Rukun dan Syarat Pembagian Warisan

berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat.” HR. Bukhari 3. Ijma’ dan Ijtihad Dalam masalah kewarisan ini peran ulama pun tidak kalah pentingnya, mereka diminta pendapatnya melalui ijma’ dan ijtihadnya unutk menyelesaikan masalah yang belum dijelaskan dalam nash-nash yang sharih. Seperti pembagian Muqasamah bagi sama dalam masalah al-Jad wa al-Ikhwah kakek bersama-sama saudara, pembagian cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian ahli waris dalam masalah ‘Aul dan Radd, pembagian tsulutsu al-baqi sepertiga sisa bagi ibu jika hanya bersama bapak dan suami atau istri dalam masalah Gharrawain, dan lain sebagainya.

C. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan

1. Rukun Waris Rukun waris ada tiga, yaitu: 22 a. Al-muwarrits orang yang mewariskan, yaitu orang yang meninggal dunia atau mayit itu sendiri, baik nyata ataupun dinyatakan mati secara hukum seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati. 22 Syaikh Husain Yusuf Ghazal, al-Mirats ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Dirasatan wa Tathbiqon ,Beirut: Daar al-Fikr, 2003, h.3 b. Al-waarits pewaris, adalah orang yang mempunyai hubungan penyebab memperoleh kewarisan dengan yang meninggal dunia tersebut mayit. c. Al-mauruuts harta yang diwariskan, yaitu harta yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris. 2. Syarat Pembagian Warisan Kematian seseorang akan menimbulkan akibat hukum kepada yang lainnya. Dan diantara akibat hukum itu adalah kewarisan, adapun syarat-syarat pewarisan adalah sebagai berikut: a. Kematian orang yang mewariskan, baik secara nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang. Keputusan itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata. 23 b. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum dianggap hidup, karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun; maka diantara mereka 23 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.259 itu tidak ada waris-mewarisi. Dan harta masing-masing dari mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. 24 c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan. Yang dimaksud adalah tidak adanya penghalang misalnya: pembunuh, murtad atau seseorang yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan, misalnya: saudara dari si mayit terhalang karena adanya anak laki-laki dari yang meninggal.

D. Sebab-Sebab dan Penghalang Warisan