h. Mengambil tindakan untuk mencegah danatau mengurang kegiatan
penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha
penangkapan ikan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;
i. Memerhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;
j. Mengumpulkan dan memberikan pada saat yang tepat, data yang
lengkap dan akurat mengenai kegiatan perikanan, antara lain, posisi kapal, tangkapan spesies target dan nontarget dan usaha penangkapan
ikan, serta informasi dari program riset nasional dan internasional; k.
Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan
ikan; l.
Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan, dan pengendalian.
4.2 Implementasi Perjanjian Internasional terkait Pengelolaan dan
Konservasi Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh di Indonesia
Sebagai sumber utama hukum internasional, perjanjian mengikat negara pihak. Sifat mengikat ini berarti negara harus mentaati dan menghormati
pelaksanaan perjanjian tersebut. Tentu saja yang melasanakan perjanjiantersebut adalah organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk
menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian adalah didasarkan atas prinsip pacta sunt servanda.
121
Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, terdapat pengertian implementasi perjanjian internasional yang dipahami agak
berbeda. Implementasi seperti dinyatakan Siswanto adalah berlakunya hukum internasional ke dalam hukum nasional. Implementasi tersebut dapat ditinjau dari
aspek teoritis maupun praktek negara-negara.
122
Suatu Negara yang sudah meratifikasi dan terikat pada suatu perjanjian internasional, lebih-lebih jika perjanjian internasional itu sudah mulai berlaku
bahkan juga sudah dilaksanakan pada aras atau tataran internasional, pada tataran nasional atau domestik, perjanjian itu akan masuk ke dalam dan menjadi bagian
dari hukum nasional negara-negara yang sudah meratifikasinya atau menyatakan persetujuannya untuk terikat sesuai dengan prosedur yang ditentukan di dalam
hukum atau perundang-undangan nasionalnya masing-masing. Implementasi itu dimaksudkan
agar suatu perjanjian internasional dapat dilaksanakan dalam suatu negara.
123
Keberadaan suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi menjadi sangat penting dan diperlukan untuk dapat memberikan masukan-masukan baru
sehingga dapat memperkaya hukum nasional. Selain itu dalam hubungan internasional, Indonesia akan berperan lebih besar lagi dengan keterlibatan serta
121
Boer Mauna Op.Cit. hal. 135.
122
Siswanto 2001 menyatakan; Perbedaan dari berbagai teori yang membahas mengenai hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional seringklai berbeda dengan praktek
negara dalam melakukan implementasi hukum internasional ke dalam hukum nasional. Lihat Andreas Pramudianto, SH., M. Si. Op.Cit. hal.199.
123
I Wayan Parthiana, S.H., MH., Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju: Bandung, 2005, hal. 265.
kegiatan-kegiatan penting yang berkaitan dengan perjanjian internasional tersebut yang dapat memberikan keuntungan untuk meningkatkan dan mendorong
pembangunan nasional.
124
Di tingkat nasional, perjanjian internasional yang telah diratifikasi itu biasanya harus diimplementasikan melalui ketentuan-ketentuan yang bersifat
tindak lanjut atas perjanjian internasional tersebut. Di Indonesia sendiri telah mengimplementasikan perjanjian internasional tersebut yang pertama melalui
Perangkat Peraturan Perundang-undangan; melalui Pembentukan Kelembagaan yang berperan sebagai upaya mensosialisasikan dan merumuskan kebijakan
selanjutnya sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian iternasional yang telah menjadi hukum nasional; kemudian Indonesia juga mengimplementasi melalui
Pendanaan; selain itu implementasi juga dilakukan melalui Program atau Kegiatan dan implementasi perjanjian internasional dalam Praktek Peradilan.
Yang dimaksud dengan implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk
menampung apa yang diatur di dalam perjanjian yang telah diterima. Tanpa adanya perundang-undangan nasional yang menampung ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional dimana Indonesia telah menjadi pihak, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada gunanya.
125
Implementasi perjanjian internasional dalam perangkat peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dari dua bagian, yaitu Peraturan
124
Andreas Pramudianto, SH., M. Si. Op.Cit. hal. 202.
125
Boer Mauna Op.Cit. hal. 145.
Perundang-undangan yang berlaku di tingkat nasional dan di tingkat daerah atau Peraturan Daerah. Dalam tingkat nasional terdapat Peraturan Perundang-undangan
yang dapat kita lihat secara hierarkis beerdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan di pasal 7 yaitu
dari Undang-Undang dasar, TAP MPR, Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi dan KabupatenKota. Namun tidak semua peraturan perundang-undangan tersebut merupakan implementasi perjanjian internasional,
hanya yang menegaskan adanya ratifikasi atau pengesahan atas perjanjian internasional tersebut. Dengan itu peraturan perundang-undangan tersebut
menunjukkan adanya pelaksanaan dan tindak lanjut atas perjanjian internasional tersebut atau dilaksanakan berdasarkan pasal-pasal yang telah disepakati dalam
perjanjian internasional tersebut.
