B. Penyelesaian melalui Shulh dalam Hukum Waris di Indonesia
Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara konkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, para ulama
sepakat bahwa ketentuan yang ada dalam nash tersebut termasuk ayat-ayat dan sunnah yang menunjukkan petunjuk pasti atau dalalah qath’i.
Pembagian warisan dengan shulh dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Artinya, apabila di dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagian yang lebih
besar, secara ekonomi telah berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima bagian sedikit, masih dalam keadaan ekonomi yang kekurangan, maka pembagian
warisan di antara ahli waris tersebut dapat dilakukan dengan cara shulh atau bermufakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan tersebut.
Dengan cara ini, memungkinkah ditempuh upaya-upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan
ekonomi dapat memicu timbulnya konflik di antara ahli waris. Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam KHI mengakomodasi sistem
pembagian warisan dengan cara damai atau shulh dalam pasal 183 yang menyatakan bahwa “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”.
80
80
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta : Seri Pustaka Yustisia, 2004, Cet I, h. 84.
Namun, praktek pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu sendiri harus pula memenuhi syarat-syarat. Dan diantara syarat-syarat pentingnya adalah:
81
1. Keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan.
2. Adanya sifat rusyd kemampuan untuk mengendalikan harta dan pembelanjaannya.
3. Adanya ucapan ijab dan qobul. Menurut ulama Ushul Fiqh ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan sikap, pendapat mana yang harus dipilih seorang hakim, yaitu:
82
1. Bilamana salah satu pendapat telah menjadi undang-undang dalam sebuah
negara. 2.
Jika belum menjadi undang-undang, tetapi telah menjadi kesepakatan dalam suatu masyarakat bahwa pendapat itulah yang menjadi pegangan.
3. Jika belum ada undang-undang dan belum juga ada kesepakatan maka
pendapat yang diambil adalah pendapat yang biasa dipakai dan dikenal di negeri itu.
81
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 343
82
Ibid, h. 351.
4. Hakim baru boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut, di samping jika
ternyata suatu pendapat bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, juga pada kasus tertentu dalam pandangan hakim bilamana pertimbangan hukum
yang biasa dipakai secara umum diterapkan dalam kasus seperti itu, akan menimbulkan efek negatif terhadap yang bersangkutan. Dalam kasus seperti
ini, hakim boleh membuat keputusan pengecualian yang dikenal dengan istihsan.
C. Hikmah Al-Shulhu Perdamaian 1. Menurut Hukum Islam