kelompok petani semakin bertambah sehingga petani semakin respon terhadap pestisida.
Banyaknya responden yang bersifat negatif juga dikarenakan rendahnya pendidikan responden yaitu mayoritas sekolah dasar bahkan masih ditemukan yang
tidak berpendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan mencerminkan daya tangkap seseorang seperti halnya yang diungkapkan oleh A. Hidayat 2005 bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi dan semakin baik pengetahuan yang dimilikiya.
5.1.3. Pengaruh Pembinaan Terhadap Tindakan
Pembinaan mempengaruhi tindakan petani dalam pemakaian pestisida P=0,000 yang artinya dengan adanya pemberian binaan kepada kelompok petani
maka semakin baiklah tindakan petani dalam pemakaian pestisida. Hal ini juga terbukti bahwa kelompok petani yang dibina memiliki tindakan yang “baik’ sebanyak
54 dan memiliki tindakan yang ‘kurang baik’ 46 , sementara kelompok petani yang tidak dibina memiliki tindakan yang “baik” hanya 16 .
Achmadi 1983 mengatakan bahwa pendidikan berkaitan dengan pengetahuan . Pendidikan rendah mengakibatkan pengetahuan rendah. Hasil ini juga
mendukung penelitian Sahri 2002, tentang faktor yang mempengaruhi tingkat keracunan pestisida pada tenaga kerja di tempat penjualanpengedar pestisida di
Kabupaten Lombok yang menyimpulkan hasil bahwa variabel pendidikan mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap keracunan pestisida sehingga petani
Universitas Sumatera Utara
mengikuti pembinaan yang selanjutnya akan diterapkan dalam tindakan penyemprotan pestisida. Dengan pembinaan maka tindakan petani semakin baik yaitu
memakai APD saat menangani pestisida, menyemprot pagi hari, menyemprot sesuai arah angin, bahkan memiliki tempat penyimpanan pestisida secara khusus.
Walaupun kelompok petani memiliki pengetahuan yang baik ternyata ada juga yang memiliki tindakan yang kurang baik. Hal ini terjadi karena tindakan harus
dibarengi dengan niat bukan hanya dengan pengetahuan baik dan sikap positif. Petani melakukan pengelolaan pestisida dengan mengabaikan ketentuan-ketentuan
pengelolaan yang sudah ditetapkan seperti pada saat mencampur pestisida. Pada umumnya petani Karo tidak memakai alat pelindung diri bahkan ada yang makan
sambil menyemprot. Selain itu banyak petani menyimpan pestisida bergabung dengan bahan bahan yang lain di rumah tangga, sebaiknya pestisida tersebut sebaiknya
disimpan pada suatu tempat yang khusus. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahamanpengetahuan tentang materi yang sudah diterangkan oleh penyuluh dari
LSM . Pengalaman petani juga berpengaruh karena selama ini menyemprot tidak mengikuti aturan yang disampaikan oleh petugas LSM tidak menimbulkan masalah
atau mengganggu kesehatan .
Universitas Sumatera Utara
5.2. Pengaruh Perilaku terhadap Kadar Cholinesterase 5.2.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Keracunan Pestisida kadar
cholinesterase pada Petani Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 responden yang diteliti ternyata
pengetahuan responden tergolong “baik” 38 orang 38 dan kurang baik sebanyak 62 orang 62 . Responden yang berpengetahuan “baik” mengalami keracunan
berat 16 orang 42,1 , keracunan sedang
8 orang
21,1 ,
keracunan ringan 7 orang 18,4 dan yang normal ada 7 orang 18,4 . Responden yang berpengetahuan kurang baik mengalami keracunan berat 14 orang
22,6 , keracunan sedang 15 orang 24,2 , keracunan ringan 12 orang 19,4 dan yang normal ada 21 orang 33,9 .
. Setelah dianalisa dengan uji statistik Chi Square didapatkan p = 0,043. 0,05, yang berarti ada pengaruh yang signifikan antar pengetahuan dengan kadar
cholinesterase.
Terlihat bahwa secara umum petani yang berpengetahuan baik belum tentu memiliki kadar cholinesteras normal ,terbukti dari 38 orang yang berpengetahuan
baik hanya 18,4,8 memiliki kadar cholinesterase normal. Secara statistik dengan uji bivariat menunjukkan ada pengaruh yang signifikan faktor pengetahuan terhadap
keracunan pestisida pada petani p = 0,0250,05. Hal ini sejalan dengan penelitian Afriyanto 2008 tentang kajian keracunan pestisida pada petani penyemprot cabe di
Universitas Sumatera Utara
Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang menyimpulkan bahwa variabel pengetahuan berpengaruh terhadap keracunan pestisida.
Penelitian Nigsti M juga mengatakan bahwa ada hubngan yang signifikan antara pendidikan, pengetahuan, umur, pemakaian APD dengan aktifitas
cholinesterase serta penelitian Linda 2009 mengatakan ada hubungan pengetahuan dengan aktifitas cholinesterase pada petani wanita subur di Kecamatan Payung.
Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik menunjukkan ada pengaruh yang signifikan tingkat pengetahuan terhadap tingkat
keracunan pestisida pada petani p = 0,0360,05. Mengacu kepada pendapat Notoatmodjo 2003 tentang konsep pengetahuan bahwa sebelum seseorang
mengadopsi perilaku berperilaku baru, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Indikator yang digunakan
untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi :
1 Pengetahuan tentang sakit dan penyakit, dalam hal ini sejauhmana petani mempunyai pengetahuan tentang penggunaan pestisida sesuai dengan
aturan yang ditetapkan, 2 Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat,
dalam hal ini bagaimana petani memiliki pengetahuan tentang menjaga tidak sampai terjadi risiko terjadi keracunan akibat penggunaan pestisida.
3 Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, dalam hal ini terkait dengan pengetahuan petani tentang lingkungan dan faktor-faktor yang terdapat
Universitas Sumatera Utara
pada lingkungan seperti cuaca, arah angin , zeda penyemprotan, waktu penyemprotan, pemakian alat pelindung diri, cara penyimpanan dan cara
pencampuran dosis dan sebagainya yang dapat menambah risiko terjadinya keracunan.
Pengetahuan petani tentang pestisida tidak terlepas dari karakteristiknya seperti pendidikan . Sesuai dengan penelitian Afriyanto 2009 bahwa pendidikan
yang terbanyak pada petani adalah Sekolah Dasar yaitu sebanyak 56 , selanjutnya dijelaskan ada hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan, sikap dengan
terjadinya keracunan pestisida pada petani penyemprot. Hal ini dikarenakan semakin kurangnya pengetahuan petani maka semakin buruk petani tersebut melakukan
penanganan pestisida sehingga dapat terpaparnya petani oleh pestisida. Menurut Priyatna dan Achmadi bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi cara berpikir dalam
menghadapi pekerjaan serta dalam cara pencegahan keracunan tentang pestisida. Melihat masih banyak petani yang berpengetahuan kurang baik maka upaya
meningkatkan pengetahuan petani dilakukan melalui penyuluhan dengan materi yang disampaikan antara lain: arah angin, frekuensi penyemprotan, waktu penyemprotan,
pemakian alat pelindung diri, cara penyimpanan dan cara pencampuran dosis 5.2.2 Pengaruh Sikap terhadap Keracunan Pestisida pada Petani
Dari hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sikap terhadap kadar choliesterase pada petani. Hal ini juga terlihat bahwa
petani bersikap “negatif” ada sebanyak 45 orang 45 yang memiliki kadar
Universitas Sumatera Utara
cholinesterase keracunan berat 22 orang 26,7 , keracunan sedang 16 orang 35,6 , keracunan ringan 5 orang 11,1 dan normal 12 orang saja , sedangkan yang
bersikap “positif” ada sebanyak 55 orang 55 yang terdiri dari keracunan berat18 orang 32,7 , keracunan sedang 7 orang 12,7 , keracunan ringan 14 orang 25,5
dan normal 16 orang 29,1 .
Penelitian Afrianto 9 mengatakan ada hubungan sikap petani
tentang pestisida dengan terjadinya keracunan pestisida. Sikap tenaga penyemprot memegang peranan penting dalam kejadian keracunan pestisida.
Setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik menunjukkan ada pengaruh yang signifikan faktor sikap terhadap tingkat keracunan
pada petani p = 0,017 0,05. Hal ini dapat dijelaskan menurut pendapat Newcomb dalam Notoatmodjo 2003 bahwa sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan
suatu perilaku, namun tidak selamanya pengetahuan, sikap dan tindakan saling berinteraksi. Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan overt behavior.
Agar sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor-faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, dukungan support
pihak lain dan lain-lain. Dari hasil penelitian di peroleh sikap petani yang “positif” terhadap
pengamanan dan pengelolaan pestisida sebanyak 55 hal ini disebabkan tingkat
Universitas Sumatera Utara
pengetahuannya juga baik. Pengetahuan yang baik akan membuat masyarakat menjadi lebih peduli terhadap upaya pencegahan keracunan pestisida seperti
penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan yang disarankan atau sesuai panduan dalam kemasan, karena menurut petani dosis yang tertera tidak mampu membasmi
hama, sehingga harus ditambah dari ketentuan yang ada. Menurut Umar Fahmi 1990 bahwa faktor sikap mempengaruhi terhadap
penggunaan pestisida dimana petani yang mempunyai sikap yang positif akan menggunakan pestisida yang memenuhi syarat kesehatan dan petani yang mempunyai
sikap tidak baik akan menggunakan pestisida yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti merokok sambil menyemprot , menyemprot setiap hari, menyemprot sesuai
arah angin, dan menyimpan pestisida pada tempat yang khusus. Pembinaan oleh LSM memberikan sikap yang positif terhadap petani tentang
pemakaian pestisida hal ini terlihat bahwa kelompok petani yang dibina memiliki sikap positif sebanyak 62 sedang yang tidak dibina yang positif ada 48 . Hal ini
juga karena pada saat pembinaan petugas memutar CD sehingga petani merasa lebih jelas dan lebih tertarik akan materi yang disampaikan.
5.2.3 Pengaruh Tindakan terhadap Keracunan Pestisida pada Petani