126
Produk hukum yang dapat kita lihat sebagai hasil implementasi dari perjanjian nasional yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1966 yang merupakan
pengganti atas Undang-Undang No. 4 Prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia yang terdiri atas 7 Bab dan 27 Pasal, dimana undang-undang ini merupakan
penyesuaian atas diratifikasinya konvensi PBB mengenai Hukum Laut 1982 khususnya pada bab IV konvensi tersebut. Penyesuaian tersebut terdapat di bagian
menimbang, dan pada bagian mengingat mencantumkan pasal 5 ayat 1 dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menjadi dasar menegaskan adanya pengesahan atas
UNCLOS 1982. Selain undang-undang, produk hukum lain seperti Peraturan
126
Andreas Pramudianto, SH., M. Si. Op.Cit., hal. 207.
Menteri yaitu Peraturan Menteri kelautan dan Perikanan Nomor PER 03MEN2010 tentang Tata Cara Perlindungan Ikan, merupakan pelaksanaan dari
PP No.60 Tahun 2007 dilihat dari bagian pertimbangannya, dan pelaksana peraturan internasional yang disebutkan secara tegas dan jelas yaitu adanya
beberapa pengesahan atas perjanjian internasional seperti UNCLOS 1982, United Nation Convention On Biological Diversity, dan pengesahan Convention on
International Trade in Endangered Spesies CITES, yang dapat diketahui dalam bagian mengingat.
127
Peraturan Nasional Indonesia tentang penegakan hukum pengelolaan dan koservasi sumber daya ikan di laut lepas yang telah dibuat antara lain;
128
1. Undang-undang No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang perikanan, 2.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12MEN2012
tentang Usaha Perikanan tangkap di Laut Lepas, 4.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30MEN2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan,
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10PERMEN-
KKP2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan,
127
Ibid., hal. 219.
128
Dr. Chomariah, SH., MH. Op.cit. hal. 132.
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 08MEN2012
tentang pelabuhan Perikanan, Sebagai negara yang dianugerahi kondisi geografis sebagai negara
kepulauan archipelagic state, Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan laut yang diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri dari potensi di
perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEEI sekitar 1,86 juta ton per tahun. Bahkan Indonesia juga dapat memanfaatkan
sumber daya ikan di laut lepas high seas. Tentu saja pemanfaatan di perairan laut lepasoleh suatu negara pantai coastal state didasarkan pada asas kebebasan
yang melekat pada rezim laut lepas sebagaimana tercantum dalam pasal 87 UNCLOS 1982 yang pelaksanaan kebebasan ini dibarengi dengan diindahkannya
ketentuan mengenai langkah-langkah konservasi sumber daya hayati di laut lepas seperti ditekankan pasal 118 UNCLOS 1982. Langkah ini harus dilakukan oleh
tiap negara dan apabila memungkinkan dengan membentuk organisasi pengelolaan perikanan regional RMFO di kawasan masing-masing.
129
Indonesia telah meratifikasi dan ikut melaksanakan ketentuan internasional dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya ikan di laut, diantaranya UNCLOS
1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 yang mengatur berbagai hak dan kewajiban yang mencakup batas-batas laut territorial, zona ekonomi eksklusif,
dan perairan di wilayah kepulauan selain itu UNCLOS juga mengatur tentang perlindungan lingkungan laut, dan menetapkan seperangkat standart secara luas
129
https:ikanbijak.wordpress.com20080421perikanan-indonesia-dalam-kepungan- organisasi-pengelolaan-perikanan-regional-dan-internasional, diakses pada 19 September 2015
bagi pengelolaan perikanan laut termasuk persyaratan kerjasama pelestarian dan pengelolaan stok ikan. Pengaturan ini dilanjutkan dengan implementasi ketetapan
terkait Pelestarian dan Pengelolaan Stok Ikan Ruaya Dekat dan Stok Ikan Ruaya Jauh yang disebut dengan Agreement For Implementation of the Provision of the
United Nations Convention on the Law of the Sea 10 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Stradling Fish Stock and Highly Migratory
Fish Stock atau yang sering disebut United Nation Implementing Agreement UNIA 1995.
130
UNIA bertujuan untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan
sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982. UNIA melengkapi perjanjian FAO 1993 untuk
mempromosikan kepatuhan terhadap Langkah-langkah Pelestarian dan Pengelolaan oleh kapal penangkap ikan di laut internasional dan FAO Code of
Conduct for Responsible Fisheries 1995 atau tentang tata laksana Perikanan yang Bertanggung jawab. Perjanjian ini telah diratifikasi Indonesia dengan
diundangkannya Undang-undang nomor 21 tahun 2009 tentang Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of
the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks Persetujuan
Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang berkaitan dengan Konservasi dan
130
Diolah dari m.hukumonline.comberitabacahol22046ratifikasi-unia-demi-lindungi- perikanan-indonesia, diakses tanggal 19 September 2015
Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh.
131
Regional Fisheries Management Organizations RMFOs diselenggarakan berdasarkan perjanjian inter nasional tertentu dan dapat dilaksanakan dalam
berbagai bentuk, dalam hal ini UNIA menempatkan RMFOs dalam posisi sangat pentingdalam hal implementasinya; keduanya memberikan mekanisme utama bagi
kerjasama negara-negara guna mewujudkan penigkatan pelestarian dan pengelolaan stok ikan ruaya dekat dan stok ikan ruaya jauh.
Persetujuan ini telah ditindaklanjuti dengan dibentuknya beberapa organisasi pengelolaan perikanan regional Regional Fisheries Management
OrganizationRFMO, antara lain Western and Central Pacific Fisheries Commission WCPFC berdasarkan Convention on the Conservation and
Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean, Honolulu 4 September 2000 yang merupakan implementasi masalah
teknis perikanan.
132
Beberapa RMFOs yang telah diratifikasi oleh Indonesia yaitu Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT yaitu sebuah organisasi
antar pemerintah yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan konservasi ikan tuna sirip biru selatan secara global dan termasuk distribusinya. Indonesia telah
menjadi anggota tetap CCSBT sejak tanggal 8 April 2008 dan telah meratifikasi Convention of Southern Bluefin Tuna 1993 melalui Peraturan Presiden RI No. 109
tahun 2007 tentang Pengesahan CCBST 1993 pada tanggal 6 Desember 2007
131
Sumber www.bpkp.go.id
132
Lihat www.imacsindonesia.comv5index.phpidaktivitaskebijakantraktat-
internasional, diakses pada 19 September 2015
L.N. Tahun 2007 No.148.
133
Selain itu juga terdapat RMFO lain yaitu Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stock in the Western and Central
Pacific Ocean WCPFC atau yang disebut dengan Konvensi tentang Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera Pasifik Barat dan
Tengah merupakan organisasi internasional antar pemerintah Negara-negara yang memiliki pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah dan negara-negara yang
menangkap ikan di wilayah tersebut. Konvensi ini ditandatangani pada tanggal 5 September 2000
Indonesia sebagai salah satu negara anggota CCSBT memiliki potensi yang sangat besar dalam produksi tuna dikarenakan
wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia. CCSBT melaksanakan pendekatan kehati-hatian precautionary approach melaui strategi
pengelolaan yang disebut Management Procedure, yang dimana resolusi tentang pelaksanaan strategi tersebut juga dikenal sebagai Bali Procedure diterima pada
pertemuan tahunan ke-18 tahun 2011. CCSBT melakukan tindakan penegakkan
hukum untuk memberantas IUU Fishing, dengan menetapkan Resolution on Establishing a Program for Transshipment by Large Scale Fishing Vessels berisi
tentang pengawasan kegiatan transshipment yang dilakukan oleh large scale fishing vessels dengan cara mengumpulkan data tangkapan ikan kapal-kapal
tersebut untuk penilaian imiah stok ikan tuna sirip biru selatan.
134
133
Chomariyah, Op.Cit. hal.19
di Honolulu, Amerika Serikat yang proses negoisasinya berlangsung selama empat tahun. Namun Konvensi ini mulai berlaku efektif pada
134
http:www.wcpfc.intfrequently-asked-questions-and-brochures diakses 19 September 2015
tanggal 19 Juni 2004 dengan negara-negara yang meratifikasinya yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall
Island, Tonga dan Tuvalu. Mengingat produksi tuna dan jenis ikan beruaya jauh di wilayah Indonesia
maka keikutsertaan Indonesia pada Konvensi tersebut dapat meningkatkan dan memajukan industri perikanan nasional dengan tetap menjaga dan melindungi
kedaulatan wilayah laut teritorial Republik Indonesia. Konvensi WCPFC 2000 telah diratifikasi Indonesia tertanggal 2 September 2013 dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 LN tahun 2013 No. 148 tentang pengesahan Convention on the Conservation and Management of Highly
Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean WCPFC yaitu mengenai Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Samudera
Pasifik Barat dan Tengah. Dalam menyetujui konvensi ini, maka berdasarkan CMM maka Indonesia berkewajiban memberikan laporan atas pemantauan yang
dilakukan di wilayah Indonesia kepada WCPFC.
135
135
Pada Desember 2014 Indonesia sudah mengahdiri pertemuan tahunan ke 11 WCPFC di Apia-Samoa.
Sebelumnya pada 19 November 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP dalam Bali Tuna Conference secara resmi meluncurkan Rencana
Pengelolaan Perikanan RPP Tuna, Cakalang, Tongkol TCT, yang
https:edwinson.wordpress.comtagwcpfc diakses pada 19 September 2015
menunjukkan adanya upaya Pengelolaan Perikanan yang lebih baik dalam hal ini pemerintah sedang membenahi perikanan tuna di Indonesia.
136
136
Lihat m.greenpeace.orgseasiaidhighblogdari-indonesia-untuk-pasifikblog51563, diakses pada 19 September 2015
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan