Analisis Data .1 Analisis Scene Pertama Film 3 Nafas Likas

70 Universitas Sumatera Utara 4.3 Analisis Data 4.3.1 Analisis Scene Pertama Film 3 Nafas Likas Gambar 3 Scene Pertama Gambar 1 Gambar 2 Ilustrasi Scene Pertama Pada scene ini tampak Likas sedang memasak di tungku menggunakan periuk atau dalam bahasa karo disebut kudin taneh. Pada gambar pertama terlihat Likas sedang menyiapkan tungku dan api dengan meniup bara dari kayu melalui bambu yang telah dibuat berbentuk bulat dengan lubang ditengah. Alat memasak yang digunakan pada scene ini adalah tungku yang diisi dengan kayu bakar yang dikelilingi batu dan kudin taneh sebagai wadah memasak. Pada gambar kedua, Likas sudah meletakkan periuknya keatas api yang telah disiapkannya dengan batu sebagai penahan periuk tersebut. Likas tampak terus meniup kayu bakar tersebut melalui bambu untuk memancing datangnya api dari kayu. Dibelakang Universitas Sumatera Utara 71 Universitas Sumatera Utara Likas juga tampak Sumpit atau perakan yang digunakan untuk tempat menyimpan nasi dan beras. Latar dari scene ini adalah rumah panggung likas yang masih trbuat dari papan, dengan dua orang dewasa yang sedang duduk dilantai menggunakan tudung karo sambil mengayam tikar. Dengan teknik pengambilan gambar medium shot, lensa normal, eye-level angle , soft focus pada gambar pertama d an teknik pengambilan gambar big close up, eye-level angle , dengan lensa normal dan selective focus pada gambar kedua. Tabel 4 Universitas Sumatera Utara 72 Universitas Sumatera Utara Ikon Scene Pertama Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Dalam bagian dapur sebuah rumah Likas tampak sedang meniup kayu bakar yang berada didalam tungku melalui bambu. Likas ingin memasak menggunakan periuk kudin taneh. Dengan latar dinding rumah sumpit atau perakan dan 2 orang wanita yang sedang mengayam tikar. Likas memasak di dapur Likas masih dengan aktivitas memasak di tungku dengan menuiup kayu bakar melalui bambu untuk memancing munculnya api. Periuk yang digunakan Likas sebagai wadah memasak diletakkan diatas tungku dengan beberapa batu sebagai penahannya. Likas memasak di tungku Universitas Sumatera Utara 73 Universitas Sumatera Utara 1. Tataran Denotatif Tampak Likas yang sedang berusaha memunculkan api di kayu bakarnya dengan meniup bara api dari kayu bakar menggunakan bambu yang sudah disiapkan khusus. Pada gambar selanjutnya Likas meletakkan periuknya keatas tungku dengan batu di beberapa sisinya untuk menahan periuk tersbut. Digambar kedua pun Likas masih tetap tampak meniup kayu bakar untuk memancing munculnya api. Latar dari scene ini adalah bagian dapur rumah Likas, alat dapur seperti Perakan atau sumpit, dan dua orang wanita bertudung yang sedang mengayam. Pada gambar pertama menggunakan teknik medium shot untuk menunjukkan dimana Likas berada pada saat itu. Dengan memperlihatikan isi sebagian dari rumah Likas yang menunjukkan likas sedang berada didapur rumahnya yang terbuat dari papan dan ditemani dua orang wanita dewasa yang memakai tudung sedang duduk dilantai sambil mengayam tikar . selective focus pada gambar kedua menunjukkan secara detail alat, bentuk, dan cara memasak Likas. 2. Tataran konotatif Gambar ini menjelaskan aktivitas Likas yang sedang memasak menggunakan periuk diatas tungku. Tungku merupakan tempat masyarakat karo menyalakan api memasak. Dalam masyarakat karo ada istilah daliken sitelu yang berarti tungku yang tiga daliken = batu tungku, si = yang, teu = tiga. Maksudnya adalah dalam kehidupan masyarakat karo, mereka ini pasti tidak terlepas dari yang namanya tengku untuk menyalakan api memasak. Likas tampak sedang memancing api dari bara kayu bakar yang ada ditungku. Likas menggunakan alat bambu yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi alat bantu untuk memunculkan api dari kayu bakar. Periuk yang digunakan Likas pada gambara disebut kudin taneh dalam bahasa karo. Kudin Universitas Sumatera Utara 74 Universitas Sumatera Utara taneh merupakan salah satu alat dapur yang paling sering digunakan masyarakat karo ketika memasak. Kudin Taneh periuk tanah merupakan salah satu karya nenek moyang suku karo. Kudin taneh terbuat dari tanah liat yang ditumbuk tutu sampai lembut dan kemudian dibentuk menjadi periuk dengan hanya mengunakan kedua tangan pengrajin. Setelah kudin terbentuk, dilakukan penjemuran kira-kira tiga hari sampai kering. Setelah itu, dilakukan pembakaran dengan menggunakan jerami. Proses pembakaran dilakukan agar nantinya kudin ini mengeras secara sempurna. Kudin taneh biasa digunakan untuk memasak lauk gulai nurung dan terites . Kegunaan kudin taneh ini untuk memasak sehari-hari dan menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Hasil masakan dari kudin taneh ini begitu sangat luar biasa, rasa masakan akan sangat berbeda dengan sekarang yang memakai peralatan modern. Dengan memakai kudin taneh masakan akan lebih enak dan harum dari pada memasak di peralatan modern. Cerita dari nenek moyang suku karo hasil masakan tidak akan basi selama tiga hari. sebagian masyarakat suku karo masih menggunakan kudin taneh sebagai tradisi memasak lauk, selain untuk memasak mereka juga menyimpan kudin taneh untuk koleksi pribadi disimpan dirumah. Perakan atau sumpit yang tampak pada gambar kedua juga merupakan salah satu alat tradisional karo yang masih banyak dijumpai pada saat ini. Dalam beberapa acara adat karo sudah menjadi tradisi untuk memberikan beras mereken beras piher pada yang punya acara atau kepada yang berpesta dengan menggunakan sumpit atau perakan. Mereken beras piher diberikan agar yang menerima dapat sehat selalu sehat tendi. Selain itu perakan atau sumpit tersebut digunakan untuk menyimpan nasi yang sudah dimasak. Biasa dipakai ketika berpergian agar nasi yang dibawa tetap hangat dan wangi. Perakan atau sumpit ini terbuat dari daun pandan yang sudah dikeringkan, kemudian dianyam sedemikian rupa. Selain itu jumlah batu yang digunakan untuk menahan kudin taneh memiliki arti khusus yang sudah menjadi salah satu tradisi masyarakat karo ketika memasak. Tungku tempat menaruh alat memasak, terdiri atas lima buah batu. kelima batu menandakan adanya lima marga dalam suku Karo, yakni Karo-Karo, Universitas Sumatera Utara 75 Universitas Sumatera Utara Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin. Setiap tungku terdapat lima batu yang dibentuk empat batu berbentuk segi empat dan satu batu lagi diletakkan di tengah, sehingga secara bersamaan bisa diletakkan dua periuk. Sekali memasak digunakan tiga batu, yang menandakan jabatan anggota keluarga yang terbagi menjadi tiga rakutna telu, yaitu kalimbubu, anak beru dan simbuyak. Inilah yang menjadi pesan tradisi budaya karo dalam menata dapur, memasak, dan pemilihan alat dapur. Universitas Sumatera Utara 76 Universitas Sumatera Utara

4.3.2 Analisis

Scene kedua Film 3 Nafas Likas Gambar 4 Scene Kedua Ilustrasi Scene Kedua Gambar ini menunjukkan Likas yang sedang berbicara dengan ibunya tentang keinginannya merantau tetapi ibunya menentang keinginan Likas tersebut dengan tidak memberikan ijin kepada Likas dan langsung pergi meninggalkan ruangan tersebut. beberapa aktivitas yang dilakukan dalam satu ruangan itu yaitu ayah Likas yang tampak sedang menidurkan adik Likas dalam kain yang sudah digantung diatas tiang rumah dengan cara mengayunkannya dan dua orang wanita bertudung yang duduk mengayam tikar. Latar gambar diatas adalah rumah Likas dengan teknik pengambilan gambar full shot , eye-level angle, deep focus, lensa normal. Universitas Sumatera Utara 77 Universitas Sumatera Utara Tabel 5 Ikon Scene Kedua Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Dalam sebuah ruangan dirumah Likas br Tarigan tampak ada beberapa aktivitas yang dilakukan. Ayah Likas yang mengayunkan adiknya diatas kain yang menggantung, Likas dan ibunya yang sedang berbicara, dan 2 orang wanita bertudung yang sedang duduk dilantai sambil mengayam. Aktivitas dirumah Likas Universitas Sumatera Utara 78 Universitas Sumatera Utara 1. Tataran Denotatif Likas yang tampak kecewa dengan respon ibunya ketika ia mengatakan keinginannya merantau tetapi ditentang keras oleh ibunya dengan pemahaman ibunya bahwa merantau hanya untuk orang miskin. Ibu Likas langsung bergegas pergi dari ruangn tersebut setelah mengatakan ketidaksetujuannya terhadapa keinginan Likas. Ayah Likas tampak hanya melihat dan mencoba memahami apa yang terjadi antara Likas dan ibunya sambil terus mengayun adik Likas yang berada dalam ayunan yang terbuat dari kain tersbut. Selain itu, tampak 2 wanita dewasa yang duduk di ruangan tersbebut dengan tudung dikepalanya sedang mengayam tikar. Teknik pengambilan gambar pada scene ini adalah full shot yang menunjukkan adanya hubungan sosial antar Likas, ibunya, ayahnya dan 2 orang wanita yang berada disana. Deep focus yang digunakan dalam teknik pengambilan gambar menunjukkan bahwa semua unsur dalam gambar adalah penting. 2. Tataran Konotatif Pada scene ini tampak beberapa aktivitas dalam satu ruangan. Likas yang berbicara dengan ibunya, ayah Likas yang sedang mengayun anaknya dan dua orang wanita bertudung yang sedang duduk dilantai sambil mengayam tikar. Aktivitas-aktivitas yang terjadi di gambar merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat suku karo ketika berada dirumah. Mengayam tikar atau disebut mbayu amak dalam bahasa karo seperti yang dilakukan oleh kedua wanita pada gambar merupakan keterampilan tradisional karo yang biasa dilakukan oleh wanita karo. Dalam sejarahnya, wanita karo diwajibkan untuk bisa menganyam tikar. Mbayu amak ini merupakan satu kebiasaan perempuan menganyam tikar dari daun pandan bengkuang Bengkuang atau disebut juga engkuang dalam bahasa Universitas Sumatera Utara 79 Universitas Sumatera Utara Karo adalah tumbuhan jenis pandanus yang dibudidayakan oleh orang Karo terutama untuk menjadi bahan anyaman tikar atau berbagai wadah seperti perakan dan sumpi t. Daunnya dijadikan tali-tali dan kemudian dianyam menjadi tikar amak atau perakan atau sumpit. Untuk menjadi bahan anyaman, diambillah daunnya yang telah tua. Lalu, dipotong-potong seperti tali dan kemudian direbus hingga warnya menjadi kuning. Setelah selesai direbus, tali-tali tadi dijemur dengan cara menggantungnya agar tidak kotor oleh tanah. Nantinya, tali-tali bengkuang yang seudah kering kemudian dielus dengan bambu agar menjadi lembut dan lentur agar mudah dianyam. kebiasaan ini dilakukan selain untuk mengisi waktu yang kosong juga dimanfaatkan untuk menambah uang masuk jika dapat terjual tetapi hasilnya lebih banyak digunakan untuk pribadi atau untuk keperluan rumah sendiri karena masyarakat suku karo biasanya lebih gemar untuk berkumpul dan duduk diatas tikar daripada menggunakan kursi. Mereka biasanya menganyam tikar di malam hari usai makan malam. Kebanyakan kegiatan ini dilakukan di ture beranda rumah adat. Universitas Sumatera Utara 80 Universitas Sumatera Utara

4.3.3 Analisis

Scene ketiga Gambar 5 Scene Ketiga Gambar ke 1 Gambar ke 2 Gambar ke 3 Ilustrasi Scene Ketiga Scene ini dimulai dengan gambaran Likas yang memakai baju biru muda tampak sedang berbicara dengan tegas didepan banyak orang dalam suatu forum dengan beberapa orang yang menyaksikan serta mendengarkan pidato dari Likas. Selang beberapa detik kemudian, tampak digambar ke dua suasana yang tegang. Jika pada gambar pertama orang orang yang ada di dalam ruangan tersebut tampak duduk dan mendengarkan, digambar ke dua mereka berdiri dengan suasan suasana yang ricuh, memberontak, marah. Orang-orang yang tampak dalam gambar tersebut didominasi oleh laki laki yang yang tampak Universitas Sumatera Utara 81 Universitas Sumatera Utara sedang melontarkan sikap tidak setuju mereka terhadap pidato Likas Tarigan. Pada gambar ketiga hampir semua orang yang tadinya berada di ruangan itu mulai meningalkan ruangan dengan ekspresi kesal. Hanya tampak seorang pria Djamin Ginting yang tetap duduk sambil memperhatikan orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu. Latar dari tempat terjadinya aktivitas pada gambar diatas adalah disebuah ruangan yang diisi dengan mimbar tempat berpidato dan banyak kursi didalamnya. Pada gambar pertama, mengambil gambar kegiatan likas yang sedang bebicara didepan banyak orang dalam sebuah ruangan di belakang mimbar. Pada gambar kedua, diambil dari sudut pendengar yang kondisinya mulai tidak kondusif dengan kursi yang mulai berserakan dan pendengar yang mulai berdiri dari tempat duduknya, dan yang ketiga gambar mulai fokus kepada seorang pria yang duduk sendiri ditempat itu sementara yang lainnya pergi meninggalkan ruangn tersebut. Gambar pertama menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot, lensa tele, eye-level angel serta selective focus . Gambar kedua, menggunakan teknik pengambilan gambar big close up, lensa tele, eye-level angel serta deep focus. Gambar ketiga, menggunakan teknik pengambilan gambar big close up, lensa tele, eye-level angel dan selective focus dengan teknik pengambilan menggunakan diafragma besar sehingga gambar disekeliling focus terlihat kabur atau blur. Warna dominan yang terdapat pada gambar pertama ini adalah putih,oranye, coklat, biru muda yang terkesan adanya optimism, harapan, hasrat, dan agitasi. Sedangakn gambar ketiga didominasi biru muda dan hijau yang menggambarkan pesimisme, tidak ada harapan. Pencahayaan pada scene ini menggunakan Low Contrast sehingga menimbulkan kesan realistik dan dokumenter. Universitas Sumatera Utara 82 Universitas Sumatera Utara Tabel 6 Ikon Scene Ketiga Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Sebuah ruangan yang didalamnya ada seorang perempuan yang tampak sedang manyampaikan Sesutu dengan tegas dimimbar. Disaksikan oleh beberapa orang sebagai pendengarnya. Likas br Tarigan yang sedang berbicara dimimbar di hadapan khalayak. Beberapa orang yang didominasi oleh laki- laki terlihat ada yang berdiri sambil menunjuk nujuk kearah wanita yang berada di mimbar, sebagian lagi terlihat duduk dengan posisi tegak melihat kearah wanita yang sedang berbicara ke mimbar Beberapa orang yang menentang Likas br Tarigan Beberapa orang Djamin Ginting yang Universitas Sumatera Utara 83 Universitas Sumatera Utara kemudian pergi meninggalkan ruangan sebelum Likas br Tarigan menyelesaikan pidatonya. Tampak pada gambar Djamin Ginting masih tetap duduk di kursi dambil menatap orang-orang yang pergi meninggalkan ruangan tersebut. sedang duduk dan menatap orang orang yang meninggalkan ruangan 1. Tataran Denotatif Scene ini dimulai dari Likas br Tarigan naik ke mimbar dan mulai berbicara di depan mimbar yang disaksikan oleh beberapa orang yang berada diruangan tersebut. Orang-orang yang ada di tempat tersebut didominasi oleh laki- laki. Pada detik berikutnya Likas memulai pembicaraannya hanya dengan beberapa kalimat saja ruangan sudah mulai terlihat tidak kondusif. Sebagian orang yang berada dalam ruangan tersebut terlihat berdiri dari tempat duduknya semula sambil menunjuk Likas dengan ekspresi marah serta berontak. Setelah itu tampak hampir seluruh orang yang dalam ruangan itu meninggalkan ruangan dan Likas yang belum menyelesaikan pembicaraanya. Hanya tampak Djamin Ginting yang masih berada di ruangan itu dan masih duduk di kursinya sambil memandangi orang-orang yang mulai berjalan meninggalkan ruangan. Pada gambar pertama dengan teknik medium shot masih menggambarkan hubungan personal dengan subjek dalam keadaan kondusif yang kemudian beralih kepada teknik pengambilan gambar pada gambar kedua yaitu full shot dimana terjadi hubungan sosial yang tidak harmonis antara Likas dengan hampir seluruh peserta yang ada dalam ruangan tersebut dan pada gambar ketiga dengan teknik pengambilan Universitas Sumatera Utara 84 Universitas Sumatera Utara gambar secara medium shot dan selective focus , maka perhatian penonton akan tertuju kepada subjek yang difokuskan pada gambar yaitu Djamin Ginting. 2. Tataran Konotatif Scene tersebut menggambarkan Likas sebagai perempuan karo. Perempuan karo pada umumnya memiliki sifat jujur, tegas, berani, percaya diri, rasional dan kritis, gigih, berpendirian teguh, mudah tersinggung, pragmatis tidak serakah, pemalu, mudah menyesuaikan diri, iri, dan cemburu Bangun dalam Sarjani 2009: 29. Dengan kegigihan serta kepercayaan dirinya Likas memulai pembicarannya di mimbar dengan topik hak perpempuan karo. Perempuan karo juga bisa sebgai pemimpin, berkreativitas dan beraktivitas dalam mendukung serta membela Negara dengan membuat suatu organisasi perempuan karo untuk keperluan pembelaan Negara karena pada saat itu Indonesia dalam masa penjajahan. Tetapi masih menyinggung keinginan dan harapan tentang perempuan karo saja pun peserta yang didominasi oleh pria dalam ruangan tersebut pun menunjukkan sikap penentangan yang sangat tegas dengan berdiri dari kursinya dan berbicara dengan nada keras sambil menunjuk-nunjuk Likas bahkan memutuskan untuk keluar dari ruangan bahkan sebelum Likas melanjutkan pidatonya. Hanya tampak Djamin Ginting masih duduk di tempat itu sambil memperhatikan orang-orang yang mulai pergi berjalan meninggalkan ruangan tersebut. Dalam Scene ini Likas sebagai perempuan tidak layak berbicara dan memimpin sebuah forum, memberikan pidato berupa gagasan, ide yang isinya dianggap tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang perempuan. dalam tradisi budaya karo perempuan sering kali dianggap lebih rendah kedudukannya dibandingkan pria, perempuan dianggap tidak bisa memimpin, mengatur bahkan tidak pantas untuk berbicara didepan umum dalam sebuah forum formal. Perempuan hanya dapat berperan didalam rumah seperti memasak, mengurus rumah anak, dan pergi ke ladang untuk bekerja. Seperti yang diungkapkan oleh Ny. Wallia Keliat 1985:11 : di daerah pedesaan karo, wanita selain bertugas sebagai istri dan ibu, juga tulang punggung dalam produksi hasil pertanian. Sikap tradisional turun temurun sebagai pengaruh di adat dan kebudayaan karo terhadap wanita, mempunyai pengaruh yang besar pada wanita pedesaan itu sendiri, yang Universitas Sumatera Utara 85 Universitas Sumatera Utara cendrung menerima posisi mereka yang lebih rendah, kurang percaya diri, bergantung pada kaum pria dalam mengambil keputusan, dan tidak berani mengambil keputusn, dan tidak berani mengeluarkan pendapat sendiri. Hal ini diterima oleh wanita iu dengan sangat biasa sekali, bukan sesuatu yang sangat merugikan ataupun sesuatu yang perlu diubah. Reh Malem Sitepu 1986 : 24-25Peranan wanita dalam adat hanyalah pelengkap, tidak bisa lepas atau berdiri sendiri, sebab wanita tunduk terhadap peraturan rakut sitelu. Dalam pembangunan desa, pada umumnya wanita tidak diajak dalam perencanaan, walaupun pelaksanaannya di lapangan, wanita aktif berperan serta. Dari pemaparan tersebut, dipahami bahwa terdapat sebuah kondisi yang paradoksal peran perempuan karo dibidang adat dengan peran ekonomi keluarga. Dalam peran ekonomi, perempuan menjadi ujung tombak ekonomi keluarga, akan tetapi dalam peran adat, perannya hanya sebagai pelengkap saja. Dalam adat karo, perempuan tidak dapat berperan sebagai pengambil keputusan ataupun sebgai juru bicara. Bahkan Di kalangan kaum perempuan sendiri karena terlalu lama dikungkung dalam budaya patriarkhis, kaum perempuan sendiri tidak percaya terhadap kemampuannya dalam memimpin. Karena itu ketika Likas mulai angkat bicara tentang hak perempuan karo yang harus ikut berperan dalam menyuarakan pendapat. peserta yang didominasi laki-laki dalam ruangan tersebut langsung memberontak keras menyatakan ketidaksetujuannya dan bergegas pergi meninggalkan ruangan tersebut. Hal tersebut masih menjadi tradisi dalam beberapa acara adat karo atau pun beberapa daerah di pedesaan dimana yang pantas berbicara dan berpendapat hanya pihak laki-laki saja. Begitu juga dengan kesehariannya perempuan hanya boleh melakukan aktivitas terbatas seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 86 Universitas Sumatera Utara

4.3.4 Analisis Scene Keempat Film 3 Nafas Likas

Gambar 6 Scene Keempat Gambar 1 Gambar 2 Ilustrasi Scene Keempat Scene pada gambar pertama menggambarkan Likas dan Djamin Ginting yang sedang duduk di ture teras dari rumah siwaluh jabu rumah adat karo sedang mengobrol atau membicarakan suatu hal sebagai muda mudi yang sedang menjalin kasih pada malam hari. Di gambar pertama Likas tampak sedikit Universitas Sumatera Utara 87 Universitas Sumatera Utara membelakangi Djamin Ginting sedangkan Djamin sedang menatap likas sambil mengutarakan sesuatu. Tampak rumah siwaluh jabu yang menjadi latar dalam film tersebut semakin ditegaskan dengan adanya 87rnament pengeret-ret di melmelen dinding rumah siwaluh jabu tersebut. Pada gambar kedua dengan latar yang sama Djamin terlihat tersenyum dan Likas mulai melihat kearah Djamin. Pada Gambar pertama menggunakan teknik pengambilan gambar close up , lensa wide , high angel dan soft focus . Pencahayaan yang terdapat pada scene ini low key yang menimbulkan kesan suram dan muram dengan pewarnaan dominan biru yang menggambarkan pesimisme, tidak ada harapan. Pada gambar ke dua menggunakan teknik pengambilan gambar Big Close Up, lensa wide, high angel, Selective Focus. Pencahayaan dan warna yang ditampilkan masih sama dengan gambar pertama. Tabel 7 Ikon Scene Keempat PENANDA Signifier PETANDA Signified TANDA Djamin Ginting dan Likas br Tarigan sedang duduk dekat sambil mengobrol di Ture Rumah siwaluh jabu teras rumah adat karo pada malam hari dengan pakaian model tahun 70‟an yang sering dipakai gadis pada zaman itu. Likas dengan posisi duduk membelakangi Djamin, Djamin Ginting dan Likas duduk bersampingan di ture rumah adat siwaluh jabu. Universitas Sumatera Utara 88 Universitas Sumatera Utara dan Djamin dengan posisi duduk menghadap likas. Djamin Ginting dan Likas br Tarigan yan sedang duduk bersampingan di ture rumah siwaluh jabu pada malam hari. Djamin tersenyum dan Likas memandang Djamin. Djamin Ginting dan Likas mengobrol di ture rumah adat siwaluh jabu 1. Tataran Denotatif Tampak Djamin Ginting dan Likas sedang duduk di ture rumah siwaluh jabu teras rumah adat karo dengan latar rumah siwaluh jabu yang sangat jelas dengan adanya ornamen karo yang menempel di dinding pada malam hari. Djamin Ginting dan Likas tampak menggunakan pakaian model tahun 70‟an yang sering dikenakan muda mudi pada jamannya. Mereka juga tampak duduk berdampingan dan sangat dekat satu dengan yang lain. Pada gambar pertama, Likas terlihat acuh dan membelakangi Djamin Ginting sementara Djamin Ginting mencoba melihat dan berbicara dengan Likas. Pada gambar ke dua dengan latar yang sama Djamin tersenyum dan Likas mulai menatap kearah Djamin seperti mereka telah membuat kesepakatan bersama. Gambar pertama dan kedua menggunakan teknik pengambilan close up yang menunjukkan bahwa Djamin Ginting dan Likas memiliki hubungan yang intim dan dekat. Teknik soft focus pada kedua gambar tersebut juga megesankan bahwa gambar tersebut mengandung unsur romantis. Universitas Sumatera Utara 89 Universitas Sumatera Utara 2. Tataran Konotatif Pesan tradisi budaya karo yang ditampilakan pada gambar tersebut adalah Djamin Ginting dan Likas br Tarigan yang sedang mengobrol di ture rumah adat siwaluh jabu teras rumah adat karo pada malam hari. Ture merupakan bagian dari rumah adat siwaluh jabu rumah adat suku karo yang berada paling depan dan terluar dari rumah adat siwaluh jabu . Ture terletak di depan masing masing pintu dari rumah adat siwaluh jabu . Ture digunakan untuk tempat bertenun, mengayam tikar atau pekerjaan lainnya. Pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki atau tempat perkenalan muda-mudi untuk memadu kasih. Begitu juga yang direpresentasikan film ini dalam gambar 1 dan 2. Djamin Ginting dan Likas br Tarigan duduk merupakan tempat yang biasa dipakai atau diperuntukkan bagi muda mudi karo untuk bertamu atau dikunjungi kekasihnya. Ture terbuat dari bambu bulat bulat dan kayu yang kokoh agar dapat menjadi tempat duduk bagi siapa yang ingin duduk disana. Rumah adat siwaluh jabu sendiri merupakan rumah adat karo yang memiliki bagian bagian didalamnya. Dikatakan rumah siwaluh jabu yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah rumah untuk delapan keluarga. Artinya sesuai dengan namanya yaitu rumah ini didiami oleh 8-10 keluarga, rumah adat siwaluh jabu ini memiliki cirri khusus, didalamnya terdapat ruangan yang besar dan tidak mempunyai kamar-kamar. Satu rumah dihuni 8-10 keluarga. Rumah adat merupakan rumah panggung. Tingginya kira-kira 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang,umumnya berjumlah 16 buah dari kayu ukuran besar. Terdapat banyak jenis ornamen disana, salah satunya ornamen “ pengeret-ret ” yang tampak pada gambar pertama. Ornament disana menjadi penghias dinding rumah siwaluh jabu tersebut sekaligus memiliki arti khusus. Seperti pengeret-ret melambangkan suatu kekuatan, penangkal setan, kesatuan keluarga, dan kewaspadaan. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai 2 pintu yang masing-masing menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ketimur. Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman anyaman bambu berbentuk Universitas Sumatera Utara 90 Universitas Sumatera Utara segitiga, disebut ayo-ayo . Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk kebawah.tiang-tiang penyangga rumah panggung, dinding rumah, dan beberapa bagian atas semuanya terbuat dari kayu. Teras rumah juga berbentuk panggung. Tangga naik kedalam rumah dan penyangga atap terbuat dari kayu. Dibagian paling atas atap rumah adat kedua ujung atap tersebut masing-masing dilengkapi dengan 2 tanduk kerbau. Tanduk itu dipercaya penduduk sebagai penolak bala. Bangunan rumah adat siwaluh jabu tidak menggunakan paku. Jadi pesan yang didapat dari kedua tersebut adalah dalam budaya karo, masyarakat karo dulu tinggal dirumah siwaluh jabu yang memiliki beberapa bagian tempat dengan fungsinya masing-masing. Tempat yang dipakai dalam kedua gambar tersebut adalah ture teras yang dijadikan untuk tempat muda mudi menjalin kasih ketika malam selesai bekerja. Seperti pada gambar, Djamin Ginting dan likas br Tarigan terlihat duduk bersampingan dan dekat menggambarkan mereka memiliki hubungan yang deka dan intim. Gambar tersebut juga memperlihatkan Djamin Ginting sedang mencoba membujuk likas yang tampak sedang kecewa terhadap dirinya. Pada gambar kedua, Djamin Ginting dan Likas terlihat seperti membicarakan suatu kesepakatan yang diberikan Likas dengan mimik muka yang mengambarkan ketegasan kemudian kespakatan tersebut disetujui oleh Djamin dengan senyuman dan anggukan kepala sebagai tanda setuju. Beberapa tradisi yang karo seperti yang dijelaskan sebelumnya masih berjalan dibeberapa tempat hingga sekarang. Universitas Sumatera Utara 91 Universitas Sumatera Utara

4.3.5 Analisis Scene Kelima Film 3 Nafas Likas

Gambar 7 Scene Kelima Gambar 1 Universitas Sumatera Utara 92 Universitas Sumatera Utara Gambar 2 Ilustrasi Scene Kelima Scene ini menceritakan tentang keluarga Djamin Ginting yang mendatangi rumah Likas br Tarigan untuk melamar Likas br Tarigan disertakan dengan aksesoris karo seperti beka buluh dan uis nipes yang melekat pada tubuh mereka. Likas yang pada saat itu sedang sendiri dirumahnya terkejut melihat Djamin Ginting dan keluarga sudah berada di depan rumahnya dan sudah siap untuk melamarnya. Likas mlihat kedatangan djamin Ginting dan keluarga kemudian membuka pintu dan terus berlari meninggalkan keluarga Djamin Ginting di depan rumahnya. Likas yang tampak gugup, malu, dan tergesa-gesa berlari keluar rumah tanpa berbicara dahulu kepada Djamin Ginting, sehingga Djamin Ginting mencoba menahan Likas. Likas menjelaskan bahwa ia sedang berada sendiri dirumahnya karena itu dia harus pergi ke ladang untuk menjumpai orang tuanya yang sedang berada di ladang. Djamin Ginting dan keluarga tampak kebingungan melihat Likas. Dalam scene sebelumnya Likas telah menjelaskan kepada bapaknya keinginannya untuk menikah dengan Djamin tetapi ayahnya menolak sedangkan Djamin Ginting sudah menentukan hari dimana dia akan menjumpai Likas. Karena itu Likas tampak bingung dan gugup sehingga di buru-buru untuk menjumpai bapaknya yang sedang berada di ladang. Latar dari tempat terjadinya scene ini adalah di depan rumah Likas br Tarigan. Rumah Likas yang berbentuk rumah panggung menjadi bagian dari latar pada scene ini. Scene ini menggunakan teknik pengambilan gambar medium shot, dengan eye-level angel. Pada gambar pertama menggunakan deep focus, dan gambar kedua menggunakan selective focus dengan lensa normal. Universitas Sumatera Utara 93 Universitas Sumatera Utara Tabel 8 Ikon Scene kelima Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Djamin Ginting dan keluarganya mendatangi rumah Likas Tarigan dengan pakaian rapi lengkap dengan uis nipes dan beka buluh yang melekat ditubuh mereka Keluarga Djamin Ginting mengenakan pakaian rapi dan aksesoris karo Djamin Ginting mencoba menahan Likas yang terlihat bergegas pergi meninggalkan keluarga Djamin Ginting yang Likas berlari keluar dari rumah panggungnya Universitas Sumatera Utara 94 Universitas Sumatera Utara telah menunggu di depan rumahnya 1. Tataran Denotatif Tampak pada gambar Djamin Ginting beserta keluarga mendatangi rumah Likas mengenakan pakaian rapi lengakap dengan beka buluh pada pria dan uis nipes pada wanita yang melekat pada tubuh mereka. Mereka menunggu di depan rumah Likas sampai pada akhirnya Likas br Tarigan keluar dari rumah panggungnya tersebut. Tampak Likas yang dengan gugup keluar dari rumahnya dan langsung berlari meninggalkan Djamin Ginting dan Keluarganya yang telah siap untuk melamarnya. Djamin dan keluarga tampak bingung dengan sikap Likas. Djamin mencoba mengejar Likas dan menahannya untuk mendapatkan penjelasan dari Likas atas sikapnya. Likas pun tampak menjelaskan sesuatu kepada Djamin Ginting. Gambar pada scene ini menggunakan teknik pengambilam gambar medium shot yang menjelaskan hubungan personal dengan subjek pada gambar. Bagaimana hubungan yang diciptakan antara Likas dan Djamin beserta keluarganya dengan pewarnaan warm kuning, orange, merah, Universitas Sumatera Utara 95 Universitas Sumatera Utara abu-abu yang memberikan kesan optimism, harapan, hasrat, dan agitasi. Dengan menggunakan deep focus agar setiap objek dari gambar tersebut dapat terlihat dan sifatnya penting. 2. Tataran Konotatif Pada scene ini yang ingin di tampilkan adalah bagaimana tradisi budaya adat karo yang ada pada gambar. Mulai dari aktivitas, pakaian atau aksesoris yang dikenakan hingga rumah panggung yang menjadi latar dalam scene ini. Keluarga Djamin Ginting mendatangi rumah Likas br tarigan dengan berpakaian rapi serta kain khas karo yang melekat pada tubuh mereka. Wanita menggunakan uis nipes dan pria menggunakan beka buluh. kain tersebut terlihat mengantung di bahu mereka. Kedatangan Djamin Ginting dengan keluarga dalam tradisi budaya karo disebut Sitandan ras keluarga pekepar . Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan kepada Anak Beru masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak Kalimbubu untuk membahas rencana Mbaba Belo Selambar . Dalam adat karo beka buluh dipakai seorang pria. Beka buluh menggunakan warna dasar merah cerah, bagian tengah bergaris kuning, ungu, putih dan pada tepian kain motif-motif karo dengan benang emas, demikian juga pada ujung kain. Kain ini dipakai sebagai bulang penutup kepala topi pada laki- laki, dan juga dipakai sebagai cekok-cekok penghias bahu yang diletakkan pada bahu laki-laki. Kain ini juga bisa diletakkan diatas tudung wanita. Berbeda dengan wamita, kain yang diletakkan pada bahu mereka disebut uis nipes. Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan bermacam-macam motif dan warnanya merah, coklat, hijau, ungu dsb. Kain ini digunakan sebagai selendang bagi wanita. Bahan-bahan yang dipakai dalam membuat kedua jenis kain tersebut adalah kembayat kapas yang ditanam sendiri oleh masyarakat kemudian dipintal menjadi benang. Pewarna yang digunakan seperti; air abu dapur, kapur, kuning gersing kunyit, telep berasal dari tanaman yang bernama sarap, juhar, gula, dareh lembu kerbah, kembiri. Kain ini dapat digunakan sehari-hari maupun pada upacara adat pada suku karo seperti pesta perkawinan, pesta kesenian, upacara Universitas Sumatera Utara 96 Universitas Sumatera Utara kematian dan lainnya sebagai tradisi turun-temurun yang ada pada adat suku karo juga sebagai salah satu identitas atau cirri khas masyarakat karo. Dalam scene ini, keluarga Djamin ginting berpakaian rapi serta menggunakan uis nipes dan beka buluh dengan tujuan ingin melamar Likas br Tarigan secara adat karo, selain representasi pesan adat karo melalui kain yang ditampilakn dalam scene ini rumah Likas br Tarigan juga yang berbentuk rumah panggung juga merupakan representasi pesan tradisi budaya karo dalam bentuk bangunan. Dimana masyarakat karo pada awalnya tinggal dalam bangunan yang disebut “rumah panggung” selain rumah adat siwaluh jabu yang juga berbentuk “rumah panggung”. Disebut rumah panggung karena bentunknya seperti panggung dengan memiliki kolong pada bagian dasar rumah karena pada dasarnya masyarakat karo bermata pencaharian sebagai petani ladang dan peternak. Kolong rumah dimanfaatkan untuk tempat ternak, alat alat pertanian dan penyimpanan hasil panen.

4.3.6 Analisis Scene Keenam Film 3 Nafas Likas

Gambar 8 Scene Keenam Gambar 1 Universitas Sumatera Utara 97 Universitas Sumatera Utara Gambar 2 Iustrasi Scene Keenam Pada gambar ini tampak Likas br Tarigan berjalan pelan sambil membaca surat dari Djamin ginting diatas jembatan dengan latar bukit barisan “sipiso-piso” yang terletak di Kab. Karo. Likas berbusana gadis karo pada era 40-an dengan memakai sarung sebagai pasangan kemeja yang ia kenakan. Likas tampak serius dan penasaran membaca surat dari Djamin Ginting. Surat tersebut bertuliskan “Mejuah-juah Likas. Aku enggaknya bisa basa-basi. Sejujurnya, aku ingin sekali bicara- bicara sama kau. Aku ingin kenal kau lebih dekat…”. Begitulah sedikit isi surat dari Djamin Ginting kepada Likas br Tarigan. Latar dari gambar diatas adalah bukit sipiso-piso dan Likas tepat berada diatas sebuah jembatan. Suasana terlihat sepi bahkan tidak terlihat ada aktivitas lain selain daripada Likas yang berada disana sedang membaca surat. Scene ini menggunakan teknik pengambilan gambar secara extreme long shot, eye-level angle, tipe lensa normal, deep focus, pencahayaan yang high key dan pewarnaan yang cool. Tabel 9 Ikon Scene Keenam Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Likas yang sedang berjalan pelan menuju pinggir jembatan dengan latar bukit barisan dibelakangnya sambil membaca surat dari Djamin Ginting. Yang isinya terdapat salam khas karo dan dilanjutkan dengan tujuan Djamin Ginting membuat surat tersebut untuk Likas. Likas Likas membaca surat dari Djamin Ginting Universitas Sumatera Utara 98 Universitas Sumatera Utara memilih untuk pergi sendiri dan menuju tempat yang sepi untuk membaca surat dari Djamin Ginting. Likas mulai memberhentikan langkahnya di pinggir jembatan dengan tetap meneruskan membaca surat dai djamin Ginting dengan serius Likas br Tarigan membaca surat dari Djamin Ginting 1. Tataran denotatif Dalam scene ini Likas terlihat berjalan pelan menuju jembatan dengan membaca surat dari Djamin Ginting yang ia pegang dengan kedua tangannya. Likas tampak sengaja memilih tempat yang sepi dan tenang. Tepat berada diatas jembatan dengan latar bukit barisan “sipiso-piso” dibelakanganya, ia membaca surat dari Djamin Ginting. Likas tampak penasaran dan serius menanggapi surat tersebut karena surat yang ia baca tersebut merupakan surat yang untuk pertama kali dibacanya dari Djamin ginting yang sudah menyuratinya berulang kali. Universitas Sumatera Utara 99 Universitas Sumatera Utara Kertas putih tersebut berisikan tulisan yang diawali dengan salam mejuah- juah yang kemudian diikuti dengan maksud dan tujuan Djamin Ginting menyurati Likas br Tarigan. Teknik pengambilan extreme long shot dalam gambar tersebut menimbulkan kesan luas dan keluarbiasaan terhadap pemandangan atau latar dari gambar tersebut. Pencahayaan pada gambar tersebut menggunakan teknik High Key dimana teknik tersebut memunculkan kesan yang riang dan cerah. 2. Tataran konotatif Likas yang berjalan pelan sambil membaca surat tersebut menunjukkan Likas sangat penasaran dengan isi surat yang dituliskan Djamin Ginting untuknya. Likas memilih tempat yang sepi dan pergi seorang diri menunjukkan bahwa Likas tidak ingin ada orang lain yang mengetahui ia membaca surat dari Djamin Ginting. Isi surat yang disampaikan Djamin untuk Likas adalah “Mejuah-juah Likas. Aku enggaknya bisa basa basi. Sejujurnya, Ingin sekali aku bicara bicara sama kau. Aku ingin kenal kau lebih dekat…” Salam pe mbuka “ mejuah- juah” yang ditulis Djamin pada awal surat tersebut merupakan salam khas yang dipakai oleh masyarakat suku karo ketika memulai pembicaraan lisan dan tulisan dari dulu sampai sekarang. Mejuah-juah artinya mujur, sejahtera, kesehatan, dan kelengkapan, dan digunakan pula sebagai pengganti kata halo dan selamat tinggal. Kata ini sering diucapkan baik dalam percakapan sehari-hari, dalam acara resmi, dan sebagai salam pembuka surat dalam bahasa Karo. Kata Mejuah-juah juga memiliki arti tentang keseimbangan dan keselarasan hidup, baik antara manusia dan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhannya. Ketiga hal tersebut adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Jadi representasi pesan tradisi budaya karo yang menonjol pada scene ini adalah kata mejuah-juah yang merupakan salah khas karo yang juga dipakai Djamin Ginting sebagai salam pembuka dalam suratnya yang ditujukan untuk Likas br Tarigan. Universitas Sumatera Utara 100 Universitas Sumatera Utara

4.3.7 Analisis Scene Ketujuh Film 3 Nafas Likas

Gambar 9 Scene Ketujuh Gambar 1 Universitas Sumatera Utara 101 Universitas Sumatera Utara Gambar 2 Gambar 3 Ilustrasi Scene Ketujuh Scene ini menceritakan tentang perjalanan penduduk desa meninggalkan desa karena desa yang mereka diami sebelumnya sudah tidak aman lagi untuk ditinggali sementara waktu akibat perang yang terjadi di desa tersebut. Didalam perjalanan mereka, banyak hal yang terjadi. Beberapa nenek-nenek yang sudah lanjut usianya terpaksa harus dipapah jalannya hingga memperlambat perjalanan mereka, ada anak bayi juga yang akhirnya meninggal karena sakit dalam perjalanan. Setiap gambar menunjukkan bagaimana mereka semua saling menolong dalam perjalanan. Tetap bersama selama dalam perjalanan. Likas terlihat berada didepan memimpin perjalanan, setiap saat Likas mengingatkan agar tetap beriringan jangan sampai ada yang tertinggal. Perjalan mereka lakukan hingga sampai malam hari mereka harus menggunakan obor sebagai benda penerang perjalanan mereka. Ssaat itu Likas merupakan istri dari Djamin Ginting yang juga merupakan pemipin pasukan perang pada saat itu. Djamin Ginting dan Likas merupaka orang yang dihormati didesanya. Pada gambar pertama teknik pengambilan yan digunakan adalah Big close up, gambar kedua medium shot, dan gambar ketiga extreme long shot dengan sudut pandang low angle pada gambar pertama dan high angle digambar kedua serta ketiga . Fokus lensa yang digunakan pada gambar pertama adalah Selective focus dan menggunakan deep focus pada gambar kedua dan ketiga . Pencahayaan pada gambar pertama dan kedua menggunakan low contrast dengan pewarnaan warm sedangkan gambar ketiga low key dengan pewarnaan cool. Universitas Sumatera Utara 102 Universitas Sumatera Utara Tabel 10 Ikon Scene Ketujuh Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Pada gambar ini Likas tmapak sedang berada ditengah hutan dan sedang berbicara dengan suara yang keras kepada orang orang yang ada dibelakangnya. Seorang wanita bertudung terlihat memegan tangannya dengan sangat erat. Perjalanan panjang Likas dan masyarkat desa Pada gambar ini Likas terlihat berada di posisi paling depan dari iringan masyarakat desa yang Likas memimpin perjalanan warga desa Universitas Sumatera Utara 103 Universitas Sumatera Utara sedang melakukan perjalanan meninggalkan desa. Likas tampak menjadi pegangan seorang wanita bertudung yang sudah tua. Pada gambar ini hari beranjak gelap. Likas dan warga desa lainnya masih melakukan perjalanan. Mereka semua tampak lelah. Likas masi tetap memimpin perjalanan dengan posisi paling depan. Likas berjalan kali ini merangkul satu orang wanita dewasa dan satu orang anak kecil yang tampak lelah. Perjalanan warga desa 1. Tataran denotataif sebuah perjalanan panjang yang dilakukan oleh Likas dan masyarakat desa meninggalkan desa dan berpindah ke daerah lain yang dianggap lebih nyaman dari desa sebelumnya. Tampak pada gambar pertama Likas memimpin perjalanan sambil menuntun seorang wanita lanjut usia yang memakai tudung serta menggunakan sarung sebagai bawahan pakaiannya. begitu pula dengan wanita Universitas Sumatera Utara 104 Universitas Sumatera Utara lainnya yang berada dibelakang mereka, mereka juga menggunakan tudung dan sarung. Penduduk desa terus jalan beriringan, sesekali Likas melihat kebelakang untuk mengingatkan agar mereka tetap berjalan beriringan dan melihat serta memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan ini. Gambar ketiga hari sudah mulai gelap tapi mereka masih meneruskan perjalanan walau terlihat lelah. Mereka saling bergandengan membantu satu dengan yang lainnya. Likas masi berada pada posisi yang terdepan sambil merangkul 1 orang wanita dan 1 orang anak kecil yang tampak sangat lelah. Pada gambar pertama teknik pengambilan yan digunakan adalah Big close up, gambar kedua medium shot, dan gambar ketiga extreme long shot dengan sudut pandang low angle pada gambar pertama dan high angle digambar kedua serta ketiga . Fokus lensa yang digunakan pada gambar pertama adalah Selective focus dan menggunakan deep focus pada gambar kedua dan ketiga . Pencahayaan pada gambar pertama dan kedua menggunakan low contrast dengan pewarnaan warm sedangkan gambar ketiga low key dengan pewarnaan cool. Teknik pengambilan gambar pertama adalah big close up yang mengesankan adanya momen penting dalam gambar tersebut, medium shot pada gambar kedua menunjukkan hubungan personal yang terjadi disana. Serta extreme long shot pada gambar ketiga menunjukkan suasana dan kondisi keseluruhan yang terjadi pada gambar tersebut. Low angle pada gambar pertama juga menegaskan kepemimpinan Likas dalam perjalanan tersebut. Pewarnaan pada gambar ketiga menggunakan pewarnaan cool yang didominasi biru dan hjau memberikan kesan pesimisme serta tidak harapan. 2. Tataran konotatif Scene ini menjelaskna bagaiamana Likas dan masyarakat desa lainnya melakukan perjalanan yang jauh meninggalkan desa. Dalam perjalanan banyak hal yang terjadi, mulai dari kelelahan, kelaparan, kedinginan, sakit yang melanda. Selama dalam proses tersebut mereka semua tetap beriringan dan membantu satu Universitas Sumatera Utara 105 Universitas Sumatera Utara dengan yang lainnya. Tidak ditemukan kerusuhan serta perdebatan disepanjang jalan. Likas berada paling depan dengan mempimpin perjalanan, mengingatkan untuk terus beriringan dan memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Sesekali perjalanan terhenti untuk beristirahat dan menolong warga yang membutuhkan pertolongan. Balam budaya karo hal seperti itu disebut budaya aron. Dimensi sosiologis menyatakan orang karo adalah pengasih, suka menolong adalah kenyataan yang sangat berpengaruh dalam kehidupan orang karo. Sifat saling membantu pada masyarakat karo dapat dilihat dari budaya aron yaitu sebuah konsep pola kerjasama dan tolong menolong pada masyarakat suku karo, baik dalam menghadapi ancaman dari pihak lain atau dalam mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari bahas karo, yaitu sisaro-saron saling membantu yang diwujudkan dalam bentuk kelompok kerja orang muda atau dewasa. Aron juga merupakan sebuah apresiasi budaya kerja sama yang sampai saat ini masih hidup Sarjani 2009;31 Selain Aron yang menjadi tradisi budaya dalan scene ini, pakaian yang digunakan oeh wanita karo seperti pada gambar juga merupakan tradisi cara berpakaian wanita karo yang samapi saat ini masih digunakan. Pada jaman dulu pakaian sehari-hari wanita karo menggunkan baju kebaya leher bulat, sarung abit, tutup kepala tudung , dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan. Tudung digunakan diatas kepala sebagai alas untuk barang yang diletakkan diatas kepala. Wanita karo pada umumnya sangat suka meletakkan barang diatas kepalanya seperti kerjangan atau raga , hasil pertanian, dan lainnya. Wanita karo lebih suka menjunjungnya diatas kepala daripada menenteng barang tersebut. Uniknya, tanpa harus dipegang pun barang tersebut tidak jatuh. Sampai sekarang tradisi menjujung barng diatas kepala masih sering ditemui pada saat wanita karo ini pergi berladang atau pulang dari ladang. Tudung juga dipakai sebagai penghangat kepala karena di dataran tinggi karo merupakan daerah dengan suhu udara dingin karena itu masyarakat karo biasa mengunakan tudung dikepalanya untuk sekedar memberikan rasa hangat. Selain itu sarung atau dalam bahasa karo disebut abit . Abit merupakan hal yang wajin dipakai wanita karo bahkan sampai sekarang perempuan karo diwajibkan memakai abit pada saat ada acara adat dirumah atau pun diluar rumah. Wanita menggunakan abit karena adat Universitas Sumatera Utara 106 Universitas Sumatera Utara budaya karo yang mewajibkan wanita karo selalu sopan dalam berbusana seperti kata mehangke dalam bahasa karo yang berarti tau malu, sopan kepada orang lain. Begitulah tradisi budaya karo dalam hal tudung maupun abit yang sampai pada saat ini masih berlaku didalam kebudayaan karo.

4.3 Mitos dan Temuan Analisis Data