Pengaruh Binaan Lsm Terhadap Perilaku Dan Kadar Cholinesterase Pada Petani Di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo
TESIS
Oleh
SERI ASNAWATI MUNTHE 087031013/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PENGARUH BINAAN LSM TERHADAP PERILAKU DAN KADAR CHOLINESTERASE PADA PETANI
DI KECAMATAN KABANJAHE TANAH KARO
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
SERI ASNAWATI MUNTHE 087031013/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Nomor Induk mahasiswa : 087031013
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Fikarwin Zuska) (dr. Wirsal Hasan,M.P.H) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Dr.Drs. Surya Utama,M.S) (Dr.Drs. Surya Utama,M.S)
(4)
PERNYATAAN
PENGARUH BINAAN LSM TERHADAP PERILAKU DAN KADAR CHOLINESTERASE PADA PETANI
DI KECAMATAN KABANJAHE TANAH KARO
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Nopember 2010
(5)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Fikarwin Zuska
Anggota : 1. dr. Wirsal Hasan,M.P.H 2. Prof. Zulkifli Nasution,Ph.D
(6)
ABSTRAK
Penggunaan pestisida merupakan salah satu cara untuk mencegah hama pertanian, namun berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Setiap hari petani di Tanah Karo menggunakan pestisida untuk pertanian lebih kurang 10 ton sehingga para petani selalu berpeluang untuk terpapar pestisida. Pihak LSM membantu masyarakat untuk menghindari keracunan pestisida dengan memberikan penyuluhan tentang pengelolaan pestisida kepada petani, namun demikian masih ditemukan petani melakukan penyemprotan tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam panduan sehingga berpeluang untuk menimbulkan keracunan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh binaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap perilaku dan kadar cholinesterase pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo tahun 2010. Jenis penelitian adalah observasi analitik dengan disain cross-sectional. Populasi adalah seluruh petani penyemprot pestisida yang menyemprot pestisida minimal 2 tahun dan berumur minimal 15 tahun. Sampel sebanyak 100 orang yang terdiri dari 50 orang yang dibina LSM dan 50 orang yang tidak dibina. Data diperoleh melalui wawancara dengan memakai kuesioner dan untuk data colinesterase diperoleh melalui pemeriksaan darah serta dianalisis dengan uji regresi logistik ganda pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh binaan LSM terhadap perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) penyemprot pestisida dan ada pengaruh perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) penyemprot pestisida terhadap kadar cholinesterase dalam darah petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo tahun 2010. Pembinaan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat tentang pemakaian pestisida membawa dampak positif bagi petani .
Untuk itu disarankan kepada pihak LSM dalam melakukan penyuluhan atau ceramah tentang pestisida menggunakan berbagai alat seperti LCD, CD, Leaflet. Petani sebaiknya melaksanakan aturan yang dianjurkan oleh pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti yang tertera dalam kotak pestisida untuk mengurangi keracunan pestisida.
(7)
farmers in Tanah Karo use 10 tons of pesticide on their farmlands that it gives them a change to be directly exposed to pesticide. Non Government Organization (NGO) helps the local community to avoid themselves from being poisened.Yet, we still find local farmers do the spraying in an improper way which can likely make the farmers get poisoned.
The objective of this research is to analyze the influence of non government training on the attitude and cholinesterase level in Kabanjahe Sub-district, Tanah Karo district, in 2010 . The research design was analytic observation with cross sectional . The population of this study were all of the farmers which had minimal 15 years old been spraying pesticide for at least 2 (two) years. As 100 farmers were selected to be the sample for this study consisting of 50 farmers who belonged to those been given training and the other farmers those who were not given any training. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and the data of cholinesterase were obtained through a blood test. The data obtained were statistically analyzed through logistic regression test at α = 5 %.
The result of this study showed that the education and training given by NGO had an influence on the behavior of the pesticide sprayers (knowledge, attitude, action), and the behavior (knowledge, attitude, action) had an influence on the level of cholinesterase in the farmers in Kabanjahe Sub-district, Tanah Karo district, in 2010. Training by NGO in using pesticide brings positive effect to the farmer.
It is suggested to the NGO to make training by using various tools such as LCD, CD, and leaflet when lecturing on pesticide during the extension. The farmers should obey and apply the training, and also obey the regulations written on the pesticide package.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala Puji Syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul Pengaruh Binaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap Perilaku dan kadar
Cholinesterase pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tahun 2010.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc.(CTM),Sp.A(K).
Selanjutnya terima kasih juga kepada Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si , Dr.Irna Marsaulina,M.S, Dr. Drs. R.Kintoko Rochadi,M.K.M selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(9)
meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Zulkifli Nasution, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc dan selaku Komisi Penguji yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.
Terima kasih kepada Ketua STIKes Mutiara Indonesia yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih kepada Bapak Camat Kabanjahe yang memberikan izin penelitian, beserta seluruh Kepala Desa Kecamatan Kabanjahe yang telah membantu melakukan pengumpulan data yang diburuhkan dalam penelitian ini.
Tak terhingga terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta Suami penulis tercinta Petrus Sembiring serta putriku tersayang May Adelia FS serta seluruh keluarga yang telah banyak memberikan sumbangan moril dan materil dan secara khusus kepada Ayahanda J Munthe dan Ibunda tercinta S manjorang serta Mertua dan seluruh keluarga yang telah banyak memberikan sumbangan moril dan materil.
(10)
Selanjutnya terima kasih juga kepada para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih kepada seluruh teman-teman, khususnya seangkatan 2008 minat studi MKLI. yang tidak dapat saya sebut namanya satu persatu.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Nopember 2010 Penulis
(11)
anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda Johan Munthe dan Ibunda Sintalina Manjorang.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Pangambatan selesai tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama Negeri I Kabanjahe di Kabanjahe selesai tahun 1987, Sekolah Menengah Negeri I Kabanjahe di Kabanjahe selesai tahun 1990, Akademi Kesehatan Lingkungan di Kabanjahe tamat tahun 1993 dan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU selesai tahun 2000.
Mulai bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Kesehatan Lingkungan Sari Mutiara tahun 1994 sampai tahun 2000 dan staf pengajar Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKes Mutiara Indonesia dari tahun 2000 sampai sekarang. Pada tanggal 4 Oktober 1996 menikah dengan Petrus Sembiring anak dari Nganduhi Sembiring dan Dem Tarigan, dan penulis dikaruniai satu orang putri.
Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(12)
DAFTAR ISI Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... ... ix
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
BAB .1. PENDAHULUAN... ... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Permasalahan... 8
1.3. Tujuan Penelitian... 9
1.4. Hipotesis... 9
1.5. Manfaat Penelitian………... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 10
2.1. Konsep Pestisida………... 10
2.1.1. Pengertian dan Peranan Pestisida... 10
2.1.2. Penggolongan Pestisida... 11
2.1.3. Dampak Pestisida... 14
2.1.4. Gejala Keracunan Pestisida... 17
2.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida... 18
2.1.6. Diagnosa Keracunan Pestisida... 32
2.1.7. Pencegahan dan Penanggulanagan Pestisida... 32
2.2. Program Kerja LSM ………... 40
2.3. Landasan teori………... 43
2.4. Kerangka Konsep………... 43
BAB 3 METODE PENELITIAN... 45
3.1. Jenis Penelitian... .. 45
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……….………. 45
3.3. Populasi dan Sampel………. 45
3.3.1. Populasi……….. 45
3.3.2. Sampel………... 46
3.3.3. Tehnik Pengambilan Sampel………... 47
3.4. Metode Pengumpulan Data... 48
3.4.1. Sumber Data... 48
3.4.2. Alat Pengumpul data... ….. 48
(13)
BAB 4 HASIL PENELITIAN... 57
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 57
4.1.1. Geografis... 57
4.1.2. Demografi... 57
4.1.3. Sarana Pelayanan Kesehatan... 59
4.1.4. Jenis Penggunaan Pestisida... 60
4.2. Analisis Univariat... 60
4.2.1. Karakteristik responden... 60
4.2.2. Distribusi Responden menurut kelompok pembinaan... 62
4.2.3. Distribusi Responden berdasarkan Pengetahuan... 62
4.2.4. Distribusi Responden berdasarkan Sikap... 62
4.2.5. Distribusi Responden berdasarkan Tindakan... 63
4.2.6. Distribusi responden berdasarkan Kadar Cholinesterase... 63
4.3. Analisis Bivariat... 63
4.3.1. Pengaruh Pembinaan terhadap Perilaku... 63
4.3.2. Pengaruh Perilaku terhadap Kadar Cholinesteraei... 66
4.4. Analisis Multivariat... 69
4.4.1. Pemilihan Variabel Multivariat... 69
4.4.2. Penentuan Variabel yang Dominan... 70
BAB 5 PEMBAHASAN... 72
5.1. Pengaruh Pembinaan terhadap Perilaku... 72
5.1.1. Pengaruh Pembinaan terhadap Pengetahuan... 72
5.1.2. Pengaruh Pembinaan terhadap Sikap... 74
5.1.3. Pengaruh Pembinaan terhadap Tindakan... 76
5.2. Pengaruh Perilaku terhadap kadar Cholinesterase... 77
5.2.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Cholinesterase... 77
5.2.2. Pengaruh Sikap terhadap Kadar Cholinesterase... 80
5.2.3. Pengaruh Tindakan terhadap kadar Cholinesterase... 82
5.3. Keterbatasan penelitian... 84
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 86
6.1. Kesimpulan ... 86
6.2. Saran... 87
DAFTAR PUSTAKA... 88
(14)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Gejala Klinis Tingkat Keracunan dan Prognosisnya... 19
2.2. Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Daya Racunnya... 21
3.1. Besar sampel Petani di Kecamatan Kabanjahe... 47
3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Pengetahuan... 49
3.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Sikap... 50
3.4. Uji Validitas dan Reliabilitas Tindakan... 50
3.5. Uji Validitas dan Reliabilitas Binaan... 51
3.6. Kandungan Cholinesterse dan tingkatannya... …….. 56
4.1. Distribusi Penduduk berdasarkan Desa... …….. 58
4.2. Distribusi Penduduk berdasarkan berdasarkan jenis kelamin... 59
4.3. Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan... …….. 60
4.4. Distribusi Responden menurut Karakteristik... 61
4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan... …….. 62
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap... 62
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan... 63
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kadar Cholinesterase...…….. 63
4.9. Tabulasi silang antara Pembinaan dengan Pengetahuan ... …….. 64
4.10. Tabulasi silang antara Pembinaan dengan Sikap ... 65
(15)
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Reaksi Peningkatan Cholinesterase dengan organophospat... 16 2.2 . Kerangka Konsep... 44
(17)
1. Surat permohonan izin Penelitian ... 89
2. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian ... 92
3. Daftar pertanyaan/Kuisioner ... 97
4. Hasil Uji Statistik ... 105
7. Surat Izin Penelitian dari Sekolah Pascasarjana USU Medan ... 131
8. Surat Keterangan Selesai Melaksanakan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir ... 132
(18)
ABSTRAK
Penggunaan pestisida merupakan salah satu cara untuk mencegah hama pertanian, namun berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Setiap hari petani di Tanah Karo menggunakan pestisida untuk pertanian lebih kurang 10 ton sehingga para petani selalu berpeluang untuk terpapar pestisida. Pihak LSM membantu masyarakat untuk menghindari keracunan pestisida dengan memberikan penyuluhan tentang pengelolaan pestisida kepada petani, namun demikian masih ditemukan petani melakukan penyemprotan tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam panduan sehingga berpeluang untuk menimbulkan keracunan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh binaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap perilaku dan kadar cholinesterase pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo tahun 2010. Jenis penelitian adalah observasi analitik dengan disain cross-sectional. Populasi adalah seluruh petani penyemprot pestisida yang menyemprot pestisida minimal 2 tahun dan berumur minimal 15 tahun. Sampel sebanyak 100 orang yang terdiri dari 50 orang yang dibina LSM dan 50 orang yang tidak dibina. Data diperoleh melalui wawancara dengan memakai kuesioner dan untuk data colinesterase diperoleh melalui pemeriksaan darah serta dianalisis dengan uji regresi logistik ganda pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh binaan LSM terhadap perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) penyemprot pestisida dan ada pengaruh perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) penyemprot pestisida terhadap kadar cholinesterase dalam darah petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo tahun 2010. Pembinaan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat tentang pemakaian pestisida membawa dampak positif bagi petani .
Untuk itu disarankan kepada pihak LSM dalam melakukan penyuluhan atau ceramah tentang pestisida menggunakan berbagai alat seperti LCD, CD, Leaflet. Petani sebaiknya melaksanakan aturan yang dianjurkan oleh pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti yang tertera dalam kotak pestisida untuk mengurangi keracunan pestisida.
(19)
farmers in Tanah Karo use 10 tons of pesticide on their farmlands that it gives them a change to be directly exposed to pesticide. Non Government Organization (NGO) helps the local community to avoid themselves from being poisened.Yet, we still find local farmers do the spraying in an improper way which can likely make the farmers get poisoned.
The objective of this research is to analyze the influence of non government training on the attitude and cholinesterase level in Kabanjahe Sub-district, Tanah Karo district, in 2010 . The research design was analytic observation with cross sectional . The population of this study were all of the farmers which had minimal 15 years old been spraying pesticide for at least 2 (two) years. As 100 farmers were selected to be the sample for this study consisting of 50 farmers who belonged to those been given training and the other farmers those who were not given any training. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviews and the data of cholinesterase were obtained through a blood test. The data obtained were statistically analyzed through logistic regression test at α = 5 %.
The result of this study showed that the education and training given by NGO had an influence on the behavior of the pesticide sprayers (knowledge, attitude, action), and the behavior (knowledge, attitude, action) had an influence on the level of cholinesterase in the farmers in Kabanjahe Sub-district, Tanah Karo district, in 2010. Training by NGO in using pesticide brings positive effect to the farmer.
It is suggested to the NGO to make training by using various tools such as LCD, CD, and leaflet when lecturing on pesticide during the extension. The farmers should obey and apply the training, and also obey the regulations written on the pesticide package.
(20)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pertambahan penduduk yang terus meningkat dari tahun ketahun membutuhkan kebutuhan pangan yang sangat besar. Dalam rangka mencukupi kebutuhan tersebut Indonesia mencanangkan beberapa program dibidang pertanian. Salah satu adalah program Intensifikasi tanaman pangan. Program ini diharapkan produksi pangan meningkat dari luasan lahan yang sudah ada. Program ini tentu ditunjang dengan perbaikan tehnologi pertanian, penggunaan varietas , perbaikan tehnik budidaya yang meliputi pengairan, pemupukan dan pengendalian hama penyakit terus diaktifkan. Awalnya program ini berjalan dengan baik namun lambat laun muncul berbagai masalah seperti munculnya hama. Salah satu cara untuk memecahkan hama ini maka dilakukanlah upaya untuk mematikan hama yaitu pemakaian pestisida (Rini W,2007).
Pestisida merupakan suatu substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Pada umumnya pestisida yang digunakan bukan hanya dalam pertanian saja namun juga diperlukan dalam bidang kesehatan dan rumah tangga yaitu untuk mengendalikan vektor penyakit manusia dan binatang pengganggu kenyamanan lingkungan dalam bidang perumahan terutama untuk pengendalian rayap atau gangguan serangga yang lain. Pestisida tersebut walau
(21)
sangat berguna namun dipihak lain tanpa disadari akan menimbulkan dampak negatif seperti timbulnya keracunan pestisida (Subyiakto S,1990 ) . Pestisida juga digunakan sebagai pilihan utama untuk memberantas organisme, sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah dan hasilnya cepat untuk diketahui. Namun bila aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak pada pengguna, hama sasaran, maupun lingkungan yang sangat berbahaya (Rini W ,2007).
World Health organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 1-5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai 220.000 jiwa. Sekitar 80 % keracunan dilaporkan terjadi di negara sedang berkembang dan sekitar 5000 sampai 10.000 orang pertahun mengalami dampak yang sangat patal seperti kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit lever. Berbagai jenis pestisida terakumulasi ditanah dan air yang berdampak buruk terhadap keseluruhan ekosistem (Achmadi, 1985).
Kejadian keracunan pestisida di Indonesia dari tahun 1996 - 1998 ada 820 kasus dan menyebabkan kematian sebanyak 125 orang sedangkan tahun 1999 - 2001 ada sebanyak 868 kasus dan menyebabkan kematian 134. Sementara itu kejadian keracunan akut karena pestisida dari tahun 2001 sampai tahun 2005 tercatat yang menderita 4867 orang dan yang meninggal sebanyak 3789 orang (Depkes RI, 2007). Penelitian Nurwahyu Sri dkk tahun 2003 menyatakan bahwa sebanyak 15 orang (31,9 %) tenaga kerja bagian formulator granula PT. Bina Guna Kimia Kabupaten Semarang telah mengalami keracunan pestisida. Hasil analisis statistik
(22)
3
dengan Chi Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara status gizi, status kesehatan dan penggunaan alat pelindung diri dengan aktifitas cholinesterase .
Terganggunya aktifitas cholinesterse merupakan dampak adanya kandungan pestisida yang berlebihan. Kadar pestisida melebihi standar dalam tubuh pada umumnya karena perilaku penyemprot pestisida masih kurang baik seperti kurangnya pengetahuan, kurangnya sikap dan tindakan yang tidak benar (Gallo, 1991). Penelitian Nigsti M membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, pendidikan, umur, pemakaian APD , lama pemaparan perminggu, masa kerja ) dengan aktifitas cholinesterase dalam darah (Djojosumarto P, 2008).
Menurut hasil penelitian Soemirat tahun 2003 bahwa tingkat kesehatan penduduk akibat pemaparan organofospat dan karbamat di daerah sentral produksi padi, sayuran, dan bawang merah menurunkan aktifitas cholinesterase kurang dari 4500 UI pada daerah petani di kabupaten Brebes sebanyak 32,53% petani, di Cianjur 43,75 % dan Indramayu 40 % .
Menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes (2003) yang disunting oleh Sulistomo menunjukkan bahwa dari 1775 petani yang diperiksa, hanya 62 (3,5%) perempuan dan hasil didapat 80,6% petani perempuan mengalami keracunan, sedangkan petani laki-laki 32,3%. Tingginya kasus keracunan pada petani perempuan disebabkan petani perempuan kurang dipedulikan atau diperhatikan dibanding petani pria sehingga petani wanita tidak diikutsertakan dalam program-program sosialisasi, pelatihan dan pelayanan kesehatan, yang berkaitan dengan kesehatan kerja dalam bidang pertanian.
(23)
Apabila residu pestisida atau terjadi keracunan pestisida maka akan mengganggu peredaran darah kita karena pestisida ini akan berikatan dengan enzim dalam darah yang berfungsi mengatur kerja syaraf yaitu enzim cholinesterase. Cholinesterase adalah enzim yang berperan menjaga agar otot, kelenjar, dan sel syaraf dalam tubuh bekerja terorganisasi. Apabila enzim cholinesterase tak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubuh maka otot berkontraksi terus menerus tanpa dapat dikendalikan.
Untuk mengurangi keracunan pestisida maka hal teknis yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida adalah ketepatan penentuan dosis, dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan pemborosan pestisida, disamping merusak lingkungan dosis terlalu rendah juga dapat menyebabkan hama sasaran tidak mati disamping berakibat mempercepat timbulnya resistensi (Subyakto S, 1990). Petani juga perlu menggunakan pengaman seperti masker, topi, pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan lain lain. Apabila alat pengaman tersebut tidak digunakan, maka pestisida ini dapat masuk kedalam tubuh melalui kulit, saluran pernapasan dan saluran pencernaan (Rini W,2007).
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pestisida,diantaranya adalah keadaan angin, suhu udara, kelembapan dan curah hujan. Angin yang tenang dan stabil akan mengurangi pelayanan partikel pestisida diudara. Apabila suhu dibagian bawah lebih panas, pestisida akan naik bergerak ke atas. Demikian pula kelembapan yang tinggi akan mempermudah terjadinya hidrolisis partikel pestisida
(24)
5
yang menyebabkan kurangnya daya racun sedangkan curah hujan dapat menyebabkan pencucian pestisida selanjutnya daya kerja pestisida berkurang (Subiyakto S, 1992).
Menurut Krisnamurti, masuknya pestisida dalam darah secara perlahan selama bertahun-tahun tanpa disadari oleh petani. Pada awalnya mereka tidak merasakan adanya gangguan tubuh, padahal dengan kurang optimalnya fungsi enzim cholinesterase akan berdampak pada gangguan pada otot, kelenjar, dan sel syaraf dalam tubuh.
Untuk mengurangi pajanan pestisida terhadap tubuh penyemprot, para petani hendaknya menggunakan pestisida sesuai aturan dan petunjuk yang diberikan baik oleh produsen maupun oleh petugas pembinanya. Novizan, tahun 2002 menganjurkan penggunaan pestisida dengan memperhatikan kaidah kaidah seperti menggunakan alat-alat pelindung diri, menyimpan pestisida dalam wadah aslinya, tidak diperkenankan merokok pada saat menyemprot , tidak menyemprot melawan arah dan lain sebagainya.
Tanah Karo merupakan daerah yang memiliki tanah yang sangat subur. Menurut hasil wawancara dengan salah satu staf dari Dinas Kesehatan bahwa setiap harinya pestisida dipakai untuk pertanian di Tanah Karo lebih kurang 10 ton ,oleh karena itu para petani selalu berpeluang untuk terpapar pestisida.
Hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo terhadap 23 orang petani perempuan penyemprot jeruk di dapat keracunan ringan 5 orang (21,7%) dan 1 orang (4,3%) keracunan sedang(Sulani,1999). Penelitian Anwar (1999), di Desa Bukit dan Desa Sampun Kabanjahe Kabupaten Karo mengatakan
(25)
bahwa aktivitas enzim AChE plasma 93,3% para petani perempuan telah berada di bawah standar yang diperkenankan oleh WHO (<70%). Gejala-gejala mulas dan mata berair selama/setelah penyemprotan dirasakan oleh semua petani. Pusing dirasakan oleh 12 orang petani, 8 orang petani mengeluh haid tidak teratur dan 10 orang pernah mengalami keguguran.
Dalam rangka pengamanan penggunaan pestisida di Kabupaten Karo sejak tahun 2004 telah dilakukan berbagai kegiatan secara intensif yang mengacu pada pedoman pengamanan penggunaan pestisida khusus untuk petani dan operator pestisida yang dikeluarkan oleh Depkes RI tahun 2003. Namun demikian upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah (Dinas Kesehatan Kabupaten Karo) belum memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini terbukti masih tingginya tingkat keracunan pestisida pada petani baik itu petani sayuran maupun petani buah buahan. Hasil penelitian Irna tahun 2005 di Kabanjahe bahwa 83,5 % petani yang diperiksa darahnya mengalami keracunan dan menurut penelitian Milala (2005) bahwa 54,4 % petani melakukan penyemprotan selama 3 – 4 jam sehari dan 51,9 % menyemprot pestisida secara teratur 2-3 kali seminggu.
Gambaran cholinesterse darah penjamah pestisida di Kabupaten Karo berdasarkan hasil laporan kajian faktor resiko Lingkungan dan dampaknya terhadap kesehatan di pertanian Kabupaten Tanah Karo Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 menunjukan bahwa hasil pemeriksaan cholinesterase darah petani laki laki dan perempuan penyemprot dari 60 orang maka jumlah yang tidak keracunan sebanyak
(26)
7
25 orang ( 41,67%), keracunan ringan 21 orang ( 355), sedangkan jumlah keracunan sedang sebanyak 14 orang ( 23,30%).
Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Karo tahun 2008, hasil pemeriksaan cholinestrase tahun 2007 tentang tingkat keracunan pestisida pada petani di 5 Kecamatan Kabupaten Karo bahwa dari 360 petani yang diperiksa bahwa jumlah yang tidak keracunan sebanyak 78 Orang (21,7%) , keracunan ringan sebanyak 234 orang (65,0%), dan keracunan sedang sebanyak 48 orang (13,3%). Dari 360 petani yang diperiksa terdapat 112 petani wanita usia subur dengan tingkat keracunan ringan sebanyak 52 orang .
Penelitian (Erniwati) 2007 di Kecamatan Merek Tanah Karo menunjukkan bahwa keracunan ringan 75%, keracunan sedang 12% keracunan berat 5% dan normal hanya 8%. Sebagian besar responden berumur 17-45 tahun (85%),tingkat pendidikan tamat SD (60). Sebagian besar responden (81,) tahu tentang bahaya pestisida bagi manusia dan lingkungan. Lama kontak sebagian besar 6-15 tahun (60%), frekuensi menyemprot rata rata 5-6 kali perminggu (88,0%) sedangkan sikap dan perilakunya kurang baik saat melakukan penyemprotan.
Mengingat kasus keracunan pestisida di Tanah Karo tetap tinggi maka mulai tahun 2008 pihak LSM (Lembaga Swadaya masyarakat) yang bekerja sama dengan Dinas Pertanian memberikan penyuluhan tentang tata cara penyemprotan pestisida yang benar secara rutin kepada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo .
(27)
Kegiatan Penyuluhan tidak terlepas darin monitoring Dinas Kesehatan, namun demikian walau penyuluhan telah dilakukan pihak LSM secara terkoordinir dan teratur ternyata masih ditemukan prilaku masyarakat yang kurang baik seperti menyemprot pestisida dan mencampur tidak memakai alat pelindung diri (APD) akan tetapi langsung dengan tangan bahkan ada petani yang mencicipi rasa untuk melihat konsentrasi atau campuran pestisida, serta ditemukan petani yang menyemprot sambil merokok seperti halnya yang ditemukan oleh peneliti pada saat survei pendahuluan Desember 2009 di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo.
Memperhatikan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh binaan LSM terhadap perilaku dan kadar cholinesterase pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo.
(28)
9
1.2.Permasalahan
Praktek penggunaan pestisida oleh petani sehari hari tidak memperhatikan aturan yang tertera di label. Seperti halnya yang ditemukan peneliti pada survei awal bahwa beberapa penyemprot tidak mamakai alat pelindung diri dan mencampur pestisida tanpa takaran atau dosis sehingga memungkinkan terganggunya enzim cholinesterase dalam darah. Pada catatan beberapa instansi di Tanah Karo sudah ada upaya dilakukan, namun masih banyak perilaku petani tidak benar dalam penggunaan pestisida. Berdasarkan uraian tersebut maka timbul permasalahan yaitu apakah ada pengaruh binaan LSM terhadap perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) dan kadar cholinesterse pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo Tahun 2010?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh binaan LSM terhadap perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) dan kadar cholinesterase pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo Tahun 2010.
1.4. Hipotesis Penelitian
1.4.1. Ada pengaruh binaan LSM terhadap Perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo Tahun 2010
1.4.2. Ada Pengaruh perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) terhadap kadar cholinesterase pada petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo Tahun 2010.
(29)
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pengarul LSM terhadap perilaku dan pengaruh perilaku terhadap kadar Cholinesterase.
1.5.2. Dapat sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan di LSM Kabanjahe Tanah Karo dalam program pemakaian pestisida.
1.5.3. Dapat menjadi bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.
(30)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Pestisida
2.1.1. Pengertian dan Peranan Pestisida
Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:
1. Memberantas atau mencegah hama 2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan daun yang tidak diinginkan 4. Mengatur atau meransang pertumbuhan daun
5. Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan piaraan 6. Memberantas hama air
7. Memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik dalam rumah tangga 8. Memberantas atau mencegah binatang yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia (Dep.kes,2004)
Pestisida tidak hanya berperan dalam mengendalikan jasad pengganggu dalam bidang pertanian saja, namun juga diperlukan dalam bidang lain seperti kehutanan yaitu untuk pengawetan kayu dan hasil hutan yang lainnya, dalam bidang kesehatan dan rumah tangga untuk mengendalikan vektor dan binatang
(31)
pengganggu kenyamanan lingkungan dalam bidang perumahan terutama untuk pengendalian rayap atau gangguan serangga lain.
Namun demikian, sesuai dengan peran pestisida sebagai racun berbahaya tentu saja dapat mengancam kesehatan manusia. Untuk penggunaan pestisida yang tidak terkendali, jelas akan menimbulkan efek samping bagi kesehatan manusia sumber daya hayati dan lingkungan pada umumnya (Sudarmo,1995). Dalam konsep pengendalian terpadu hama, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian. Prinsip penggunaannya sebagai berikut:
1. Harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain 2. Efisien untuk mengendalikan hama tertentu
3. Meniggalkan residu dalam waktu yang tidak diperlukan 4. Tidak boleh persisten
5. Dalam perdagangan harus memenuhi persyaratan keamanan dan kenyamaan 6. Harus aman bagi lingkungan fisik dan biota
7. Relatif aman bagi pemakai
8. Harga terjangkau oleh petani` 2.1.2 Penggolongan Pestisida
Berdasarkan atas kepentingan dapat digolongkan berdasarkan sifatnya, berdasarkan sasarannya, berdasarkan cara kerjanya atau efek keracunannya dan berdasarkan struktur kimianya (Soemirat,2003) .
(32)
13
1. Berdasarkan atas sifat pestisida dapat digolongkan menjadi : a) Bentuk padat
b) Bentuk cair
c) Bentuk gas (fumigan) d) Bentuk asap ( aerosol)
2. Berdasarkan atas sasarannya dapat digolongkan menjadi sebagai berikut : a) Insektisida : sasarannya adalah serangga
b) Herbisida : sasarannya adalah tanaman pengganggu (gulma) c) Rodensia : sasarannya adalah tikus
d) Fungisida : sasarannya adalah cendawan atau jamur e) Molusida : sasarannya adalah siput
f) Arkarisida : sasarannya adalah caplak g) Bakterisida : sasarannya adalah bakteri
3. Berdasarkan atas cara kerjanya atau efek keracunannya dapat digolongkan sebagai berikut:
a) Racun perut : membunuh sasarannya bila pestisida tersebut termakan oleh hewan yang bersangkutan
b) Racun kontak : adalah membunuh sasarannya bila pestisida mengenai kulit hewan sasarannya
c) Fumigan : adalah senyawa kimia yang membunuh sasarannya melalui saluran pernapasan
(33)
d) Racun sistemik : pestisida dapat diisap oleh tanaman, tetapi tidak merugikan tanaman itu sendiri di dalam batas waktu tertentu dapat membunuh serangga yang menghisap atau memakan tanaman tersebut.
4. Berdasarkan struktur kimianya pestisida dapat digolongkan menjadi: a) Golongan Organoklorin
b) Golongan Organofosfat c) Golongan Karbamat
Selanjutnya dalam penelitian ini istilah yang dipilih untuk digunakan adalah pestisida golongan organofosfat dan karbamat yang khusus digunakan sehubungan dengan pemeliharaan dan perlindungan tanaman.
Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat. Pestisida ini umumnya merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, cicak dan mamalia. Bahan aktif organofosfat sudah dilarang beredar di Indonesia seperti diazinon, fention, fenitrotion, fentoat, klorfirifos, kuinalfos dan malation. Pestisida ini mempunyai efek, memblokade penyaluran impuls syaraf dengan cara mengikat enzim asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi penumpukan asetilkolin sehingga terjadi peningkatan aktivitas syaraf dengan gejala mulai dari sakit kepala hingga kejang-kejang otot dan kelumpuhan (Rini W,2007) .
Karbamat, kelompok ini merupakan ester asam N-metilkarbamat, namun menghambat asetilkolinesterase. Pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak
(34)
15
berlangsung lama, karena prosesnya cepat reversibel. Kalau timbul gejala, gejala itu tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Pestisida kelompok ini dapat bertahan dalam tubuh antara 1 sampai 24 jam sehingga cepat diekskresikan.
Organoclorin, beberapa bahan aktif dari golongan organoclorin juga dilarang penggunaannya seperti dieldrin,endosulfan,dan clordan. Nama formulasi yang beredar di Indonesia adalah herbisida garlon 480 EC dan fungisida Akofol 50 WP. Golongan ini dapat mengakibatkan sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang dan kesadaran hilang (Rini,2007).
2.1.3 Dampak Pestisida terhadap Kesehatan
Pestisida masuk ke dalam tubuh melalui kulit, absorpsi melalui kulit berlangsung terus selama pestisida masih ada di kulit, melalui mulut (tertelan) karena kecelakaan, kecerobohan atau sengaja (bunuh diri) akan mengakibatkan keracunan berat hingga kematian, melalui pernapasan dapat berupa bubuk, droplet atau uap dapat menyebabkan kerusakan serius pada hidung, melalui tenggorokan jika terhisap cukup banyak. Kemudian melalui peredaran darah akhirnya dapat masuk ke organ-organ tubuh secara sistematik. Organ-organ-organ tubuh yang biasanya terkena racun adalah paru-paru, hati (hepar), susunan saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang), sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan saraf tepi, dan darah. Efek racun pada tubuh juga akan memberikan efek lokal seperti iritasi, reaksi alergi, dermatitis, ulcus, acne, dan gejala lain (Ekti, 2007).
(35)
Pestisida meracuni tubuh manusia dengan mekanisme kerja sebagai berikut : a. Mempengaruhi kerja enzim/hormon. Enzim dan hormon terdiri dari protein
komplek yang dalam kerjanya perlu adanya activator yang biasanya berupa vitamin. Bahan racun yang masuk ke dalam tubuh dapat menonaktifkan activator sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja atau langsung non aktif. Pestisida masuk dan bereaksi dengan sel sehingga akan menghambat atau mempengaruhi kerja sel, contohnya gas CO menghambat haemoglobin dalam mengikat atau membawa oksigen.
b. Merusak jaringan sehingga timbul histamine dan serotonine. Ini akan menimbulkan reaksi alergi , juga kadang-kadang akan terjadi senyawa baru yang lebih beracun.
c. Fungsi detoksikasi hati (hepar). Pestisida yang masuk ke tubuh akan mengalami proses detoksikasi (dinetralisasi) di dalam hati oleh fungsi hati (hepar). Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya tidak lagi beracun terhadap tubuh
Umumnya yang mengganggu enzim cholinesterase adalah pestisida organophospat dan carbamat. Pestisida golongan organofosfat dan karbamat memiliki aktivitas antikolinesterase seperti halnya fisostigmin, neostigmin, piridostigmin, distigmin, ester asam fosfat, ester tiofosfat dan karbamat (Mutschler, 1991).
Acethylcholin (Ach) adalah suatu neuro hormon yang terdapat diantara ujung-ujung saraf dan otot serta kelenjer. Sebagai Chemical mediated yang berfungsi
(36)
17
meneruskan ransangan saraf (impuls ke reseptor sel otot dan kelenjer) setelah ransangan saraf diseberangkan oleh acetylcholine dipecah menjadi cholin dan asam asetat oleh enzim cholinesterase.
Masuknya organophospat kedalam tubuh, maka enzim cholinesterase yang
tadinya berfungsi mengikat acetylcholin dan selanjutnya memecah menjadi
cholin dan ion asetat, berubah fungsi mengikat organhoposphat membentuk phosphorilated cholinesterase. Reaksinya adalah:
Hidrolisa
Asetilkolin Kolin + Asam asetat Cholinesterase
(Pestisida golongan organophosphat)
Gambar 2.1. Reaksi Pengikatan Kolinesterase Dengan Organofosfat
Apabila rangsangan ini berlangsung terus menerus menyebabkan penimbunan asetilkolin. Cholinesterase yang terdapat di berbagai jaringan dan cairan tubuh dapat menghentikan rangsangan yang ditimbulkan asetilkolin di berbagai tempat dengan jalan menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat dalam waktu sangat cepat, sehingga penimbunan aseticholin tidak terjadi. Organofosfat merupakan pestisida yang sangat berbahaya karena ikatan pestisida organofosfat dan cholinesterase hampir bersifat irreversibel (Mutschler, 1994).
(37)
Hambatan ini dapat terjadi beberapa jam hingga beberapa minggu tergantung dari jenis antikolinesterasenya. Hambatan oleh turunan karbamat hanya bekerja beberapa jam dan bersifat reversibel. Hambatan yang bersifat irreversibel dapat disebabkan oleh turunan ester asam fosfat yang dapat merusak kolinesterase dan perbaikan baru timbul setelah tubuh mensintesis kembali kolinesterase ( Mutschler, 1994).
Jika aktifitas Asetilcholinesterase turun atau berkurang karena adanya
pestisida dalam darah akan membentuk senyawa Phosphorilated cholineserase,
sehingga enzim tersebut tidak dapat berfungsi lagi. Aktifitas asetilkolinesterse
dalam darah seseorang yang diuji dinyatakan sebagai persentase dari aktifitas enzim Asetilkolinesterase dalam darah normal. Berdasarkan hasil pembacaan
yang didapat ,diperoleh tingkat keracunan yitu ‐ 5% keracunan berat, 5 – 5 % keracunan sedang, 5 – 75 % keracunan ringan , 75 ‐ % normal
Munaf, 997 .
Selain dari pestisida , ternyata umur dan status gizi juga berpengaruh terhadap kadar cholinesterase. Bayi yang baru lahir dan anak anak serta orang tua( diatas 70 tahun) jika terpajan pestisida maka cholinesterasenya lebih cepat menurun bila dibandingkan dengan orang dewasa. Hasil penelitian yang dilakukan Achmadi tahun 1983 menyatakan ada hubungan antara cholinesterase dengan umur untuk jenis kelamin laki-laki, dimana yang berumur tua kadar cholinesterasenya cendrung lebih rendah.
(38)
19
2.1.4. Gejala Keracunan Pestisida
Gejala keracunan khususnya pestisida dari golongan organofosfat dan karbamat tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai gejala penyakit biasa seperti : pusing, mual dan lemah. Gejala klinik baru akan timbul bila aktifitas cholinestrase 50 % dari normal atau lebih rendah (Gallo.M.A,1991).
Tabel. 2.1. Gejala Klinis Tingkatan Keracunan dan Prognosisnya
Aktivitas AchE (%)
Tingkatan Keracunan
Gejala Klinis Prognosis
50 – 75 Ringan Lemah, sakit kepala, pening, mau muntah, berliur banyak, mata berair, miosis, detak jantung cepat
Sadar dalam waktu 1-3 hari
25 – 50 Sedang Lelah mendadak, penglihatan berkurang, berliur banyak, berkeringat, muntah, diare, sukar bernafas, hipertonia, tremor pada tangan dan kepala, mosis, nyeri dada, sianosis pada membrane mucosa
Sadar dalam waktu 1-2 minggu
0 – 25 Berat Tremor mendadak, kejang-kejang, otot tak dapat digerakkan, intendif sianosis, pembengkakan paru, koma.
Kematian
karena gagal pernapasan dan gagal jantung
(39)
2.1.5.Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida
Keracunan terjadi bila ada bahan pestisida yang mengenai dan/atau masuk kedalam tubuh dalam jumlah tertentu. Ada beberapa faktor pestisida yang dapat mempengaruhi keracunan antara lain :
1. Jenis pestisida
Pestisida yang persisten tinggal lebih lama pada tanaman dibandingkan yang tidak persisten. Pestisida yang sistemik lebih lama tinggal dari pada yang non sistemik .Pestisida yang mudah didegredasi dilingkungan akan kurang menimbulkan residu dibandingkan pestisida yang lebih persisten. Hasil degredasi pestisida bisa saja menjadi bahan kimia yang berbahaya meskipun umumnya tidak. 2. Tehnik aplikasi/penggunaan pestisida
Tehnik aplikasi atau menyemprot pestisida mempengaruhi tingkat keracunan pestisida.
3. Iklim dan cuaca
Suhu udara sangat mempengaruhi residu pestisida. Didaerah beriklim panas degredasi pestisida lebih cepat dibandingkan daerah beriklim sedang. Banyaknya curah hujan juga mempengaruhi residu pestisida pada tanaman.
4. Dosis Pestisida
Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida untuk penyemprotan petani
(40)
21
hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk mengendalikan hama tiap satuan luas tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Dosis bahan aktif adalah jumlah bahan aktif pestisida yang dibutuhkan untuk keperluan satuan luas atau satuan volume larutan. 5. Toksisitas senyawa pestisida.
Semua pestisida toksik. Perbedaan toksisitas adalah pada derajat atau tingkat toksisitas. Tingkat bahaya atau toksisitas pestisida ini dinyatakan dengan Letal Dosisi 50 (LD 50 ) atau Letal Consentrasi 50 (LC 50), makin rendah dosis LD 50/LC 50 makin toksis pestisida tersebut. LD 50 merupakan dosis pestisida yang mengakibatkan 50% binatang percobaan mati. Sedangkan LC 50 merupakan konsentrasi pestisida di udara yang menyebabkan 50% binatang percobaan mati. Berdasarkan nilai toksik atau tingkat bahayanya maka pestisida digolongkan dalam beberapa golongan. Menurut WHO dalam Short, 1994 dapat dikelompokkan empat jenis pestisida berdasarkan risiko yang ditimbulkannya seperti pada tabel berikut.
(41)
Tabel 2.2. Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Daya Racunnya. LD50 untuk tikus (mg/kg)
Oral Dermal
Klasifikasi
Padat Cair Padat Cair
I. a. Sangat
berbahaya sekali b. Sangat berbahaya
<5 5-50 <20 20-200 <10 10-100 <40 40-400 II. Berbahaya 50-500 200-2000 100-1000 400-4000 III. Cukup berbahaya >500 >2000 >1000 >4000 Short,1994
6. Frekuensi penyemprotan.
Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputus-putus pada waktu yang sama. Jadi pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko pemaparan baru. Karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. Telah dibuktikan bahwa penggunaan pestisida secara berlama – lama untuk pertanian dapat menyebabkan kanker seperti non Hodgkin’s lymphoma (Weisenburger, 1990 )
Pemaparan pestisida pada tubuh manusia dengan frekuensi yang sering dan dengan interval waktu yang pendek menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi lebih tinggi . Secara tidak langsung kegiatan petani yang mengurangi frekuensi penyemprot dapat mengurangi terpaparnya petani tersebut oleh pestisida.
Hasil penelitian Praptini, dkk (2002) tentang faktor faktor yang berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida pada tenaga kerja teknis pestisida di kota Semarang menyimpulkan bahwa rata rata angka kejadian keracunan pestisida sebesar
(42)
23
69,91 %, sehingga disarankan bagi tenaga kerja melakukan penyemprotan tidak lebih 2 kali seminggu .
7. Jalan masuk pestisida ke dalam tubuh
Pestisida dapat masuk melalui kulit, mulut dan pernafasan. Keracunan pestisida terjadi bila ada bahan pestisida yang mengenai dan/atau masuk ke dalam tubuh d alam jumlah tertentu. Keracunan akut atau kronis akibat kontak dengan pestisida dapat melalui mulut, penyerapan melalui kulit dan melalui saluran pernafasan. Petani pengguna pestisida keracunan yang terjadi lebih banyak terpapar melalui kulit dibandingkan dengan paparan melalui saluran pencernaan dan pernafasan, (Sastroutomo, 1992 ).
8. Waktu penyemprotan
Waktu yang paling baik untuk penyemprotan pestisida adalah pada waktu terjadi aliran udara naik yaitu antara 08.00 – 11.00 WIB atau sore hari pukul 15.00 -18.00 WIB (Rini W,2007).
9. Tempat penyimpanan
Setiap barang yang akan dimasukan dalam gudang pestisida terlebih dahulu melalui pemeriksaan barang agar dapat disimpan secara tepat dan aman. Dilarang menyimpan bahan makanan, tekstil/pakaian dan barang barang lain dalam satu ruangan dengan pestisida. Setiap pestisida tidak boleh diletakkan secara langsung dilantai melainkan harus memakai rak. Cara meletakakn diatas rak harus diatur
(43)
sedemikian rupa sehingga memudahkan pemeriksaan dan stok lama selalu dapat dikeluarkan lebih dahulu (Depkes RI,1994).
10. Faktor Lingkungan
Lingkungan berperan dalam mempengaruhi keracunan pestisida. Beberapa faktor lingkungan yang berperan antara lain :
a. Tempratur
Tempratur yang aman dalam menyemprot pestisida pada 24 ° - 30 °C dan waktu penyemprotan pagi hari antara pukul 06.00 - 08.00 dan sore pukul 16.00 – 18.00. Jika suhu lingkungan tinggi akan mempermudah penyerapan pestisida ke dalam tubuh melalui kulit.
b. Arah angin dan kecepatan angin
Arah angin dan kecepatan angin penting diperhatikan pada saat penyemprotan. Apabila penyemprotan dilakukan pada saat kecepatan angin tinggi dan melawan arah angin, justru yang terjadi pestisida akan lebih banyak terpapar saat menyemprot, sehingga pestisida masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan dan kulit.
11. Perilaku Kesehatan
Kebiasaan memakai alat pelindung diri pada waktu bekerja dengan organophosphat dan carbamat (aplikasi, penyemprotan) dan penangan pestisida akan mempengaruhi tingkat pemaparan. Tingkat pengetahuan , sikap, dan perilaku petani mengenai bahaya pestisida akan mempengaruhi kesediaan petani untuk memakai
(44)
25
Alat Pelindung Diri, serta melakukan penangan serta pengelolaan pestisida dengan baik (Achmadi, 1983)
Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang pada dasarnya menyangkut dua aspek utama, yaitu fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, dan non-fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan individu maupun masyarakat.
Perilaku merupakan keadaan dalam diri manusia yang menggerakkannya untuk bertindak, menyertai manusia dengan perasaan-perasaan tertentu dalam menanggapi objek dan terbentuk atas dasar pengalaman-pengalaman. Sikap merupakan tenaga pendorong (motif) dari seseorang untuk timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku. Sikap pada seseorang akan menentukan warna atau corak pada tingkah laku orang orang tersebut. Dengan mengetahui sikap seseorang maka akan dapat diduga respon atau perilaku yang akan diambil oleh seseorang terhadap masalah keadaan yang dihadapkan padanya.
Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat
(45)
dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan, dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Becker dalam Notoatmodjo (2005) membedakan perilaku kesehatan sebagai berikut:
1) Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, antara lain makan dengan menu seimbang, melakukan kegiatan fisik secara teratur dan cukup, tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba, istirahat yang cukup, mengatasi atau mengendalikan stres dan memelihara gaya hidup positif untuk kesehatan.
2) Perilaku sakit (Illness behavior).
Perilaku sakit adalah bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan. Faktor pencetus perilaku sakit adalah faktor persepsi dipengaruhi oleh medis dan sosial budaya, intensitas gejala (menghilang atau terus menetap gejala), motivasi individu untuk mengatasi gejala dan sosial psikologis yang mempengaruhi respon sakit.
3). Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior). Orang sakit yang kondisinya lemah perlu bantuan orang lain, keluarga dan
(46)
27
ini dapat dimintakan dari dokter, perawat, petugas kesehatan lainnya, dukun dan sinse. Untuk mencapai kesembuhan maka harus minum obat sesuai dengan anjuran dokter, periksa laboratorium, diet makanan dan lain-lain. Penyebab kegagalan untuk mencapai kesembuhan adalah karena lupa makan obat, jarak pelayanan kesehatan jauh, sulitnya transportasi, pengetahuan yang rendah, tidak mengindahkan nasehat dokter, ekonomi keluarga yang sulit, sosial budaya masyarakat dan minimnya informasi kesehatan ( Notoatmodjo, 2005).
Notoatmodjo (2005) berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari:
1) Pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yang sebagian besar diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
(47)
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Notoatmodjo (2005) mengungkapkan pendapat Rogers bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.
c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana subyek telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2) Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi yang diberikan (attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang, tidak senang, setuju dan tidak setuju, baik dan tidak baik).
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan
(48)
29
suatu perilaku. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan antara lain:
a. Menerima (Receiving) diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap pestisida dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang pestisida.
b. Merespon (Responding) diartikan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (Valuing) diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang petani yang mengajak petani lain untuk menggunakan alat pelindung diri pada saat kontak dengan pestisida agar terhindar dari paparan pestisida, atau mendiskusikan bagaimana mencari pengobatan keracunan pestisida adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap pencegahan dan pengobatan keracunan pestisida bagi keluarga atau masyarakat sekitarnya. d. Bertanggung jawab (Resposible) diartikan bertanggung jawab atas sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko dan merupakan sikap yang paling tinggi, misalnya seseorang mau menjadi tenaga penyuluh pestisida desa secara sukarela, meskipun mendapat tantangan dari keluarganya.
3) Praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice)
(49)
Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Agar sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor-faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, dukungan (support) pihak lain dan lain-lain. Praktek atau tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yakni:
a. Persepsi (Perception), mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (Guided response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang petani dapat menggunakan pestisida dengan benar, mulai dari dosis, cara penggunaan, dan sebagainya.
c. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.
d. Adaptasi (Adaptation) adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, dan sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahui itu. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh
(50)
31
lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian, di dalam kenyataan stimulus yang diterima subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.
b) Teori Lawrence Green.
Menurut model perubahan perilaku dari Lawrence Green dan M. Kreuter (2005), faktor-faktor penentu atau mempengaruhi perubahan perilaku dibagi atas tiga kategori yaitu :
1) Faktor predisposisi (predisposing factors) merupakan faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat. Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial.
2) Faktor pendukung (enabling factors) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor ini meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya.
3) Faktor penguat (reinforcing factors), faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku sehat diperlukan perilaku petugas kesehatan
(51)
dan dari tokoh masyarakat seperti lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan perundang-undangan yang memperkuat .
Dari teori L.Green (2005) diketahui bahwa salah satu cara untuk mengubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi yaitu mengubah pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap masalah kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2003) perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap yaitu :
1) Pengetahuan
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi : penyebab penyakit, gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, kemana mencari pengobatan, bagaimana cara penularan, bagaimana cara pencegahan dan sebagainya.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan.
2) Sikap
Indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan yakni:
(52)
33
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan penyakit dan sebagainya.
b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat yaitu penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan cara-cara berperilaku hidup sehat. c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan yaitu pendapat atau penilaian seseorang
terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. 3) Praktek atau Tindakan (practice)
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapi. Inilah yang disebut praktek kesehatan atau perilaku kesehatan.
Indikator praktek kesehatan ini terdiri dari :
a. Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit yang mencakup:
1. Pencegahan penyakit, misalnya memakai alat pelindung diri pada saat melakukan penyemprotan pestisida
2. Penyembuhan penyakit, misalnya meningkatkan status gizi dan tidak kontak dengan pestisida sesuai dengan waktu yang ditetapkan
b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang mencakup antara lain : secara berkala memeriksa kesehatan (pemeriksaan cholinesterase darah)
(53)
c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan, antara lain : tidak membiarkan lingkungan tercemar oleh pestisida dengan cara penggunaan pestisida yang benar dan bijaksana sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
2.1.6. Diagnosa Keracunan Pestisida
Diagnosa keracunan pestisida yang tepat harus dilakukan lewat proses medis baku, yang kebanyakan harus dilakukan di laboratorium. Untuk pestisida yang bekerja dengan menghambat enzim kolinestrase (misalnya pestisida dari kelompok organofosfat dan karbamat), diagnosa gejala keracunan dapat dilakukan dengan uji (test) cholinestrase. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di luar laboratorium dengan cara tintometer. Umumnya gejala keracunan organofosfat atau karbamat baru akan dilihat jira aktivitas cholinestrase darah menurun sampai 30%. Namun penurunan sampai 50 % pada pengguna pestisida diambil sebagai batas, dan disarankan agar penderita menghentikan pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida. (Djojosumarto,2001)
2.1.7. Pencegahan dan Penanggulangan Keracunan Pestisida 2.1.7.1. Pencegahan Keracunan Pestisida
Setiap orang yang dalam pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida seperti petani penyemprot atau petugas penyemprot, harus mengenali dengan baik gejala dan tanda keracunan pestisida. Tindakan pencegahan lebih baik dilakukan untuk menghindari keracunan. Sebagai upaya pencegahan terjadinya keracunan
(54)
35
pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut (Depkes RI,2007). a. Membaca semua instruksi dan pengarahan yang ada pada label pestisida,
b. Menjaga kemasan pestisida selalu tertutup, menyimpan pestisida dalam wadah aslinya, tidak memindahkan pestisida dalam wadah yang lain,
c. Menyimpan pestisida pada tempat yang kering dan mempunyai ventilasi, d. Tidak diperkenankan merokok, makan dan minum selama menangani pestisida, e. Tidak membuka kemasan dengan cara memaksa atau mencongkel, jangan
membuka alat semprot bocor,
f. Menggunakan alat pelindung diri pada saat menangani pestisida, g. Tidak menyemprot pestisida pada tanaman yang akan dipanen, h. Hindari jatuhnya pestisida ke dalam air, danau, atau sumur,
i. Tidak melakukan penyemprotan jika suhu lebih tinggi dari 35 derajat Celcius, j. Tidak menyemprot melawan arah angin,
k. Tidak meniup nozel yang tersumbat, larang dan cegah anak-anak untuk menyemprot pestisida,
l. Tidak menggunakan wadah bekas pestisida sebagai tempat bahan yang lain m. Kenali gejala dan tanda keracunan pestisida dari pestisida yang sering
digunakan atau yang mungkin terpapar dengannya.
n. Jika diduga terjadi keracunan pestisida, korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat .
(55)
o. Identifikasi pestisida yang memapari korban, berikan informasi ini pada rumah sakit atau dokter yang menangani korban
p. Bawa label kemasan pestisida tersebut. Pada label tertulis informasi pertolongan pertama penanganan korban.
q. Tindakan darurat dapat dilakukan sampai pertolongan datang atau korban dibawa ke rumah sakit. Tindakan darurat atau pertolongan pertama tertulis pada label.
Sedangkan pertolongan pertama yang dilakukan adalah :
a. Hentikan paparan dengan memindahkan korban dari sumber paparan, lepaskan pakaian korban dan cuci/mandikan korban
b. Jika terjadi kesulitan pernafasan maka korban diberi pernafasan buatan. Korban diintruksikan agar tetap tenang. Dampak serius tidak terjadi segera, ada waktu untuk menolong korban
c. Korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat . Berikan informasi tentang pestisida yang memapari korban dengan membawa label kemasan pestisida.
d. Keluarga seharusnya diberi pengetahuan/penyuluhan tentang pestisida sehingga jika terjadi keracunan maka keluarga dapat memberikan pertolongan pertama
2.1.7.2. Penatalaksanaan Keracunan Pestisida
Penatalaksanaan keracunan pestisida penting dilakukan untuk kasus keracunan akut dengan tujuan menyelamatkan penderita dari kematian yang
(56)
37
disebabkan oleh keracunan akut. Adapun penatalaksanaan keracunan pestisida ádalah sebagai berikut: (Depkes RI, 1992)
a. Organofosfat, bila penderita tak bernapas segera beri napas buatan, bila racun ditelan lakukan pencucian lambung, bila kontaminasi dari kulit, cuci dengan sabun dan air dan bila terkena mata segera lakukan pencucian dengan air bersih selama 15 menit. Bila ada berikan antidot pralidoxime (Contrathion). Pengobatan keracunan organophosphat harus cepat dilakukan. Bila dilakukan terlambat dalam beberapa menit akan dapat menyebabkan kematian. Diagnosis keracunan dilakukan berdasarkan terjadinya gejala penyakit dan sejarah kejadiannya yang saling berhubungan. Pada keracunan yang berat , pseudokholinesterase dan aktifitas erytrocyt kholinesterase harus diukur dan bila kandungannya jauh dibawah normal, keracunan mesti terjadi dan gejala segera timbul. Beri atropin 2 mg iv/sc tiap sepuluh menit sampai terlihat atropinisasi yaitu : muka kemerahan, pupil dilatasi, denyut nadi meningkat sampai 140. Ulangi pemberian atropin bila gejala-gejala keracunan timbul kembali. Awasi penderita selama 48 jam dimana diharapkan sudah ada recovery yang komplit dan gejala tidak timbul kembali. Kejang dapat diatasi dengan pemberian diazepam 5 mg ,jangan berikan barbiturat atau sedativ yang lain.
b. Carbamat. Penderita yang gelisah harus ditenangkan, re-covery akan terjadi dengan cepat. Bila keracunan hebat, beriatropin 2 mg oral/ dosis tunggal dan tak perlu diberikan obat-obat lain.
(57)
Ada empat langkah dalam pemeriksaan cholisnesterase darah dengan cara tintometer test sebagai berikut;
2.1.8.1. Uji Reagensia
a Ambil satu test tube dan isikan kedalamnya 0,5 Cc larutan indikator dan segera tutup kembali tabung tersebut.
b Selanjutnya ambil 0,01 Cc darah dari kelompok kontrol (orang yang diperkirakan normal). Dan tambahkan darah ke indikator dalam tabung yang ke dua ,lalu kocok pelan-pelan jangan sampai berbuih.
c Tambahkan pada campuran tersebut 0,5 Cc larutan substrat.
d Ratakan campuran tersebut dengan jalan mengocok secara perlahan -lahan e Pindahkan larutan tersebut pada kurvet dan tempatkan pada sebelah kanan
komperator.
f Putar disk dari komparator sampai didapatkan warna yang sama antara warna sebelah kanan dan sebelah kiri komperator lalu baca hasilnya.
2.1.8.2. Pengambilan sampel darah.
a. Siapkan kuvet 2,5 Cc dan dimasukkan ke dalamnya sampel darah dari kelompok kontrol dengan menambahkan 0,01 Cc darah pada 1 Cc aguadest dalam kuvet dan tempatkan kuvet ini di kiri dari komparator.
b. Satu tabung reaksi bulat lengkap dengan sumbat karetnya untuk kontrol dan disiapkan untuk setiap orang yang akan diuji cholinesterasi lalu tempatkan dalam rak yang tersedia.
(58)
39
c. Setiap tabung dimasukkan 0,5 Cc larutan indikator dan segera tutup dengan sumbat karetnya.
d. Dari setiap orang yang akan diperiksa ambil sampel darah sebanyak 0,01 Cc dan masukkan kedalalm tabung reaksi . Bilaslah pipet tersebut dengan larutan indikator 2 - 3 kali dengan perlahan-lahan
e. Catat temperatur ruangan yang digunakan
2.1.8.3. Penambahaan larutan substrat
Tambahkan 0,5 Cc larutan substrat kedalam tabung kontrol . Catat waktu pada saat menambahkan larutan substrat tersebut (yaitu waktu 0,00/time zero). Secepatnya pindahkan pindahkan campuran larutan tersebut kedalam kuvet 2,5 Mm dan perhatikan warnanya dalam komperator dan catat hasilnya.
2.1.8.4. Perbandingan warna
Secara berkala periksalah warna dari sampel”kontrol” yang ada dalam komperator dan tunggu sampai campuran dalam cupet mencapai 100% warna aktif. Segera setelah warna 100% dicapai dicatat waktu yang dibutuhkan. Seanjutnya buanglah campuran dalam cuvet, setiap jarak satu menit pindahkan isi tabung berikutnya kedalam cupet. Masukkan cupet yang telah berisi kedalam ruangan sebelah kanan komperator. Dengan menghadap kearah sianar matahari, putar disk sehingga diperoleh warna yang sama, lalu catat hasilnya.
(59)
2.2.Program Kerja LSM
LSM adalah sebuah lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang bersifat independen, yang diresmikan oleh John F.Kennedy, sebagai bagian dari Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri tahun 1961. isinya adalah mengelola bantuan kemanusiaan dan ekonomi bagi negara-negara asing. Lembaga ini memberikan bantuan kemanusiaan berupa bahan makanan dan barang-barang lain, termasuk bantuan bagi korban bencana alam. Lembaga ini juga memberikan bantuan untuk program pemeliharaan kesehatan, seperti vaksinasi, imunisasi, perlindungan dari AIDS, gizi untuk ibu dan anak, dan pelayanan program Keluarga Berencana.
LSM juga mempromosikan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan kemampuan dan sumber daya yang ada di tingkat lokal. LSM mendukung pembangunan yang berwawasan lingkungan, dan mencegah timbulnya berbagai masalah sebagai akibat dari polusi udara, penebangan hutan, pemanasan global, polusi air tanah, dan pembuangan limbah ke laut, pencegahan masalah pertanian seperti keracunan pestisida.
LSM beraktifitas di Tanah Karo sejak tahun 2008 yang bekerja sama dengan Dinas Pertanian Kabanjahe. Adapun kegiatan dari LSM tersebut ádalah mengadakan kegiatan penyuluhan atau pembinaan secara langsung kelapangan untuk memperhatikan penyemprotan pestisida. Pembinaan kelompok tersebut memberikan
(60)
41
materi tentang penggunaan pestisida secara benar dan baik. Kegiatan pembinaan dibentuk dalam kelompok yang jumlahnya masing masing 35-40 orang. Adapun program program LSM tersebut sebagai berikut (Usaha B,2009).
a. Penggunaan obat pestisida b. Praktek pengukuran tanah, c. Pemakaian APD
d. Waktu penyemprotan e. Dampak pestisida f. Evaluasi
g. Cara penyimpanan h. Frekuensi penyemprotan i. Cara pencampuran dosis
Dalam pemakaian pestisida yang benar dan tepat pihak penyuluh menekankan 5 T (lima tepat) yaitu:
a. Tepat waktu
Bahwa pestisida disemprot sebaiknya tepat waktu yaitu pukul 08.00 -11.00 atau pukul 15.00 – 18.00 sehingga mengurangi dampak negatif kepada penyemprot sendiri. b. Tepat jenis
Uuntuk mempergunakan pestisida harus sesuai jenis dari pestisida itu sendiri karena penggunaan organophospat dan karbamat berbeda . Penggunaan jenis tergantung
(61)
pada fungsi dan sasaran dari pada pestisida itu sendiri dengan tidak mengabaikan resisten terhadap lingkungan
c. Tepat sasaran
Dalam mempergunakan pestisida akan lebih efektif dan efisien apabila di sesuaikan dengan sasaran seperti Herbisida untuk daun, fungisida untuk jamur dan lain sebagainya.
a. Tepat Dosis
Dosis akan mempengaruhi kesuburan tanaman atau sasaran. Besarnya satuan dosis pestisida biasanya tercantum dalam label pestisida.(Subyakto S,1992).
E. Tepat Cara`
Cara yang baik untuk mengaplikasikan pestisida harus disesuaikan dengan arah angin dan memakai APD. Sebaiknya dihindari menyemprot pestisida yang lebih tinggi dari badan penyemprot.
2.3. Landasan Teori
Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kerentanan kelompok/populasi terhadap pestisida diantaranya faktor pencampuran dosis, Frekuensi penyemprotan, waktu penyemprotan cara penyemprotan ,usia, jenis kelamin, pendidikan, perilaku .
Perilaku petani meliputi pengetahuan , sikap dan tindakan. Perilaku yang baik akan lebih bersifat langgeng bila didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap
(62)
43
positif. Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku tersebut tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo S, 2003). Perilaku dalam penyemprotan pestisida tentu dipengaruhi oleh mekanisme kerja yang diterima petani pada saat penyuluhan misalnya penyuluhan atau binaan yang diberikan oleh LSM setiap bulannya.
Pemaparan pestisida yang berlebihan dalam tubuh penyemprot akan mempengaruhi kerja enzym cholinesterase darah. Penurunan kadar enzim ini dapat dikategorikan dalam empat kelompok yaitu normal (75 - 100%), keracunan ringan (50 – 75 %, keracunan sedang (25 –50 %) dan keracunan berat (0 – 25 %).
2.4. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori di atas maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :
(63)
Binaan
Tidak Dibina
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
- Waktu penyemprotan - Arah angin
- Pemakaian APD - Pencampuran dosis - Frekuensi penyemprotan - Lama penyemprotan - Cara penyimpanan - Dampak pestisida
Perilaku -Pengetahuan -Sikap - Tindakan
Kadar Colinesterase
- Umur - Status
Gizi -waktu penyemprotan
-Arah angin - Pemakaian APD - Frekuensi penyemprotan - Pencampuran dosis - Lama penyemprotan -Cara Penyimpanan - Dampak pestisida
(64)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survei dengan desain crossectional yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh binaan LSM terhadap perilaku dan kadar cholinesterase petani di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Tanah Karo Tahun 2010.
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kabanjahe. Penelitian ini dimulai bulan Desember 2009 sampai Juli 2010 termasuk dari penelusuran, konsultasi judul, persiapan proposal, seminar proposal, melaksanakan penelitian, seminar hasil penelitian dan ujian komprihensi . Alasan ditempat tersebut karena daerah tersebut merupakan salah satu binaan LSM dan masih ditemukan masyarakat menyemprot pestisida tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
3.3.Populasi dan Sampel 3.3.1.Populasi
Populasi adalah seluruh petani penyemprot pestisida baik kelompok yang dibina maupun yang tidak dibina LSM di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo.
(65)
3.3.2.Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi. Adapun jumlah sampel sebanyak 100 orang yang diperoleh melalui rumus: (M.Sopiyudin D, 2006)
N =
(
1 2)
22 2 2 1 1 2 P P Q P Q P Z PQ Z − ⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ α + β +
Zα = Deviat baku alpha(5%) Zβ = Deviat baku beta (80%)
P2 = Proporsi pada kelompok yang beresiko (0,5)
Q2 = 1-P2
P1 = Proporsi pada kelompok uji atau kasus (0,7) Q1 = 1 – P1
P1 – P2 = Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = Proporsi total
Q = 1 – P
N = Jumlah sampel
Kriteria inklusi sampel adalah petani yang menyemprot pestisida minimal 2 tahun dan umur minimal 15 tahun.
(66)
47
3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk menentukan besar sampel masing masing desa dilakukan secara sampel berimbang (proportional sampling). Teknik tersebut dilakukan untuk menyempurnakan penggunaan teknik sampel wilayah, dengan alasan banyaknya subjek yang terdapat pada setiap wilayah tidak sama, sehingga besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian dengan rumus (Notoatmojo,2005. Selanjutnya untuk tehnik pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana.
Jumlah sampel
Fraksi Sampel =
Jumlah populasi penelitian
Tabel 3.1. Besar Sampel Petani di Kecamatan Kabanjahe Tanah Karo tahun 2010
Jumlah 10 16 13 39 7 15 No Nama Desa Jumlah Petani Perhitungan sampel
1. Kacaribu 308 100 x 308/3446
2 . Samura 571 100 x 571/3446 3. Rumah Kabanjahe 449 100 x 449/3446
4. Ketaren 1338 100 x1338/3446 5. Kaban 247 100 x 247/344 6. Kandibata 533 100 x533/3446
(67)
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Sumber data
3.4.1.1. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan memakai kuisioner dan data cholinesterasi diperoleh setelah adanya pemeriksaan darah responden
3.4.1.2. Data sekunder diperoleh dari Kantor Camat Kecamatan Kabanjahe, Kantor Statistik Kabanjahe Tanah Karo
3.4.2. Alat pengumpul data
Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah kuesioner (terlampir) yang berisi sejumlah pertanyaan dengan melakukan wawancara langsung dan tingkat keracunan diperoleh dari hasil pengukuran darah yang menggunakan Tintometer kit.
3.4.3. Pelaksanaan Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer dilakukan peneliti dan dibantu oleh tiga orang yakni satu orang pewawancara dan dua orang petugas analis. Sebelum pengumpulan data, peneliti memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner kepada pewawancara untuk menyamakan persepsi. Untuk pemeriksaan tingkat keracunan dilakukan khusus 2 orang petugas laboratorium.
(68)
49
3.4.4. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian dilakukan untuk pertanyaan pada variabel binaan pengetahuan, sikap dan tindakan. Hasil uji validitas dan reliabilitas menunjukkan seluruh item pertanyaan pada variabel pengetahuan (10 pertanyaan), sikap (10 pertanyaan) dan tindakan (7 pertanyaan) serta binaan (4 pertanyaan) dinyatakan valid apabila r hitung > r tabel dan reliabel apabila nilai alpha cronbach >0,6 (Agus Ryanto, 2009). Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut :
1. Variabel Pengetahuan
Tabel 3.2. Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan
No. Soal Rhitung Rtabel Keterangan
1 0.6520 0.374 Valid
2 0.6875 0.374 Valid
3 0.6258 0.374 Valid
4 0.6767 0.374 Valid
5 0.6181 0.374 Valid
6 0.6169 0.374 Valid
7 0.6547 0.374 Valid
8 0.6797 0.374 Valid
9 0.6538 0.374 Valid
10 0.6501 0.374 Valid
Berdasarkan Tabel 3.2. diatas dapat dilihat bahwa seluruh variabel pengetahuan sebanyak 13 soal mempunyai nilai r-hitung >0,374 (r-tabel) pada pengujian α =5% dengan alpha cronbach = 0.8185, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan variabel pengetahuan valid dan reliabel.
(1)
umur responden * pembinaan responden Crosstabulation Count
pembinaan responden
tidak dibina Total
<37 10 9 19
37-44 11 12 23
umur responden
>44 29 29 58
Total 50 50 100
jenis kelamin responden * pembinaan responden Crosstabulation Count
pembinaan responden
tidak dibina Total
Laki laki 26 28 54
jenis kelamin responden
perempuan 24 22 46
Total 50 50 100
Pendidikan responden * pembinaan responden Crosstabulation
Count
pembinaan responden
tidak dibina Total
tidak sekolah 2 0 2
SD 20 22 42
SLTP 7 13 20
SLTA 15 14 29
Pendidikan responden
PT 6 1 7
(2)
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pembinaan responden * pengelompokan pengetahuan final
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
pembinaan responden * pengelompokan sikap
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
pembinaan responden * pengelompokan tindakan
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
Pembinaan responden * pengelompokan pengetahuan final
Crosstab Count
pengelompokan pengetahuan final
kurang baik baik Total
tidak 38 12 50
pembinaan responden
dibina 24 26 50
Total 62 38 100
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 8.319a 1 .004
Continuity Correctionb 7.173 1 .007
Likelihood Ratio 8.470 1 .004
Fisher's Exact Test .007 .004
Linear-by-Linear Association 8.236 1 .004 N of Valid Cases 100
(3)
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.00. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for pembinaan
responden (tidak / dibina)
3.431 1.461 8.057
For cohort pengelompokan pengetahuan final = kurang baik
1.583 1.141 2.198
For cohort pengelompokan pengetahuan final = baik
.462 .263 .808
N of Valid Cases 100
pembinaan responden * pengelompokan sikap
Crosstab
Count
pengelompokan sikap
negatif Positif Total
tidak 29 21 50
pembinaan responden
dibina 16 34 50
(4)
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 6.828a 1 .009
Continuity Correctionb 5.818 1 .016
Likelihood Ratio 6.912 1 .009
Fisher's Exact Test .015 .008
Linear-by-Linear Association 6.760 1 .009 N of Valid Cases 100
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22.50. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for pembinaan
responden (tidak / dibina)
2.935 1.296 6.647
For cohort pengelompokan sikap = negatif
1.813 1.135 2.894
For cohort pengelompokan sikap = Positif
.618 .424 .901
(5)
pembinaan responden * pengelompokan tindakan
Crosstab
Count
pengelompokan tindakan
kurang baik baik Total
Tidak 42 8 50
pembinaan responden
Dibina 23 27 50
Total 65 35 100
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 15.868a 1 .000
Continuity Correctionb 14.242 1 .000
Likelihood Ratio 16.528 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 15.709 1 .000 N of Valid Cases 100
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.50. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for pembinaan
responden (tidak / dibina)
6.163 2.411 15.755
For cohort pengelompokan tindakan = kurang baik
1.826 1.321 2.524
For cohort pengelompokan tindakan = baik
(6)
Risk Estimate
95% Confidence Interval Value Lower Upper Odds Ratio for pembinaan
responden (tidak / dibina)
6.163 2.411 15.755
For cohort pengelompokan tindakan = kurang baik
1.826 1.321 2.524
For cohort pengelompokan tindakan = baik
.296 .149 .588