Strategi kebijakan perikanan tangkap indonesia dalam kerjasama perikanan regional pada West and Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC)

(1)

STRATEGI KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP

INDONESIA DALAM KERJASAMA PERIKANAN

REGIONAL PADA

WEST AND CENTRAL PACIFIC

FISHERIES COMMISSION

(WCPFC)

ADY CANDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia Dalam Kerjasama Perikanan Regional pada West and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Ady Candra NRP C 4602070104


(4)

(5)

RINGKASAN

ADY CANDRA. Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia dalam Kerjasama Perikanan Regional pada West and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Dibimbing Oleh Budy Wiryawan, Mulyono S.Baskoro dan Arif Satria

Kerjasama pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh di Samudera Pasifik Bagian Barat dan Tengah dilaksanakan melalui organisasi kerjasama perikanan regional yakni WCPFC. Status Indonesia adalah Cooperating Non-Member dengan hak terbatas dalam menentukan tindakan pengelolaan dan konservasi di wilayah Konvensi namun memiliki kewajiban yang hampir sama dengan negara Member. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola oleh WCPFC, (2) Menganalisis dampak ekonomi terhadap ketentuan WCPFC bagi nelayan Indonesia, dan (3) Menganalisis perumusan kebijakan Indonesia dalam memperkuat peran serta dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC.

Penelitian mengunakan data primer berupa ketentuan yang mengatur pengelolaan perikanan pada WCPFC dan regulasi nasional yang terkait dengan usaha penangkapan ikan dan kerjasama regional. Pengumpulan data sekunder dilakukan di PPS Bitung sepanjang tahun 2012 dengan menggunakan rancangan penelitian survei. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode sensus terhadap nelayan purse seine yang melakukan penangkapan ikan di wilayah WCPFC dan melakukan pendaratan ikan di PPS Bitung. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, serta analisis content. Analisis regresi dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan purse seine. Untuk menganalisis strategi kebijakan perikanan tangkap di WCPFC digunakan metode AWOT.

Dalam persiapan partisipasi Indonesia pada WCPFC terdapat dua ketentuan yang mengikat yakni Konvensi WCPF dan Conservation and Management Measures (CMM). Berdasarkan kesiapan regulasi nasional terdapat tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia yakni (1) Status Wilayah, (2) Pengawasan dan Penegakan Hukum, dan (3) Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Analisa WTA menghasilkan nilai rataan kesediaan menerima pembayaran per orang sebesar Rp 4.774.000 per tahun (Rp 397.433 per bulan). Sementara itu, rataan pendapatan tetap setiap nelayan purse seine sebesar Rp 20.520.000 per tahun (Rp 1.710.000 per bulan). Dengan demikian, apabila larangan penangkapan juvenile (baby tuna) diberlakukan, maka pendapatan nelayan purse seine per bulannya menjadi Rp 1.312.166,67, karena kehilangan sebesar Rp 397.433 per bulan. Strategi yang harus dilakukan, yaitu: (1) Penelitian perikanan secara rutin, (2) Pengembangan fasilitas dan pelayanan pelabuhan perikanan, (3) Penguatan peran asosiasi perikanan tuna, (4) Penguatan sistem penegakan hukum (5) Penguatan kerjasama regional dengan WCPFC, (6) Pengembangan sistem informasi dan data, (7) Peningkatan MCS, (8) Penetapan dokumen RPP, (9) Penguatan armada tangkap, dan (10) Sinergisasi aturan pemasangan rumpon.


(6)

(7)

SUMMARY

ADY CANDRA. Policy Strategy of Indonesia Capture Fisheries in Regional Fisheries Cooperation in Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Supervised by Budy Wiryawan, Mulyono S.Baskoro and Arif Satria

Management cooperation of highly migratory stock in western and central Pacific Ocean implemented through regional fisheries cooperation organization namely (WCPFC). The status of Indonesia is Cooperating Non-Member with limited rights to determine managament and conservation measures in convention area but obligations semiliar with Member. The purpose of this study are ; (1) Analyze the fisheries management provisions in high seas are managed by WCPFC, (2) Analyze the economic impact of WCPFC provisions for Indonesia fisherman, and (3) Analyze Indonesia policy formulation to strengthen participation of fisheries management in WCPFC.

The study uses primary data of provisions governing the WCPFC and national regulations related fisheries and regional cooperation. The collection of secondary data in Bitung Fishing Port in 2012, using a survey research design. Sampling was conducted using census method for the purse seine fisherman who fishing in WCPFC area and landing fish in Bitung Fishing Port. Data were analyzed qualitatively and quantitatively with content analysis. Regression analysis conducted on the factors that influence purse seine fisherman income To analyze fisheries policy strategies used methods AWOT.

To prepare Indonesia's participation in the WCPFC are two provisions that bind the WCPF Convention and Conservation and Management Measures (CMM). Based on the readiness of national regulations, Indonesia Government should consider : (1) Status area, (2) Monitoring and Enforcement, and (3) Preparation of Regulation Legislation. Result of WTA Analysis is average value per person willingness to accept payment of Rp 4.774.000 per year (RP 397.433 per month). Meanwhile, the average fixed income every purse seine fishermen of Rp 20.520.000 per year (Rp 1.710.000 per month). Therefore, if prohibition of baby tuna fishing is implemented, the purse seine fishing revenue per month Rp.1.313.166,67 for the loss of Rp 397,433 per month. Strategy should be done are (1) Routine fisheries research (2) Development of a fishing port facilities and services (3) Strengthening the role of the tuna fishery associations (4) Strengthening the law enforcement system (5) Strengthening regional cooperation with the WCPFC (6) Development system information and data (7) Improved MCS (8) Determination document of Fisheries Management Planning (h) Strengthening fishing fleet and (9) regulation synergy of FAD installation.


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

STRATEGI KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP

INDONESIA DALAM KERJASAMA PERIKANAN

REGIONAL PADA

WEST AND CENTRAL PACIFIC

FISHERIES COMMISSION

(WCPFC)

ADY CANDRA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Manyor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Eko Sri Wiyono, SPi, Msi Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof Dr Ir Jhon Haluan, MSc


(13)

Judul Disertasi : Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia dalam Kerjasama Perikanan Regional pada West and Central Pacific Fisheries Commision (WCPFC)

Nama : Ady Candra

N I M : C 4602070104

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Budy Wiryawan, MSc K e t u a

Prof Dr Ir Mulyono S Baskoro, MSc Dr Arif Satria, SP, MSi

A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui

Ketua Program Studi

Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(14)

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cerenti pada tanggal 17 April 1976 sebagai anak ke tujuh dari pasangan Ali Amran dan Nursyam. Status penulis bekeluarga dengan istri bernama Leny Rosylin dan telah dikarunia tiga orang anak yakni Nasywa Fatimah (8 tahun), Muhammad Abisalli Abrizam (6 tahun) dan Aisha Khanza Jahiyyah (2 tahun).

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap Program Pascasarjana IPB pada tahun 2008.

Penulis bekerja di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2004 dan saat ini dipercayakan menjadi Kepala Seksi Evaluasi Pengembangan Usaha Pengkapan Ikan pada Direktorat Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan


(16)

(17)

PRAKATA

Penulis bersyukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang

berjudul “Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap Indonesia Dalam Kerjasama Perikanan Regional pada West and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) ” ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penyelesaian Program Doktor Manyor Sistem Pemodelan Perikanan Tangkap Penyelenggaraan Kelas Khusus.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Budy Wiryawan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr.Ir.Mulyono S Baskoro dan Dr. Arif Satria SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan Disertasi ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Ali Supardan MSc yang telah memberi kesempatan untuk melanjutkan studi program doktor, dan Ir. A. Bambang Sutejo MS beserta staft Direktorat Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP yang telah banyak membantu selama penulis menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri dan ketiga putra-putri penulis (Nasywa, Abisalli, dan Aisha) atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayanganya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013


(18)

(19)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxii

DAFTAR GAMBAR... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 6

1.5Kerangka Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Shared Stocks (Sedian yang Diusahakan Bersama) ... 11

2.2Highly Migratory Stocks (Sedian Beruaya Jauh)... 13

2.3Straddling Stocks (Sedian Beruaya Terbatas)... 14

2.4 High Seas Stock Fish (Sedian Ikan Laut Lepas) ... 14

2.5Transboundary Stocks (Sedian di Perbatasan Antar Negara) ... 15

2.6Norma-Norma Pengelolaan Perikanan Global ... 15

2.7 Regional Fisheries Bodies (RBF) ... 19

2.8Regional Fisheries Management Organization (RFMO) ... 23

2.9Shared Allocation (Alokasi Jatah) ... 25

2.10Kebijakan Publik ... 26

2.11Penelitian Terdahulu tentang RFMO dan WCPFC ... 28

3 METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2Jenis dan Sumber Data ... 39


(20)

xx

3.4Metode Analisa Data ... 41

3.4.1 Analisa Peraturan Perundang-Undangan ... 41

3.4.2 Willingness to Accept (WTA) ... 44

3.4.3 Analisa AWOT ... 44

3.4.3.1Analisis SWOT ... 44

3.4.3.2Analytical Hierarchy Process ... 49

4 GAMBARAN UMUM WCPFC ... 53

4.1Sejarah Pembentukan WCPFC... 53

4.1.1 Pra Pembentukan WCPFC ... 53

4.1.2 Negosiasi Pembentukan WCPFC ... 54

4.2Tujuan dan Fungsi WCPFC ... 57

4.3Wilayah Kewenangan WCPFC ... 57

4.4Ketentuan Pelaksanaan Konvensi ... 59

4.5Spesies Utama ... 59

4.6Spesies Tangkapan Sampingan ... 63

4.7Pendanaan dan Anggaran ... 68

4.8Fungsi Komisi WCPF ... 70

4.9Badan-Badan dibawah Komisi ... 71

4.10Keanggotaan WCPFC ... 73

4.11Pembatasan Tangkapan ... 74

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA ... 75

5.1Prinsip Umum Konvensi : Relevansi dan Implikasi Terhadap Peraturan Perundang-Undangan ... 75

5.1.1 Wilayah Penerapan ... 76

5.1.2 Dasar Pelaksanaan (Azas) ... 79

5.1.3 Penerapan Kehati-Hatian ... 83

5.1.4 Pelaksanaan Azas-Azas di Wilayah Berdasarkan Yurisdiksi Nasional dan Pengelolaan di Laut Lepas ... 85

5.1.5 Kewajiban para Anggota Komisi ... 86

5.1.6 Kewajiban Negara Bendera ... 87

5.1.7 Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan ... 88


(21)

xxi

5.1.9 Itikad Baik dan Penyalagunaan Hak ... 89

5.2Conservation and Management Measures (CMM) : Implikasi Bagi Indonesia... 90

5.2.1 Penggunaan Transmitter (VMS) ... 92

5.2.2 Penegakan Hukum ... 95

5.2.3 Kapal Penangkapan Ikan ... 97

5.2.4 Alat Penangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan ... 102

5.2.5 Pengelolaan Tangkapan Utama ... 110

5.2.6 Pengelolaan Tangkapan Sampingan ... 117

5.2.7 Program Observer dan Inspeksi Kapal ... 122

5.2.8 Data Buoys ... 124

5.2.9 Transhipment ... 125

5.3Implikasi Hukum WCPFC ... 131

5.4Analisa Ekonomi ... 144

5.5Analisa AWOT ... 149

5.5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal ... 149

5.5.2 Matriks IFE dan EFE ... 165

5.6Strategi Kebijakan ... 170

6 SIMPULAN DAN SARAN ... 179

6.1 Kesimpulan ... 179

6.2 Saran ... 181

DAFTAR PUSTAKA ... 183


(22)

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan Penamaan Tuna Beruaya Jauh Antara FAO dan

UNCLOS 1982 ... 14 2. Kesamaaan Prinsip antara Convention on Bilogical Diversity (CBD) dengan

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ... 19 3. Kelompok-Kelompok Regional Fisheries Bodies ... 20 4. Kajian literatur RFMO dan WCPFC 10 Tahun Terakhir ... 32 5. Pengaturan Yang Terkait Dengan Pengelolaan Perikanan Regional ... 42 6. Faktor Internal dan Eksternal ... 46 7. Faktor Strategi Internal (IFAS) ... 47 8. Faktor Strategi Eksternal (EFAS) ... 47 9. Tabel SWOT ... 48 10.Spesies Tangkapan Utama ... 60 11.Spesies Tangkapan Sampingan ... 63 12.Estimasi Kontribusi Keuangan Member dan Cooperating Non-Member

tahun 2012 (dalam US $) ... 69 13.Catch Limit untuk Bigeye Tahun 2012 ... 74 14.Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP RI ... 84 15.Conservation and Management Measures (CMM) ... 90 16.Data Logbook pada Pelabuhan Perikanan UPT Pusat Tahun 2012 ... 102 17.Kapal Indonesia yang dilaporkan Melakukan Transhipment di Wilayah

Konvensi WCPFC ... 127 18.Kesiapan Regulasi Nasional dan Rencana Aksi terhadap Ketentuan WCPFC . 135

19.Rataan variable pendapat responden ... 146 20.Nilai Koefisien pada Peubah Kesediaan Masyarakat untuk Menerima

Pembayaran atas Larangan Penangkapan Baby Tuna di PPS Bungus 2012 ... 148

21.Nilai WTA dan Pendapatan Nelayan Purse Seine di PPS Bitung 2012 ... 149

22.Fasilitas Pokok PPS Bitung ... 151 23.Fasilitas Fungsional PPS Bitung ... 152 24.Fasilitas Penunjang PPS Bitung ... 153 25.Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kekuatan ... 155

26.Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Kelemahan ... 159 27.Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Peluang ... 162 28.Hasil Skor Bobot dan Rangking Aspek Ancaman ... 165 29.Matriks IFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna ... 166 30.Matriks EFE efektivitas strategi kebijakan perikanan tuna ... 168 31.Matrik SWOT untuk Perumusan Strategi Diplomasi Indonesia ... 171


(24)

(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak Tahun 1974 ... 1 2. Kerangka Penelitian... 9 3. Jenis- Jenis Sedian Ikan Secara Parsial ... 12 4. Peta Wilayah Kewenangan RFMO ... 24 5. Bentuk Penyusunan Kebijakan Publik ... 28 6. Matriks internal-eksternal (IE) ... 49 7. Struktur Hirarki dengan Metode Analisis AWOT ... 52 8. Peta Wilayah Kewenangan WCPFC ... 58 9. Peta Tumpang Tindih Wilayah Kewenangan antara WCPFC dengan IATTC . 77 10.Peta Wilayah Kewenangan WCPFC di Perairan LCS dan Teritorial

Indonesia... 78 11.Posisi Kapal Penangkapan Ikan Indonesia Berdasarkan

Data VMS tahun 2012 ... 95 12.Kapal Bendera Indonesia yang Didaftarkan pada Komisi WCPFC ... 99 13.Data Pendaratan Hasil Tangkapan Purse Seine Periode Juli – November 2012 105 14.Kapal Purse Seine (A) Rumpon (B) dan (Ponton) Kota Bitung ... 106 15.Peta Rumpon Izin Pusat Tahun 2001-2009 ... 107 16.Tangkapan dari Kapal Indonesia pada Wilayah Konvensi WCPFC tahun

2002-2011 ... 110 17.Peta Daerah Penangkapan Kapal Indonesia Berdasarkan Jenis Ikan ... 111 18.Tangkapan Bigeye Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2011 ... 113 19.Tangkapan Yellowfin Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010 ... 114 20.Tangkapan Skipjack Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010 ... 115 21.Tangkapan Swordfish Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010 ... 116 22.Tangkapan Striped Marlin Indonesia dan WCPFC tahun 2002-2010... 117 23.Jumlah Tangkapan Hiu di WPP 716 dan 717 ... 119 24.Tangkapan Juvenile (baby tuna) yellowfin yang didaratkan di PPS Bitung ... 145 25.Hasil Analisa Perbandingan Kekuatan ... 154 26.Alur dan Mekanisme Log Book Penangkapan Ikan ... 157 27.Hasil Analisa Perbandingan Kelemahan ... 159 28.Hasil Analisa Perbandingan Peluang... 161 29.Pumb Boat Filipina yang Tertangkap PSDKP Bitung ... 163 30.Hasil Analisa Perbandingan Ancaman ... 164 31.Matriks IE ... 170


(26)

(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabulasi Data Responden Nelayan Purse Seine ... 189 2. Hasil Analisa Regresi ... 190 3. Kuesioner WTA Nelayan Purse Seine ... 192 4. Konvensi WCPFC dan Implikasinya Bagi Indonesia ... 197 5. CMM dan Implikasinya bagi Indonesia ... 204 6. Analisa Perbandingan Konvensi dan Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia... 210 7. Analisa Perbandingan Konvensi dan Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia... 226 8. Matrik Kelompok Konvensi dan CMM ... 259


(28)

(29)

1

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Status produksi perikanan tangkap dunia mengalami gejala tangkap lebih (overfishing). Laporan FAO (2012) mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan penangkapan ikan yang berlebihan sepanjang tahun 1970-2009 (Gambar 1) . Persentase overexploited terus meningkat dari 10 persen pada tahun 1974 menjadi 26 persen pada tahun 1989. Setelah Tahun 1990, angka overexploited terus meningkat meski lebih lambat. Sementara itu, fully exploited mengalami perubahan sangat kecil dari waktu ke waktu. Hal ini digambarkan dengan persentase yang stabil sekitar 50 persen sepanjang tahun 1974-1985, kemudian turun menjadi 43 persen pada tahun 1989 sebelum secara bertahap meningkat menjadi 57,4 persen pada Tahun 2009. Pada tahun yang sama, angka non-fully exploited mencapai 12,7 persen.

Sumber FAO, 2012

Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

Berdasarkan data tersebut, sediaan ikan dunia telah mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya penduduk dunia yang membutuhkan protein ikan. FAO (2010) mengungkapkan bahwa penduduk dunia mencapai tujuh milyar dengan sediaan konsumsi ikan per kapita mencapai 18,8 kg.


(30)

2

Penyebab meningkatnya kebutuhan ikan dunia, yaitu (Wahyuni, 2007) : (1) meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, (2) meningkatnya kualitas hidup yang diikuti dengan bergesernya komposisi makanan ke makanan sehat yang dicirikan dengan rendahnya kandungan kolesterol (pola red meat ke white meat), (3) masyarakat dunia semakin sibuk (people on the run) sehingga memerlukan makanan sehat dan siap saji, (4) dampak globalisasi menyebabkan aktivitas perikanan melampaui batas-batas negara, sehingga dituntut pula penyediaan makanan yang dapat diterima secara internasional, karena ikan merupakan alternatif komoditas makanan yang memenuhi syarat tersebut, dan (5) ketakutan akan tertularnya penyakit kuku dan mulut, sapi gila, anthraks, flu burung akibat konsumsi daging-daging ternak dan unggas (hewani) semakin menguatkan asumsi bahwa alternatif terbaik yang dapat dilakukan adalah mengkonsumsi ikan.

Meningkatkan kebutuhan akan protein ikan tersebut, menuntut produksi ikan sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan juga meningkat. Worm et.al (2006) mengungkapkan bahwa pada tahun 2048 akan terjadi kehancuran perikanan global. Pendapat tersebut dibantah oleh Branch (2008) karena dianggap mengabaikan berbagai faktor, diantaranya adalah regulasi internasional dan nasional dalam mewujudkan perikanan dunia yang berkelanjutan. Terlepas dari perdebatan kedua pakar tersebut di atas, perikanan tangkap dihadapkan pada ancaman kelangkaan ikan global. Hal ini diperkuat oleh laporan FAO (2012), bahwa produksi perikanan laut dunia berfluktuasi antara 77 dan 86 juta ton dengan catatan tertinggi 86,8 juta ton pada tahun 2000 dan menurun menjadi 78,9 juta ton pada tahun 2011.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Branch di atas, bahwa untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan adalah penyusunan regulasi internasional dan nasional. Terkait dengan penurunan sediaan ikan, hingga saat ini telah dikeluarkan beberapa hukum internasional dalam rangka mewujudkan perikanan bertanggung jawab dan berkelanjutan. Beberapa hukum internasional yang telah dikeluarkan antara lain; (1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), (2) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas


(31)

3

(FAO-Compliance Agreement 1993), (3) The United Nations Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement 1995), dan (4) FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).

Salah satu ketentuan yang diatur dari keempat hukum internasional tersebut adalah kegiatan penangkapan ikan di laut lepas. Hal ini dikarenakan, laut lepas yang memiliki rezim kebebasan menangkap ikan (freedom on fishing) yang diartikan sebagai wilayah tak bertuan. Berdasarkan perkembangan permasalahan yang terjadi di laut lepas tersebut, maka setiap negara baik yang wilayahnya berdekatan dengan laut lepas maupun negara yang jaraknya jauh dengan laut lepas namun armada tangkapnya melakukan penangkapan ikan di laut lepas dianjurkan untuk membentuk organisasi-organisasi sub-regional dan regional atau yang sering disebut dengan organisasi pengelolaan perikanan regional atau regional fisheries management organization (RFMO). Perkembangan RFMO didasarkan sifat ikan yang selalu bergerak (beruaya) dan melintasi batas wilayah antar negara (transboundary). Akibatnya, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan di suatu negara dapat menyebabkan kerusakan ikan di negara lain. Hal inilah yang mendorong kepentingan bersama dalam membentuk RFMO di suatu kawasan (Satria, et.al, 2009).

Beberapa organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan yang terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya adalah: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Dengan demikian, Indonesia harus mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam hal penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkap ikan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang ada (Satria, et.al, 2009).

Kepatuhan suatu negara dalam melakukan penangkapan ikan di laut lepas secara bertanggung jawab dan berkelanjutan adalah hal yang mutlak dilakukan. IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated


(32)

4

Fishing (IPOA on IUU Fishing) memasukan pengertian kegiatan perikanan yang tidak sah (illegal fishing) di laut lepas. IPOA IUU Fishing menyebutkan kegiatan illegal fishing di laut lepas apabila dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara anggota suatu organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh organisasi regional tersebut dan mengikat negara tersebut, ataupun ketentuan hukum internasional yang terkait lainnya. Dengan demikian, diperlukan peran aktif suatu negara pada suatu RFMO, dimana armada tangkapnya melakukan penangkapan ika di wilayah laut lepas yang menjadi kewenangan pengaturan RFMO tersebut.

Peningkatan kerjasama perlu dilakukan melalui peran serta aktif pemerintah Indonesia di RFMO dan meningkatkan kerjasama Indonesia dengan negara-negara lain di sekitar kawasan perairan Indonesia dan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia, khususnya di kawasan Samudera Pasifik yang Indonesia belum menjadi anggota WCPFC. Hal ini perlu dilakukan guna memfasilitasi kepentingan pembangunan pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia, termasuk meningkatkan posisi Indonesia dalam negoisasi-negoisasi dalam rangka kesepakatan pengelolaan sumber daya ikan. Penguatan posisi Indonesia diharapkan dapat menguntungkan perikanan nasional, antara lain adanya kompensasi dan keuntungan-keuntungan pengelolaan perikanan tuna bagi Indonesia, mengingat adanya fakta yang menyebutkan bahwa sumber daya tersebut memijah di perairan Indonesia.

Peran aktif Indonesia dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC, merupakan bentuk diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan perikanan nasional. Analisa strategi dibutuhkan guna memperkuat posisi Indonesia terhadap negara lain, memperoleh kedudukan yang penting di antara negara anggota dan sejajar di antara negara-negara maju dalam kerjasama pengelolaan perikanan regional. Sementara itu, dalam diplomasi di WCPFC, Indonesia harus memerhatikan kewajiban-kewajiban yang melekat sebagaimana diatur dalam Konvensi Pembentukan WCPFC, Conservation and Management Measures (CMM) serta resolusi yang berkembang. Hal ini dikarenakan, sebagai subjek hukum internasional, WCPFC memiliki kemampuan untuk mengeluarkan


(33)

5

hukum yang akan dijadikan sumber hukum (Starke, 2001). Dengan demikian, Konvensi WCPFC dan aturan pelaksanaannya (CMM dan Resolusi) harus dikaji karena akan menimbulkan implikasi bagi Indonesia, baik sebagai CNM (Contracting Non Member) maupun anggota (member).

1.2Permusan Masalah

Asas kebebasan penangkapan ikan di laut lepas mengancam keberlanjutan highly migratory species dan straddling fish stock. Faktor-faktor utama yang berpengaruh tersebut, yaitu overfishing dan dampak aktivitas manusia. Oleh karena itu, dikeluarkan berbagai instrumen internasional, baik yang mengikat (hard law) maupun yang bersifat sukarela (soft law). Instrumen internasional tersebut memberikan amanat kepada setiap negara, baik negara pantai (coastal state) maupun negara penangkap ikan jarak jauh (distant water fisheries nation) untuk bekerjasama dalam pengelolaan perikanan regional atau internasional.

Salah satu organisasi pengelolaan perikanan regional yang harus diperhatikan adalah WCPFC. Dalam hal ini Indonesia belum menjadi anggota penuh WCPFC. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan di laut lepas umumnya dan keterlibatan Indonesia di WCPFC khususnya harus dicarikan solusinya. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola oleh WCPFC?

2. Bagaimana dampak ekonomi aturan WCPFC bagi nelayan Indonesia?

3. Langkah kebijakan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat peran serta dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis ketentuan pengelolaan perikanan di wilayah laut lepas yang dikelola oleh WCPFC.


(34)

6

2. Menganalisis dampak ekonomi terhadap ketentuan WCPFC bagi nelayan Indonesia.

3. Menganalisis perumusan kebijakan Indonesia dalam memperkuat peran serta dalam pengelolaan perikanan di wilayah WCPFC.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan regional di Samudera Pasifik, khususnya di wilayah yang dikelola oleh WCPFC.

2. Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran pengelolaan perikanan di laut lepas yang dikelola oleh organisasi pengelolaan perikanan regional.

3. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai kajian kebijakan geopolitik nasional.

1.5Kerangka Pemikiran

Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa perikanan global dihadapkan pada permasalahan ancaman kelangkaan ikan. Laut lepas yang selama ini berlaku rezim hukum kebebasan di laut lepas (freedom on the high seas), termasuk didalamnya adalah kebebasan perikanan (freedom on fishing), adalah salah satu penyebab ancaman perikanan global. Hal ini dikarenakan kegiatan perikanan di laut lepas diibaratkan tidak bertuan. Oleh karena itu, masyarakat dunia melalui FAO menggagas pembentukan organisasi pengelolaan perikanan regional (regional fisheries management organization/RFMO).

Landasan hukum pengelolaan perikanan di laut lepas, termasuk amanat pembentukan RFMO diantaranya adalah UNCLOS 1982, FAO Compliance Agreement 1993, UNIA 1995, CCRF 1995 dan IPOA on IUU Fishing 2001. Kebijakan nasional Indonesia mengenai pengelolaan perikanan, termasuk pengelolaan perikanan di laut lepas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. Menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang-Undang-Undang Nomor


(35)

7

31 Tahun 2004, disebutkan bahwa pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Pada bagian penjelasan ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan perikanan di laut lepas. Kebijakan ini dimaksudkan agar pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan (Pasal 6 ayat 1). Selanjutnya, dalam rangka memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama pengelolaan perikanan pada forum regional dan internasional, pemerintah Indonesia berusaha untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dimaksud (Pasal 10).

Berdasarkan uraian diatas, Indonesia mempunyai landasan hukum yang kuat untuk berperan serta dalam mewujudkan perikanan bertanggung jawab (responsible fisheries) dan berkelanjutan (sustainable fisheries), khususnya di wilayah laut lepas yang biasanya dikelola oleh organisasi pengelolaan perikanan regional. Hal ini mencerminkan bahwa Indonesia telah siap dalam mewujudkan pengelolaan perikanan global.

Salah satu RFMO yang wilayah pengelolaannya berhadapan dengan perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) adalah WCPFC. Dalam rangka menyusun strategi kebijakan Indonesia di WCPFC, maka diperlukan analisa peraturan terhadap konvensi pembentukan WCPFC. Analisa peraturan digunakan dalam rangka menganalisis hak dan kewajiban yang akan menjadi peluang (keuntungan) dan tantangan (kerugian) bila kita meratifikasi Konvensi WCPFC.

Hasil analisa peraturan menjadi pegangan dalam penguatan strategi kebijakan geopolitik Indonesia di WCPFC. Hal ini dikarenakan, dipastikan adanya larangan terhadap kegiatan yang menyebabkan perikanan tidak berkelanjutan, salah satunya adalah penangkapan juvenile tuna (baby tuna). Padahal, nelayan Indonesia tidak membedakan baby tuna dengan tuna besar. Akibatnya adalah, kebijakan tersebut akan merugikan perekonomian nelayan,


(36)

8

khususnya nelayan skala kecil. Terkait dengan potensi kehilangan hasil tangkapan akibat larangan penangkapan baby tuna, maka akan digunakan lost productivity method. Analisa ini akan mengungkapkan seberapa besar nelayan Indonesia akan mengalami kehilangan potensi ekonomi akibat kebijakan larangan penangkapan baby tuna.

Analisa berikutnya adalah integrasi analisa SWOT dengan AHP yang dikenal dengan istilah AWOT. Analisa ini diharapkan mampu menghasilkan strategi kebijakan Indonesia dalam keterlibatan pengelolaan perikanan di laut lepas, khususnya di wilayah yang menjadi kewenangan pengelolaan WCPFC. Dengan demikian, tujuan dan target penelitian ini adalah penguatan Indonesia di WCPFC, pengelolaan perikanan global, dan kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia. Secara lebih jelasnya, kerangka penelitian ini disajikan pada Gambar 2.


(37)

9

Gambar 2 Kerangka Penelitian

Keterangan:

Ancaman Kelangkaan Perikanan Global

Pengelolaan Perikanan Laut Lepas

WCPFC

Status Produksi Perikanan

Konvensi WCPFC, CMM dan Resolusi Landasan Hukum:

UNCLOS

FAO Compliance UNFSA

CCRF

IPOA on IUU Fishing

Landasan Hukum (Nasional): Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Menteri

Implikasi Ketentuan WCPFC Aturan penangkapan

baby tuna

Strategi Kebijakan Indonesia

Tujuan dan Target: Penguatan Indonesia di WCPFC

Pengelolaan Perikanan Global

Kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia

Analisis Peraturan Perundangan

Analisis WTA

Analisis Kebijakan

AWOT

Batas Penelitian Feed Back


(38)

(39)

11

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Shared Stock (Sediaan yang Diusahakan Bersama)

Sediaan merupakan jumlah organisme yang merupakan bagian dari suatu populasi disuatu tempat, dan suatu sediaan mungkin saja merupakan suatu bagian dari suatu populasi atau lebih dari satu populasi (Widodo, 2006). Selanjutnya Marguire (2006), menyatakan bahwa pengertian sediaan dalam perikanan merupakan parameter-parameter pertumbuhan serta kematian dalam area geografi tertentu dan tidak terkait dengan sediaan lain dari spesies yang sama pada area tertentu. Pelaksanaannya konsep sedian tersebut beragam, tergantung kepada pengetahuan dan informasi yang tersedia.

Widodo (2006) menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian tentang sediaan dalam pengelolaan perikanan, pada dasarnya sediaan didefinisikan sedemikian rupa sehingga model-model produksi perikanan (yield) akan dapat diterapkan dan diaplikasikan. Setiap contoh, statistik dari individu-individu dari suatu sediaan harus memiliki karakteristik-karakteristik produksi yang serupa terhadap setiap sampel dari sediaan. Karakteristik pokok yang dikaitkan dengan berbagai model yield adalah: (1) jumlah yang dilahirkan dalam satu tahun tertentu, (2) laju pertumbuhan, (3) laju kematian alami, dan (4) laju kematian penangkapan. Bila kawasan geografis dari suatu spesies berbeda-beda dalam karakteristik-karakteristik tersebut, maka untuk keperluan manajemen, kawasan tersebut harus dianggap lebih dari satu sediaan.

Sebagian besar dari berbagai sediaan ikan di dunia tidak berada sepenuhnya dibawah yurisdiksi suatu negara, dan tidak jarang sediaan ikan tersebut dieksploitasi oleh sejumlah negara tertentu. Akibatnya, implementasi suatu tindakan pengelolaan tidak hanya melibatkan suatu negara tertentu tetapi memerlukan persetujuan dari negara-negara lain yang bersangkutan (Widodo, 2006). Istilah baku yang digunakan untuk menjelaskan sediaan tersebut adalah shared stock (sediaan yang diusahakan bersama).

Menurut Munro (2004) pengertian istilah shared stock meliputi: (1) sumberdaya ikan yang melintasi batas ZEE dari satu atau lebih negara pantai (transboundary stock), (2) spesies beruaya jauh (tertera dalam Lampiran 1


(40)

12

UNCLOS 1982), terutama spesies tuna, (3) semua sediaan ikan lainnya yang diterdapat diantara perairan ZEE negara pantai dan laut lepas tertentu (straddling stock), dan (4) sediaan ikan yang hanya terdapat di laut lepas (high seas fish stocks).

Keterangan : 1. Highly migratory; 2. Straddling (extensive distribution); 3. High seas. Bottom panel: 4. Pelagic straddling (mostly within EEZ); 5. Demersal straddling (mostly within EEZ); 6. Straddling (transboundary); 7. Straddling (mostly in high seas); 8. Straddling (evenly distributed)


(41)

13

2.2. Highly Migratory Stock (Sedian Ikan Beruaya Jauh)

Highly migratory stocks, terdiri dari spesies-spesies ikan yang terdapat pada Lampiran 1 UNCLOS 1982 yang merupakan defenisi sah (legal) tentang sedian ikan beruaya jauh. Berdasarkan definisi ilmiah sediaan ikan beruaya jauh didefinisikan sebagai jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dan melintasi laut lepas dan ZEE, bahkan batas-batas administrasi suatu negara (Maguire, 2006).

Dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982, termasuk dalam sedian ikan beruaya jauh terdiri dari ; tuna dan tuna-like species, oceanic sharks, pomfrets, sauries dan dolphinfish. Jenis tuna terdiri dari ; (1) Albacore tuna (Thunnus alalunga), (2) Bluefin tuna (thunnus thynnus), (3) Bigeye tuna (Thunnus obesus), (4) Skipjack tuna (Katsuwo pelamis), (5) Yellowfin tuna (Thunnus albacores), (6) Blackfin tuna (Thunnus atlanticus), (7) Litle tuna (Euthynnus alleteratus dan E.affinis) , (8) Southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), (9) Frigate mackerels (Auxis thazard dan A.rochei). Sedangkan kelompok tuna lainnya, terdiri dari ; (1) Marlin terdiri dari 8 spesies (Teprapturus angustirostris, T. belone, T. pfluegeri, T.albidus, T.audax, T. georgei, Makaira indica, M.nigricans), (2) Sailfish, terdiri dari 2 spesies (Istiophorus platyphorus dan I. albicans), dan (3) Swordfish (Xiphias gladicus).

Seiring dengan perkembangan identifikasi spesies, spesies yang masuk dalam kelompok sediaan ikan beruaya jauh dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982 seharusnya diperbaharui. Berdasarkan identifikasi FAO terakhir, spesies Blackfin tuna, Little tuna, dan Frigate tuna tidak termasuk spesies beruaya jauh karena merupakan spesies-spesies neritic yang hidup di perairan dekat pantai dengan kedalaman kurang dari 200 m.

Selanjutnya, penamaan spesies pada Lampiran 1 UNCLOS tidak seseuai dengan penamaan spesies yang ditetapkan FAO. Menurut Serdy (2003), penyebab perbedaan penamaan antara Lampiran 1 UNCLOS dan FAO, adalah: (1) penamaan kelompok tuna yang tertera dalam Lampiran 1 UNCLOS 1982 mengacu kepada Statistik Perikanan dan Buku Tahunan FAO yang diterbitkan pada tahun 1975, dan tidak diperbaharui ketika UNCLOS 1982 ditetapkan pada tahun 1982, (2) terdapat kesalahan terjemahan nama tuna ke bahasa utama FAO lainnya, yakni penamaan dalam bahasa Spanyol dan Perancis. Penamaan FAO ini


(42)

14

mengacu kepada Lampiran B Kesepakatan Pendirian IOTC. Perbedaan pemberian nama juga terdapat pada kelompok spesies beruaya jauh selain tuna, bahkan kesalahan juga terdapat pada pengelompokan famili dan jumlah spesies dalam satu famili (Serdy, 2003).

Tabel 1 Perbandingan Penamaan Tuna Beruaya Jauh antara FAO dan UNLOS

Inggris Perancis Spanyol UNCLOS FAO UNCLOS FAO UNCLOS FAO Albacore tuna Albacore Thon blane

germon

Germon Atun blanco Atun blanco Bluefin tuna Northern bluefin

tuna

Thon rouge Thon rouge Atun rojo Atun Bigeye tuna Bigeye tuna Thon obese a

gros ceil

Thon obese Patudo Patudo Skipjack tuna Skipjack tuna Bonite a ventre

raye

Listo Listodo Listodo Yellowfin tuna Yellowfin tuna Thon a negeore

jaune

Albacore Rabil Rabil Blackfin tuna Blackfin tuna Thon noir Thon a

nageoires

Atun de aleta negra

Atun aleta negra Little tuna Kagawa (E.

affinis); Little tunny (E. alletteratus)

Thoine Thoine orientale (E. affinis); Thonine (E. alletteratus) Bonito del Pacifico Bacoreta oriental (E. affinis); Bacoreta (E. alletteratus) Southern bluefin tuna Southern bluefin tuna Thon a nageoire bleue

Thon rouge du sud

Atun de aleta azul del sur

Atun del sur Frigate mackerel Frigate tuna

(A.thazard); Bullet (A.rochei)

Auxide Auxide (A.thazard); Bonite (A.rochei)

Melva Melva (A.thazard); Melvera (A.rochei) Sumber : Serdy A (2003)

2.3Straddling Stocks (Sediaan Beruaya Terbatas)

Pada pasal 63 UNCLOS, straddling stock didefinisikan sebagai sediaan ikan yang sama atau sejenis yang terdapat dalam ZEE dua negara pantai atau lebih. Menurut (Maguire, 2006), konsep sediaan beruaya terbatas dapat meliputi satu kesatuan dari sebagian besar sediaan ikan didalam perairan ZEE suatu negara hingga diluar perairan ZEE atau laut lepas. Tidak ada batasan jumlah biomass, suatu jenis ikan dikategorikan sebagai sediaan beruaya terbatas, sebagai contoh northern cod 95 persen biomass berada di perairan pantai (Maguire, 2006).

2.4High Seas Stocks Fish (Sediaan Ikan Laut Lepas)

Sediaan ikan laut lepas tidak didefinisikan secara khusus dalam UNCLOS 1982, namun secara umum konsep high seas stocks fish terdapat dalam UN Fish


(43)

15

Stock Agreement 1995. FAO (1994) menggunakan istilah purely high seas stocks untuk jenis ikan yang tidak ditemukan dalam perairan ZEE, atau jenis ini hanya ditemukan di laut lepas (Maguire, 2006).

2.5Transboundary Stocks (Sediaan di Perbatasan Antar Negara)

Menurut Caddy (1997), sediaan di perbatasan antar negara merupakan sekolompok organisme yang dieksploitasi secara komersil, tersebar atau beruaya melintasi b atas maritim dua negara atau lebih, atau batas maritim dari sebuah negara dan laut lepas tertentu, dimana hanya dapat dikelola secara efektif melalui kerjasama antar negara.

2.6Norma – Norma Pengelolaan Perikanan Global

Prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), khususnya kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing) sebagai salah satu pilar dalam Hukum Laut Internasional, tampaknya mulai melemah dan secara perlahan-lahan akan berakhir. Faktor pendorong semakin melemahnya prinsip kebebasan menangkap ikan di laut lepas adalah karena timbulnya kekhawatiran akan semakin menurunnya potensi sumberdaya ikan, antara lain karena semakin intensifnya teknologi penangkapan ikan yang dapat membahayakan kelestariannya. Apabila yang dikhawatirkan itu ternyata terbukti, maka pada gilirannya dapat diperkirakan akan mengancam keberlanjutan usaha penangkapan ikan.

Berbagai upaya kompromi telah dilakukan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Salah satu alternatifnya adalah melalui pemberian hak eksklusif (souvereign rights) kepada negara-negara pantai untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Upaya tersebut akan menjadi kurang efektif apabila armada perikanan dari berbagai negara mengarahkan operasinya ke kawasan-kawasan laut yang berbatasan dengan ZEE. Kawasan ini berada di luar jangkauan yurisdiksi negara pantai, terutama apabila sasarannya adalah jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya.


(44)

16

Food and Agriculture Organization (FAO), bersama-sama dengan The Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea, Office of Legal Affairs of the United Nations telah mengembangkan norma-norma perikanan untuk dapat diberlakukan secara global. Norma-norma perikanan global ini direncanakan untuk diterapkan melalui pemberdayaan organisasi-organisasi perikanan regional, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk di kawasan-kawasan tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Pengembangan norma-norma pengelolaan perikanan internasional pada dasarnya merupakan rancangan rinci dari ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam UNCLOS 1982, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas (Pasal 63) dan jenis-jenis ikan yang beruaya jauh (Pasal 64). Pengaturan internasional yang berkaitan dengan kegiatan perikanan terdiri dari:

1) United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 (Konvensi Hukum Laut 1982)

Pada hukum laut sebelumnya, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas merupakan bagian yang terpisah dari Konvensi Jenewa 1958. Dalam UNCLOS 1982 kedua hal tersebut telah diatur secara komprehensif yaitu tepatnya terdapat dalam Pasal 116-120 Konvensi. Disamping itu, UNCLOS 1982 juga mengatur persoalan perikanan pada rejim-rejim maritim lainnya terutama pada rejim-rejim ZEE yang terdapat dalam Bab V Pasal 55-75 UNCLOS 1982.

2) Agreement for the Implementation of the Provision of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA) 1995.

Persetujuan ini merupakan hasil dari konferensi yang membahas masalah konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis-jenis ikan yang beruaya jauh. Persetujuan ini dicapai melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995 bertempat di Markas


(45)

17

Besar PBB di New York. Selain dihadiri oleh 137 perwakilan negara termasuk Indonesia, konferensi ini dihadiri pula oleh perwakilan organisasi-organisasi perikanan regional.

Konferensi tersebut di atas merupakan tindak lanjut dari Resolusi Majelis Umum PBB No. 47/192 tanggal 22 Desember 1992 yang menindaklanjuti mandat Agenda 21 sebagai salah satu hasil KTT Rio de Janeiro (1992) tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan.

3) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas, 1993.

Persetujuan ini berlaku untuk semua kapal perikanan dengan maksud untuk meningkatkan penaatan kapal-kapal perikanan terhadap ketentuan-ketentuan konservasi sumber-sumber perikanan di laut lepas. Pemberlakuan Persetujuan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) yang dicanangkan urgensinya pada Deklarasi Cancun, 1992 dan Deklarasi Rio de Janeiro, 1992, dan khususnya di dalam Agenda 21.

4) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries/CCRF).

CCRF merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalamUNIA 1995. Sedangkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Tata Laksana ini. Walaupun demikian substansi pengaturannya hanya sebagian kecil saja yang berkaitan dengan permasalahan perikanan di laut lepas, karena sebagian besar pengaturannya berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber-sumber perikanan di perairan nasional dan ZEE, baik budi daya maupun perikanan tangkap, yang harus dilakukan secara bertanggung jawab. Tata Laksana ini memuat prinsip-prinsip dan standar perilaku internasional dengan tujuan untuk menjamin agar upaya-upaya konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan dapat berhasil secara efektif, termasuk perlindungan


(46)

18

habitat dan ekosistem serta keragaman jenis dan populasinya. Oleh karena itu, setiap negara, organisasi internasional, dan individu dihimbau untuk secara sukarela melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dirancang untuk memiliki kekuatan berlaku secara universal, meliputi antara lain: prinsip-prinsip umum, pengelolaan sumber-sumber perikanan, dan operasi penangkapan ikan.

5) UN Conference on Environment and Development (UNCED) : Agenda 21 Agenda 21 merupakan merupakan respon dalam mempersiapkan secara global tantangan pembangunan pada abad ke – 21, dimana bertujuan untuk terus meningkatkan kualitas hidup manusia dan pembangunan yang berkelanjutan. Terdapat beberapa bagian yang terkait dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan, yakni :

a) Bagian I .Dimensi Sosial dan Ekonomi (Bab 2 dan Bab 8).

Walaupun tidak berhubungan langsung dengan perikanan, namun terdapat beberapa isu yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan, termasuk salah satunya adalah perikanan.

b) Bagian II. Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya.

Terdapat beberapa bab yang berhubungan dengan perikanan, yakni (1) Bab 9; Perlindungan atmosphere, berhubungan dengan buangan gas (polusi) dari aktivitas penangkapan ikan dan penggunaan mesin pendingin yang dapat menipsikan ozon; (2) Bab 15; Konservasi dan keanekaragaman hayati; (3) Bab 17; Perlindungan laut, termasuk laut tertutup, semi tertutup dan wilayah pesisir yang meliputi : pengelolaan terpadu dan berkalanjutan wilayah pesisir dan ZEE, perlindungan lingkungan laut, pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan sumberdaya hayati di laut lepas, pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi sumberdaya hayati laut di wilayah hukum nasional, penguatan kerjasama dan koordinasi pada tingkat regional dan internasional, dan pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.


(47)

19

6) Convention on Bilogical Diversity (CBD)

CBD diratifikasi pada tahun 1995 merupakan tindak lanjut implementasi UNCED. CBD bertujuan untuk mengkonservasi keanekaragaman biologi, pemanfaatan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan dan pemanfaatan bersama secara tepat untuk sumber genetic, hak dalam memanfaatkan sumberdaya, dan penggunaan teknologi yang tepat. Pada saat yang bersamaan, sebagian negara-negara anggota FAO juga mengadopsi instrumen aturan internasional yakni CCRF. Terdapat beberapa persamaan prinsip antara CDB dengan CCRF sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kesamaan Prinsip antara Convention on Bilogical (CBD) dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

Convention on Bilogical (CBD) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

9.2.4. Membuat sistem informasi 7d. Pengelolaan dan penyusunan data 9.2.5. Memonitoring lingkungan

perairan

7b. Memonitor komponen-kompnen keanakaragaman bilogi

9.3.1 Menlindungi kenakerhama genetic dan ekisistem

8d. melindungi ekosistem.14.a kajian damapak lingkungan

7.5 Pendekatan kehati-hatian Prolog : Pendekatan kehati-hatian Sumber : www.fao.org/fi

CBD secara rinci diatur lebih lanjut pada Jakarta Mandate yang meliputi rencana-rencana aksi pengelolaan ekosistem laut dan pesisir serta eksosistem perairan umum daratan berupa upaya konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati dan habitatnya, pengelolaan pengenalan spesies asing, keterpaduan pengelolaan wilayah, pendekatan kehati-hatian, pendekatan eksosistem.

2.7Regional Fishery Bodies

Mandat Regional Fishery Bodies (RBF) atau Badan – Badan Perikanan Regional beragam. Beberapa RBF mempunyai mandat untuk memberikan nasehat (advisory mandate), mekanisme keputusan ataupun koordinasi yang tidak mengikat dari anggota. Sedangkan beberapa RBF memiliki mandat pengelolaan atau dikenal dengan Regional Fisheries Management Organization (RFMO).


(48)

20

Negara yang menjadi anggota RFMO terikat dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan dalam suatu RFMO.

Fungsi RBF juga beragam, termasuk pengumpulan, analisis dan disemininasi informasi dan data, mengkoordinasikan pengelolaan perikanan melalui skema dan mekanisme bersama, menyediakan forum kebijakan dan teknik, dan pengambilan keputusan terkait dengan konservasi, pengelolaan, pengembangan dan tanggungjawab terhadap sumberdaya. RFMO memainkan peran unik dalam fasilitasi kerjasama internasional untuk konservasi dan pengelolaan sediaan ikan. RFMO merupakan organisasi kerjasama perikanan antar pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan perikanan (FAO, 2001).

RBF merupakan wadah penting untuk meningkatkan pemanfaatkan berkelanjutan dimana kerjasama internasional dibutuhkan dalam pengelolaan dan konservasi. Secara signifikan, United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) 1992 merupakan perangkat hukum menempatkan RBF dalam fasilitasi kerjasama internasional. Peran dan prioritas RBF beragam menurut mandat dan faktor-faktor lainnya, termasuk kemauan politik dari para anggotanya.

FAO menilai RBF memiliki peran penting untuk meningkatkan perikanan berkelanjutan jangka panjang melalui kerjasama internasional dalam konservasi dan pengelolaan. Peran FAO adalah : (a) memberikan dukungan administrasi dan teknik kepada RBF; (b) meningkatkan kerjasama dan konsutasi diantara RBF; (c) memfasilitasi pertemuan RBF; dan (d) mendorong RBF untuk mengimplementasikan hal-hal yang diatur dalam UNCED, termasuk keterpaduan program-program FAO dengan RBF.

Tabel 3. Kelompok – Kelompok Regional Fisheries Bodies

No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri

RFMO

1. Commission for the Conservation of Antarctic Marine Living Resources (CCAMLR)

Diluar FAO Global dan lintas samudera

34 anggota 1982

2. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)

Dibawah FAO Berdasarkan Pasal

Samudera Hindia 12 Anggota (termasuk


(49)

21

No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri VI Indonesia)

3. North-East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC)

Diluar FAO Samudera Atlantik

7 anggota 1982

4. South Pacific Regional Fisheries Management Organisation (SPRFMO)

Diluar FAO Samudera Pasifik 20 Negara 2006

5. Convention on the Conservation and

Management of the Pollock Resources (CCBSP)

Diluar FAO Samudera Pasifik 5 anggota 1996

6. International Pacific Halibut Commission (IPHC)

Non Samudera Pasisifk 2 anggota 1923

7. North Pacific Anadromous Fish Commission (NPAFC)

Samudera Pasifik 5 Negara 1993

8. Western and Centra Pasific Fisheries Commission (WCPFC)

Diluar FAO Samudera Pasifik 36 negara (Indonesia : Cooperating Non-Member)

2004

9. Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT)

Diluar FAO Global dan lintas samudera

9 anggota 1994

10.International Whaling Commission (IWC)

Diluar FAO Global dan lintas samudera

66 anggota 1946

11.Pacific Salmon Commission (PSC)

Diluar FAO Samudera Pasifik 2 anggota 1985

12.General Fisheries Commission for the Mediterranean (GFCM) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal VI Mediterania dan Laut Hitam

23 anggota 1952

13.Lake Victoria Fisheries Organization (LVFO) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsi-funsgi FAO Perairan Umum Daratan

3 Negara 1994

14.Regional Commission for Fisheries (RECOFI)

Dibawah FAO Berdasarkan Pasal

VI

Samudera Hindia 8 Negara 1999

15.Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC)

Diluar FAO Samudera Pasifik 13 anggota 1950

16.Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO)

Diluar FAO Samudera Atlantik

15 anggota 1979

17.South East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsi-funsgi FAO Samudera Atlantik

4 anggota 2003

18.International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT)

Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsi-funsgi FAO Samudera Atlantik

3 negara 1966

19.North Atlantic Salmon Conservation Organization


(50)

22

No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri (NASCO) Atlantik

20.South Indian Ocean Fisheries Agreement (SIOFA) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsi-funsgi FAO

Samudera Hindia 6 anggota 2006

Advisory Mandate Bodies

1. Asia-Pacific Fishery Commission (APFIC) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal VI Samudera Pasifik dan Perairan Umum Daratan

21 Anggota (termasuk Indonesia)

1948

2. Commission for Inland Fisheries of Latin America (COPESCAL) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Perairan Umum Daratan

21 anggota 1976

3. Forum Fisheries Agency (FFA)

Diluar FAO Samudera Pasifik Anggota 1997

4. Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC)

Diluar FAO Samudera Pasifik 11 anggota (termasuk Indonesia)

1967

5. The Bay of Bengal Programme - Inter Governmental

Organisation (BOBP-IGO)

Diluar FAO Samudera Hindia 4 anggota 2003

6. Joint Technical Commission for the Argentina/Uruguay Maritime Front (CTMFM)

Diluar FAO Samudera Atlantik

2 anggota 1973

7. International Council for the Exploration of the Sea (ICES)

Diluar FAO Samudera Atlantik

19 anggota 1964

8. Pacific Community (SPC) Diluar FAO Samudera Pasifik 33 anggota 1947 9. Regional Fisheries

Advisory Commission for South-West Atlantic (CARPAS)

Diluar FAO Samudera Atlantik

3 anggota 1974

10.Comité régional des pêches du Golfe de Guinée (COREP)

Diluar FAO Samudera Atlantik

4 anggota 1984

11.Mekong River Commission (MRC)

Diluar FAO Perairan Umum Daratan

4 anggota 1995

12.Sub-Regional Commission on Fisheries (SRFC)

Diluar FAO Samudera Atlantik

7 anggota 1985

13.Fishery Committee for the Eastern Central Atlantic (CECAF) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Samudera Atlantik

3 anggota 1967

14.South Pacific Permanent Commission (CPPS)

Diluar FAO Samudera Pasifik 4 anggota 1952

15.North Atlantic Marine Mammal Commission (NAMMCO)

Diluar FAO Samudera Atlantik

4 anggota 1992

16.South West Indian Ocean Fisheries Commission


(51)

23

No Jenis Status Posisi Anggota Tahun Berdiri (SWIOFC)

17.Committee for Inland Fisheries of Africa (CIFAA) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Perairan Umum Daratan

37 anggota 1971

18.European Inland Fisheries Advisory Commission (EIFAC)

Diluar FAO Perairan Umum Daratan

34 anggota 1957

19.Latin American Organization for the Development of Fisheries (OLDEPESCA)

Diluar FAO Global dan lintas samudera

14 anggota 1982

20.Western Central Atlantic Fishery Commission (WECAFC) Dibawah FAO Berdasarkan Pasal XIV Samudera Atlantik

35 anggota 1973

21.Ministerial Conference on Fisheries Cooperation among African States Bordering the Atlantic Ocean (COMHAFAT) Ditetapkan diluar FAO, tetapi terdapat fungsi-funsgi FAO Samudera Atlantik

22 anggota 2007

22.Fishery Committee of the West Central Gulf Of Guinea (FCWC)

Diluar FAO Samudera Atlantik

6 anggota 2006

23.North Pacific Marine Science Organization (PICES)

Diluar FAO Samudera Pasifik 6 anggota 1992

Sumber : (1) www.fao.org/fi , (2) WCPFC, 2007 (3) FAO, 1999 dan (4) Lodge M, 2007

2.8Regional Fisheries Management Organization (RFMO)

Pembentukan suatu RFMO, merupakan implementasi pengelolaan sumberdaya ikan dilaut lepas yang telah diamanatkan dalam UNCLOS 1982. Pada pasal 116-118 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa semua negara mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerjasama dengan negara lain dalam mengambil tindakan untuk upaya konservasi sumberdaya hayati di laut lepas dan berkerjasama untuk menetapkan organisasi perikanan sub regional atau regional. Selanjutnya dipertegas pada Pasal 8 UN Fish Stock Agreement 1995, bahwa negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus berkerjasama dalam mengelola sumberdaya ikan di laut lepas melalui organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub regional atau regional.

Pembentukan RFMO mulai meningkat sejak tahun 1960-an, saat ini telah dibentuk 18 RFMO, hampir seluruh perairan laut lepas telah menjadi kewenangannya. Saat ini keberadaan RFMO memegang peran penting dalam sistem pengelolaan perikanan global, tanpa adanya kerjasama tersebut optimasi


(52)

24

pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan akan sulit untuk dicapai (Lodge and House, 2007).

RFMO memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengatur konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan yang bersifat shared fish stocks (transboundary, highly migratory, straddling stock, and discrete high seas stocks) pada perairan tertentu yang disepakati bersama yang dapat meliputi laut lepas maupun perairan ZEE suatu negara. Disamping itu RFMO juga mempunyai kewajiban dalam konservasi dan kelestarian semua spesies yang tergolong pada perikanan seperti: seabirds, turtles, dolphins, sharks dan non-target fish; dan sumberdaya laut lainnya.

Sumber : Bird Life International, 2008


(53)

25

2.9Shared Allocation (Alokasi Jatah)

Menurut McDorman (2005) memerhatikan otoritas setiap RFMO, terdapat dua aspek penting yang merupakan fokus keputusan RFMO. Kedua aspek penting tersebut adalah :

a. Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) , serta alokasi kuota bagi setiap anggota RFMO.

b. Penetapan dan pemberlakukan langkah dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap, metode penangkapan, musim penangkapan, musim tidak menangkap, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap.

Penentuan alokasi kuota sering sekali menjadi perdebatan sengit diantara negara anggota dalam setiap pertemuan tahunan RFMO, karena setiap negara lebih mengutamakan kepentingan ekonomi yang diperoleh dari kuota tersebut, dibandingkan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan berkelanjutan yang menjadi azas dalam suatu RFMO. Walaupun dalam UN Fish Stock Agreement 1995 telah diuraikan dasar pertimbangan pemberian kuota berlandaskan pada “prinsip keadilan dan tidak diskriminatif” terhadap negara anggota dan negara pihak, namun faktanya tidak demikian.

Fauzi (2006) menyatakan kuota merupakan instrumen kebijakan yang sering digunakan dalam pengendalian perikanan. Instrumen ini dianggap mampu menghilangkan ekternalitas negatif yang sering terjadi pada perikanan. Satria, et.al (2009) secara ringkas menjelaskan tentang kuota tentang kuota, yakni :

1. Global Quota, jumlah tangkapan ditetapkan berdasarkan jumlah ikan yang boleh ditangkap (JTB) dalam suatu perairan tanpa menyebutkan berapa jumlah yang diperbolehkan untuk setiap pelaku. Akibatnya, masih terjadi persaingan untuk menangkap ikan (race to fish) yang sangat tinggi dan ekses kapasitas penangkapan tidak bisa dihindari sehingga menyebabkan musim tangkap yang makin pendek juga malah terjadi over fishing.

2. Individual Quota (IQ), memberikan kuota kepada indivudu hingga para pelaku tidak perlu bersaing secara ketat untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Kelemahan sistem ini memungkinkan para pemegang kuota tidak mampu memanfaatkan kuota tersebut secara maksimal. Akibatnya ,


(54)

26

ada sejumlah potensi ikan yang ditangkap dan secara ekonomis merugikan baik pemegang kuota sendiri maupun ekonomi keseluruhan.

3. Individual Transfer Quota (ITQ), merupakan perkembangan dari IQ dimana kuota dapat dialihtangankan (transferable). ITQ dapat diperdagangkan, disewa, dijual atau diberikan kepada pihak lain. Perdagangan kuota tersebut berlangsung berdasarkan prinsip-prinsip mekanisme pasar dengan memerhatikan variabel sediaan ikan. Perubahan sediaan ikan tersebut sangat memengaruhi harga kuota ataupun harga ikan. dalam kondisi sediaan ikan meningkat maka jumlah kuota akan meningkat sehingga nilai kuota dengan sendirinya akan turun. Sebaliknya , ketika sediaan ikan menurun makan jumlah kuota akan mengecil dan ini mengakibatkan nilai atau harga kuota akan meningkat.

Selain itu, kuota akan mendorong terjadinya efesiensi kapital dan tenaga kerja yang digunakan karena kuota memberikan hak kepemilikan spasial (partial property rights) kepada nelayan. Namun demikian, penerapan kuota tidak akan menjamin terjadinya peningkatan input pada perikanan. Fenomena capital stuffing (penumpukan modal) yang terjadi pada beberapa perikanan di dunia yang menerapkan kuota, membuktikan dugaan tersebut.

Selain memungkinkan terjadinya capital stuffing, Copes (1986) dalam Fauzi (2006) secara terperinci menguraikan beberapa masalah potensial yang memungkinkan timbul penerapan kuota. Masalah tersebut antara lain menyangkut penentuan kuota, enforcement, highgrading. Kuota bisa saja ditentukan secara lelang, atau dijual dengan harga tertentu, sehingga untuk menentukan cara yang tepat akan menimbulkan biaya adminitrasi. Selain itu, high grading bisa timbul karena pemiliki kuota akan mengisi kuotanya dengan ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga bisa menimbulkan tangkapan sampingan yang pada gilirannya akan menyulitkan pendugaan sediaan ikan.

2.10 Kebijakan Publik

Berbagai pakar mendefinisikan kebijakan publik dengan beragam. Hal ini mencerminkan, bahwa kebijakan publik sulit untuk didefinisikan atau dirumuskan


(55)

27

(Wahab, 2012). Jenkins (1978) sebagaimana diacu dalam Wahab (2012) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu serangkaian yang paling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut. Sementara menurut Hogwood dan Gun (1984), kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta).

Berdasarkan pengertian kebijakan publik di atas, bahwa semua pembuat kebijakan publik senantiasa melibatkan pemerintah dengan cara tertentu. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Gerston (2002), bahwa semua pembuat kebijakan public melibatkan pemerintah dalam berbagai cara.

Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (Dun, 1998). Implikasi kebijakan publik sebagaimana dipaparkan di atas, yaitu: (1) kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah pada tujuan tertentu daripada sekedar sebagai bentuk perilaku atau tindakan menyimpang yang serba acak, asal-asalalan, dan serba kebetulan; (2) kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola, mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri; (3) kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu; dan (4) kebijakan publik mungkin berbentuk positif atau negative (Wahab, 2012).

Sementara itu, analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998). Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan.

Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan


(56)

28

dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat beberapa aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan (Gambar 5). Sementara analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan.

Sumber: Hogwood dan Gunn 1984

Gambar 5 Bentuk Penyusunan Kebijakan Publik

2.11 Penelitian Terdahulu tentang RFMO dan WCPFC

Penelitian terdahulu terkait dengan RFMO dan WCPFC difokuskan pada penelitian biologi, operasional penangkapan dan efektivitas pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan. Oleh karena itu, dalam rangka mendapatkan informasi secara luas tentang kegiatan penangkapan ikan di laut lepas, maka dilakukan penelusuran terhadap RFMO. Adapun beberapa hasil penelusuran tersebut, yaitu:


(57)

29

1) Kebebasan di Laut Lepas

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa laut lepas memiliki asas-asas kebebasan sebagaimana dituangkan dalam UNCLOS 1982. Namun demikian, dalam perkembangannya, kebebasan tersebut tidak berlaku untuk kegiatan penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh Hannesson (2011), yang menyebutkan bahwa kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang. Kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca pemberlakuan UNIA 1995, sehingga penangkapan ikan di laut lepas yang tidak mengindahkan aturan RFMO dapat dikenakan aturan sanksi illegal fishing.

2) Performance RFMO dan Efektivitas Pelaksanaan Konvensi WCPFC

Keberlanjutan sumberdaya ikan dalam suatu wilayah laut lepas tidak dapat dilepaskan dari lembaga pengelola (RFMO). Bjørndal (2009) menyebutkan kriteria performan NEAFC, yaitu: (1) Conservation and management of fisheries resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and dispute settlement procedures; (4) Co-operation; dan (5) NEAFC in a regional and international context. Khusus untuk WCPFC, Hanich (2011) menyatakan bahwa WCPFC telah gagal melaksanaan Konvensi dan langkah-langkah pengelolaan yang telah ditetapkan untuk mencegah terjadinya overfishing bigeye tuna.

3) Kajian tentang Hasil Tangkapan Sampingan

Permasalahan hasil tangkapan sampingan menjadi perhatian bersama masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan, penangkapan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory species) menyisakan permasalahan, yaitu tertangkap hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut (Levesque, 2008). Kelemahan ICCAT adalah ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan nasional, pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan hukum. Selain itu, adanya kesenjangan indikator performance ICCAT dalam hal efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan ICCAT (Levesque, 2008).


(58)

30

Herndon, et.al. (2010) menambahkan bahwa penurunan jumlah hiu selama ini dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap.Dalam rangka mengkaji hasil tangkapan sampingan, Waugh, et.al (2008) menyebutkan pentingnya ecological resource assessment (ERA) melalui empat tahapan, yakni: (a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk assessment; (c) identification of risk and implementation of management measures to address risks; dan (d) monitoring and review.

4) Akses Publik Terhadap Dokumen RFMO

Berdasarkan prinsip-prinsip transparansi yang terdapat dalam Konvensi RFMO, maka para pemangku kepentingan perikanan memilki hak untuk mendapatkan informasi dokumen ilmiah yang dimiliki RFMO. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Polacheck (2012), bahwa publik memiliki akses terhadap dokumen ilmiah yang digunakan RFMO dalam menetapkan setiap keputusan. Ketersediaan data ilmiah merupakan salah satu syarat transparansi RFMO sebagaimana diamanatkan oleh UNIA 1995, yang bertujuan untuk pengambilan keputusan dan untuk promosi aktif publikasi dan diseminasi hasil penelitian.

5) Program Observer di Laut Lepas

Dalam rangka pelaksanan pemantauan dan pengawasan di laut lepas, maka setiap kapal ikan wajib menempatkan observer diatas kapalnya. Laporan Dickson (2012) mengungkapkan bahwa program observer perikanan (Fisheries Observer Program) yang dilaksanakan oleh BFAR yang bekerjasama dengan industri perikanan mampu menciptakan kepatuhan pelaku usaha dalam pelaksanaan tindakan konservasi dan pengelolaan laut lepas secara berkelanjutan.

6) Kajian Keanggotaan Indonesia pada WCPFC

Ariadno (2012) mengkaji WCPFC dalam perspektif hukum. Disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia sudah sesuai dengan Konvensi, meskipun perlu tambahan. Selain itu, penegakan hukum terhadap kapal perikanan Indonesia belum efektif. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kewajiban


(59)

31

sesuai aturan WCPFC, maka perlu dilakukan pendampingan teknis untuk mencapai kapasitas dan kemampuan pemerintah Indonesia.


(60)

Tabel 4. Kajian literatur RFMO dan WCPFC 10 Tahun Terakhir

Tahun Penulis/Peneliti Judul Jurnal Kesimpulan

2008 Juan C. Levesque International fisheries agreement: Review of the International

Commission for the Conservation of Atlantic Tunas Case study—Shark management

Marine Policy 32 (2008) 528–533

ICCAT berhasil mengelola beberapa jenis spesies beruaya juah (HMS), tapi gagal dalam mengelola hiu, burung laut, penyu dan mamalia laut.

Kelemahan ICCAT adalah

ketidakmampuan melakukan harmonisasi laporan nasional, ketidakmampuan pelaksanaan dan koordinasi upaya serta, kepatuhan serta penegakan hukum Adanya kesenjangan indikator

performance ICCAT dalam hal efektivitas tindakan sesuai dengan yang tercantum dalam Konvensi pembentukan ICCAT

2008 S.M. Waugha, G.B.

Baker, R. Gales, J.P. Croxall

CCAMLR process of risk assessment to minimise the effects of longline

fishing mortality on seabirds

Marine Policy 32 (2008) 442–454

empat tahap dalam ecological resource assessment (ERA), yaitu: (a) establishing the context and problem formulation; (b) undertaking formal risk assessment; (c)

identification of risk and implementation

of management measures to address risks; and (d) monitoring and review;

Adopsi pendekatan bisa dilakukan untuk menangani permasalahan burung laut dan tangkapan sampaingan lainnya.


(61)

Tahun Penulis/Peneliti Judul Jurnal Kesimpulan

2009 Trond Bjørndal Overview, roles, and performance of

the North East Atlantic fisheries

commission (NEAFC)

Marine Policy 33 (2009) 685–697

Kriterian performace NEAFC, yaitu: (1)

Conservation and management of fisheries

resources; (2) Monitoring, control and enforcement; (3) Decision making and dispute settlement procedures; (4) Co-operation; and (5) NEAFC in a regional and international context.

2010 Andrew Herndon,

Vincent F. Gallucci, Douglas DeMaster, William Burke

The case for an international

commission for the conservation and management of sharks (ICCMS)

Marine Policy 34 (2010) 1239–1248

Badan internasional telah efektif mewujudkan pengelolaan hiu secara berkelanjutan

Penurunan jumlah hiu selama ini

dikarenakan tidak adanya data informasi demografi secara lengkap.

Ketiadaan data selama ini difasilitasi oleh badan internasional

2011 Rognvaldur

Hannesson

Rights based fishing on the high

seas: Is it possible?

Marine Policy 35 (2011) 667–674

Kebebasan di laut adalah konsep lama, karena yang masih berlaku hanya kebebasan berlayar dan transportasi barang

Kebebasan di laut lepas sebagaimana diatur oleh UNCLOS 1982 telah mengalami perubahan pasca pemberlakuan UNIA 1995. Penangkapan ikan di laut lepas

bertentangan dengan aturan RFMO


(1)

CMM

Tentang

Implikasi bagi Indonesia

Kondisi Eksisiting Peraturan

Perundang-undangan

Tindakan Aksi

Monitoring

Scheme

a.

dapat memublikasikan secara

berkala

hal-hal

yang

berkenaan

dengan

langkah

konservasi dan pengelolaan

sumber daya ikan;

b.

bekerja sama dengan negara

tetangga atau dengan negara

lain dalam rangka konservasi

dan pengelolaan sumber daya

ikan di laut lepas, laut lepas

yang bersifat tertutup, atau

semi tertutup dan wilayah

kantong;

c.

memberitahukan

serta

menyampaikan

bukti-bukti

terkait kepada negara bendera

asal kapal yang dicurigai

melakukan

kegiatan

yang

dapat menimbulkan hambatan

dalam

konservasi

dan

pengelolaan sumber daya ikan.

melakukan penangkapan

ikan di laut lepas


(2)

Perihal KONVENSI

(Pasal)

CMM

2004 20 05

2006 2007 2008 2009 2010 2011

3 5 6 7 8 2 3 2 4 2 5 3 3 0 3 0 4

03 0 4 0 7 0 8 0 1 0 4 0 1 0 3 0 4 0 1 0 2 0 3 0 5 0 6 0 9 1 0 1 1 0 1 0 2 0 4 0 5 0 6 0 7 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 1.Wilayah Penerapa n ∎ 2.Azaz Pelaksan aan ∎ 3.Penerapa n Kehati-hatian ∎ ∎ 4.Pelaksan aan Azas-Azas di wilayah Berdasar kan Yurisdik di Nasional ∎ ∎ 5.Kesesuai an tindakan konserva

si dan

pengelol aan

6.Kewajib

an Para Anggota Komisi ∎ 7.Kewajib an-Kewajib ∎

259


(3)

an Negara Bendera

8.Penaatan

dan penegak an

9.Itikad Baik Dan Penyalah gunaan Hak

10. Pengg

unaan

transm itter/V MS

11. Penega

kan hukum

∎ ∎ ∎ ∎ ∎

12. Kapal

Ikan ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

13. Alat

penang kap ikan dan alat bantu penang kapan ikan

14. Pengel

olaan Tangk apan Utama

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

15. Pengel

olaan Tangk apan Sampi ngan

∎ ∎ ∎ ∎ ∎


(4)

Observ er dan Inspek si Kapal 17. Data

Buoys

18. Transh

ipment ∎ ∎ ∎


(5)

Lampiran 9. Matrik Keterkaitan Hukum Nasional Dengan Konservasi dan CMM

Peraturan Perundanga -Undangan KONVENSI (Pasal) CMM

2004 200 5

2006 2007 2008 2009 2010 2011

3 5 6 7 8 2

3 2 4 2 5 3 3 0 3 0 4

03 0

4 0 7 0 8 0 1 0 4 0 1 0 3 0 4 0 1 0 2 0 3 0 5 0 6 0 9 1 0 1 1 0 1 0 2 0 4 0 5 0 6 0 7 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6

1.UU No 31

tahun 2004

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

2.UU No.

17 Tahun 2008

3.UU No.

21 Tahun 2009

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

4.PP No. 51

tahun 2002

∎ ∎ ∎ ∎ ∎

5.PP No. 30

Tahun 2008

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

6.PP No. 61

Tahun 2009 7.Permen KP No. Per.05/Me n/2007 ∎ ∎ ∎ 8.Permen KP No. Per.01/Me n/2009 ∎ 9.Permen KP No. Per.18/Me n/2010 ∎ ∎

262


(6)

Per.02/ Men/20 11

11. Permen

KP No. Per.12/ Men/20 11

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

12. Permen

KP No. Per.08/ Men/20 12

13. Permen

KP No. Per.12/ Men/20 12

14. Permen

KP No. Per.30/ Men/20 12

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

15. Kepmen

KP No. Kep.45/ Men/20 11

16. Permen

KP No Per 40/Men/ 2012

∎ ∎ ∎ ∎ ∎ ∎

17. Kep

Dirjen PT Nomor KEP.08/ DJ-PT/2010