar Lintang Selatan; kemudian ke Barat 4 sejajar Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 150 Bujur Barat; kemudian sepanjang Utara 150 Bujur Barat. 32 31 Op.Cit. 32 Pasal 3 ayat 1 WCPFC 2000 c Western Central Pasific Gambar 1.1 Wilayah pasifik Barat Tengah Western Centeral Pasific menurut Data FAO 2003 Batas perairan Western Central Pacific yaitu dibatasi oleh garis dimulai dari titik di pantai tenggara dari daratan Asia pada 15°00 Lintang Utara; ke arah 115°00 Bujur Timur; dari sisi utara 20°00 Lintang Utara sampai sepanjang paralel ini ke timur di 175°00 Bujur Barat; dan sepanjang meridian ini sampai ke arah selatan di 25°00 Lintang Selatan; sampai ke barat ke 155°00 Bujur Timur; sampai ke arah selatan di 28°09 Lintang Selatan; di sisi barat titik di pantai Australia pada batas antara Amerika dari New South Wales dan Queensland; ke utara sepanjang pantai Queensland dan Negara Northern Territory ke titik di 129°00 bujur Timur di batas antara Negara Australia Barat dan Northern Territory; ke arah utara sampai 8° Lintang Selatan sampai ke barat di 113°28 Bujur Timur; hingga sepanjang pantai selatan Jawa pada 8°23 Lintang Selatan; sampai ke perairan laut antara Jawa dan Sumatera; yaitu sepanjang pantai timur Sumatera dan sampai ke utara di Selat Malaka sampai 2°30 Lintang Utara; di Selat itu penuh sampai seluruh pantai Semenanjung Melayu; mengitari pantai Semenanjung dan berjalan ke utara di sepanjang pantai dari daratan Asia ke titik keberangkatan. 33 d Ratifikasi Ratifikasi merupakan cara dalam pernyataan persetujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Dengan penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum nagi para pihaknya, maka perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Council of Europe mengemukakan “Ratification is an act by which the state expresses its definitive consent to be bound by the treaty. Then, the State Party must respect the provisions of the treaty and implement it.” 34 Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif dimulai pada pertengahan abad XIX. Sebelumnya utusan yang diberi kuasa penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung mengikat secara 33 Dimuat pada http:www.fao.orgfisheryareaArea71en diakses pada 20 Juli 2015 34 Lihat “Glosarry on the Treaties”, dimuat pada http:conventions.coe.int?pg=TreatyGlossary_en.asp, diakses pada 28 Juli 2015 defenitif. Menurut Grotius, tanda tangan sudah cukup. Kemudian dengan munculnya monarki absolut dan berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa kembali perjanjian yang telah dibuat dan yang telah ditandatangani oleh usan-utusan raja tersebut. Selanjutnya penandataganan tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh suatu perjanjian. 35 e Sumber daya ikan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Dimana ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di lingkungan perairan. f Pengelolaan Perikanan Pasal 1 angka 7 Undang- Undang Nomor 31 tahun 2004 memberi penjelasan tentang pengelolaan perikanan yaitu semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelasngsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. 35 Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 117 g Konservasi sumber daya ikan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada pasal 1 angka 8 menjelaskan bahwa konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya denga tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. h Ikan beruaya jauh Highly migratory stocks Highly migratory stocks, terdiri dari spesies-spesies ikan yang terdapat pada Lampiran 1 UNCLOS 1982 yang merupakan defenisi sah legal tentang sedian ikan beruaya jauh. Berdasarkan definisi ilmiah sediaan ikan beruaya jauh didefinisikan sebagai jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dan melintasi laut lepas dan ZEE, bahkan batas-batas administrasi suatu negara Maguire, 2006. Dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982, termasuk dalam sedian ikan beruaya jauh terdiri dari ; tuna dan tuna-like species, oceanic sharks, pomfrets, sauries dan dolphinfish. Jenis tuna terdiri dari ; 1 Albacore tuna Thunnus alalunga, 2 Bluefin tuna thunnus thynnus, 3 Bigeye tuna Thunnus obesus, 4 Skipjack tuna Katsuwo pelamis, 5 Yellowfin tuna Thunnus albacores, 6 Blackfin tuna Thunnus atlanticus, 7 Litle tuna Euthynnus alleteratus dan E.affinis , 8 Southern bluefin tuna Thunnus maccoyii, 9 Frigate mackerels Auxis thazard dan A.rochei. Sedangkan kelompok tuna lainnya, terdiri dari ; 1 Marlin terdiri dari 8 spesies Teprapturus angustirostris, T. belone, T. pfluegeri, T.albidus, T.audax, T. georgei, Makaira indica, M.nigricans, 2 Sailfish, terdiri dari 2 spesies Istiophorus platyphorus dan I. albicans, dan 3 Swordfish Xiphias gladicus. Seiring dengan perkembangan identifikasi spesies, spesies yang masuk dalam kelompok sediaan ikan beruaya jauh dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982 seharusnya diperbaharui. Berdasarkan identifikasi FAO terakhir, spesies Blackfin tuna, Little tuna, dan Frigate tuna tidak termasuk spesies beruaya jauh karena merupakan spesies-spesies neritic yang hidup di perairan dekat pantai dengan kedalaman kurang dari 200 m.

1.6 Metode Penelitian