peralihan  harta  atau  berujud  harta  dari  yang  telah  mati  kepada  yang  masih  hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.
19
Jadi,  pengertian  hukum  kewarisan  ialah  himpunan  aturan-aturan  yang mengatur  tentang  siapa  ahli  waris  yang  berhak  mewarisi  harta  peninggalan  seorang
yang mati meninggalkan harta peninggalan, bagaimana kedudukan msing-masing ahli waris  serta  bagaimana  atau  berapa  perolehan  masing-masing  ahli  waris  secara  adil
dan sempurna.
20
B. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan
Sumber-sumber  hukum  yang  dijadikan  dasar  dalam  pembagian  warisan adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Sebagai  nash  yang  qoth’i  al-Qur’an  menghapus  ketentuan  hukum  kewarisan pada  masa  jahiliyah  dan  ketentuan  yang  berlaku  pada  masa-masa  awal  Islam,  yaitu
bahwa  hanya  ahli  waris  laki-laki  dan  yang  sudah  bisa  berperang  yang  mendapat warisan  dari  keluarga  yang  telah  meninggal.  Tetapi  Islam  datang  menghapus
ketentuan  tersebut,  bahwa  ahli  waris  laki-laki  dan  perempuan  termasuk  didalamnya anak-anak, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang telah
ditentukan  oleh  nash.  Sebagaimana  firman  Allah  yang  tercantum  dalam  al-Qur’an surat al-Nisa ayat 7, sebagai berikut :
19
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2005, cet. Ke-2 h.6
20
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: IND – HILL, Co, 1984, h. 35
+, -
. 01
24 5
67- 8
9 -:
4; =0
1 . 2
3 4
5 Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya,  dan  bagi  orang  wanita  ada  hak  bagian  pula  dari  harta peninggalan  ibu-bapa  dan  kerabatnya,  baik  sedikit  atau  banyak  menurut
bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. Al-Nisa, 4:7
Dalam  ayat  selanjutnya,  al-Qur’an  menegaskan  secara  definitif  tentang ketentuan bagian ahli waris yang biasa disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau
bagian yang telah ditentukan oleh nash, dalam al-Qur’an Allah swt berfirman :
AB CD
E FG H
IJKL MN 5
O 8P
1Q RS
2 HTU Q V
9 W X
8 Y
+, Z [I X
HT \ ]A _`
X Q7 7A
O a
bc 8
4d M 2
_` X
 
4 9
2D f R1B
:M ` ghi
j0Mk, a
8 l2
m 9
W X AP
B D l5P
m =l2Ao
` 5
2 p+ X
i7 qV 9
W X 8
=l5 rds a
2 p+ X
j0Mk, 9
8 M7
:tuU C m ND
thv 5
Hw B
IJ8 IJ8
d-I5 xy
jobM IJ_zD5
{| 5
IB -7=
9 4tx D
X .}
~ B
a P
8 •
 Q
B 2
1 . 2
3 66
5
Artinya:  “Allah  mensyariatkan  bagimu  tentang  pembagian  pusaka  untuk  anak- anakmu.  yaitu  :  bahagian  seorang  anak  lelaki  sama  dengan  bagahian  dua  orang
anak  perempuan  dan  jika  anak  itu  semuanya  perempuan  lebih  dari  dua,  Maka  bagi mereka  dua  pertiga  dari  harta  yang  ditinggalkan;  jika  anak  perempuan  itu  seorang
saja,  Maka  ia  memperoleh  separo  harta.  dan  untuk  dua  orang  ibu-bapa,  bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh  ibu-bapanya  saja,  Maka  ibunya  mendapat  sepertiga;  jika  yang  meninggal  itu
mempunyai  beberapa  saudara,  Maka  ibunya  mendapat  seperenam.  Pembagian- pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah
dibayar  hutangnya.  Tentang  orang  tuamu  dan  anak-anakmu,  kamu  tidak mengetahui  siapa  di  antara  mereka  yang  lebih  dekat  banyak  manfaatnya  bagimu.
Ini  adalah  ketetapan  dari  Allah.  Sesungguhnya  Allah  Maha  Mengetahui  lagi  Maha Bijaksana.”
