4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis data
kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan, suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah.
38
1.7 Sistematika Penulisan
Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara
tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk
pernyataan dan tulisan.
Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, yaitu adanya kedaulatan suatu negara untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam
hal ini mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh yang dengan amanat suatu perjanjian internasional yang
dikanal dengan UNCLOS yang mengamanatkan negara yang punya hak dan kewajiban dengan sumberdaya ikan jenis itu untuk
membentuk suatu organisasi regional yang akan berdampak bagi negara-negara yang meratifikasinya. Kemudian juga membahas
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
38
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung, 2009, hal.11-13.
penulisan, tinjauan pusataka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
Bab ini menguraikan sejarah pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan, pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh menurut hukum
internasional, pengaturan mengenai status negara dalam pengelolaan sumber daya ikan lintas batas dan perkembangannya.
BAB III : KERJASAMA INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH
Bab ini menguraikan sejarah perlindungan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh di Indonesia dan peranan The Western and Central
Pacific Fisheries Commission WCPFC sebagai Organisasi
Internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh.
BAB IV : PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH
SETELAH RATIFIKASI KONVENSI THE WESTERN AND
CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION WCPFC OLEH INDONESIA
Bab ini menguraikan tentang hak dan kewajiban negara-negara anggota The Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC
dalam pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh dan bagaimana implementasi perjanjian internasional terkait pengelolaan dan
konservasi sumber daya ikan beruaya jauh di Indonesia.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.
BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA
IKAN BERUAYA JAUH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1
Sejarah Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Hukum harus mengatur hubungan negara-negara di dunia jika mereka ingin damai, entah hubungan itu terus diatur dalam tatanan negara berdaulat, entah
dengan diadakannya sebuah konfederasi dunia atau dibentuh negara-negara dunia yang bersatu.
39
39
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations: Pengantar Hukum Modern Antar Bangsa, Nuansa, Bandung, 2012 , hal.18.
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selain perkembangan hukum laut dan
jalur-jalur maritim. Pada awalnya, pelayaran di laut bebas terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan penangkapan-penangkapan ikan, akan tetapi pada
abad keenam belas periode-periode dimana terjadi penemuan maritim akbar oleh para pelaut Eropa dan klaim-klaim yang dikemukakan oleh negara maritim
dengan tujuan untuk melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat dibedakan dari pemilikan atas bagian-bagian tertentu dari laut bebas. Seorang
Grotius merasa sangat keberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan tersebut dengan berlandaskan dua faktor; pertama, tidak ada lautan yang dapat menjadi
milik suatu bangsa atau negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk secara efektif mengambilnya sebagai hal milik dengan cara okupasi. Faktor kedua,
alam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki sarana yang dapat
dimanfaatkan oleh setiap orang serta sifatnya tidak dapat habis, atau dengan kata lain laut lepas adalah hak semua bangsa.
40
Mengetahui sejarah pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan tidak lepas dari sejarah dan perkembangan hukum laut itu sendiri yang sejak awal yaitu
dimulai pada
41
1. Hukum Laut Rhodia abad 7
;
Rhodes adalah seorang pelaut, yang kuat serta mandiri. Antara 1.000 SM dan 600 SM, rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan
mereka tersebar di daerah Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan Spanyol. Secara bersamaan, orang-
orang Rhodes mengembangkan aturan hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritim Rhodia Lex. Tidak ada salinan
kode hukum maritim pernah ditemukan. Namun hukum maritim Rhodian bertahan sampai Kekaisaran Romawi, dan diadopsi oleh bangsa Roma.
Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut.
Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan
dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah
40
J.G. Starke, terj. Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 322
41
Dimuat dalam: http:lalayulinurmala.blogspot.com201105kodifikasi-hukum-laut- internasional.html, diakses pada: 03 Agustus 2015
Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan
sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat res communis
omnium
42
sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang, dimana untuk memahami perkembangan mengenai laut yang terbuka tersebut perlu dijelaskan
adanya pemikiran lain tentang laut yang dianggap sebagai “res nullius”
43
2. Himpunan Rolles d’oleron
yaitu laut bias dimilikiapabila yang ingin memilikinya bisa menguasai dengan
mendudukinya yaitu suatu paham yang didasarkan atas konsepsi occupation dalam hukum Romawi. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun
sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan
perdata.
The Rolls of Oléron atau juga dikenal sebagai “Hukum Oleron” dan “Aturan Oleron” adalah koleksi penilaian disusun menjadi kode di akhir abad
kedua belas melalui suatu keputusan Eleanor dari Aquitaine, yang digunakan
42
Konsep penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang atau sering dikenal dengan asas “res communis omnium” dalam arti hak bersama seluruh manusia untuk
menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok bajak laut dengan bertambahnya penggunaan-penggunaan laut uses of the
sea lain disamping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan. Lihat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional,Bandung:
Binacipta,1986, hlm. 3.
43
Asas “res nullius” menganggap laut itu tidak ada yang memiliki. Menurut ajaran ini, maka siapa pun yang dapat menguasai laut, dapat pula memilikinya. Walaupun asas atau doktrin
ini dapat memberi kepastian, namun karena didasarkan atas penggunaan kekuatan fisik, asas ini tidak memberikan penyelesaian yang langgeng dan menjadi sumber dari persengketaan. Lihat
Ibid., hlm. 4.
sebagai kode maritim di seluruh Eropa. Ini adalah sumber Hukum Admiralty Inggris. Sekitar 1160 Eleanor dari Aquitaine pergi di pulau Oleron untuk
keadilan. Dia juga melakukan laporan hukum, yang kemudian dikodifikasikan untuk mengatur perdagangan maritim. Ini merupakan kode maritim pertama yang
sukses besar. Hal ini secara bertahap berkembang menjadi 24 item ke akhir abad kedua belas.
3. Sea Code of Wisby
Kode hukum laut yang ditetapkan oleh para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy. Kota ini adalah ibukota kuno Gothland, sebuah pulau di laut
Baltik. Maylne, dalam koleksi hukum laut, mengatakan bahwa hukum Oleron telah diterjamahkan ke dalam bahasa Belanda oleh rakyat Wisbuy ntuk
penggunaan pantai Belanda. Ketentuan dalam Hukum Wisby adalah persis sama dengan yang ditemukan di Hukum Oleron. Namun para penulis utara ini berpura-
pura bahwa Hukum Wisby lebih dahulu ada daripada Hukum Oleron atau dari Consolato del Mare.
4. Hukum Laut Amanna Gappa
Himpunan hukum pelayaran dan perdagangan di Indonesia yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Dimana dalam hukum laut dan pelayaran Amanna
Gappa ini memuat dua puluh satu pasal, hal ini merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang ditulisnya ketika berada di Gresik.
Pada tahun 1603, “Santa Catarina”, sebuah kapal Portugis dirampas oleh VOC di bawah Admiral Jacon van Hemskeerk di perairan Malaka. Saat itu
Belanda sedang terlibat perang dengan Portugis dan Spanyol dalam upaya berebut pengaruh di Asia Tenggara. Portugis meminta supaya Belanda mengembalikan
muatan “Santa Catarina” yang antara lain berupa 1200 gulung sutera Cina. Van Hemskeerk tidak memiliki otoritas dari VOC untuk menggunakan kekerasan
terhadap kapal-kapal Portugis. Sehingga sebagian pemegang saham kurang setuju dengan pemggunaan kekerasan tanpa kewenangan yang menyertai perampasan
“Santa Catarina”. Setelah muncul kontroversi, VOC meminta Hugo Grotius untuk menyusun argumentasi mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius
membenarkan perampasan terhadap kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum”, yaitu laut adalah wilayah yang bebas dipergunakan oleh bangsa
manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu negara. Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan alamiah.”
Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal melarang pihak lain berlayar ke
Timur Jauh didasarkan atas pendirian bahwa laut terbuka untuk siapa pun juga karena tidak ada yang memilikinya. Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk
membela kebebasan berlayar freedom of navigation di laut terhadap klaim bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini juga menyinggung tentang
kebebasan menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun didasarkan alasan bahwa laut itu
merupakan suatu sumber kekayaan laut yang tidak ada batasnya.
44
44
Ibid., hlm. 14.
Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali
menegaskan konsep “Mare Clausum”. Menurut konsep Mare Clausum, laut adalah wilayah yang dpat dimiliki sebagaimana wilayah darat. Hingga seterusnya
Pontanus seorang Belanda yang bekerja dalam dinas diplomatic Denmark, yang mengajukan suatu teori yang merupakan kompromi antara teori “Mare Clausum”
dan “Mare Liberum” dengan membagi laut menjadi dua bagian yakni laut yang berdekatan dengan negara pantai adjacent sea yang dapat jatuh dibawah
pemilikan atau kedaulatan negara pantai, sedangkan diluar itu lautan bersifat bebas.
45
Rumusan kompromi ini berdampak pada hilangnya pandangan yang bertentangan kedua dasar tersebut, dengan penyempurnaan oleh seorang ahli
hukum dari Belanda Cornelis Van Bynkershoek yang menulis buku De Domino Maris Dissertatio, mengemukakan suatu rumusan dalil sebagai penjelmaan dari
asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi; “kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir”
Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis.
46
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur dibawah
kedaulatan negara pantai, diantaranya; 1 ukuran tembakan meriam, 2 ukuran pandangan mata, dan 3 ukuran marine league.
47
45
Ibid., hlm. 19
Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah, yaitu ada bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian
46
Ibid., hlm. 20.
47
Ibid., hlm. 20-21.
laut lepas. Salah satu gagasan tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh negara pantai berdsarkan jangkauan
tembakan meriam ketika itu dari darat, yakni selebar 3 mil. Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum Internasional Kebiasaan di dalam
pemanfaatan laut. Semua pengaturan mengenai aturan atau hukum laut mengalami berbagai
upaya mengkodifikasinya, diantaranya; a.
Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930
Konferesi Internasional pertama yang membahas masalah laut teritorial ialah codification conference 13 Maret – 12 April 1930 di Den Haag, dibawah
naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak
menangkap ikan dari negara-negara pantai zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil 20 negara, 6 mil 12 negara, dan 4 mil.
Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PPB yang
sebelumnya bernama Liga Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional
tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.
b. UNCLOS I
Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 Februari – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS I
United Nations Convention on The Law of The Sea atau konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum laut.
Pertemuan ini menghasilkan empat konvensi, yaitu: 1.
Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan Memuat hak kedaulatan dan hak lintas melalui laut teritorial,
penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai, tapi gagal untuk menetapkan standar batas laut teritorial. Konvensi ini mulai
berlaku sejak 10 September 1964. 2.
Konvensi tentang Laut Lepas Memuat tentang; a Kebebasan pelayaran, b Kebebasan menangkap
ikan, c Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, d Kebebasan terbang di atas laut lepas, dimana konvensi ini berlaku
sejak tanggal 30 September 1962. 3.
Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas
Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian sengketa apabila
terjadi. Berlaku sejak tanggal 20 Maret 1966. 4.
Konvensi tentang Landas Kontinen
Memuat rezim yang mengatur perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa, rezim yang mengatur navigasi,
memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi negara pantai di wilayah ini. Berlaku semenjak tanggal 10 Juni 1964.
c. UNCLOS II 1960
Dalam upaya untuk menangani isu-isu yang belum terpecahkan setelah UNCLOS I, Majelis Umum PBB mengadakan Konvensi Kedua tentang Hukum
Laut UNCLOS II. Konferensi ini berlangsung dari tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut teritorial
dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
d. UNCLOS III 1982
Frustasi oleh inkonsistensi dalam rezim pemerintahan laut, duta besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta Majelis Umum untuk mengambil
tindakan dan menyerukan “sebuah rezim internasional yang efektif atas dasar laut,” yang jelas-jelas didefinisikan nasioanal yurisdiksi.
Satu bulan kemudian, Majelis Umum mengadopsi resolusi 2467 A XXIII dan resolusi 2750 C XXV, yang melahirkan the Committee on the Peaceful Uses
of the Sea-Bed and the Ocean Floor di luar batas yurisdiksi nasional dan menyerukan diadakannya Konferensi ketiga tentang Hukum Laut UNCLOS III
yang diadakan pada tahun 1973 di New York. Dalam upaya mengurangi kemungkinan kelompok negara atau bangsa mendominasi perundingan,
konferensi yang menggunakan proses konsensus dengan suara terbanyak. Dengan lebih dari 160 negara peserta, konferensi ini berlangsung sampai tahun 1982 yang
disetujui di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada
tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara keenam puluh, Guyana, meratifikasi perjanjian internasional tersebut.
Konverensi itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian yang telah dikembangkan di konferensi pertama.
Yang memuat sejumlah ketentuan seperti menetapkan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim transit, zona ekonomi eksklusif ZEE, yurisdiksi landas
kontinen, penambangan dasar laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah, dan penyelesaian sengketa.
Konvensi tersebut menetapkan batas berbagai daerah, diukur dari garis pangkal. Biasanya, sebuah dasar laut mengikuti garis air rendah, tapi ketika garis
pantai yang sangat menjorok, memiliki tepi pulau, garis pangkal lurus dapat digunakan. Daerahnya adalah sebagai berikut:
1. Perairan Dalam
Meliputi semua air dan saluran air pada sisi darat dari garis pangkal. Negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur
penggunaan, dan penggunaan sumber daya apapun. 2.
Laut Teritorial
Batas luar sampai 12 mil laut dari garis pangkal, negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan menggunakan
sumber daya apapun. Kapal diberi hak lintas damai melalui perairan teritorial, dengan selat strategis memungkinkan perjalanan militer sebagai
lintas transit, kapal laut harus memperlihatkan negara bendera di perairan teritorial. “Innocent Passage” didefinisikan oleh konvensi sebagai
melewati perairan secara cepat dan berkesinambungan, yang tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban atau keamanan negara
pantai. Memancing, polusi, praktek senjata, dan kapal selam serta kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di permukaan
dan menunjukkan bendera mereka. Negara pantai juga dapat menangguhkan untuk sementara lintas damai di daerah tertentu dari laut
teritorialnya, jika hal itu sangat penting untuk perlindungan keamanannya. 3.
Kepulauan Perairan
Konvensi ini menetapkan definisi Archipelagi Waters dalam Bagian IV, yang juga mendefinisikan bagaimana negara dapat menarik
batas teritorial. Dasarnya adalah ditarik antara titik-titik terluar dari pulau
terluar, tunduk pada poin yang cukup dekat satu sama lain. Semua perairan di dalam dasar ini ditujukan Archipelagi Waters. Negara memiliki
kedaulatan penuh atas perairan ini seperti perairan dalam, tetapi kapal asing memiliki hak lintas damai melalui perairan kepulauan seperti
perairan teritorial. 4.
Zona Tambahan
Zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang jaraknya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Kewenangan negara pantai di zona
tambahan yaitu dapat melakukan pencegahan pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah beacukai,
perpajakan, pengimigrasian, dan kesehatan atau saniter. Serta menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
disebut sebelumnya. 5.
Zona Ekonomi Eksklusif ZEE
Zona Ekonomi Eksklusif merupakan suatu daerah atau area yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Zona Ekonomi
Eksklusif berada di luar wilayah negara atau bukan merupakan wilayah negara. Akan tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak
dan yurisdikdi-yurisdikdi tertentu. Disamping itu hak-hak dan kebebasan- kebebasan juga dimiliki oleh negara lain pada zona laut ini yang harus
dihormati oleh negara pantai. 6.
Landasan Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya diluar laut teritorialyang merupakan lanjutan alamiah dari wilayah daratannya
sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal, atau sampai disisi luar dari ketentuan kontinen. Landas kontinen suatu negara boleh melebihi 200
mil laut sampai perpanjangan alami berakhir. Namun, tidak dapat melebihi 350 mil laut dari garis pangkal, atau mungkin tidak akan pernah
melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman 2.500 meter. Selain dari ketentuan-ketentuan yang menentukan batas-batas laut,
UNCLOS 1982 menetapkan kewajiban umum untuk melindungi lingkungan laut dan melindungi kebebasan penelitian ilmiah di laut lepas, dan juga menciptakan
suatu rezim hukum inovatif untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral di daerah-daerah dasar laut yang di luar yurisdiksi nasional, melalui
International Seabed Authority
48
Dalam mempertahankan perdamaian dan ketertiban di laut, serta penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk kepentingan umat
manusia, merupakan hal yang perlu diperhatikan, maka United Nations Convention on the Law of the Sea UNCLOS 1982, yang juga sering disebut
sebagi “Constitution of the Oceans”, telah menjadi dasar dalam berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut selama ini.
dan Common heritage of mankind principle.
48
International Seabed Authority ISA adalah organisasi internasional otonom yang didirikan berdasarkan UNCLOS 1982 yang berkaitan dengan pelaksanaan Bab XI konvensi. Organisasi ini
didirikan untuk mengawasi dan membatasi pihak-pihak yang mengeksplorasi dan mengekploitasi dasar laut yang menguntungkan pihak mereka agar tidak berlebihan. Lihat
gemonkzamania.blogspot.co.id201304profil-international-seabed-authority.html?m=1, diakses pada 12 Agustus 2015.
Pada tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS 1982, menetapkan asas-asas dasar untuk penataan kelautan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa UNCLOS 1982
ini merupakan suatu perjanjian internasional sebagai hasil dari negosiasi antar lebih dari seratus negara, yang mengatur materi yang begitu luas dan kompleks.
Secara rinci UNCLOS 1982 menetapkan hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan laut.
49
Menurut laporan Food and Agriculture Organizations FAO dalam The State of World Fisheries and Aquaculture selanjutnya disebut SOFIA tahun
2012 menyebutkan, bahwa sektor perikanan mendukung mata pencaharian sekitar 540 juta penduduk dunia dan produksi perikanan dunia mencapai 128 juta ton
ikan dan SOFIA 2012 menjelaskan bahwa persediaan ikan dunia mengalami penurunan akibat eksplotasi berlebih overexploited, yaitu: 85 SDI dunia dalam
keadaan overexploited dan fully exploited serta nberada dalam batas tangkapan maksimum lestari.
50
Kondisi SDI di laut lepas yang mengalami overfishing antara lain terjadi pada sumber daya ikan bermigrasi jauh. Berdasarkan Lampiran I the United
Penangkapan berlebih terhadap SDI sebenarnya sering terjadi di laut lepas oleh kapal penangkap ikan jarak jauh distant-water fishing vessels
yang keberadaannya akan mengancam kapal serta ketersediaan ikan di negara pantai yang berdekatan dengan laut lepas.
49
Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., LL.M. Penguatan Hukum Internasional Kelautan. Makalah disampaikan pada Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi,
Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan untukMeneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret 2015.
50
Batas tangkapan maksimum lestari adalah kondisi tingkat pemanfaatan sumber daya ikan tidak melebihi batasan yang ditetapkan sehingga persediannya tetap berkelanjutan. Lihat; Dr.
Chomariyah, SH., MH., Hukum Pengelolaan Konservasi Ikan, Pelaksanaan Pendekatan Kehati- hatian oleh Indonesia, Malang, SETARA Press, 2014. Hlm. 8.
Nation on the Law of the Sea selanjutnya disebut UNCLOS 1982 terdapat beberapa jenis ikan yang tergolong dalam daftar jenis ikan bermigrasi jauh seperti
dalam tabel 1 berikut;
51
No Nama Ikan
Nama Latin dan Nama Indonesia 1
Albacore Tuna Thunnus alalunga
2 Bluefin Tuna
Thunnus thynnud Tuna Sirip biru atlantik 3
Big eye tuna Thunnus Obesus tuna mata besar
4 Skipjack tuna
Katsuwonus pelamis cakalang 5
Yellowfin tuna Thunnus albacares Madidihang
6 Blackfin tuna
Thunnus atlanticus 7
Little tuna Euthynnus alletteratus;
Euthynnus affinis Tongkol 8
Southern Bluefin tuna Thunnus maccoyii Tuna sirip biru selatan
9 Frigate marckerel
Auxis thazard, Auxis rochei Makarel 10
Pomfrets Family Bramidae
11 Marlins
Terapturus angustirostris Setuhuk 12
Sail-fishes Istiophorus platypterus Ikan Layaran
13 Swordfidsh
Xiphias gladius Ikan Pedang 14
Sauries Scomberesox saurus Tenggiri
15 Dolphin
Coryphanea hippurus Lumba-lumba 16
Oceanic shark Hexanchus griseus Hiu
17 Cetaceans
Family Physeteridae Tabel 1. Daftar Jenis Ikan Bermigrasi Jauh High Migratory species
Berdasarkan Lampiran 1 UNCLOS 1982
51
Ibid., hlm. 11.
Mengingat pasal 87 UNCLOS 1982 dikenal adanya asas ”freedom of the high seas” yang berlaku di laut lepas yang merupakan zona maritim di luar
wilayah yurisdiksi nasional suatu negara, termasuk juga prinsip kebebasan menangkap ikan “freedom of fishing”. Tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini
sering salah pemahaman yang mengakibatkan overfishing atau over exploited, sehingga mendorong masyarakat internasional untuk mengatur hal ini.
Setelah berlakunya UNCLOS 1982, ketentuan tentang kebebasan menangkap ikan di laut lepas diatur dalam pasal 87 ayat 1 huruf e UNCLOS
1982, yaitu kebebasan menangkap ikan disertai dengan kewajiban yang diatur dalam bab VII bagian 2 Konvensi. Bagian 2 Konvensi mengatur tentang
pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas yang terdiri dari pasal 116 sampai pasal 120.
Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I
hingga Konferensi Hukum Laut III. Namun, hingga disahkan Konvensi Hukum Laut 1982, Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang
komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang
berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya
jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat
internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut.
Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3 sampai
dengan 14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda Agenda 21 yang mengharuskan negara-negara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama
bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, untuk menjamin bahwa perikanan di Laut Lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan
Hukum Laut 1982. Amanat Agenda 21 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor
47192 tanggal 22 Desember 1992, yang menghendaki dilaksanakannya Konferensi tentang Jenis Ikan yang Beruaya Terbatas dan Jenis Ikan yang
Beruaya Jauh. Dalam Resolusi tersebut ditekankan agar Konferensi dapat mengidentifikasi persoalan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan
jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, mempertimbangkan pentingnya peningkatan kerja sama antarnegara, serta
menyusun rekomendasi yang tepat. Setelah melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995, bertempat di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ditandatangani draft final persetujuan dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS
of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks United Nations Implementing
AgreementUNIA 1995. Tujuan Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan
ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982.
Terdapat juga pasal yang mengatur tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya jenis ikan bermigrasi jauh, yaitu ;
Pasal 63 ayat 2 UNCLOS 1982 yang menetapkan: “Where the same stock or stocks of associated species occur both within
the exclusive economic one and in an area beyond and adjacent to the zone, the coastal State and the States fishing for such stocks in the
adjacent area shall seek, either directly or through appropriate subregional or regional organizations, to agree upon the measures
necessary for the conservation of these stocks in the adjacent area.” Pasal 64 ayat 1 UNCLOS 1982, menyebutkan sebagai berikut;
“The coastal State and other States whose nationals fish in the region for the highly migratory species listed in Annex I shall cooperate directly or
through appropriate international organizations with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such
species throughout the region, both within and beyond the exclusive economic zone. In regions for which no appropriate international
organization exists, the coastal State and other States whose nationals harvest these species in the region shall cooperate to establish such an
organization and participate in its work.” Pasal 64 ini menjelaskan tentang jenis ikan bergerak melalui daerah luas
ruang laut, baik di dalam dan di luar zona ekonomi ekslusif. Jenis ikan ini disebut “ikan bermigrasi jauh”. Ayat 1 ini mengharuskan negara pantai dan negara lain si
suatu wilayah tertentu untuk bekerja sama untuk memastikan konservasi dan
meningkatkan tujuan pemanfaatan optimum dari jenis ikan bermigrasi jauh. Kerjasama yang dimaksu dapat secara langsung atau melalui organisasi
internasioanal dan harus dilakukan di seluruh wilayah, di dalam maupun diluar zona ekonomi eksklusif. Dalam hal ini juga dikatakan bahwa di daerah yang tidak
terdapat organisasi perikanan internasional, maka negara pantai dan negara lain yang memanen jenis ikan tersebut harus bekerjasama membentuk organisasi
tersebut. Dalam pasal 63 ayat 2 dan pasal 64 ayat 1 UNCLOS 1982 tidak
mencantumkan secara spesifik mengenai langkah-langkah dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh. Ketentuan
ini hanya menyebutkan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi kedua jenis ikan tersebut melalui kerjasama yang harus ditetapkan dalam persetujuan dua atau
lebihnegara pantai atau persetujuan tentang pembentukan orgasnisasi internasional untuk menjamin tujuan pemanfaatan kedua jenis ikan tersebut.
52
2.2 Pengaturan Mengenai Status Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya