Pengelolaan Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh Menurut Hukum

f. Mengembangkan mekanisme kerjasama yang menyebabkan respon yang cepat terhadap IUU Fishing, dan g. Kerjasama dalam monitoring, kontrol, dan pengawasan, termasuk melalui perjanjian internasional.

2.3 Pengelolaan Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh Menurut Hukum

Internasional Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas straddling fish stocks dan jenis ikan yang beruaya jauh highly migratory fish stocks, telah menimbulkan keprihatian dunia. 61 Pasal 63 dan pasal 64 UNCLOS 1982 mewajibkan negara pantai dan negara penangkap ikan yang bermigrasi untuk membuat kesepakatan bersama tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan tersebut, dan pasal ini memerlukan pengaturan lebih jauh untuk mengatur secara jelas tentang pengelolaan dan konservasi ikan beruaya tersebut. Mengingat bahwa sifat dari sumber daya ikan jenis beruaya jauh, yaitu untuk bertahan hidup memerlukan sumber makanan dari kondisi laut yang diinginkan maka jenis ikan ini adalah jenis ikan yang temasuk jenis ikan yang berpindah jauh hingga melintasi batas 61 Akhmad Solihin, “Perikanan Indonesia dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional dan Internasional”, Lihat https:ikanbijak.wordpress.com20080421perikanan-indonesia-dalam-kepungan-organisasi- pengelolaan-perikanan-regional-dan-internasional diakses pada 12 Agustus 2015 suatu negara, oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama dan hubungan diantara negara- negara dalam membentuk pengaturan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan jenis ini. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif ZEE suatu negara dan ZEE negara lain sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut United Nations Convention on the Law of the SeaUNCLOS 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas straddling fish, serta jenis ikan yang beruaya jauh highly migratory fish. Hal inilah yang melatarbelakangi kesadaran akan perlunya pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan yang kemudian diatur dalam UNCLOS 1982 itu sendiri, dan diikuti dengan diadopsinya beberapa ketentuan hukum internasional antara lain 62 62 Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, dalam Jurnal Hukum Internasional Indonesian Jurnal of International Law, Volume 2 Nomor 3 Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005, hlm. 504, dimuat pada: : http:download.portalgaruda.orgarticle.php?article=266028val=7081title=Kepentingan20In 1. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas FAO Compliance Agreement 1993; 2. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks United Nations Implementing AgreementUNIA 1995; 3. FAO Code Conduct For Responsible Fisheries CCRF 1995; 4. International Plan of Action dari FAO, yaitu: a Intenational Plan of Action for the Management of Fishing Capacity; b International Plan of Action for the Conservation and Management of Sharks; c International Plan of Action for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long- line Fisheries; d International Plan of Action for Illegal, Unreported, and Unregulated, Fishing. Mengingat pentingnya peran sumber daya perikanan dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi sebagian penduduk, maka sebagai tindak lanjut ketentuan-ketentuan tersebut dibentuklah beberapa organisasi regional dan sub-regional dalam bidang pengelolaan dan konservasi perikanan Regional Fisheries Management donesia20dalam20Pengelolaan20Perikanan20Laut20Bebas, diakses pada 10 Agustus 2015. OrganizationRFMOs 63 Selain UNCLOS 1982, menurut Fontaubert and Lutchman 2003, ada beberapa instrumen hukum internasional lainnya yang mengatur pentingnya kerjasama pengelolaan perikanan regional diantaranya yaitu yang diamanatkan Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif ZEE; Bab VII mengenai Laut Lepas Pasal 118; Bab IX mengenai Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, tepatnya pada Pasal 123. 64 1. The Cancun Declaration 1992 : Prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Cancun termasuk kerjasama negara-negara melalui tingkatan bilateral, regional dan multilateral untuk mengatur dan efektivitas pelaksanaan dan tindakan untuk menjamin perikanan bertanggung jawab. Negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus bekerjasama dengan Negara lain untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati secara rasional. 2. UNCED 1992 Meskipun UNCED tidak secara spesifik mengatur bahwa Negara- negara harus melakukan kerjasama antar organisasi sub-regional dan 63 Organisasi pengelolaan dan konservasi Perikanan Regional organisations RFMOs adalah organ internasional yang didedikasikan untuk memanajemen pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan antar perairan nasional, atau yang beruaya spesies, seperti tuna. Ketetapan dan mode operasional masing-masing RFMO disesuaikan dengan letak geografis atau situasi yang spesifik. Mereka biasanya mengadakan pertemuan negara-negara pesisir dengan lainnya atau dengan para pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan perikanan yang bersangkutan. Lihat http:ec.europa.eufisheriesdocumentationpublicationscfp_factsheetsrfmo_en.pdf, diunduh pada 16 Agustus 2015. 64 Akhmad Solihin., Op.Cit. regional, UNCED memanggil untuk melakukan negosiasi dalam perjanjian yang terkait dengan kerjasama bilateral dan multilataeral. 3. UN Compliance Agreement 1993 Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya di daerah laut lepas, maka diperlukan suatu aturan khusus. Oleh karenanya, pada tanggal 24 November 1993 ditetapkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas UN Compliance Agreement 1993. Tujuan ditetapkannya UN Compliance Agreement 1993 ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral, dan untuk pembuatan database otorisasi kapal perikanan yang ada di laut lepas dan tukar menukar informasi. Aturan mengenai pentingnya kerjasama internasional dalam pengelolaan perikanan tertuang pada Pasal 5 dan Pasal 8, bahwa semua pihak diizinkan apabila diperlukan membuat persetujuan bersama atau persetujuan kerja sama menguntungkan secara global, regional, subregional atau bilateral basis yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dari persetujuan ini dan pada tingkat yang melibatkan dua belah pihak dengan dukungan FAO dan organisasi regional atau internasional lain sebagai penyedia bantuan, termasuk bantuan teknis kepada pihak negara berkembang dalam rangka membantu pelaksanaan kewajiban mereka sesuai persetujuan ini. 4. UN Fish Stock Agreement 1995 Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks atau yang dikenal juga dengan sebutan UN Fish Stock Agreement 1995. Beberapa tujuan dilakukannya kerjasama adalah agar Negara-negara menyepakati untuk melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan dalam rangka menghindarkan dari over fishing. 5. Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF 1995 dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization FAO dalam suatu konferensi pada tanggal 31 Oktober 1995. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat penting bagi seluruh masyarakat perikanan, baik nasional maupun internasional untuk menjamin kegiatan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan Pasal 12 bahwa menyepakati standar- standar untuk efektivitas pengelolaan dan konservasi sumberdaya laut serta perikanan bertanggung jawab. CCRF merupakan tempat terbaik RFMO dalam melaksanakan pengelolaan, meskipun pelaksanaan CCRF bersifat sukarela. 6. International Plan of Action IPOA International Plan of Action dari FAO telah diadopsi pada tahun 1999. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatkan komitmen internasional yang ditujukan pada berbagai permasalahan dan peran RFMO dalam menjamin efektivitas pelaksanaan. Adapun keempat IPOA tersebut, yaitu: a IPOA for Management of Fishing Capacity yang bertujuan agar negara dan organisasi regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, adil dan transaparan; b IPOA for the Conservation and Management of Shark. Negara-negara disyaratkan untuk mengimplementasikan rencana nasional national plan dalam kegiatan penangkapan ikan hiu; c IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-line Fisheries dengan tujuan untuk mengurangi tangkapan sampingan by catch dari alat tangkap longline berupa burung-burung laut yang tertangkap karena memakan umpan dalam pancing; dan d IPOA for Illegal, Unreported and Regulated Fishing yaitu untuk memberantas praktik perikanan yang illegal seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya, unreported mencakup unreported, misreported, atau under-reported, dan unregulated yakni tidak diatur pengelolaannya. Terdapat beberapa RFMOs pengaturan tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan yang telah diadakan diantaranya dapat kita lihat yaitu RFMOs berdasarkan, yaitu kawasan region dimana pengelolaan dan konservasi tersebut dilakukan dalam suatu kawasan tertentu, dan RFMOs berdasarkan spesies yang dikelola. Menurut Melda Kamil Ariadno dalam bukunya “Hukum Internasional Hukum yang Hidup” tahun 2007 menyatakan bahwa saat ini terdapat sekitat 11 RFMOs yang terlah terbentuk di dunia, yaitu : 1. Commission on the Conservation of Antarctic Marine Living Resources CCAMLR; CCAMLR merupakan organisasi regional pengelolaan dan konservasi dilakukan dalam suatu kawasan tertentu . Konvensi ini didirikan oleh Convention on the Conservation of Antartic Marine Living Resources CCAMLR Convention pada tahun 1982 dengan tujuan melestarikan kehidupan laut Antartika. Berlaku 7 April 1982 dan memiliki 25 anggota, dimana CCAMLR melaksanakan pendekatan pengelolaan sumberdaya menggunakan dua konsep utama yaitu: pengelolaan berdasarkan ekosistem ecosystembased management 65 65 Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan EAFM merupakan salah satu kebutuhan penting dalam perubahan kerangka berpikir dalam mengelola sumberdaya perikanan di Indonesia tanpa meninggalkan praktek pengelolaan yang sudah ada. Perubahan kerangka berpikir tersebut adalah dari pemikiran administratif menjadi pemikiran fungsional manajemen. Lihat Laporan Lokakarya Nasional Penentuan Indikator Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan Ecosystem Approach to Fisheries Management. Bogor, 22 - 24 September 2010., Disiapkan secara kolaboratif antara Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, WWF Indonesia dan PKSPL – IPB., Dimuat dalam ; dan pendekatan kehati-hatian precautionary approach. Area konvensi CCAMLR dibatasi oleh pertemuan antartika sebagai penghalang biologis yang efektif dan benua antatika di sebelah selatan dimana cakupan konvensi ini seluas 35.716.100 km 2 . Pengelolaan sumber daya hayati di Antartika meliputi populasi ikan bersirip, moluska, dan crustacea dan semua organisme hidup termasuk http:coraltriangleinitiative.orgsitesdefaultfilesresources6_National20Workshop20on20 EAFM_Bahasa.pdf., diunduh pada 12 Agustus 2015. burung yang ditemukan di selatan pertemuan antartika kecuali paus dan anjing laut. 66 2. North East Atlantic Fisheries Commission NEAFC; NEAFC juga merupakan organisasi pengelolaan dan konservasi dilakukan dalam suatu kawasan tertentu dimana merupakan suatu forum konsultasi dan pertukaran informasi bagi negaranegara berkaitan dengan perikanan di area konvensi dan yang berkaitan dengan kebijakan perikanan, termasuk penilaian terhadap seluruh dampak dari kebijakan tersebut bagi sumber daya perikanan yang bertujuan untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan optimal sumber daya perikanan di wilayah kompetensinya, dalam mendukung ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Wilayah NEAFC dimulai dari Atlantik dan Samudra Arktik yang terletak di sebelah utara 36° lintang utara dan antara 42° bujur barat dan 51° bujur timur, tetapi tidak termasuk Laut Baltik dan Laut Mediterania. Daerah kompetensi NEAFC juga termasuk bagian dari Samudra Atlantik utara dari 59° lintang utara dan antara 44° bujur barat dan 42° bujur barat. 67 3. South Pacific Regional Fisheries Management Organization SPRFMO; Merupakan organisasi regional yang bertujuan untuk konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya perikanan di 66 Lihat https:www.ccamlr.orgenorganisationabout-ccamlr., diakses pada 12 Agustus 2015. 67 Lihat http:www.fao.orgfisheryrfbneafcen., diakses pada 12 Agustus 2015. Samudera Pasifik Selatan dan menjaga ekosistem laut yang dan sumberdaya di dalamnya. Konvensi SPRFMO berlaku untuk laut lepas di Pasifik Selatan, yang merupakan wilayah RFMOs terbesar sekarang ini yang mengatur hal mengenai pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan. Saat ini, sumber utama komersial yang dikelola oleh SPRFMO adalah Jack mackerel dan jumbo flying squid di Pasifik Barat Daya dan, untuk spesies sumberdaya ikan di laut dalam diatur dengan aturan tersendiri lainnya. 68 4. Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC; WCPFC adalah sebuah perjanjian perikanan internasional yang berupaya untuk menjamin pelestarian jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan dari stok ikan ruaya jauh yakni tuna, billfish, marlin di Samudera Pasifik bagian tengah dan barat. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang dikembangkan di bawah persyaratan Konvensi ini berlaku bagi stok ini di seluruh wilayah jangkauannya, atau di wilayah- wilayah tertentu di dalam Wilayah Konvensi. 69 5. General Fisheries Commission for the Mediterranean GFCM; GFCM adalah organisasi pengelolaan perikanan regional yang RFMO didirikan berdasarkan ketentuan Pasal XIV dari FAO Constitution. Tujuan utama dari GFCM adalah untuk mempromosikan 68 Lihat https:www.sprfmo.int., diakses pada 16 agustus 2015. 69 Lihat, http:www.imacsindonesia.comv5index.phpidakitivitaskebijakantraktat- internasional23-expertisepolicies, diakses pada 16 Agustus 2015. pengembangan, konservasi, manajemen rasional dan pemanfaatan terbaik dari sumber daya hayati laut serta pembangunan berkelanjutan akuakultur di Mediterania, Laut Hitam dan menghubungkan perairan wilayah berlakunya GFCM. 70 6. Regional Commission for Fisheries RECOFI; 7. Northwest Atlantic Fisheries Organization NAFO; 8. Southeast Atlantic Fisheries Organization SEAFO; 9. The South Indian Ocean Fisheries Agreement SIOFA. Selain organisasi tersebut diatas juga terdapat organisasi regional pengelolaan dan konservasi yang dilakukan berdasarkan spesies yang dikelola antara lain: Indian Ocean Tuna Commission IOTC; The Convention on the Conservation and Management of the Pollock Resources in the Central Bering Sea; North Pacific Anadromous Fish Commission NPAFC; Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT; International Whaling Commission IWC; Pacific Salmon Commission; INTER-AMERICAN Tropical Tuna Commission IATTC; International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas ICCAT; North Atlantic Salmon Conservation Organization NASCO. Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish 70 Lihat http:www.gfcmonline.orgaboutintro., diakses pada 18 Agustus 2015. Stocks and Highly Migratory Fish Stocks United Nations Implementing Agreement UNIA 1995. UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia. 71 Sebelum adanya WCPFC terjadinya konflik antara negara-negara pantai di Kepulauan Pasifik dengan distant water fishing nations DWFNs disebabkan perbedaan pandangan dalam pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh terutama yang terdapat di wilayah ZEE negara-negara pantai di Kepulauan Pasifik. Pada konferensi Multilateral tingkat tinggi dalam pengelolaan dan konservasi ikan bermigrasi jauh MHLC yang ke-2 yang dilaksanakan di Majuro Kepulauan Marshal pada Juni 1997 disepakati sebuah pendekatan koleteral untuk konservasi dan pengelolaan perikanan regional. Disamping itu juga ditetapkan sebuah mekanisme konservasi dan pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh di Samudera Pasifik, kesepakatan tersebut dikenal dengan Majuro Declaration yang telah mengadopsi UNCLOS 1982, Agenda 21 dan UNFSA. Dalam Majuro Declaration disepakati pertukaran data berdasarkan UNFSA, kerjasama pemantauan, 71 Penjelasan umum Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks . pengendalian dan pengawasan penangkapan ikan. Disamping itu juga permasalahan lingkungan dan upaya mencegah dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati laut. Negara peserta juga berkomitmen untuk memberikan bantuan keuangan, pengetahuan, dan teknik kepada negara-negara berkembang di Kepualuan Pasifik. Dalam Majuro Declaration juga mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang menjadi pembahasan MHLC selanjutnya pada tahun 1998 dan 1999. Beberapa permasalahan tersebut adalah; 1 cakupan wilayah, 2 keanggotaan, 3 mekanisme pengampilan keputusan, 4 prosedur dalam penyelesaian sangketa, 5 keterkaitan dengan organisasi perikanan global dan regional, 6 keuangan dan penataan administrasi, 7 jenis sediaan yang dikelola, 8 penentuan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, 9 termasuk pelaksanaan pendekatan kehati-hatian, 10 mekanisme untuk pengumpulan data dan pertukaran data, 11 penelitian, dan 12 prosedur pemantauan, pengendalian, pengawasan serta penegakan hukum. Selanjutnya pada Juni 1997 hingga September 2000 terdapat lima pertemuan negosiasi antara negara-negara pantai dengan DWFNs untuk negosiasi konvensi perikanan di Samudera Pasifik. Dalam Konferensi ini diajukan sebuah draft Konvensi berdasarkan pembahasan technical meeting, ketentuan-ketentuan perikanan regional dan CCRF. Akhirnya pada MHLC ke-4 di Honolulu Amerika Serikat tahun 1999 menghasilkan konvensi RFMO tuna pertama yang telah mengadopsi utuh UNFSA yang mengabungkan prinsip-prinsip perikanan modern dengan standar kepemerintahan perikanan yang telah dikembangkan sejak tahun 1990-an. Beberapa hal yang belum terselesaikan adalah batasan yang tumpang tindih dengan Inter-America Tropical Tuna Commission IATTC, kesepahaman pengelolaan perikanan di ZEE dan laut lepas, dan alokasi penangkapan ikan bagi negara anggota. Pertemuan MHLC ini disepakati 19 negara, ditolak Jepang dan Korea, sedangkan RRC, Perancis dan Tonga abstain. Namun dalam perkembangannya Jepang, Korea, RRC, Perancis dan Tonga mendukung komisi yang dibentuk. Dalam upaya untuk menjaga kelestarian ikan beruaya jauh di area konvensi maka telah diadakan tujuh kali pertemuan preparatory conference untuk melakukan persiapan pembentukan WCPFC, pertemuan tersebut adalah : 1 PrepCon I : Selandia Baru, 23 – 28 April 2001 2 PrepCon II : Papua New Guinea, 25 Februari – 1 Maret 2002 3 Prepcon III : Philipina, 18 – 22 November 2002 4 PrepCon IV : Fiji Island, 5 – 9 Mei 2003 5 PrepCon V : Rarotonga, Cook Island, 29 September- 3 Oktober 2003 6 PreCon VI : Bali, Indonesia, 19 – 23 April 2004 7 PreCon VII : Pohnpei Micronesia, 6 – 11 Desember 2004 Pada Preparatory Conference ke-7 di Pohnpei Micronesia, West and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC secara resmi dibentuk, merupakan sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan laut lepas di kawasan Samudera Pasifik Barat dan Tengah. Jenis ikan beruaya jauh didefinisikan untuk semua jenis ikan yang terdaftar pada lampiran UNCLOS 1 1982 yang terdapat di area konvensi dan beberapa spesies lainya yang ditentukan oleh komisi. WCPFC beranggotakan negara-negara di kawasan Pasifik dan sekitarnya serta negara-negara lain yang memiliki perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan Pasifik. 72 72 Indonesia secara resmi efektif menjadi anggota WCPFC entry into force sejak tanggal 29 November 2013, dan mengesahkan konvensi WCPFC melalui Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2013 tentang pengesahan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Pasifik Barat dan Tengah. BAB III KERJASAMA REGIONAL INDONESIA DALAM PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH 3.1 Sejarah Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh di Indonesia Wilayah Indonesia yang sering disebut dengan kepulauan nusantara archipelago; group of many island merupakan wilayah yang sangat strategis . kesatuan wilayah yang terdiri atas daratan, perairan, dan dirgantara adalah salah satu kesatuan yang menyatu dalam bangsa Indonesia dalam rangka wawasan nusantara. Dari tiga matra wilayah Republik Indonesia maka wilayah perairan lautan merupakan bahagian yang terluas disbanding dengan wilayah daratannya. Kondisi riel ini yang membuat sejak zaman nenek moyang dahulu Negara dan bangsa Indonesia dikenal sebagai negara dan bangsa bahari maritim, dimana sangat banyak kegiatan yang berhubungan dengan lautan. 73 Wilayah perairan atau disebut juga perairan territorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Dalam konteks hukum nasional, wilayah perairan Indinesia diatur dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesaia yang memberikan pengertian Wilayah perairan Indonesia dalam pasal 2 ayat 2 yaitu; segala perairan disekitar, diantara, dan yang menghubungkan 73 Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut,. Pustaka Bangsa Press: Medan, 2005, hal. 1. pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia yang berada dibawah kedaulatan negara Republik Indonesia. 74 Sebagai Negara maritim yang membentang luas di khatulistiwa yakni dari 94 o BT - 141 o BT dan 6 o LU - 11 o LS, Indonesia memiliki luas daratan 191.093.132 Km 2 dengan luas laut territorial 284.210,90 Km 2 , luas Zona Ekonomi Eksklusif 2.981.211,00 Km 2 dan luas laut 12 mil 279.322,00 Km 2 dengan garis pantai indonesia 104.000,00 Km 2 merupakan garis pantai terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada, dengan karakteristik sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau besar dan kecil. Selain itu Indonesia memiliki wilayah yuridiksi nasional yang meliputi Zona Ekonomi Eksklusif ZEE sejauh 12 mil dan landas kontingen sampai 350 mil dari garis pantai. Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982 wilayah laut yang dapat dimanfaatkan diperkirakan dapat mencapai 5,8 juta km 2 merupakan perairan ZEE dan termasuk di dalamnya sektor perikanan. 75 Di Indonesia sendiri yang menjadi landasan kostitusional dalam hal mengelola dan upaya konservasi sumber daya ikan terdapa dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai ooleh negara dan Dengan terdapatnya kumpulan ribuan pulau- pulau, sudah pasti perikanan menjadi hal yang sangat penting terkait juga dengan kesejahteraan warga negaranya terutama para nelayan. 74 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2011, hal. 24. 75 Dahuri Rokhmin, Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003, hal. 412. dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini menjadi tugas bagi negara untuk mengawasi dan menjamin pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan 76 Dengan lahirnya UU No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif dimana dalam undang-undang ini di atur pengertian tentang Konservasi sumber daya alam yaitu segala upaya yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pengaturan tentang sumber daya hayati di dalam undang-undang ini bersifat umum sehingga tidak merujuk pada jenis tertentu. Demikian pula dalam undang-undang ini hanya mengatur tentang hak berdaulat Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya tanpa memerinci lebih jauh bagaimana eksplorasi dan eksploitasi tersebut dilakukan. Undang-undang ini yang menjadi landasan hukum pengelolaan SDI di ZEE Indonesia dan memberi dampak terhadap kedaulatan wilayah laut Indonesia yang menyangkut keadaan ekonomi dan pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsanya, maka semua sumber daya, baik hayati maupun non hayati yang terkandung didalam ZEE dapat dilindungi dan dikelola dengan cara tepat dilaksanakan secara terarah dan bijaksana. juga di laut lepas dengan segala tanggung jawab yang diberikan. 76 Wilayah pengelolaan perikanan Indonesia meliputi: a perairan Inonesia; b ZEE Indonesia; c sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah RI. Lihat Pasal 5 UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. Mengingat sumber daya yang dimiliki Indonesia terkhusus sumber daya ikan yang tersedia, terdapat berbagai macam sifat, diantaranya sifat ikan yang berpindah-pindah tergantung pada sediaan makan, suhu maupun faktor lain yang mempengaruhinya. Hal ini menyebabkan dikenalnya jenis ikan yang “bermigrasi jauh” atau “beruaya jauh” yang bergerak melalui daerah luas ruang laut yang memungkinkan sampai batas bahkan melewati wilayah nasional suatu negara menurut kesediaan makanan dan faktor lain yang mendukungnya. Sebagai negara pantai, Indonesia yang secara geografis memiliki wilayah laut diharuskan melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber kekayaan hayati tersebut. Pengataturan tentang perikanan sudah ada sejak zaman kolinial Belanda yang diatur dalam hukum nasional 77 77 Ir. H. Djoko Tribawono, M.Si., Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2013, hal. 91-93. Staatsbland tahun 1916 No.157 Ordonansi Perikanan Mutiara dan Bunga Karang, Staatsbland tahun 1920 No. 396 Ordonansi Perikanan untuk melindungi Ikan, Staatsbland tahun 1927 No. 144 Ordonansi Penangkapan Ikan Pantai, Staatsbland tahun 1927 No. 145 Ordonansi Perburuan Ikan Paus, Staatsbland tahun 1938 No. 201 Peraturan Pendaftaran Kapal-Kapal Nelayan Laut Asing dan Staatsbland tahun 1939 No. 442 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 sepanjang peraturan yang baru belum dibentuk, peraturan yang lama masih berlaku. Pada tanggal 19 Juni 1985 dibuat suatu Undang-undang Perikanan yaitu Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. 78 78 http: Namun sebelunya masyarakat internasional sudah terlebih dahulu menyadari pentingnya melindungi laut dan sumber daya yang ada di dalamnyadengan adanya UNCLOS 1982. Dengan perkembangan waktu dan kebutuhan, Undang-Undang perikanan ini dirasa belum mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan, mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan. Sehingga UU No. 9 tahun 1995 diganti dengan Undang-undang perikanan yang baru yakni UU No 31 tahunn 2004. Setelah Undang-Undang Perikanan berlaku, dirasakan bahwa negera ini mengalami kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan, maka Undang-Undang perikanan tersebut dilakukan perubahan dengan Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan yang diundangkan tanggal 29 Oktober 2009 dalam Lembaran Negara Tahun 2009 No. 154 dan Tambahan Lembaran Negara No. 5073 dan berlaku sejak saat diundangkan, yang pertama membahas, mengenai pengasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antara instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi pidana pidana penjara atau denda, hukum acara terutama mengenai batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah www.negarahukum.comhukumsejarah-hukum-perikanan.html, diakses pada 12 september 2015 pengelolaan perikanan Negara RI. Yang kedua adalah masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhan perikanan dan konservasi, perizinan, dan pembahasan yang ketiga mengenai perluasan yurisdiksi pengadilan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara RI. 79 Latar belakang Penjelasan Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh menjelaskan bahwa Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I hingga Konferensi Hukum Laut III. Namun, hingga disahkan Konvensi Hukum Laut 1982, Konferensi belum berhasil merumuskan pengaturan yang komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat internasional untuk mencari solusi 79 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Rineka Cipta: Jakarta, 2011, hal. 8-9. guna mengatasi persoalan tersebut. 80 Dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 81 Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda Agenda 21 yang mengharuskan negara-negara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, untuk menjamin bahwa perikanan di Laut Lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982. Amanat Agenda 21 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 47192 tanggal 22 Desember 1992, yang menghendaki dilaksanakannya Konferensi tentang Jenis Ikan yang Beruaya Terbatas dan Jenis Ikan yang Beruaya Jauh. Dalam Resolusi tersebut ditekankan agar Konferensi dapat mengidentifikasi persoalan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, mempertimbangkan pentingnya peningkatan kerja sama antarnegara, serta menyusun rekomendasi yang tepat. Setelah melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995, bertempat di Markas Besar dan berlaku maka menurut pasal 61, dalam mengambil dan melaksanakan tindakan tersebut, negara-negara pantai dan organisasi internasional yang kompeten bekerjasama dan mempertukarkan informasi ilmiahnya. 80 Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks. 81 UNCLOS 1982 telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ditandatangani draft final persetujuan dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks United Nations Implementing AgreementUNIA 1995. Tujuan Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982. Amanat pasal 64 UNCLOS 1982 utuk bekerjasama dengan negara lain dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan di laut lepas telah dinyatakan dengan dibentuknya beberapa organisasi-organisasi pengelolaan ikan regional RFMOs, yang saat ini Indonesia telah bergabung didalamnya. 82 Beberapa RFMOs yang telah diikuti Indonesia seperti Indian Ocean Tuna Commission IOTC, dan terkhusus di wilayah regional samudera hindia dan samudera pacific diantaranya Comission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT 83 82 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Undang Nomor 45 Tahun 2009 merupakan cerminan politik hukum Indonesia untuk menjadi anggota dari RFMOs dan ikut serta dalam penegelolaan dan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas hal tersebut tercermin dalam Pasal 10 ayat 2 yang secara tegas menyatakan bahwa Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badanlembagaorganisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional yang khusus mengartur konservasi jenis ikan beruaya jauh yaitu jenis ikan tuna sirip biru selatan dan Western and Central Pasific Fisheries Comission WCPFC yaitu Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di 83 CCSBT adalah RFMOs yang awalnya dibentuk oleh 3 negara yakni Jepang, Australia dan Selandia Baru pada 1993 di Canberra. Indonesia mulai bergabung menjadi anggota tetap sejak tanggal 8 April 2008 dengan meratifikasi CCSBT 1993 melalui Perarutan Presiden RI No. 109 tahun 2007 tentang pengesahan CCSBT. Samudera Pasifik Barat dan Tengah, dengan sebelumnya pada tanggal 18 Juni 2009 melalui Undang-Undang No. 21 tahun 2009 Indonesia meratifikasi United Nation Fish Stocks Agreement or Agreement for the Implementation of the provisions of the United Nation Convention on the Lax of the Sea Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 UNFSA 1995 84 CCSBT adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan konservasi ikan Tuna sirip biru selatan secara global dan termasuk distribusinya. Tujuan CCSBT adalah untuk memastikan, melalui pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan yang optimal terhadap tuna sirip biru selatan. . 85 Sedangkan UNFSA 1995 bertujuan untuk menjamin konservasi jangka panjang dan penggunaan berkelanjutan atas persediaan ikan yang bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan yang terkait Konvensi . 86 Sebelum adanya WCPFC kerjasama perikanan khusunya tuna antara negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik berdasarkan pendekatan kolektif dengan membentuk beberapa kelembagaan, salah satu diantaranya adalah Forum Fisheries Agency FFA. 87 84 UNFSA ini adalah penjabaran lebih lanjut mengenai aturan ikan beruaya jauh dalam UNCLOS 1982. Indonesia sendiri meratifikasi UNFSA 1995 pada tanggal 18 Juni 2009 melalui Undang-Undang No. 21 tahun 2009. . FFA bertujuan untuk membantu dan melindungi 85 Dr. Chomariah, SH., MH. Op.cit. hal. 147. 86 Pasal 2 UNFSA 1995 87 FFA berdiri pada tahun 1979, dibentuk oleh negara-negara merdeka di Kepulauan Pasifik, Australia dan Selandia Baru. Pembentukan FFA didasarkan pada tantangan dan perkembangan hak pengelolaan perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif, berpusat di Honiara Kepulauan Salomon. kepentingan negara-negara kepulauan di Samudera Pasifik dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan memaksimalkan keuntungan ekonomi dan sosial dari perikanan tuna di Samudera Pasifik. Namun demikian, FFA tidak memiliki mandat dan pengambilan kebijakan untuk pengelolaan perikanan. Untuk itu, FFA berkerjasama dengan Secretariat of the Pacific Community SPC 88 FFA sadar akan posisi negosiasi yang lemah dengan distant water fishing nations DWFNs, pada tahun 1982 bersepakat untuk memperkuat posisinya melalui Nauru Agreement untuk berinisiasi memfasilitasi kerjasama regional dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan perikanan tuna yang memiliki misi membantu masyarakat Kepulauan Pacific untuk menyusun dan mengambil keputusan untuk masa bersama yang lebih baik. Namun pada saat bersamaan terjadi perluasan operasional penangkapan ikan kelompok distant water fishing nations DWFNs ke Samudera Pasifik 89 88 SPC dibentuk pada tahun 1974 oleh beberapa negara kolonial seperti Australia, Selandia Baru, Perancis, Inggris dan Amerika Serikat. Keanggotaan SPC meliputi seluruh negara- negara koloni Amerika samoa, French Polynesia, Guam, New Cledonia, Northern Mariana Island, Pitcairn Island, Tokelau, Wallis dan Futuna, negara merdeka di Sanudera Pasifik Cook Island, Federasi Micronesia, Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Niue, Palau, Papua New Guinea, samoa, Kepulauan Salomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu, Australia, Selandia Baru, Perancis dan Amerika. SPC berkantor pusat di Nouema. yang menjadi dasar pengelolaan perikanan regional di Samudera Pasifik. Pada tahun 1983, negara-negara pihak Nauru Agreement Parties to the Nauru AggrementPNA mengadopsi kesepakatan Nauru Agreement untuk membatasi keberadaan kapal-kapal asing, yang 80 persen diantaranya adalah kapal ikan yang menggunakan purse seine. Pada tahun 1992, PNA menetapkan perjanjian Palau Agreement yang bertujuan untuk mengatur 89 Nauru Agreement adalah persetujuan oleh Forum Fisheries Agency FFA pada 1982 yang bertujuan untuk mengkoordinasikan pengelolaan perikanan di Samudera Pasifik. pengelolaan perikanan purse seine, yang jumlahnya terus meningkat dan mengacam keberlanjutan penangkapan tuna di Samudera Pasifik. Palau Agreement bertujuan untuk melindungi sediaan tuna dari dampak overfishing dan meningkatan manfaat ekonomi dari perikanan tuna diantara PNA. Namun upaya tersebut tidak optimal karena tidak melibatkan Indonesia dan Philipina yang dianggap belum mengelola perikanan tuna secara baik. Untuk itu, pada tahun 1990-an, anggota FFA memperluas kerjasama dengan melibatkan Indonesia, Philipinna dan DWFNs. Selanjutnya dalam buku karangan Havice The Structure of Tuna Aceess Agreements in Western and central Pacific Ocean, menyatakan pada tahun 1995, PNA melaksanakan FSM Arrangement for Regional Fisheries Access FSM Arrangement. Namun kebijakan tersebut justru menyebabkan terjadi peningkatan kapasitas dan upaya tangkapan. Pada tahun 1997, negara- negara di kepulauan Pasifik termasuk Australia dan Selandia Baru dan DWFNs di Samudera Pasifik sebalah Barat dan Tengah termasuk China, Prancis, Korea, Jepang, Filipina, Taiwan dan Amerika Serikat mulai melakukan negosiasi untuk menetapkan Western and Central Pacific Fisheries Commission untuk mengelola spesies ikan yang migrasi jauh. 90 Di Indonesia pelaksanaan konservasi Perikanan sesuai pasal 13 UU No. 13 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan dilaksanakan dengan PP No. 60 tahun 2007 berdasarkan pasal 2 ayat 2 90 Indonesia mengesahkan Konvensi WCPFC melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013, dimana secara resmi Indonesia menjadi anggota pada November 2013 dengan catatan bahwa bagi Indonesia penerapan Konvensi WCPFC hanya mencakup wilayah ZEE Indonesia yang berhadapan dan berada dalam Samudera Pasifik serta tidak mencakup wilayah perairan kepulauan, territorial, dan perairan pedalaman Indonesia. Lihat; http:www.antaranews.comberita425059indonesia-semakin-kuat-di-organisasi-tuna-dunia, diakses pada 15 September 2015. dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Konservasi sumber daya ikan dalam ketentuan ini meliputi: a Konservasi ekosistem; b Konservasi jenis ikan; dan c Konservasi genetik ikan. PP No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan ditetapkan pada tanggal 16 Nopember 2007, karena ditetapkan sebelum Indonesia melakukan pengesahan terhadap UNFSA 1995 dan Konvensi CCSBT 1993, maka pengaturan mengenai konservasi didasarkan pada ketentuan internasional Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES 1973. 91 Pada tahun 2009 diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03MEN2009 tentang Penangkapan Ikan danatau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Peraturan Menteri ini disusun dalam rangka telah masuknya Indonesia kedalam beberapa RFMOs yang ada disekitar Indonesia. Dalam Peraturan Menteri ini diatur mengenai perizinan penangkapan ikan di laut lepas dan juga hak dan kewajiban bagi setiap orang atau badan hukum Indonesia, kapal penangkap ikan dan kapala pengangkut ikan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas danatau pengangkutan ikan di laut lepas. Yang menarik adalah diaturnya definisi pengertian tentang RFMOs yang lebih sederhana dari yang diatur dalam CCRF dan hanya terbatas pada kegiatan pengelolaan perikanan di laut lepas. Seluruh hak dan kewajiban yang diatur dalam Peraturan Menteri ini telah sesuai dengan Pengaturan internasional tentang 91 Mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975 dalam kerangka hukum perdagangan species langka. Negara Indonesia telah meratifikasi CITES 1973 melalui Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978. Lihat Dr. Chomariah, SH., MH. Op.cit. hal. 108. pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan yang ada. Saat ini, hubungan antara perdagangan, perikanan dan pembangunan berkelanjutan menjadi suatu diskusi di dalam organisasi internasional, perjanjian internasional dan regional di bidang lingkungan, perdagangan dan perikanan, serta organisasi pengelolaan perikanan regional RFMOs. Sebagai tindak lanjut PP No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, telah ditetapkan beberapa Peraturan Menteri antara lain: 92 a Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 03MEN2010 Tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan, yang merupakan peraturan pelaksana dari pasal 24 ayat 2. Pada peraturan meteri diatas dalam Pasal 1 angka 5, menyatakan bahwa Otoritas keilmuan adalah lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada otoritas pengelola mengenai konservasi SDI berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan termasuk dalam rangka pelaksanaan CITES. b Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 04MEN2010 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 35 ayat 6; Pasal 37 ayat 5; Pasal 39 ayat 3; Pasal 40 ayat 3; Pasal 42 ayat 6; Pasal 43 ayat 5 dan Pasal 44 ayat 6. 92 Ibid. hal. 109.

3.2 Peranan The Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC