6
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. JOB INSECURITY II.A.1. Pengertian Job Insecurity
Ashford dkk 1989 mengatakan bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat di mana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak
berdaya untuk melakukan apa pun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan,
tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan Ashford dkk, 1989. Joelsen dan Wahlquist dalam Hartley dkk, 1991 menyatakan bahwa job
insecurity merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dalam proses kehilangan pekerjaan. Kenyataannya, populasi yang mengalami job
insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Sebagai tambahan, Hartley 1991 menyatakan
bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya.
Selain itu, Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Hartley dkk, 1991 mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan
kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang terancam. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam organisasi, karyawan sangat mungkin
merasa terancam, gelisah, dan tidak aman karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang
diterimanya dari organisasi. Dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja
terhadap suatu keadaan di mana mereka merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan kesinambungan pekerjaan tersebut.
II.A.2. Aspek-aspek Job Insecurity
Konstruk job insecurity terdiri dari dua dimensi, yaitu besarnya ancaman severity of threat atau derajat ancaman yang dirasakan mengenai kelanjutan
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
7 situasi kerja tertentu. Ancaman ini dapat terjadi pada berbagai aspek pekerjaan
atau pada keseluruhan pekerjaan, dan yang kedua adalah powerlesness Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989, di mana efeknya dapat
dijelaskan dengan kalkulasi sebagai berikut:
job insecurity = perceived severity of the threat X perceived powerless to resist the threat.
Ruvio dan Rosenblatt 1999 kemudian memperjelas kembali kedua dimensi tersebut, sebagai berikut: pertama adalah perasaan terancam pada total
pekerjaan seseorang, misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam
organisasi atau diberhentikan sementara. Pada sisi lain kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau
dipaksa pensiun terlalu awal. Yang kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja job
features. Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji atau
pun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan
kerja, dan signifikansi pekerjaan. Ancaman terhadap tampilan kerja mungkin juga berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap
dipakai. Ketiga, job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang
terhadap kurangnya kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian- kejadian di lingkungan kerjanya yaitu perasaan tidak berdaya powerlesness.
Namun, di dalam penulisan ini dimensi powerlesness yang dikemukakan Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Hartley dkk, 1991 tidak digunakan karena ada
penulisan yang membuktikan bahwa dimensi powerlesness tidak berhubungan secara statistik dengan dimensi lainnya dalam pengukuran job insecurity.
Ditambahkan oleh Hartley 1991 bahwa powerlesness boleh tidak dimasukkan sebagai komponen ketiga dalam pengukuran job insecurity sejak
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
8 diketahui bahwa powerlesness dapat digolongkan sebagai bagian dari
kemungkinan kehilangan pekerjaan, karena powerlesness dalam menghadapi ancaman akan membuat perasaan kehilangan semakin besar. Jika karyawan
merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan, maka kemungkinan akan merasa kehilangan pekerjaan akan menurun. Sehingga menurut Brown-Johnson dalam
Hartley dkk, 1991, powerlesness tidak berbeda secara konseptual dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan, baik untuk keseluruhan kerja maupun
tampilan kerja.
II.A.3. Dampak Job Insecurity
Greenhalgh dan
Rosenblatt dalam
Ashford dkk,
1989 mengkonseptualisasikan job insecurity sebagai suatu sumber stress yang
melibatkan ketakutan, kehilangan potensi, dan kecemasan. Salah satu akibat dari stress tersebut adalah dalam bentuk permasalahan somatis, seperti tidak bisa tidur,
dan kehilangan selera makan. Taber, Walsh, dan Cooke dalam Ashford dkk, 1989 menyatakan bahwa perasaan job insecurity dapat meningkatkan
permasalahan somatis dan hipertensi. Berdasarkan penulisan Ashford dkk 1989, diketahui bahwa job insecurity
yang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan: a.
Keinginan untuk mencari pekerjaan baru Ketegangan yang dipengaruhi oleh job insecurity juga penting disebabkan
karena efeknya terhadap turnover. Seperti stressor yang lainnya, job insecurity mungkin berhubungan dengan respon penarikan diri - sebuah
usaha untuk menghindari stress. Oleh karena itu, job insecurity seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan keinginan untuk bekerja.
Orang yang mengalami job insecurity mungkin juga meninggalkan pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan masuk akal bagi
karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan pekerjaan mereka, kemudian mencari kesempatan karir yang lebih aman Greenhalgh dan
Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
9 b.
Komitmen organisasi yang rendah Penulisan telah mengindikasikan bahwa orang-orang mengembangkan
pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan sepanjang waktu Mowday, Steers, Porter, dalam Ashford dkk, 1989, yang ditunjukkan
sebagai level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi. Perasaan job insecurity dapat mengancam pendekatan tersebut terhadap perusahaan.
Karyawan mengharapkan perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan akhir dari kontrak psikologis di antara mereka Buchanan, dalam Ashford
dkk, 1989. Penerimaan job insecurity mungkin merefleksikan persepsi individu bahwa perusahaan telah membatalkan kontrak psikologis, dalam
hal ini tampilan penting terancam, pekerjaan berada dalam bahaya bahkan keduanya dan kesetiaan dipengaruhi secara negatif Romzek dalam
Ashford dkk, 1989. c.
Trust organisasi yang rendah. Individu yang merasa bahwa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk
menghasilkan komitmen terhadap karyawannya, dapat mengurangi komitmen karyawan terhadap organisasi. Job Insecurity akan berhubungan
secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan Forbes dalam Ashford dkk, 1989. Hubungan ini
akan terjadi karena karyawan yang insecure akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan bahwa perusahaan dapat diandalkan dan pendekatan
mereka terhadap perusahaan mereka akan berkurang. d.
Kepuasan kerja yang rendah Persepsi terhadap job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan
pengukuran kepuasan kerja. Dari penulisan sebelumnya Oldham, Julik, Ambrose, Stevina, Brand dalam Ashford dkk, 1989 dapat diketahui
bahwa karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job insecurity yang rendah akan kurang puas dengan pekerjaan mereka. Para peneliti telah
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu respon afektif terhadap pekerjaan dan tugas-tugas Locke dalam Ashford dkk., 1989. Orang
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
10 berespon secara afektif terhadap pekerjaan dalam kondisi di mana mereka
secara kognitif merepresentasikan atau menerima pekerjaan tersebut Hackman Oldham dalam Ashford dkk, 1989.
II.A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity
Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989 telah mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok sebagai
berikut: a.
Kondisi lingkungan dan organisasi Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh beberapa
faktor, misalnya:
komunikasi organisasional
dan perubahan
organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.
Senge 1990 dan Denton dan Wisdom 1991 mengatakan bahwa organisasi yang paling sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi adalah organisasi yang menciptakan tradisi pembelajaran. Susanto 2004 mengatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan
organisasi yang siap menghadapi perubahan dengan mengelola perubahan itu sendiri managing change.
b. Karakteristik individual dan jabatan pekerja
Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender, senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, latar belakang budaya,
status, sosial ekonomi, dan pengalaman kerja. c.
Karakteristik personal pekerja Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity
misalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan optimis atau pesimis pada karyawan.
Jumlah variansi dalam penerimaan job insecurity yang dijelaskan oleh predictor ini adalah sekitar 20. Predictor terbaik biasanya adalah faktor-faktor
posisional, seperti pengalaman pengangguran sebelumnya, atau kontrak kerja sementara Kinnunen Naetti dalam Ashford dkk, 1989, faktor-faktor personal
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
11 Roskies Louisguerin dalam Ashford dkk, 1989 dan tanda-tanda ancaman,
contohnya rumor mengenai reorganisasi atau perubahan manajemen Ashford dkk, 1989.
Dari uraian di atas dapatlah diketahui bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan job insecurity pada karyawan adalah kondisi lingkungan dan
organisasi.
II.B. PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR II.B.1. Pengertian Persepsi
Menurut Anoraga dan Widyanti 1993, persepsi adalah proses seseorang individu memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan masukan-masukan
informasi untuk menciptakan sebuah gambar yang bermakna tentang dunia. Persepsi tergantung bukan hanya pada sifat-sifat rangsangan fisik, tetapi juga pada
hubungan rangsangan medan sekelilingnya dan kondisi dalam diri individu. Menurut Chaplin 2001, persepsi adalah proses mengetahui dan
mengenali objek dan kejadian objek dengan bantuan indera kesadaran dan proses- proses organisasi. Suatu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti
yang berasal dari pengalaman di masa lalu atau kesadaran implisit mengenai kebenaran langsung antar keyakinan serta merta mengenai sesuatu.
Menurut Levine Shefner 1991, persepsi mengacu pada cara yang kita tempuh untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan informasi yang diterima
dari alat indera kita. Davidoff Walgito, 2001 mengatakan bahwa stimulus yang diindera oleh
individu diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari, mengerti apa yang diindera itu dan selanjutnya menghasilkan persepsi.
Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka. Apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Persepsi penting dalam dunia usaha karena perilaku
orang-orang didasarkan pada persepsi mengenai realitas, bukan mengenai realitas
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
12 itu sendiri. Dunia yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku
Robbins, 2001. Berdasarkan beberapa pengertian tentang persepsi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan aspek kognitif dan afektif, untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan pemahaman,
serta menginterpretasikan terhadap rangsang inderawi menjadi suatu gambaran objek tertentu secara utuh. Persepsi berkaitan erat dengan proses inderawi, yakni
melihat dengan menggunakan mata, mencium dengan hidung, merasa dengan kulit. Dari yang dirasakan oleh inderawi individu tersebut, ia selanjutnya
memberikan makna dari apa yang dirasakan.
II.B.2. Pengertian Organisasi Pembelajar
Istilah organisasi pembelajar sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” dan selanjutnya digunakan oleh Garrat Dale, 2003. Namun
Geoffrey Holland Dale, 2003 selanjutnya menyatakan bahwa: “jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan,
ataupun sebagai bangsa kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.”
Pengertian pertama mengenai organisasi pembelajar datang dari Argyris
Argyris Schön, 1977, yang menyatakan bahwa pembelajaran organisasi adalah suatu proses deteksi dan koreksi kesalahan. Dalam definisi ini, organisasi
dikatakan organisasi pembelajar apabila organisasi tersebut melakukan pemantauan terhadap perilakunya, melakukan deteksi terhadap kesalahan yang
dilakukan, dan segera membuat koreksinya. Selanjutnya organisasi pembelajar didefinisikan oleh Pedler, Boydell, dan
Burgoyne dalam Dale, 2003 sebagai sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransfomasi
diri. Mereka mendefinisikan dan menguji kelayakan gagasan mengenai perusahaan pembelajar sebagai pendekatan yang tepat untuk strategi bisnis dan
pengembangan sumber daya manusia pada tahun 1990-an.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
13 Menurut Senge 1990, organisasi pembelajar adalah:
“organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking
are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning to see the whole together”.
Oleh Farago dan Skyrme 1995, oganisasi pembelajar didefinisikan pula sebagai:
“those that have in place systems, mechanisms, and process, that are used to continually enchance their capabilities and those who work with it or
for it, to achieve sustainable objectives for themselves and the communities in which they participate”.
Dari definisi ini dapat dicatat butir-butir berikut, yaitu bahwa organisasi pembelajar:
a. Adaptif terhadap lingkungan eksternalnya.
b. Secara terus-menerus menunjang kemampuannya untuk berubah.
c. Mengembangkan baik pembelajaran individual maupun kolektif
d. Menggunakan hasil pembelajarannya untuk mencapai hasil yang lebih
baik. Garrat 2000 mendefinisikan organisasi pembelajar sebagai suatu
organisasi yang dijalankan dengan proses belajar yang keras dan teratur, umumnya melalui debat dan review secara terbuka dan kritis pada seluruh level
dari organisasi tersebut yang dilakukan secara terus-menerus sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari.
Menurut Robbins 2001, organisasi pembelajar adalah suatu organisasi yang membangun kapasitasnya secara terus-menerus untuk beradaptasi dan
melakukan perubahan. Osland, Kolb, dan Rubin 2001 mendefinisikan organisasi pembelajar
sebagai suatu keterampilan organisasi dalam menciptakan, mendapatkan, mentransfer pengetahuan, dan memodifikasi perilakunya untuk menghasilkan
pengetahuan dan pemahaman-pemahaman baru.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
14 Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa organisasi
pembelajar merupakan suatu organisasi tempat di mana orang-orangnya secara terus-menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh
mereka inginkan, di mana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan terus-menerus berupaya belajar bersama.
II.B.3. Pengertian Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar
Pembelajaran yang dilakukan di dalam organisasi merupakan hal yang penting, mengingat perubahan merupakan hal yang akan terus terjadi. Untuk
menghadapi perubahan itu kita harus berubah, selalu antisipatif dengan kemungkinan-kemungkinan baru dan kreatif menghadapi perubahan tersebut. Satu
hal konkret yang bisa kita lakukan adalah dengan belajar. Organisasi pembelajar hanya dapat terjadi apabila individu-individu dalam organisasi tersebut memiliki
kemauan untuk belajar. Dalam menginterpretasikan organisasi pembelajar tersebut, di dalam diri
karyawan terjadi proses kognitif dan afektif. Karyawan akan menginterpretasikan apakah perusahaan mendukung atau malah menghambat adanya pembelajaran
dalam dirinya. Jika harapan dan kebutuhan-kebutuhan karyawan terpenuhi maka persepsinya terhadap organisasi pembelajar akan semakin positif. Sebaliknya jika
karyawan menginterpretasikan bahwa organisasi pembelajar yang diterapkan perusahaan tidak dapat memenuhi harapan-harapan dan kebutuhannya maka
persepsinya terhadap organisasi pembelajar akan semakin negatif. Dari konsep persepsi dan konsep organisasi pembelajar dapat disimpulkan
bahwa persepsi terhadap organisasi pembelajar adalah suatu proses mengamati dan memperhatikan yang melibatkan aspek kognitif dan afektif individu dalam
menginterpretasikan suatu organisasi tempat di mana orang-orangnya secara terus-menerus memperluas kapasitas menciptakan hasil yang sungguh-sungguh
mereka inginkan, di mana pola berpikir baru dan ekspansif ditumbuhkan, aspirasi kolektif dibiarkan bebas, dan terus-menerus berupaya belajar bersama.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
15
II.B.4. Karakteristik Organisasi Pembelajar
Karakteristik dari organisasi pembelajaran menurut Schein 1992, yaitu: a.
Budaya pembelajaran.
Iklim organisasi
yang mengasuh
pembelajaran. b.
Proses-proses yang
mendorong interaksi
antar batas-batas
boundaries. c.
Peralatan dan teknik-teknik. Metode-metode yang membantu pembelajaran individual dan kelompok.
d. Keterampilan dan motivasi untuk belajar dan menyesuaikan diri.
Schein 1992 dalam pembahasannya mengenai organisasi pembelajaran, mengajukan ciri-ciri budaya pembelajaran, sebagai berikut:
a. Dalam hubungan dengan lingkungannya, organisasilah yang harus
lebih dominan. b.
Manusia hendaknya berperilaku proaktif. c.
Manusia pada dasarnya makhluk yang baik. d.
Manusia pada dasarnya dapat diubah. e.
Dalam hubungan antar manusia, individualisme dan ‘groupism’ sama-sama penting.
f. Dalam hubungan atasan bawahan, kesejawatan partisipatif dengan
otoritatif paternalistik sama-sama pentingnya. g.
Orientasi waktu lebih berorientasi pada masa depan yang pendek h.
Untuk penghitungan waktu lebih digunakan waktu satuan waktu yang medium.
i. Jaringan informasi dan komunikasi bersinambung secara lengkap
j. Orientasi hubungan dan orientasi tugas sama-sama pentingnya.
k. Proses pemikiran sistemik penting.
Megginson dan Pedler dalam Dale, 2003 memberikan sebuah panduan mengenai konsep perusahaan pembelajaran, yaitu suatu ide yang dapat bertindak
sebagai “bintang petunjuk”, di mana ia bisa membantu orang berpikir dan bertindak bersama menurut apa maksud gagasan semacam ini, bagi mereka saat
ini dan di masa yang akan datang. Seperti halnya semua visi, ia bisa membantu
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
16 menciptakan kondisi di mana sebagian ciri-ciri perusahaan pembelajar dapat
dihasilkan. Kondisi-kondisi tersebut di atas adalah:
a. Strategi pembelajaran;
b. Pembuatan kebijakan partisipatif;
c. Pemberian informasi yaitu teknologi informasi digunakan untuk
menginformasikan dan memberdayakan orang untuk mengajukan pertanyaan dan mengambil keputusan berdasarkan data-data yang
tersedia; d.
Akunting formatif yaitu sistem pengendalian disusun untuk membantu belajar dari keputusan;
e. Pertukaran internal;
f. Kelenturan penghargaan;
g. Struktur-struktur yang memberikan kemampuan;
h. Pekerja lini depan sebagai penyaring lingkungan;
i. Pembelajaran antarperusahaan;
j. Suasana belajar;
k. Pengembangan diri bagi semua orang.
Selanjutnya oleh Farago dan Skyrme 1995 menyatakan bahwa budaya pembelajaran mencakup beberapa hal, yaitu:
a. Future, external orientation
b. Free exchange and flow of information
c. Commitment to learning, personal development
d. Valuing people
e. Climate of openness and trust
f. Learning from experience
Dengan melakukan semua ini bukan berarti bahwa suatu organisasi telah menjadi organisasi pembelajar. Perlu dipastikan bahwa tindakan-tindakan tersebut
tidak dilakukan hanya sekali-sekali saja. Tindakan-tindakan tersebut harus ditanamkan, sehingga menjadi cara kerja sehari- hari yang rutin dan normal yang
dapat dibiasakan.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
17 Dalam upaya pengembangan organisasi pembelajaran, Farago dan Skyrme
1995 menyarankan hal-hal sebagai berikut: a.
Dapat mulai dari atas The Top b.
Dapat mulai dengan masalah yang chronic c.
Dirikan satuan tugas d.
Mulai dengan organizational diagnosis. e.
Hubungkan dengan proses atau inisiatif yang ada existing f.
Tinjau kembali sistem dan proses yang ada g.
Pengembangan produk yang baru. Menurut Osland, Kolb, dan Rubin 2001, organisasi pembelajar memiliki
karakteristik-karakteristik, sebagai berikut: a.
Pemecahan masalah yang sistematis b.
Eksperimentasi c.
Belajar dari pengalaman masa lalu d.
Belajar dari organisasi lain Day, Peters, dan Race 1999 mengkarakteristikkan organisasi pembelajar
ke dalam sepuluh karakteristik, yaitu: a.
Mengidentifikasikan kebutuhan belajar anggotanya pada saat ini. b.
Mengidentifikasikan kebutuhan belajar anggotanya pada masa yang akan datang.
c. Melakukan sesuatu untuk mengatasi adanya kebutuhan belajar saat ini
dan yang akan datang melalui kesempatan belajar yang distrukturkan. d.
Menggunakan pengalaman kerja sehari-hari sebagai dasar untuk belajar.
e. Mendapatkan dan mengklarifikasikan pengetahuan di dalam organisasi
yang diperoleh dalam suatu wadah yang sistematis. f.
Menyediakan kesempatan agar pengetahuan yang diperoleh tersebut digunakan, disalurkan, dan dimanfaatkan.
g. Menggunakan beragam pendekatan dalam belajar
h. Melakukan respon mengevaluasi, memberi umpan balik, mereview
belajar yang telah dilakukan
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
18 i.
Perangkat organisasi pembelajar terfokus pada hasil akhir sebagaimana juga prosesnya.
j. Perangkat
organisasi pembelajar
menyukai belajar
dan mempercayainya sebagai kunci untuk masa depan yang kompetitif.
Rosengarten dalam Yuwono dkk, 2005 menyimpulkan beberapa elemen yang harus ada dalam organisasi pembelajar, yaitu sebagai berikut:
a. The Learning Process
b. Elemen ini merupakan bagian integral dari hampir semua definisi.
a. Knowledge acquisition or generation
c. Elemen ini menunjuk bahwa proses
pembelajaran sebagai incorporating pengetahuan dari luar organisasi dan creating
pengetahuan dari dalam, paling banyak melalui trial dan error. Elemen ini dinyatakan oleh Huber 1991 dan Dixon 1994 dengan menyebut
knowledge acquisition, dan Nonaka dan Takeuchi 1995 sebagai knowledge generation.
a. Individual Learning
d. Elemen ini dimasukkan sebagai prerequisite pembelajaran organisasi
seperti yang dinyatakan oleh Argyris Schon 1978 dan Pawlowsky 1992.
a. Teams Learning
e. Elemen ini dimasukkan berdasarkan pertimbangan bahwa beberapa
penulis seperti Senge 1990, Dixon 1994, dan Pawlowsky 1992, menyebutkan bahwa team learning sebagai faktor penting terjadinya
pembelajaran organisasi. a.
Organizational Knowledge f.
Elemen ini dinyatakan oleh mayoritas penulis dan menjadi suciffient condition untuk terjadinya organizational actions.
II.B.5. Aspek-Aspek Pengukuran Organisasi Pembelajar
Menurut Senge 1996, terdapat lima disiplin yang menjadi dasar untuk sebuah organisasi pembelajar, yaitu:
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
19 a.
Berpikir Sistem Systems Thinking Berpikir sistem systems thinking adalah suatu kerangka kerja
konseptual, yaitu suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa
kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi pembelajar, tidak mungkin dapat menterjemahkan disiplin-displin itu ke dalam
tindakan kegiatan organsasi yang lebih luas. Disiplin ini membantu kita melihat bagaimana kita mengubah sistem-
sistem secara lebih efektif, dan bertindak lebih selaras dengan proses-proses yang lebih besar dari alam dan dunia ekonomi.
Berpikir secara sistem adalah kemampuan untuk melihat dalam gambaran yang besar, keterkaitan pada suatu sistem, sehingga terjadi proses
yang terus-menerus untuk dipelajari. Berpikir sistem juga merupakan paradigma yang tidak hanya
memberikan penekanan pada suatu pola perubahan pattern of change, melainkan pada cara berpikir yang dinamis dan sistemik. Oleh karena itu,
organisasi yang dibangun dengan pola berpikir sistem akan mampu melihat pola perubahan secara keseluruhan dengan pandangan bahwa segala usaha
manusia saling berkaitan, saling mempengaruhi, dan membentuk sinergi. b.
Keahlian Pribadi Personal Mastery Keahlian pribadi secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk berkembang dalam menguasai dan memahami aspek tertentu. Seseorang yang memiliki keahlian pribadi yang cukup tinggi, akan dapat
secara konsisten mewujudkan apa yang ia inginkan. Keahlian pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain
menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan
memandang realitas secara obyektif. Keahlian pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan
kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
20 mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan
yang mereka pilih. Setiap anggota tim memilih visi pribadinya dan kemudian secara terus-
menerus mengukur kesenjangan antara kecakapan yang sekarang dimilikinya dengan yang diinginkannya sesuai dengan visi tersebut, sehingga terus-
menerus melatih dan meningkatkan keahliannya hingga hasil yang diinginkannya dapat terinternalisasi.
Unsur ini merupakan aspek yang esensial dari organisasi pembelajar. Manusia yang memiliki keahlian pribadi yang tinggi mempunyai karakteristik
yang positif. Mereka akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan yang melatarbelakangi visinya. Individu yang memiliki karakteristik yang
demikian akan melihat visinya sebagai panggilan, bukan hanya sekedar pemikiran yang cemerlang.
c. Model Mental Mental Models
Model mental adalah suatu prinsip yang mendasar dari organisasi pembelajar, karena dengannya organisasi dan individu yang ada di dalamnya
diperkenankan untuk berpikir dan merefleksikan struktur dan arahan perintah dalam organisasi dan juga dari dunia luar selain organisasinya.
Disebutkan pula oleh Senge bahwa model mental adalah suatu aktivitas perenungan, terus menerus mengklarifikasikan, dan memperbaiki
gambaran-gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental dapat diartikan
sebagai asumsi yang mendalam, generalisasi ataupun pandangan yang mempengaruhi bagaimana manusia memahami dunia realita di sekelilingnya
dan bagaimana manusia mengambil tindakan. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan
mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan peta
atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain,
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
21 model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang, yang dengan
konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya. Manusia sering tidak sadar akan model mental yang dimilikinya
ataupun pengaruhnya terhadap perilaku. Keingintahuan inquiry dan advokasi advocacy merupakan salah satu strategi untuk perubahan model mental.
Dengan strategi ini model mental akan muncul ke permukaan dan orang akan mampu berdiskusi secara produktif melalui keterbukaan.
d. Membangun Visi Bersama Building Shared Vision
Visi bersama adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan kegiatan organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-
sama dari keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju. Dengan visi bersama organisasi dapat membangun suatu rasa
komitmen dalam suatu kelompok dengan membuat gambaran-gambaran bersama tentang masa depan yang coba diciptakan, dan prinsip-prinsip serta
praktek-praktek penuntun yang melaluinya kita harapkan untuk bisa mencapai masa depan. Membangun visi bersama sangat vital dalam organisasi
pembelajar karena visi dapat memberikan fokus dan energi bagi proses belajar.
Seluruh anggota organisasi harus memahami, saling berbagi, dan berkontribusi pada visi organisasi, dan berupaya membuatnya menjadi
kenyataan. Visi bersama perlu terus dipelihara dan dikaji ulang oleh karena kehidupan organisasi sangat dipengaruhi oleh perubahan eksternal organisasi.
Kekuatan visi pribadi diperoleh dari kepedulian yang dalam dari orang tersebut, sedangkan kekuatan visi bersama diperoleh dari kepedulian bersama.
e. Pembelajaran Tim Team Learning.
Pembelajaran tim merupakan kekuatan yang vital di dalam mewujudkan organisasi pembelajaran. Pembelajaran tim pada dasarnya
merupakan proses peningkatan kapasitas tim, sehingga tercipta hasil-hasil yang merupakan perwujudan dari keinginan dan kerja sama setiap individu
dalam tim. Oleh karena itu pengertian tim tersebut mangandung makna sekelompok manusia yang bekerja sama sebagai suatu kesatuan yang utuh,
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
22 saling mempercayai, saling menghargai, dan menjunjung tinggi kelebihan
yang ada pada tim, sehingga sesama anggota tim dapat saling mengisi dan berkontribusi demi terwujudnya hasil kerja tim yang diinginkan.
Pembelajaran tim terfokus pada kemampuan belajar dalam suatu kelompok. Sesama anggota tim sebagai orang dewasa saling belajar dan
mengungkapkan mengenai suatu masalah, membuat asumsi-asumsi, dan memperoleh umpan balik dari timnya dan hasil dari diskusi tersebut. Dengan
demikian pembelajaran tim berkaitan dengan keterampilan dan keahlian individu secara kolektif, yang menghasilkan pemikiran yang lebih berkualitas
dari pemikiran individu. Pembelajaran tim akan berjalan secara optimal apabila terlaksana diskusi dan dialog yang efektif antara individu yang ada
dalam tim tersebut.
II.C. HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJAR DENGAN JOB INSECURITY.
Job insecurity diartikan sebagai tingkat di mana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apa pun
terhadap situasi tersebut Ashford dkk, 1989. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga
kehilangan dimensi pekerjaan Ashford dkk, 1989. Sebagai tambahan, Hartley, Jacobson, Klandermans, dan Vuuren 1991 menyatakan bahwa job insecurity
dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya. Job insecurity juga mempunyai dampak
terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan tertentu dan yang akhirnya mengarah kepada keinginan untuk berhenti bekerja
Ashford dkk, 1989. Sverke, Hellgren, dan Naswall dalam WHO, 2003, mengatakan bahwa
job insecurity menghasilkan konsekuensi yang negatif terhadap sikap kerja, sikap organisasi, kesehatan pekerja dan dalam beberapa kasus dapat merusak hubungan
pekerja dengan organisasi.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
23 Seperti yang telah diuraikan dalam landasan teori dikatakan bahwa salah
satu penyebab dari job insecurity adalah kondisi lingkungan dan organisasi, misalnya komunikasi organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan
organisasional yang sering terjadi antara lain dengan dilakukannya downsizing, restrukturisasi, dan merger dengan frekuensi yang semakin meningkat oleh
perusahaan. Perubahan organisasional ini terjadi dengan harapan untuk mengurangi pengeluaran perusahaan dan demi meningkatkan efesiensi kerja Hitt,
Keats, Harback Nixon, 1994. Bagi para pekerja, perubahan-perubahan seperti ini dapat mengakibatkan perasaan cemas, stress, dan tidak aman dalam
memikirkan kesinambungan pekerjaan mereka Schweiger Ivanchevich, dalam Ashford, Lee Bobko, 1989. Marks dalam Burke, 2000 menyatakan bahwa
salah satu dampak psikologis dari merger dan downsizing adalah job insecurity. Job insecurity juga dapat memperkuat keinginan seorang karyawan untuk
meninggalkan perusahaan tersebut turn over. Dampak dari job insecurity ini jelas sangat mengancam suatu organisasi untuk dapat bertahan hidup.
Senge 1990 dan Denton dan Wisdom 1991 mengatakan bahwa organisasi yang paling sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan yang
terjadi adalah organisasi yang mampu menciptakan tradisi pembelajaran. Susanto 2004 mengatakan bahwa organisasi pembelajar merupakan organisasi yang siap
menghadapi perubahan, dengan mengelola perubahan itu sendiri managing change. Geoffrey Holland dalam Dale, 2003 selanjutnya menyatakan bahwa
jika kita mau bertahan hidup secara individual atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa, kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajaran.
Ruvio dan Rosenblatt 1999 menjelaskan bahwa job insecurity memiliki dua dimensi yaitu: 1 Perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang,
misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau
diberhentikan sementara; dan 2 Perasaan terancam terhadap tampilan kerja job features. Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang
kesulitan untuk mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji atau pun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
24 seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan
kerja, dan signifikansi pekerjaan, serta kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap dipakai.
Senge 1990, penyusun buku “The Fifth Discipline Fieldbook”, mengutarakan bahwa gagasan organisasi pembelajaran perlu disebarluaskan guna
mencapai kinerja tinggi dan memenangkan persaingan, hubungan dengan pelanggan lebih baik, menghindari penurunan, memperbaiki kualitas,
memunculkan inovasi, memenuhi kebutuhan pribadi dan spiritual, meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola perubahan, memperluas batasan-batasan,
memperoleh kebebasan, dan menghargai saling ketergantungan. Selanjutnya Senge 1990 dalam bukunya, “The Fifth Discipline: The Art
and Practice of the Learning Organization”, mendeskripsikan bahwa salah satu elemen dari organisasi pembelajar adalah keahlian pribadi personal mastery.
Keahlian pribadi diartikan sebagai kemampuan individu untuk berkembang dalam menguasai dan memahami aspek tertentu. Seseorang yang memiliki keahlian
pribadi yang cukup tinggi, akan dapat secara konsisten mewujudkan apa yang ia inginkan. Keahlian pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain
menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang
realitas secara obyektif. Keahlian pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita
inginkan, dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri ke arah sasaran-sasaran dan
tujuan-tujuan yang mereka pilih. Manusia yang memiliki keahlian pribadi yang tinggi mempunyai karakteristik yang positif. Mereka akan memiliki komitmen
yang tinggi terhadap tujuan yang melatarbelakangi visinya. Organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan kesempatan
dan mendorong setiap individu yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya. Ditambahkan pula oleh Wick, Calhoun,
Leon, dan Stanton 1993, bahwa alasan suatu perusahaan mendirikan organisasi pembelajar, di antaranya adalah: 1 karena kita menginginkan tampilan kerja
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
25 yang baik superior performance; 2 untuk meningkatkan kualitas improve
quality; 3 untuk keuntungan dalam berkompetisi competitive; 4 sebagai energi dalam komitmen kerja an energized, committed workforce; dan 5 untuk
mengelola perubahan managing change. Dari penjelasan di atas, perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang,
misalnya seseorang dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau
diberhentikan sementara, dapat direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu membentuk tampilan kerja yang baik superior performance dan
menciptakan suasana kompetisi competitive. Selanjutnya, perasaan terancam terhadap tampilan kerja job features, misalnya, perubahan organisasional, dapat
direduksi dengan adanya organisasi pembelajar yang mampu meningkatkan kualitas kerja seorang karyawan superior performance, menciptakan suasana
kompetisi competitive, membentuk komitmen kerja an energized, committed workforce, dan demi mengelola perubahan yang terjadi managing change.
Berdasarkan penjelasan organisasi pembelajar yang diungkapkan oleh Wick dkk. 1993 dan Senge 1990 di atas, penerapan organisasi pembelajar
ditujukan agar mampu mencapai kinerja yang tinggi, memenangkan persaingan, dan sekaligus meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola perubahan yang
akan terjadi. Dengan adanya penerapan organisasi pembelajar yang baik, maka suatu perusahaan akan mampu manghadapi perubahan organisasional yang terjadi,
sehingga dapat mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk mempertahankan
kesinambungan pekerjaannya di perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan dilaksanakannya organisasi
pembelajar yang baik dalam perusahaan, maka akan mengurangi suatu keadaan di mana para karyawan merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untuk
mempertahankan kesinambungan pekerjaannya di perusahaan.
Ferry Novliadi : Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi Pembelajar Dengan Job Insecurity Pada Karyawan, 2009 USU e-Repository © 2009
26
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN