Peran Indonesia Dalam Pengelolaan Dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh Setelah Ratifikasi Konvensi Western And Central Pasific Fisheries Commission (Wcpfc)
PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI
KONVENSI WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION (WCPFC)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
HARY TAMA SIMANJUNTAK NIM: 110200319
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI
KONVENSI WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION (WCPFC)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
HARY TAMA SIMANJUNTAK NIM: 110200319
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui/Diketehui Oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUMINTERNASIONAL
Dr. Chairul Bariah,S.H., M.Hum. NIP. 195612101986012001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.
NIP. 196207131988031003 NIP.195612101986012001 FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
ABSTRAKSI
Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.Hum.*) Dr. Chairul Bariah S.H. M.H.**)
Hary Tama Simanjuntak***)
Dengan wilayah perairan yang luas dan posisi geografis yang dimiliki Indonesia, tentunya memiliki sumber daya yang cukup banyak salah satunya sumberdaya perikanan yang dengan pengelolaan yang harus diperhatikan karena terdapat jenis ikan yang harus beruaya jauh hingga melewati batas suatu negara untuk dapat bertahan hidup. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana bagaimana pengaturan pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia khususnya setelah melakukan ratifikasi terhadap konvensi The Western and Central Pasific Fisheries Commission(Konvensi WCPFC) dan implikasinya terhadap pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di wilayah Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan.. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.
Hasil Penelitian menunjukkan amanat pasal 64 UNCLOS 1982 utuk bekerjasama dengan negara lain dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas telah dinyatakan dengan dibentuknya beberapa organisasi-organisasi pengelolaan ikan regional (RFMOs), yang saat ini Indonesia telah bergabung didalamnya dan telah meratifikasi perjanjian tersebut yang salah satunya The Western and Central Pasific Fisheries Commission, namun dalam iplikasinya harus membutuhkan Pengaturan pelaksana untuk dapat melaksanakan pengelolaan, konservasi dan dan pemanfaatan secara berkelanjutan sediaan ikan beruaya jauh yang optimaldi wilayah Indonesia.
Kata Kunci :Pengelolaan dan konservasi Sumber daya ikan, Konvensi WCPFC.
__________________________________ * Dosen Pembimbing I
** Dosen Pembimbing II
(4)
ABSTRACT
Prof. Suhaidi S.H., M.Hum.*) Dr. Chairul Bariah S.H. M.H.**)
Hary Tama Simanjuntak ***)
This study aims to determine how the Indonesian regulations in management of fish resources in Indonesia, especially after the ratification of the convention of The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC Convention) and its implications for the management and conservations of highly migratory fish in Indonesia. Realizing geographic and water territory that owned by Indonesia, would have sufficient resources such as fishery resources which management should be considered because there is a kind of fish that should be migratory up beyond a country’s water borders in order to survive, from this also note how the implications after WCPFC ratification in Indonesia.
The method used is the normative legal research with library research used to obtain secondary data required which includes primary legal materials, secondary and tertiary related issues. The results of the study are presented descriptively in order to obtain an explanation of the issues discussed.
The results showed that mandate of UNCLOS 1982 Article 64 to cooperate with other countries in management and conservation of fish resources in the high seas has been declared with the establishment of several Regional Fisheries management organizations (RMFOs), which is currently Indonesia has joined in it and have ratified the treaty one of which was The Western and Central Pacific Fisheries Commission, but with the implication should require the implementing arrangements to be able to carry out the management, conservation and optimal sustainable use of highly migratory fish stocks in Indonesia.
Keywords : management and conservation of highly migratory fish; WCPFC convention.
__________________________________ * Supervisor Lecturer I
** Supervisor Lecturer II
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : HARY TAMA SIMANJUNTAK
NIM : 110220319
JuduL : PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI KONVENSI WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION (WCPFC)
menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya oranglain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimanatersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Medan, Oktober 2015
HARY TAMA SIMANJUNTAK NIM. 110200319
(6)
KATA PENGANTAR
Segala Pujian hanya bagi Tuhan Yesus Allah yang mencipta, memelihara dan menebus hidupku sebab hanya Dialah yang layah disembah. Oleh berkat, penyertaan oleh Roh Kudus yan menganugerahkan penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI KONVENSI WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION (WCPFC) ini.
Penulisan skripsi bukan semata-mata sebagai syarat kelulusan akademik semata, namun penulis ingin mengkaji dan skripsi ini boleh memberikan sumbangsih dalam pemberian kebijakan kedepan atas pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia walau sadar bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangan, ketidaksempurnaan dan kerterbatasan penulis.
Dalam proses penyusunan skripsi ini dan selama menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, saya juga mendapat banyak dukungan moril dan materil dari berbagai pihak. Dengan penuh rasa hormat, sebagai penghargaan dan ucapan terimakasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
(7)
2. Prof. dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Syafriddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum,. Selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini;
6. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional;
7. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H., selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;
8. Ibu Joiverdia Arifiyanto SH., M.H., selaku dosen Pembimbing Akademik;
9. Dosen-dosen Fakultas Hukkum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tak ternilai bagi penulis;
10.Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU; jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai lainnya; Secara khusus saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua saya, Baktiar Simanjuntak dan Luseria Pasaribu yang selalu
(8)
menyemangati, mendukung dan mendoakan dan terus memberikan motivasi yang tak ternilai harganya hingga dapat menyelesaikan pendidikan formal S1 ini. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua saudara dan Keluarga besar Op. Taho dan Op. Leo beserta jajarannya untuk semua cinta, dukungan, perhatian, bantuan dan pengorbanannya, menjadi bagian dalam keluarga besar adalah hal terindah dalam hidup saya. Tuhan memberkati kita selalu.
11.Keluarga besar UKM Kebaktian Mahasiswa Kristen Unit Pelayanan Fakultas Hukum USU, terhusus Ozora-Solafide (Ka Jois, Kiris, Melpa, Desi, Sella, Dian, Citra, Merulay, Okta, Danil, Juanda, Hengki, Rikki); No-name (Pahala, Mawan), dan El Nino (Andre, Sun);
12.Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) dan terkhusus seluruh anggota pemerintahan VII dan seluruh anggota stambuk 2011 yang tidak dapat disebut satu-persatu. Salam Persahabatan!;
13.Rekan seperjuangan dalam perkuliahan 2011 (para manusia baja mallap) dan rekan Praktik Peradilan Semu (Klinis) Hukum Acara Pidana (kasus Chan), Perdata dan PTUN, Jere, Sarah, Culus, Tody, Natan, Etak, Nena, Ariprem, Merulay, Okta, Sapta, Pultak, Fransjo, dan lainnya, semangat Tuhan Yesus Memberkati!
14.Dongan seperjuangan sian SMA, Dewi, Imbet, Jernita, Zainal, Willy, Mario, Juanda, Jeffrinsn, sahat, dll. Mari wujudkan impianmu bukan seperti rencana-rencana yang kemarin yang selalu batal.
(9)
15.Rekan-rekan mata kuliah dan magang Klinik Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan dan Yayasan Pusaka Indonesia Medan, yang memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman internship dalam Klinik Hukum;
16.Rekan seperjuangan Grup G dan Grup C stambuk 2011 dan International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU; 17.Seluruh penulis buku, jurnal, artikel, essay dan sebagainya, yang saya
gunakan dalam penulisan skripsi ini;
Akhir kata, semoga Tuhan memberkati kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terimakasih.
Medan, Oktober 2015
Hormat Penulis,
Hary Tama Simanjuntak NIM. 110200319
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN………... ii
ABSTRAKSI……….. iii
LEMBAR PERNYATAAN………... v
KATA PENGANTAR………... vi
DAFTAR ISI ……….. x
DAFTAR GAMBAR ……….……….. xiii
DAFTAR SINGKATAN ……….………. xiv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang……….. 1
B. Perumusan Masalah………...15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..16
D.Keaslian Penelitian………....17
E. Tinjauan Kepustakaan………...17
F. Metode Penelitian………. 24
(11)
BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A.Sejarah Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan ………30 B. Pengaturan Mengenai Status Negara dalam Pengelolaan Sumber
Daya Ikan Lintas Batas dan Perkembangannya ………...48 C. Pengelolaan Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh Menurut Hukum
Internasional ...55
BAB III KERJASAMA REGIONAL INDONESIA DALAM
PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH
A.Sejarah Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh di Indonesia ………...70 B. Peran The Western and Central Pasific Fisheries Commission
(WCPFC) sebagai Organisasi Internasional dalam Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh ………...83
BAB IV PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI KONVENSI THE WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION (WCPFC) OLEH INDONESIA
(12)
A.Hak dan Kewajiban Negara-Negara anggota The Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC) dalam
Pengelolaan Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh ………93 B. Implementasi Perjanjian Internasional terkait Pengelolaan dan
Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh di Indonesia ………... 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan……….117 B. Saran………...121
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Wilayah Pasifik Barat Tengah (Western Central Pasific) menurut data FAO 2003 ………..……… 20
(14)
DAFTAR SINGKATAN
CCSBT : Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna
CCRF : Code of Conduct for Responsible Fisheries
CITES : Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora 1973
CMM : Conservation and Management Measures
DWFNs : Distant water fishing nations
FAO : Food and Agriculture Organizations
FFA : Forum Fisheries Agency
IATTC : Inter-American tropical Tuna Commission
ICCAT : International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna
IOTC : Indian Ocean Tuna Commission
IUU Fishing : Illegal, Unreported, Unregulated Fishing
KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan
MHLC : Multilateral High Level Conference Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks
(15)
RPP : Rencana Pengelolaan Perikanan
SDI : Sumber Daya Ikan
SOFIA : The State of World Fisheries and Aquaculture
SPC : Secretariat of the Pacific Community
UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
UNCED : United Nations Conference on Enviroment and Development
UNIA/UNFSA : United Nation Implementing Agreement-United Nations Fish Stocks Agreement 1995 atau Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995
WCPFC : Western Central Pacific Fisheries Commission
WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan
(16)
ABSTRAKSI
Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.Hum.*) Dr. Chairul Bariah S.H. M.H.**)
Hary Tama Simanjuntak***)
Dengan wilayah perairan yang luas dan posisi geografis yang dimiliki Indonesia, tentunya memiliki sumber daya yang cukup banyak salah satunya sumberdaya perikanan yang dengan pengelolaan yang harus diperhatikan karena terdapat jenis ikan yang harus beruaya jauh hingga melewati batas suatu negara untuk dapat bertahan hidup. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana bagaimana pengaturan pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia khususnya setelah melakukan ratifikasi terhadap konvensi The Western and Central Pasific Fisheries Commission(Konvensi WCPFC) dan implikasinya terhadap pengelolaan dan konservasi ikan beruaya jauh di wilayah Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dengan permasalahan.. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.
Hasil Penelitian menunjukkan amanat pasal 64 UNCLOS 1982 utuk bekerjasama dengan negara lain dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas telah dinyatakan dengan dibentuknya beberapa organisasi-organisasi pengelolaan ikan regional (RFMOs), yang saat ini Indonesia telah bergabung didalamnya dan telah meratifikasi perjanjian tersebut yang salah satunya The Western and Central Pasific Fisheries Commission, namun dalam iplikasinya harus membutuhkan Pengaturan pelaksana untuk dapat melaksanakan pengelolaan, konservasi dan dan pemanfaatan secara berkelanjutan sediaan ikan beruaya jauh yang optimaldi wilayah Indonesia.
Kata Kunci :Pengelolaan dan konservasi Sumber daya ikan, Konvensi WCPFC.
__________________________________ * Dosen Pembimbing I
** Dosen Pembimbing II
(17)
ABSTRACT
Prof. Suhaidi S.H., M.Hum.*) Dr. Chairul Bariah S.H. M.H.**)
Hary Tama Simanjuntak ***)
This study aims to determine how the Indonesian regulations in management of fish resources in Indonesia, especially after the ratification of the convention of The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC Convention) and its implications for the management and conservations of highly migratory fish in Indonesia. Realizing geographic and water territory that owned by Indonesia, would have sufficient resources such as fishery resources which management should be considered because there is a kind of fish that should be migratory up beyond a country’s water borders in order to survive, from this also note how the implications after WCPFC ratification in Indonesia.
The method used is the normative legal research with library research used to obtain secondary data required which includes primary legal materials, secondary and tertiary related issues. The results of the study are presented descriptively in order to obtain an explanation of the issues discussed.
The results showed that mandate of UNCLOS 1982 Article 64 to cooperate with other countries in management and conservation of fish resources in the high seas has been declared with the establishment of several Regional Fisheries management organizations (RMFOs), which is currently Indonesia has joined in it and have ratified the treaty one of which was The Western and Central Pacific Fisheries Commission, but with the implication should require the implementing arrangements to be able to carry out the management, conservation and optimal sustainable use of highly migratory fish stocks in Indonesia.
Keywords : management and conservation of highly migratory fish; WCPFC convention.
__________________________________ * Supervisor Lecturer I
** Supervisor Lecturer II
(18)
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Hukum adalah kebutuhan manusia. Membanjirnya arus tulisan tentang kebutuhan terhadap pemerintahan dunia menunjukkan kebutuhan akan hukum. Bangsa Romawi menegaskanya “ubi societas ubi ius” dimana ada masyarakat, disitu ada hak.1
Sudah merupakan ketentuan alam bahwa di saat individu-individu mengatur kehidupan mereka dalam suatu masyarakat, mereka segera merasa perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungannya satu sama lain. Demikian juga halnya dengan masyarakat politik yang dalam hubungannya satu sama lain merasa perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang mengatur segala macam hubungan dan kegiatan yang mereka lakukan. Dimana ada masyarakat tidak terlepas dari bentuk ataupun besarnya, akan selalu terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur kehidupan masyarakat itu sendiri. Dimana ada masyarakat disitu ada pula hukum walaupun dalam bentuk sederhana dan seperti apa yang dikatakan Brierly bahwa: Law exist only in a society, and a society cannot exist without a system of law to regulate the relations of its members with one another. Jadi apakah masyarakat itu masyarakat desa, masyarakat negara ataupun masyarakat dunia, akan selalu ada suatu system hukum yang mengatur hubungan antara anggota-anggotanya satu sama lain. Demikian juga halnya
1
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations: Pengantar Hukum Modern Antar Bangsa, Nuansa, Bandung, 2012 , hlm.17.
(19)
dengan masyarakat internasional yang hubungan dan kegiatan anggota-anggotanya diatur oleh apa yang dinamakan hukum internasional.2
Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional.3 Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.4 Negara telah menjadi subjek utama hukum internasional.5
Meskipun tidak ada defenisi yang tepat untuk memberikan penjelasan yang pasti dari sebuah negara, secara umum apa yang telah dikemukakan oleh para sarjana tentang definisi negara tidak jauh berbeda dengan unsur tradisional suatu negara yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara6, menyatakan: “The state as a person of international law should possess the following quqlifications: (a) a permanent population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into relations with the other states.”7
2
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2011, hlm. 4
3
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 98.
4
Boer Mauna, Op.Cit., hlm. 1.
5
Fabian O. Raimondo, General Principles of law in the Decisionsof International Criminal Courts and Tribunals, Martinus Nijhoff Publishers, Belanda, 2008, hlm. 64.
6
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.2.
7
International Conference of American States, Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933, Pasal 1.
(20)
Dilihat dari segi hukum internasional, unsur dari sebuah negara seperti yang dimuat dalam huruf (b) diatas, yaitu wilayah suatu negara (territory), dimana selain kita kenal udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara tertentulah yang mempunyai wilayah laut yaitu negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. Laut adakalanya merupakan batas suatu negara dengan negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu negara, sejauh garis batas wilayahnya.8
Dalam Perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu negara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik bagi setiap negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan kepentingan negara lain.9
Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan, kerja sama dan kesalingtergantungan antar negara, menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi, dan munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukum
8
P. Joko Subagyo, SH., Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.1.
9
(21)
internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organisasi internasional. 10
Salah satu hubungan yang diatur hukum internasional tersebut adalah bidang Kelautan maupun batas wilayah laut suatu negara.Wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Irian Jaya terdiri dari 1/3 daratan dan 2/3 lautan yang setelah diratifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, Luasnya menjadi 8.193.250 km2 terdiri dari 2.027.208,7 km2 daratan dan 6.166.163 km2 lautan. Apabila diperinci keadaan luas Laut Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Perairan Teritorial : 0,3 juta km2 b. Perairan Nusantara : 2,8 juta km2 c. Zona Ekonomi Ekslusif : 2,7 juta km2
Maka lautan Indonesia meliputi 70% dari seluruh wilayah Indonesia. Bagian negara yang sangat luas ini merupakan sumber daya alam hamper tak terbatas terutama bagi eksploitasi sumber daya lautan, termasuk sumberdaya ikan.11
Kondisi negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dimana wilayah kedaulatan yang dimilikinya tergolong luas, terbentang mulai dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari udara,
10
Boer Mauna. Op.cit.
11
Tim BPHN, Laporan Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan
di Perairan Nasional Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional
(22)
daratan dan lautan beserta gugusan pulau-pulau yaitu pulau-pulau besar sampai pulau-pulau kecil, yang oleh karena itu negara kita juga disebut negara kepulauan.
Pertimbangan yang mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia adalah: (1) bahwa bentuk geografis Republik Indonesia sebagai suatu negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri ; (2) bahwa bagi kesatuan wilayah (territorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat ; (3) bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah colonial sebagaimana termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuia lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia ; (4) bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.12
Pernyataan Pemerintah mengenai wilayah Perairan Indonesia merupakan suatu peristiwa penting dan menentukan dalam penetapan batas laut territorial yang diupayakan sejak 1956, dan pada 13 Desember 1957 aspek keamanan dan pertahanan merupakan pokok dari kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dalam menghadapi situasi yang diancam disintegrasi politik karena gerakan-gerakan separatis dan pemberontakan, pemerintah pada waktu itu membutuhkan suatu konsepsi yang dapat secara jelas, nyata dan mungkin
12
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, hal.187.
(23)
dijadikan symbol daripada kesatuan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Konsepsi nusantara sebagaimana dirumuskan dalam pernyataan Pemerintah, di dalam Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.
Deklarasi ini menjadikan “segala perairan diantara dan disekitar pulau-pulau” bagian dari wilayah nasional mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran internasional karena bagian dari laut lepas (high seas) yang tadinya bebas (free) dengan tindakan Pemerintah Indonesia ini (hendak) dijadikan bagian dari wilayah Nasional.13
Kedaulatan yang luas seperti yang dimiliki Indonesia, dimana memiliki Laut sebagai batas negara dengan negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti batas kekuasaan dan kedaulatannya sejauh atau seluas garis terluar batas wilayahnya, yang mana memungkinkan Indonesia memiliki keuntungan, antara lain;
a. garis pantai yang panjangnya sekitar 81.000 km merupakan bentuk pantai yang lurus, namun berkelok-kelok, hal ini sangat menguntungkan untuk pengembangan budidaya laut.
b. Adanya dua musim yang menonjol di perairan Indonesia, yaitu musim Barat dan musim Timur yang mempunyai pengaruh terhadap distribusi ikan. Dengan adanya perbedaan musim itu biasanya diikuti dengan konsdisi lingkungan perairan yang menjadi lahan yang subur bagi sumber daya ikan pada masing-masing sub area di perairan Indonesia.14
13
Ibid. hal. 189
14
(24)
Potensi Indonesia tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena berbagai hal. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun belum dapat memberikan sumbangsih yang signifikan bagi peningkatan pendapatan negara. Berbagai langkah telah diambil oleh pemerintah seperti peningkatan kualitas SDM Perikanan, pemberdayaan nelayan kecil, pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan, pengembangan sarana dan prasarana pengawasan, serta penegakan hukum tampaknya masih belum memberikan hasil yang memuaskan.15
Sebagai negara maritim karena memiliki wilayah lautan yang luas selain berfungsi sebagai penghubung beberapa wilayah dalam memperlancar hubungan transportasi, juga sebagai penopang kehidupan rakyat, karena itu bangsa Indonesia dapat memanfaatkan lautan demi mencapai kemakmuran negara dikarenakan kekayaan alam juga terdapat di laut juga yang ada di dasar laut. Dengan begitu penting peran laut dalam kegiatan umat manusia seperti dewasa ini, yang meliputi berbagai kegiatan seperti di pemanfaatan sumberdaya yang diantaranya pertambangan mineral, transportasi, produksi energi, perlindungan dan pelestarian lingkungan serta pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menentukan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
15
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisis dan Evaluasi tentang Pengadilan
(25)
Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumberdaya ikan.16
Namun bagaimana pun juga, sumberdaya ikan yang melimpah jika dieksploitasi tanpa batas dan tanpa suatu system pengelolaan yang menyangkut kelangsungan dari sumberdaya alam beserta keseimbangan ekosistemnya, seperti musnahnya spesies tertentu, sehingga dapat menimbulkan berkurangnya atau bahkan habisnya sumberdaya ikan. Oleh karena itu, suatu system pengelolaan melalui pengaturan yang memadai mutlak diperlukan, mengingat sumberdaya alam dewasa ini tidak lagi menjadi sumber daya yang tidak terbatas banyaknya, tetapi sudah merupakan sumber daya yang harus dibudidayakan dengan sebaik-baiknya. Sumberdaya ikan sangat peka oleh keadaan alam sekitarnya, apabila sumber daya itu dieksploitasi secara berlebihan (over exploitation) melebihi jumlah tangkapan maksimum (maximum sustainable yield) ataupun apabila sumber daya itu tidak dapat dieksploitasi sama sekali, hal ini akan menimbulkan dampak biologis bagi eksistensi sumberdaya ikan tersebut.17
Pengembangan Sumber daya alam di perairan Indonesia terdiri dari Pengembangan, peningkatan produksi yang ditujukan memperbaiki mutu gizi dan perbaika konsumsi protein hewani, dan bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan melalui ekspor perikanan serta pengelolaan yang sasarannya untuk melakukan prinsip suistainable yield, peningkatan pendapatan nelayan dan merangsng penanaman modal. Dalam hal ini bagi Indonesia yang secara geografis
16
Tim BPHN. Op.cit. hal. 1.
17
(26)
wilayahnya sebagian besar merupakan perairan terutama setelah disahkannya rezim hukum zona ekonomi eksklusif dalam hukum internasional.
Kegiatan dibidang perikanan menyangkut berbagai segi yang akan mempengaruhi materi pengaturan hukum yang mengatur pengelolaan perikanan Laut, meliputi aspek biologi, teknologi, sosial, dan politik. Pada dasarnya ikan memiliki sifat suka bergerak dan berpindah-pindah tempat dalam batas-batas tertentu. Keadaan ini akan mempengaruhi konsepsi hukum, misalnya mengenai penentuan yurisdiksi yang memberlakukan batas-batas tertentu sebagai wilayah perikanan, padahal ikan memiliki kebebasan bergerak yang dapat melintasi batas-batas yurisdiksi suatu negara. Jenis ikan pun beraneka ragam, ada ikan yang menetas dan bertelur disuatu tempat tetapi besar dan dewasa di tempat lain, ada ikan yang bertelur di air hangat tetapi dewasa di air dingin (anadromus) dan sebaliknya (katadromus), sehingga aspek hukum pengelolaan perikanan memiliki kekhususan tersendiri. Faktor biologis ikan meliputi: sifat peka terhadap alam sekitarnya, misalnya pengerukan dasar laut dari kegiatan pertambangan atau kegiatan penelitian ilmiah kelautan, dapat mengganggu habitat ikan dasar laut. Ciri lainnya adalah sifat dapat diperbaharui. Lain dengan sumber mineral seperti minyak, yang relative sangat lama untuk kembali dapat tersedianya. Danciri cukup penting adalah sifat keanekaragaman spesies ikan, dan diperkirakan bahwa spesies yang hidup di perairan Indonesia lebih dari 100 jenis. Factor teknologi dari kegiatan perikanan antara lain masalah penggunaan alat penangkapan ikan harus selektif, mengingat bahwa penggunaan teknologi tertentu akan dapat mengakibatkan tertangkap atau terbunuhnya spesies tertentu yang bukan
(27)
merupakan tujuan dari usaha tersebut. Sehingga penggunaan teknologi yang sembrono akan menimbulkan rusak atau terganggunya habitat dari spesies tertentu. Apabila hal ini dibiarkan berjalan secara terus menerus, maka keseimbangan ekosistem akan terganggu, bahkan dapat mengakibatkan musnahnya spesies tertentu. Faktor ekonomi dari masalah pengelolaan perikanan terutama mengenai konsentrasi penangkapan ikan yang ditujukan pada spesies-spesies yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti ikan jenis cod, haddock, tuna, salmon, shrimp, halibut, ocean perch dan sebagainya.18
Sebagai negara berdaulat, Indonesia mempunyai otonomi penuh serta tanggung jawab penuh terhadap perkembangan bangsa dan negara, baik bersifat ke dalam maupun keluar dengan segala kebijaksanaan di berbagai bidang maupun hukum, ekonomi, politik, maupun pertahanan dan keamanan serta menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Hal ini didukung pernyataan Jean Bodin yang ngatakan bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara untuk menentukan hukum dalam negara tersebut dan sifatnya; tunggal, asli, abadi serta tidak dapat dibagi-bagi.19 Demikian masalah penegakan hukum di rezim-rezim hukum laut, jika adanya permasalahan. Suatu negara hanya berdaulat penug (souveregnity) pada laut teritorialnya, sedangkan pada ZEE dan landas kontinen, suatu negara hanya mempunyai hak berdaulat (souvereign right). Suatu begara tidak mempunyai kedaulatan apapun di laut lepas.20
18
Ibid.hal.3.
19
Soehino. Ilmu Negara.Liberty:Yogyakarta.1980. hal.17.
20
Dr. Suhaidi, S.H,MH., Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari Kapal: Konsekuensi Penerapan Hak Pelayaran Internasional Melalui Perairan Indonesia, Pustaka Bangsa Press: Jakarta, 2004, hal. 13.
(28)
Kembali melihat kepada unsur suatu negara dalam Konvensi Montevideo 1933, yaitu salah satunya capacity to enter into relations with the other states, merupakan suatu syarat penting. Suatu negara harus mampu untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan eksternal dengan negara-negara lain. Hal ini lah yang membedakan negara dalam arti sesungguhnya dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota suatu federasi yang tidak mengurus hubungan luar negerinya sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang sepenuhnya mandiri.21
Saling membutuhkan antara negara-negara di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antara negara-negara, serta mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan tersebut.22
Perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan dan menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantingan dewasa ini, tidak ada satu negara Dengan adanya kepentingan negara Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini berhubungan dengan kedaulatan nya dalam wilayah yang mana Indonesia juga mempunyai perbatasan laut dengan negara-negara sekitarnya, maka sebagai pengatur hubungan internasional tersebut, Indonesia melakukan perjanjian atau kesepakatan dengan negara lain atau melalui perjanjian internasional.
21
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, ed. 9, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 127
22
(29)
yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.23
Kerjasama regional di dalam pengelolaan stok ikan telah dilaksanakan sejak tahun 1920-an pada saat Amerika serikat dan Kanada menyelenggarakan the International Pacific Halibut Commission. Namun, 11 dari 16 RFMO yang ada saat ini dan yang memiliki mandat untuk menetapkan langkah-langkah pengelolaan secara langsung telah diselenggarakan sejak 30 tahun yang lalu. Meskipun terdapat beberapa kesenjangan, mayoritas sumberdaya perikanan laut dunia berada di bawah kendali setidaknya satu RFMO atau lebih.24
Terdapat juga pasal yang mengatur tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya jenis ikan bermigrasi jauh, yaitu ; Pasal 63 ayat (2) dan pasal 64 ayat (1) UNCLOS 1982, dimana pasal 63 ayat (2) dan pasal 64 ayat (1) UNCLOS 1982 tidak mencantumkan secara spesifik mengenai langkah-langkah dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh. Ketentuan ini hanya menyebutkan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi kedua jenis ikan tersebut melalui kerjasama yang harus ditetapkan dalam persetujuan dua atau lebih negara pantai atau persetujuan tentang pembentukan orgasnisasi internasional untuk menjamin tujuan pemanfaatan kedua jenis ikan tersebut.25
23
Boer Mauna, Op.Cit. hlm. 82.
24
Lihat
25
Dr. Chomariyah, SH., MH., HUKUM PENGELOLAAN KONSERVASI IKAN
(30)
Mengingat tuna dan species seperti tuna termasuk kelompok ikan yang bersifat highly migratory fish stocks dan straddling fish stocks, maka pengelolaan perikanan tuna seharusnya dilakukan bekerjasama dengan komunitas internasional. Komitmen Indonesia untuk turut serta mewujudkan pengelolaan tuna dan spesies seperti tuna secara berkelanjutan melalui kerjasama internasional, telah dinyatakan melalui Undang Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Starddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nation Implementing Agreement - UNIA1995). Pengesahan ini mewajibkan kita untuk bekerjasama dengan berbagai negara di dunia yang telah dilembagakan melalui Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga tahun 2014 tergabung di beberapa RFMOs, baik sebagai anggota tetap maupun anggota tidak tetap (non contracting member) meliputi :
1. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)
2. Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) 3. Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC)
4. Inter-American tropical Tuna Commission (IATTC)
5. International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT)26
26
Indonesia sebelumnya sudah menjadi anggota di IOTC dan CCSBT, sedangkan baru pada Desember 2013 Indonesia akhirnya menjadi anggota tetap di WCPFC dan berhak memiliki kuota penangkapan Tuna yang lebih besar dari status sebelumnya yaitu anggota tidak tetap (Cooperating Non Member). Sedangkan di IATTC status Indonesia saat ini masih bersifat Cooperating non Member, dengan demikian diharapkan Indonesia mampu memanfaatkan kuota
(31)
Dengan dilakukan kerjasama dengan RFMO maka pemerintah Indonesia dapat meningkatkan kerjasama Indonesia dengan negara-negara lain di sekitar kawasan perairan Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia, khususnya di kawasan Samudera Pasifik untuk memfasilitasi kepentingan pembangunan pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia, termasuk meningkatkan posisi Indonesia dalam negoisasi-negoisasi dalam rangka kesepakatan pengelolaan sumber daya ikan. Dengan itu Indonesia diharapkan dapat menguntungkan perikanan nasional, antara lain adanya keuntungan pengelolaan perikanan tuna bagi Indonesia, mengingat adanya fakta yang menyebutkan bahwa sumber daya tersebut terdapat banyak di perairan Indonesia.
WCPFC adalah sebuah perjanjian perikanan internasional yang berupaya untuk menjamin pelestarian jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan dari stok ikan ruaya jauh (yakni tuna, billfish, marlin) di Samudera Pasifik bagian tengah dan barat. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang dikembangkan di bawah persyaratan Konvensi ini berlaku bagi stok ini di seluruh wilayah jangkauannya, atau di wilayah-wilayah tertentu di dalam Wilayah Konvensi. WCPFC mencakup sebuah wilayah yang sangat luas dari Samudera Pasifik, hampir 20% dari permukaan bumi. Meskipun secara teoritis wilayah barat membentang sampai wilayah laut Asia Timur, dipahami bahwa wilayah Konvensi ini tidak mencakup Laut Cina Selatan. Di bagian timur, Wilayah Konvensi ini berbatasan, atau tumpang tindih (overlap), dengan wilayah operasi the
penangkapan ikan Tuna yang telah ditetapkan mengingat Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai tinggi, dimuat pada
(32)
American Tropical Tuna Commission. Batas selatan membentang sampai 60 derajad ke selatan dan batas utara membentang sampai Alaska dan Laut Bering.27
Peran Indonesia dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC, merupakan partisipasi Indonesia dalam hal memperjuangkan kepentingan perikanan nasional. Sementara itu, dalam diplomasi di WCPFC, Indonesia harus memerhatikan kewajiban-kewajiban yang melekat sebagaimana diatur dalam Konvensi Pembentukan WCPFC, Conservation and Management Measures (CMM) serta resolusi yang berkembang. Hal ini dikarenakan, sebagai subjek hukum internasional, WCPFC memiliki kemampuan untuk mengeluarkan hukum yang akan dijadikan sumber hukum.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perkembangan pengaturan Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh menurut Hukum Internasional?
2. Bagaimana Kerjasama Indonesia dengan negara-negara Kawasan Pasifik Tengah dan Barat dalam Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Ikan Beruaya Jauh?
3. Bagaimana Implikasi Ratifikasi Konvensi The Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) bagi Indonesia?
27
Dimuat dalam:
(33)
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Untuk mengetahui pengaturan Internasional mengenai Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh.
2. Untuk mengetahui Kerjasama Indonesia dengan negara-negara kawasan we stern central pasificdalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh.
3. Untuk mengetahui bagaimana implikasi dari ratifikasi Konvensi The Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) bagi Indonesia.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Secara praktis dapat memberikan pengertian dan informasi tentang bagaimana Peran Indonesia dalam Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh setelah Ratifikasi Konvensi Western and Central Pasific Fisheries Commissions (WCPFC). Selain itu tulisan ini juga menjadi sebuah persembahan bagi masyarakat luas terkhusus untuk mahasiswa-mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara agar memahami bagaimana implikasi dari ratifikasi Konvensi The Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) bagi Indonesia.
(34)
1.4Keaslian Penelitian
Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 16 Februari 2015. Dalam hal mendukung penelitian ini digunakan pendapat-pendapat para sarjana yang dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang dibahas. Semua sumber tesebut telah dikutip maupun dirujuk dengan benar.
1.5Tinjauan Kepustakaan
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku, laporan-laporan, dan informasi dari internet. Maka diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambil dari sumber-sumber yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang jelas.
Berikut penjelasan beberapa istilah dalam tulisan ini untuk memperoleh pemahaman yang sama;
(35)
a) Konvensi
Konvensi merupakan salah satu bentuk dari Perjanjian Internasional, dimana dalam pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties mendefinisikan Perjanjian Internasional asalah sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apa pun nama yang diberikan padanya.28 Suatu Perjanjian internasioanal merupakan perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.29 Dalam pembuatan perjanjian internasional biasanya melalui beberapa tahap yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification).30
b)WCPFC
Perjanjian internasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Convention (konvensi).
Western Central Pacific Fisheries Commission dalam hal ini disingkat menjadi WCPFC adalah sebuah perjanjian perikanan internasional yang berupaya untuk menjamin pelestarian jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan dari stok ikan ruaya jauh (yakni tuna, billfish, marlin) di Samudera Pasifik bagian tengah dan barat. WCPFC mencakup sebuah wilayah yang sangat luas dari Samudera Pasifik, hampir 20% dari permukaan bumi. Meskipun secara teoritis wilayah barat membentang sampai wilayah laut Asia Timur, dipahami bahwa wilayah Konvensi ini tidak mencakup Laut Cina Selatan. Di bagian timur,
28
United Nations, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, pasal 2
29
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm.117
30
(36)
Wilayah Konvensi ini berbatasan, atau tumpang tindih (overlap), dengan wilayah operasi the Inter-American Tropical Tuna Commission.31
Cakupan konvensi ini yaitu; dari pantai Selatan Australia ke arah sepanjang 1410 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 550 Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur sejajar dengan 550 Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 1500 Bujur Timur; kemudian sepanjang 1500 Bujur Timur sampai perpotongannya dengan 600 sejajar Lintang Selatan, kemudian ke arah Timur 600 sejajar dengan Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 1300 Bujur Barat; kemudian ke Utara sejajar 1300 Bujur Barat sampai perpotongannya dengan 40 sejajar Lintang Selatan; kemudian ke Barat 40 sejajar Lintang Selatan sampai perpotongannya dengan 1500 Bujur Barat; kemudian sepanjang Utara 1500 Bujur Barat.32
31
Op.Cit.
32
(37)
c) Western Central Pasific
Gambar 1.1 Wilayah pasifik Barat Tengah (Western Centeral Pasific) menurut Data FAO 2003
Batas perairan Western Central Pacific yaitu dibatasi oleh garis dimulai dari titik di pantai tenggara dari daratan Asia pada 15°00 Lintang Utara; ke arah 115°00 Bujur Timur; dari sisi utara 20°00 Lintang Utara sampai sepanjang paralel ini ke timur di 175°00 Bujur Barat; dan sepanjang meridian ini sampai ke arah selatan di 25°00 Lintang Selatan; sampai ke barat ke 155°00 Bujur Timur; sampai ke arah selatan di 28°09 Lintang Selatan; di sisi barat titik di pantai Australia pada
(38)
batas antara Amerika dari New South Wales dan Queensland; ke utara sepanjang pantai Queensland dan Negara Northern Territory ke titik di 129°00 bujur Timur di batas antara Negara Australia Barat dan Northern Territory; ke arah utara sampai 8° Lintang Selatan sampai ke barat di 113°28 Bujur Timur; hingga sepanjang pantai selatan Jawa pada 8°23 Lintang Selatan; sampai ke perairan laut antara Jawa dan Sumatera; yaitu sepanjang pantai timur Sumatera dan sampai ke utara di Selat Malaka sampai 2°30 Lintang Utara; di Selat itu penuh sampai seluruh pantai Semenanjung Melayu; mengitari pantai Semenanjung dan berjalan ke utara di sepanjang pantai dari daratan Asia ke titik keberangkatan.33
d)Ratifikasi
Ratifikasi merupakan cara dalam pernyataan persetujuan untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Dengan penandatanganan suatu perjanjian belum menciptakan ikatan hukum nagi para pihaknya, maka perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya.
Council of Europe mengemukakan “Ratification is an act by which the state expresses its definitive consent to be bound by the treaty. Then, the State Party must respect the provisions of the treaty and implement it.”34
Ratifikasi suatu perjanjian adalah suatu prosedur yang secara progresif dimulai pada pertengahan abad XIX. Sebelumnya utusan yang diberi kuasa penuh oleh raja dapat menandatangani perjanjian dan langsung mengikat secara
33
Dimuat pada
34
Lihat “Glosarry on the Treaties”, dimuat pada
(39)
defenitif. Menurut Grotius, tanda tangan sudah cukup. Kemudian dengan munculnya monarki absolut dan berkembangnya prinsip-prinsip demokrasi maka dirasa perlu untuk memeriksa kembali perjanjian yang telah dibuat dan yang telah ditandatangani oleh usan-utusan raja tersebut. Selanjutnya penandataganan tidak cukup untuk mengikat negara. Sesudah itu harus ada ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi dan barulah sesudah ratifikasi itu negara dapat diikat secara definitif oleh suatu perjanjian.35
e) Sumber daya ikan
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Dimana ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di lingkungan perairan.
f) Pengelolaan Perikanan
Pasal 1 angka 7 Undang- Undang Nomor 31 tahun 2004 memberi penjelasan tentang pengelolaan perikanan yaitu semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelasngsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
35
(40)
g) Konservasi sumber daya ikan
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada pasal 1 angka 8 menjelaskan bahwa konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya denga tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
h)Ikan beruaya jauh (Highly migratory stocks)
Highly migratory stocks, terdiri dari spesies-spesies ikan yang terdapat pada Lampiran 1 UNCLOS 1982 yang merupakan defenisi sah (legal) tentang sedian ikan beruaya jauh. Berdasarkan definisi ilmiah sediaan ikan beruaya jauh didefinisikan sebagai jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dan melintasi laut lepas dan ZEE, bahkan batas-batas administrasi suatu negara (Maguire, 2006).
Dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982, termasuk dalam sedian ikan beruaya jauh terdiri dari ; tuna dan tuna-like species, oceanic sharks, pomfrets, sauries dan dolphinfish. Jenis tuna terdiri dari ; (1) Albacore tuna (Thunnus alalunga), (2) Bluefin tuna (thunnus thynnus), (3) Bigeye tuna (Thunnus obesus), (4) Skipjack tuna (Katsuwo pelamis), (5) Yellowfin tuna (Thunnus albacores), (6) Blackfin tuna (Thunnus atlanticus), (7) Litle tuna (Euthynnus alleteratus dan E.affinis) , (8) Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), (9) Frigate mackerels (Auxis thazard dan A.rochei). Sedangkan kelompok tuna lainnya, terdiri dari ; (1) Marlin terdiri dari 8 spesies (Teprapturus angustirostris, T. belone, T. pfluegeri, T.albidus,
(41)
T.audax, T. georgei, Makaira indica, M.nigricans), (2) Sailfish, terdiri dari 2 spesies (Istiophorus platyphorus dan I. albicans), dan (3) Swordfish (Xiphias gladicus).
Seiring dengan perkembangan identifikasi spesies, spesies yang masuk dalam kelompok sediaan ikan beruaya jauh dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982 seharusnya diperbaharui. Berdasarkan identifikasi FAO terakhir, spesies Blackfin tuna, Little tuna, dan Frigate tuna tidak termasuk spesies beruaya jauh karena merupakan spesies-spesies neritic yang hidup di perairan dekat pantai dengan kedalaman kurang dari 200 m.
1.6Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya, demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.
Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan pada norma-norma hukum yang berlaku. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang
(42)
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.36
2. Jenis Data
Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional dan sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 13-14.
(43)
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan menggunakan metodeLibrary Research (penelitian kepustakaan) dengan alat pengumpul data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka37
Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal serta artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik.
, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.
37
Sri Mamudji, et. al., Metode Pengantar Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 66.
(44)
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan, suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah.38
1.7Sistematika Penulisan
Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, yaitu adanya kedaulatan suatu negara untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam hal ini mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh yang dengan amanat suatu perjanjian internasional yang dikanal dengan UNCLOS yang mengamanatkan negara yang punya hak dan kewajiban dengan sumberdaya ikan jenis itu untuk membentuk suatu organisasi regional yang akan berdampak bagi negara-negara yang meratifikasinya. Kemudian juga membahas perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
38
(45)
penulisan, tinjauan pusataka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGATURAN PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Bab ini menguraikan sejarah pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan, pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh menurut hukum internasional, pengaturan mengenai status negara dalam pengelolaan sumber daya ikan lintas batas dan perkembangannya.
BAB III : KERJASAMA INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH
Bab ini menguraikan sejarah perlindungan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh di Indonesia dan peranan The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) sebagai Organisasi Internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh.
BAB IV : PERAN INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BERUAYA JAUH SETELAH RATIFIKASI KONVENSI THE WESTERN AND CENTRAL PASIFIC FISHERIES COMMISSION (WCPFC)
(46)
Bab ini menguraikan tentang hak dan kewajiban negara-negara anggota The Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) dalam pengelolaan sumber daya ikan beruaya jauh dan bagaimana implementasi perjanjian internasional terkait pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan beruaya jauh di Indonesia.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran.
(47)
BAB II
PENGATURAN PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
2.1 Sejarah Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan
Hukum harus mengatur hubungan negara-negara di dunia jika mereka ingin damai, entah hubungan itu terus diatur dalam tatanan negara berdaulat, entah dengan diadakannya sebuah konfederasi dunia atau dibentuh negara-negara dunia yang bersatu.39
39
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations: Pengantar Hukum Modern Antar Bangsa, Nuansa, Bandung, 2012 , hal.18.
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selain perkembangan hukum laut dan jalur-jalur maritim. Pada awalnya, pelayaran di laut bebas terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan penangkapan-penangkapan ikan, akan tetapi pada abad keenam belas periode-periode dimana terjadi penemuan maritim akbar oleh para pelaut Eropa dan klaim-klaim yang dikemukakan oleh negara maritim dengan tujuan untuk melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat dibedakan dari pemilikan atas bagian-bagian tertentu dari laut bebas. Seorang Grotius merasa sangat keberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan tersebut dengan berlandaskan dua faktor; pertama, tidak ada lautan yang dapat menjadi milik suatu bangsa atau negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk secara efektif mengambilnya sebagai hal milik dengan cara okupasi. Faktor kedua, alam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki sarana yang dapat
(48)
dimanfaatkan oleh setiap orang serta sifatnya tidak dapat habis, atau dengan kata lain laut lepas adalah hak semua bangsa.40
Mengetahui sejarah pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan tidak lepas dari sejarah dan perkembangan hukum laut itu sendiri yang sejak awal yaitu dimulai pada
41
1. Hukum Laut Rhodia (abad 7) ;
Rhodes adalah seorang pelaut, yang kuat serta mandiri. Antara 1.000 SM dan 600 SM, rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan mereka tersebar di daerah Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan Spanyol. Secara bersamaan, orang-orang Rhodes mengembangkan aturan hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritim (Rhodia Lex). Tidak ada salinan kode hukum maritim pernah ditemukan. Namun hukum maritim Rhodian bertahan sampai Kekaisaran Romawi, dan diadopsi oleh bangsa Roma.
Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah
40
J.G. Starke, (terj. Bambang Iriana Djajaatmadja), Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 322
41
Dimuat dalam:
(49)
Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium)42 sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang, dimana untuk memahami perkembangan mengenai laut yang terbuka tersebut perlu dijelaskan adanya pemikiran lain tentang laut yang dianggap sebagai “res nullius”43
2. Himpunan Rolles d’oleron
yaitu laut bias dimilikiapabila yang ingin memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya yaitu suatu paham yang didasarkan atas konsepsi occupation dalam hukum Romawi. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata).
The Rolls of Oléron atau juga dikenal sebagai “Hukum Oleron” dan “Aturan Oleron” adalah koleksi penilaian disusun menjadi kode di akhir abad kedua belas melalui suatu keputusan Eleanor dari Aquitaine, yang digunakan
42
Konsep penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang atau sering dikenal dengan asas “res communis omnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut) dengan bertambahnya penggunaan-penggunaan laut (uses of the sea) lain disamping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan. Lihat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional,Bandung: Binacipta,1986, hlm. 3.
43
Asas “res nullius” menganggap laut itu tidak ada yang memiliki. Menurut ajaran ini, maka siapa pun yang dapat menguasai laut, dapat pula memilikinya. Walaupun asas atau doktrin ini dapat memberi kepastian, namun karena didasarkan atas penggunaan kekuatan fisik, asas ini tidak memberikan penyelesaian yang langgeng dan menjadi sumber dari persengketaan. Lihat Ibid., hlm. 4.
(50)
sebagai kode maritim di seluruh Eropa. Ini adalah sumber Hukum Admiralty Inggris. Sekitar 1160 Eleanor dari Aquitaine pergi di pulau Oleron untuk keadilan. Dia juga melakukan laporan hukum, yang kemudian dikodifikasikan untuk mengatur perdagangan maritim. Ini merupakan kode maritim pertama yang sukses besar. Hal ini secara bertahap berkembang menjadi 24 item ke akhir abad kedua belas.
3. Sea Code of Wisby
Kode hukum laut yang ditetapkan oleh para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy. Kota ini adalah ibukota kuno Gothland, sebuah pulau di laut Baltik. Maylne, dalam koleksi hukum laut, mengatakan bahwa hukum Oleron telah diterjamahkan ke dalam bahasa Belanda oleh rakyat Wisbuy ntuk penggunaan pantai Belanda. Ketentuan dalam Hukum Wisby adalah persis sama dengan yang ditemukan di Hukum Oleron. Namun para penulis utara ini berpura-pura bahwa Hukum Wisby lebih dahulu ada daripada Hukum Oleron atau dari Consolato del Mare.
4. Hukum Laut Amanna Gappa
Himpunan hukum pelayaran dan perdagangan di Indonesia yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Dimana dalam hukum laut dan pelayaran Amanna Gappa ini memuat dua puluh satu pasal, hal ini merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang ditulisnya ketika berada di Gresik.
Pada tahun 1603, “Santa Catarina”, sebuah kapal Portugis dirampas oleh VOC (di bawah Admiral Jacon van Hemskeerk) di perairan Malaka. Saat itu
(51)
Belanda sedang terlibat perang dengan Portugis dan Spanyol dalam upaya berebut pengaruh di Asia Tenggara. Portugis meminta supaya Belanda mengembalikan muatan “Santa Catarina” yang antara lain berupa 1200 gulung sutera Cina. Van Hemskeerk tidak memiliki otoritas dari VOC untuk menggunakan kekerasan terhadap kapal-kapal Portugis. Sehingga sebagian pemegang saham kurang setuju dengan pemggunaan kekerasan tanpa kewenangan yang menyertai perampasan “Santa Catarina”. Setelah muncul kontroversi, VOC meminta Hugo Grotius untuk menyusun argumentasi mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius membenarkan perampasan terhadap kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum”, yaitu laut adalah wilayah yang bebas dipergunakan oleh bangsa manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu negara. Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan alamiah.”
Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian bahwa laut terbuka untuk siapa pun juga karena tidak ada yang memilikinya. Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini juga menyinggung tentang kebebasan menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut yang tidak ada batasnya.44
44
(52)
Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali menegaskan konsep “Mare Clausum”. Menurut konsep Mare Clausum, laut adalah wilayah yang dpat dimiliki sebagaimana wilayah darat. Hingga seterusnya Pontanus seorang Belanda yang bekerja dalam dinas diplomatic Denmark, yang mengajukan suatu teori yang merupakan kompromi antara teori “Mare Clausum” dan “Mare Liberum” dengan membagi laut menjadi dua bagian yakni laut yang berdekatan dengan negara pantai (adjacent sea) yang dapat jatuh dibawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai, sedangkan diluar itu lautan bersifat bebas.45 Rumusan kompromi ini berdampak pada hilangnya pandangan yang bertentangan kedua dasar tersebut, dengan penyempurnaan oleh seorang ahli hukum dari Belanda Cornelis Van Bynkershoek yang menulis buku De Domino Maris Dissertatio, mengemukakan suatu rumusan dalil sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi; “kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir” (Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis).46
Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur dibawah kedaulatan negara pantai, diantaranya; (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata, dan (3) ukuran marine league.47
45
Ibid., hlm. 19
Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah, yaitu ada bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian
46
Ibid., hlm. 20.
47
(53)
laut lepas. Salah satu gagasan tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh negara pantai berdsarkan jangkauan tembakan meriam (ketika itu) dari darat, yakni selebar 3 mil. Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum Internasional Kebiasaan di dalam pemanfaatan laut.
Semua pengaturan mengenai aturan atau hukum laut mengalami berbagai upaya mengkodifikasinya, diantaranya;
a. Konferensi Kodifikasi Den Haag (1930)
Konferesi Internasional pertama yang membahas masalah laut teritorial ialah codification conference (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, dibawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil.
Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PPB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.
(54)
b. UNCLOS I
Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 Februari – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum laut.
Pertemuan ini menghasilkan empat konvensi, yaitu:
1. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
Memuat hak kedaulatan dan hak lintas melalui laut teritorial, penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai, tapi gagal untuk menetapkan standar batas laut teritorial. Konvensi ini mulai berlaku sejak 10 September 1964.
2. Konvensi tentang Laut Lepas
Memuat tentang; (a) Kebebasan pelayaran, (b) Kebebasan menangkap ikan, (c) Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, (d) Kebebasan terbang di atas laut lepas, dimana konvensi ini berlaku sejak tanggal 30 September 1962.
3. Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas
(55)
Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi. Berlaku sejak tanggal 20 Maret 1966.
4. Konvensi tentang Landas Kontinen
Memuat rezim yang mengatur perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa, rezim yang mengatur navigasi, memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi negara pantai di wilayah ini. Berlaku semenjak tanggal 10 Juni 1964.
c. UNCLOS II (1960)
Dalam upaya untuk menangani isu-isu yang belum terpecahkan setelah UNCLOS I, Majelis Umum PBB mengadakan Konvensi Kedua tentang Hukum Laut (UNCLOS II). Konferensi ini berlangsung dari tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.
d. UNCLOS III (1982)
Frustasi oleh inkonsistensi dalam rezim pemerintahan laut, duta besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta Majelis Umum untuk mengambil tindakan dan menyerukan “sebuah rezim internasional yang efektif atas dasar laut,” yang jelas-jelas didefinisikan nasioanal yurisdiksi.
(56)
Satu bulan kemudian, Majelis Umum mengadopsi resolusi 2467 A (XXIII) dan resolusi 2750 C (XXV), yang melahirkan the Committee on the Peaceful Uses of the Sea-Bed and the Ocean Floor di luar batas yurisdiksi nasional dan menyerukan diadakannya Konferensi ketiga tentang Hukum Laut (UNCLOS III) yang diadakan pada tahun 1973 di New York. Dalam upaya mengurangi kemungkinan kelompok negara atau bangsa mendominasi perundingan, konferensi yang menggunakan proses konsensus dengan suara terbanyak. Dengan lebih dari 160 negara peserta, konferensi ini berlangsung sampai tahun 1982 yang disetujui di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara keenam puluh, Guyana, meratifikasi perjanjian internasional tersebut.
Konverensi itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian yang telah dikembangkan di konferensi pertama. Yang memuat sejumlah ketentuan seperti menetapkan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim transit, zona ekonomi eksklusif (ZEE), yurisdiksi landas kontinen, penambangan dasar laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah, dan penyelesaian sengketa.
Konvensi tersebut menetapkan batas berbagai daerah, diukur dari garis pangkal. Biasanya, sebuah dasar laut mengikuti garis air rendah, tapi ketika garis pantai yang sangat menjorok, memiliki tepi pulau, garis pangkal lurus dapat digunakan. Daerahnya adalah sebagai berikut:
(57)
1. Perairan Dalam
Meliputi semua air dan saluran air pada sisi darat dari garis pangkal. Negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan penggunaan sumber daya apapun.
2. Laut Teritorial
Batas luar sampai 12 mil laut dari garis pangkal, negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan menggunakan sumber daya apapun. Kapal diberi hak lintas damai melalui perairan teritorial, dengan selat strategis memungkinkan perjalanan militer sebagai lintas transit, kapal laut harus memperlihatkan negara bendera di perairan teritorial. “Innocent Passage” didefinisikan oleh konvensi sebagai melewati perairan secara cepat dan berkesinambungan, yang tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Memancing, polusi, praktek senjata, dan kapal selam serta kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di permukaan dan menunjukkan bendera mereka. Negara pantai juga dapat menangguhkan untuk sementara lintas damai di daerah tertentu dari laut teritorialnya, jika hal itu sangat penting untuk perlindungan keamanannya.
3. Kepulauan Perairan
Konvensi ini menetapkan definisi Archipelagi Waters dalam Bagian IV, yang juga mendefinisikan bagaimana negara dapat menarik batas teritorial. Dasarnya adalah ditarik antara titik-titik terluar dari pulau
(58)
terluar, tunduk pada poin yang cukup dekat satu sama lain. Semua perairan di dalam dasar ini ditujukan Archipelagi Waters. Negara memiliki kedaulatan penuh atas perairan ini (seperti perairan dalam), tetapi kapal asing memiliki hak lintas damai melalui perairan kepulauan (seperti perairan teritorial).
4. Zona Tambahan
Zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang jaraknya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Kewenangan negara pantai di zona tambahan yaitu dapat melakukan pencegahan pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan yang berkenaan dengan masalah beacukai, perpajakan, pengimigrasian, dan kesehatan atau saniter. Serta menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang disebut sebelumnya.
5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif merupakan suatu daerah atau area yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Zona Ekonomi Eksklusif berada di luar wilayah negara atau bukan merupakan wilayah negara. Akan tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak dan yurisdikdi-yurisdikdi tertentu. Disamping itu hak-hak dan kebebasan-kebebasan juga dimiliki oleh negara lain pada zona laut ini yang harus dihormati oleh negara pantai.
(59)
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya diluar laut teritorialyang merupakan lanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal, atau sampai disisi luar dari ketentuan kontinen. Landas kontinen suatu negara boleh melebihi 200 mil laut sampai perpanjangan alami berakhir. Namun, tidak dapat melebihi 350 mil laut dari garis pangkal, atau mungkin tidak akan pernah melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman 2.500 meter.
Selain dari ketentuan-ketentuan yang menentukan batas-batas laut, UNCLOS 1982 menetapkan kewajiban umum untuk melindungi lingkungan laut dan melindungi kebebasan penelitian ilmiah di laut lepas, dan juga menciptakan suatu rezim hukum inovatif untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral di daerah-daerah dasar laut yang di luar yurisdiksi nasional, melalui International Seabed Authority48
Dalam mempertahankan perdamaian dan ketertiban di laut, serta penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk kepentingan umat manusia, merupakan hal yang perlu diperhatikan, maka United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang juga sering disebut sebagi “Constitution of the Oceans”, telah menjadi dasar dalam berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut selama ini.
dan Common heritage of mankind principle.
48
International Seabed Authority (ISA) adalah organisasi internasional otonom yang didirikan
berdasarkan UNCLOS 1982 yang berkaitan dengan pelaksanaan Bab XI konvensi. Organisasi ini didirikan untuk mengawasi dan membatasi pihak-pihak yang mengeksplorasi dan mengekploitasi dasar laut yang menguntungkan pihak mereka agar tidak berlebihan. Lihat gemonkzamania.blogspot.co.id/2013/04/profil-international-seabed-authority.html?m=1, diakses pada 12 Agustus 2015.
(60)
Pada tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS 1982, menetapkan asas-asas dasar untuk penataan kelautan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa UNCLOS 1982 ini merupakan suatu perjanjian internasional sebagai hasil dari negosiasi antar lebih dari seratus negara, yang mengatur materi yang begitu luas dan kompleks. Secara rinci UNCLOS 1982 menetapkan hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan laut.49
Menurut laporan Food and Agriculture Organizations (FAO) dalam The State of World Fisheries and Aquaculture (selanjutnya disebut SOFIA) tahun 2012 menyebutkan, bahwa sektor perikanan mendukung mata pencaharian sekitar 540 juta penduduk dunia dan produksi perikanan dunia mencapai 128 juta ton ikan dan SOFIA 2012 menjelaskan bahwa persediaan ikan dunia mengalami penurunan akibat eksplotasi berlebih (overexploited), yaitu: 85% SDI dunia dalam keadaan overexploited dan fully exploited serta nberada dalam batas tangkapan maksimum lestari.50
Kondisi SDI di laut lepas yang mengalami overfishing antara lain terjadi pada sumber daya ikan bermigrasi jauh. Berdasarkan Lampiran I the United
Penangkapan berlebih terhadap SDI sebenarnya sering terjadi di laut lepas oleh kapal penangkap ikan jarak jauh (distant-water fishing vessels) yang keberadaannya akan mengancam kapal serta ketersediaan ikan di negara pantai yang berdekatan dengan laut lepas.
49
Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., LL.M. Penguatan Hukum Internasional Kelautan. Makalah disampaikan pada Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan untukMeneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret 2015.
50
Batas tangkapan maksimum lestari adalah kondisi tingkat pemanfaatan sumber daya ikan tidak melebihi batasan yang ditetapkan sehingga persediannya tetap berkelanjutan. Lihat; Dr. Chomariyah, SH., MH., Hukum Pengelolaan Konservasi Ikan, Pelaksanaan Pendekatan
(61)
Nation on the Law of the Sea (selanjutnya disebut UNCLOS 1982) terdapat beberapa jenis ikan yang tergolong dalam daftar jenis ikan bermigrasi jauh seperti dalam tabel 1 berikut;51
No Nama Ikan Nama Latin dan Nama Indonesia
1 Albacore Tuna Thunnus alalunga
2 Bluefin Tuna Thunnus thynnud (Tuna Sirip biru atlantik) 3 Big eye tuna Thunnus Obesus (tuna mata besar)
4 Skipjack tuna Katsuwonus pelamis (cakalang) 5 Yellowfin tuna Thunnus albacares (Madidihang) 6 Blackfin tuna Thunnus atlanticus
7 Little tuna Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis (Tongkol)
8 Southern Bluefin tuna Thunnus maccoyii (Tuna sirip biru selatan) 9 Frigate marckerel Auxis thazard, Auxis rochei (Makarel)
10 Pomfrets Family Bramidae
11 Marlins Terapturus angustirostris (Setuhuk) 12 Sail-fishes Istiophorus platypterus (Ikan Layaran) 13 Swordfidsh Xiphias gladius (Ikan Pedang)
14 Sauries Scomberesox saurus (Tenggiri)
15 Dolphin Coryphanea hippurus (Lumba-lumba)
16 Oceanic shark Hexanchus griseus (Hiu)
17 Cetaceans Family Physeteridae
Tabel 1. Daftar Jenis Ikan Bermigrasi Jauh (High Migratory species) Berdasarkan Lampiran 1 UNCLOS 1982
51
(1)
Sri Mamudji, et. al., Metode Pengantar Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, ed. 9, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989
Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung, 2009.
Suhaidi, S.H,MH., Perlindungan Terhadap Lingkungan Laut dari Pencemaran yang Bersumber dari Kapal: Konsekuensi Penerapan Hak Pelayaran Internasional Melalui Perairan Indonesia, Pustaka Bangsa Press: Jakarta, 2004
Tim BPHN, Laporan Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Pengelolaan Perikanan di Perairan Nasional Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1994
Supramono, Gatot, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Rineka Cipta: Jakarta, 2011
Tribawono, Djoko, M.Si., Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2013.
Wayan, I Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Bandung: Mandar Maju: Bandung, 2002
(2)
Wayan, I Parthiana, S.H., MH., Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju: Bandung, 2005.
Peraturan Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Undang Nomor 45 Tahun 2009
Undang-Undang No. 21 tahun 2009
Perarutan Presiden RI No. 109 tahun 2007
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2013
Perjanjian Internasional
Comission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT 1993) International Conference of American States, Montevideo Convention on the Rights and Duties of States 1933
Konvensi The Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC 2000
United Nation Fish Stocks Agreement or Agreement for the Implementation of the provisions of the United Nation Convention on the Lax of the Sea Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNFSA 1995)
(3)
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982)
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986
Website
(4)
gemonkzamania.blogspot.co.id/2013/04/profil-international-seabed-authority.html?m=1
m.greenpeace.org/seasia/id/high/blog/dari-indonesia-untuk-pasifik/blog/51563
m.hukumonline.com/berita/baca/hol22046/ratifikasi-unia-demi-lindungi-perikanan-indonesia
(5)
Jurnal, Buletin dan Makalah
Ariadno, 2012. Review of Policy and Legal Arrangements of WCPFC Related Matters and Checklist of Compliance Shortfalls. Policy Paper. WCPFC.
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2 Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005), hlm. 504,
dimuat pada:
Laporan Lokakarya Nasional Penentuan Indikator Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management). Bogor, 22 - 24 September 2010., Disiapkan secara kolaboratif antara Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, WWF Indonesia dan PKSPL – IPB., Dimuat dalam
Lucky Andrianto, “Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2 Nomor 3
(6)
(Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005)
Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., LL.M. Penguatan Hukum Internasional Kelautan. Makalah disampaikan pada Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan untukMeneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret 2015