Q.S. Al-Nisa, 4:11 Dan  pada  ayat  selanjutnya  Allah  menerangkan  bagian  suami.  Jika  dia
mempunyai  anak  maka  bagiannya  adalah  seperdua  12,  dan  jika  dia  tidak mempunyai  anak  maka  baginya  adalah  seperempat  14.  Dan  bagian  isteri  jika  dia
tidak  mempunyai  anak  maka  baginya  adalah  seperempat  14,  dan  jika  dia  tidak mempunyai  anak  maka  baginya  adalah  seperdelapan  18.  Ayat  ini  juga  mengatur
bagian untuk saudara-saudara pewaris ketika pewaris tidak mempunyai anak.
IJK€ 
 IJK€•‚5
a AP
B D _P
m 9
W X xL
ƒ}_ m
JK€` X
„… s †L
9 8
M7 :tuU C
.‡T CD _
5 5‡w
9 ƒ}_
„… A8
a IJP
K€ D IJBP
mM 9
W X xL
IJK€ m
_` X
  qQ fˆ†L
9 8
M7 :tuU C
.C7 _
5 5Hw
B a
. 8
r1•o ]oD
N‰ N` xL
5 rd5
=l5 Ћ5
5 rcsŒ5
R1B X
:M `
_- j0Mk,
9 W X
O F
xL 6 -†L5
: •
bc_ X j  xL6KŽ
G H i7 qV
9 8
M7 :tuU C
9m+ND thv
5 Hw
6I Š
o x 
9 4tuU C
s ~
B E
A •
A 2
Artinya:  “Dan  bagimu  suami  mendapat  seperdua  dari  harta  yang  ditinggalkan isterimu,  jika  mereka  tidak  mempunyai  anak.  Jika  isterimu  mempunyai  anak,  maka
kamu  mempunyai  seperempat  dari  harta  yang  ditinggalkannya  sesudah  ditunaikan wasiat  yang  mereka  buat,  dan  sesudah  dibayarkan  lunas  hutangnya.  Para  isteri
mendapat seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika  kamu  mempunyai  anak,  maka  para  isteri  mendapat  seperdelapan  dari  harta
yang  kamu  tinggalkan,  sesudah  ditunaikannya  wasiat  yang  kamu  buat,  dan  sesudah dibayar  lunas  hutangmu.  Jika  seorang  mati  baik  laki-laki  maupun  perempuan  yang
tidak  meninggalkan  ayah  dan  tidak  meninggalkan  anak,  tetapi  mempunyai  seorang saudara  laki-laki  seibu  saja  atau  saudara  perempuan  seibu  saja,  maka  bagi
masing-masing  dari  kedua  saudara  itu  sepereeeeenam  harta.  Ttapi  jika  saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah
ditunaikan  wasiat  yang  telah  dibuat  olehnya  atau  dan  sesudah  dibayar  lunas hutangnya  dengan  tidak  mudharat  kepada  ahli  waris.  Allah  menetapkan  yang
demikian sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. QS. Al-Nisa, 4:12
2. Al-Sunnah
Hadis yang menjadi hukum ketentuan pembagian warisan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari adalah:
78 9- 87
:; 7
9 :-9 78
=9ﺱ 7
9 9?
A B
C7 DE F7
7GH I
I 7 H  :
J K  L 5
21
Artinya  :  “Dari  Ibnu  ‘Abbas  bahwasannya  Nabi  Muhammad  SAW  bersabda: “Berikanlah  faraidh  bagian-bagian  yang  ditentukan  itu  kepada  yang
21
Abi  Abdillah  Muhammad Ibn  Ismail  Ibn  Ibrahim al-Bukhari,  Shahih  al-Bukhari,  Beirut: al-Maktabah al-‘Shriyah, 1997, juz. IV, h.2106
berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.”
HR. Bukhari
3. Ijma’ dan Ijtihad
Dalam  masalah  kewarisan  ini  peran  ulama  pun  tidak  kalah  pentingnya, mereka  diminta  pendapatnya  melalui  ijma’  dan  ijtihadnya  unutk  menyelesaikan
masalah  yang  belum  dijelaskan  dalam  nash-nash  yang  sharih.  Seperti  pembagian Muqasamah
bagi  sama dalam  masalah al-Jad  wa al-Ikhwah kakek  bersama-sama saudara,  pembagian  cucu  yang  ayahnya  lebih  dahulu  meninggal  dunia  dalam
masalah  wasiat  wajibah,  pengurangan  dan  penambahan  bagian  ahli  waris  dalam masalah  ‘Aul  dan  Radd,  pembagian  tsulutsu  al-baqi  sepertiga  sisa  bagi  ibu  jika
hanya  bersama  bapak  dan  suami  atau  istri  dalam  masalah  Gharrawain,  dan  lain sebagainya.
C. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan