Latar Belakang Masalah Kedudukan Al-Shulhu dalam kewarisan menurut fiqh dan hukum islam di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup, mati, dan kebangkitan kembali di akhirat kelak. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan masyarakat lingkungannya. Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz, usia baligh, dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan pemeluk agama yang harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuan syari’at dalam seluruh totalitas kehidupannya. Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian juga menimbulkan akibat hukum secara otomatis, yaitu adanya hubungan hukum yang menyangkut hak para keluarganya ahli waris terhadap seluruh harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara baitul maal pun, dalam keadaan tertentu mempunyai hak atas peninggalan tersebut. Jadi, dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu suatu proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. 1 Fiqh mawaris sebagai hasil kerja intelektual melalui istinbat atau ijtihad dalam memahami ketentuan ayat al-Qur’an dan al-Sunnah telah banyak dikemukakan secara detail oleh para ulama. Akan tetapi perkembangan sosial dan kebiasaan yang terjadi dan tumbuh dalam kesadaran hukum masyarakat melahirkan beberapa gagasan pembaharuan dalam pembagian warisan. 2 Kenyataan demikian sah-sah saja keberadaannya, karena memang salah satu karakteristik fiqh adalah terdapatnya khilafiyah atau perbedaaan pendapat diantara para ulama, apakah itu sebagai hasil istinbath individual atau merupakan kesepakatan para ulama regional yang sering disebut dengan ijtihad jama’i ijtihad kolektif seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Pada dasarnya hukum kewarisan Islam berlaku untuk semua umat Islam yang ada di dunia ini, namun corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah atau negara itu. Dan pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal atau dimungkinkannya ijtihad atau pendapat para ahli hukum Islam itu sendiri. 3 1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Kencana: 2005, cet. ke-2. hal. 16 2 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 198 3 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet. VIII, hal. 1 Berbeda dengan hukum-hukum yang lain, Allah memberikan kekhususan dalam hal kewarisan, yaitu dengan menerangkan secara rinci pembagian harta pusaka di dalam al-Qur’an dengan tujuan agar tidak terjadi perselisihan antar sesama ahli waris sepeninggal orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi, karena persoalan waris sering kali timbul menjadi salah satu persoalan krusial dan sensitif dalam sebuah keluarga. Dalam sejarahnya, sebelum turunnya ayat-ayat tentang kewarisan di Madinah, masyarakat jahili dan kelompok muslim pemula masih menerapkan dan mempertahankan sistem kewarisan yang bercorak patrilineal. Tradisi trabalisme kesukuan masyarakat pada masa itu mengukuhkan hanya orang lelaki yang kuat dan pandailah serta orang-orang yang memperoleh kehormatan untuk melakukan ikatan saling waris mewarisi yang akan dapat mempusakai harta orang yang meninggal. Anak-anak kecil dan kaum wanita tidak diberi hak sedikitpun untuk mewarisi karena mereka dianggap orang-orang yang lemah, tidak bermanfaat dalam mempertahankan dan mempertaruhkan kekuasaan suku diantara mereka. 4 Menurut tradisi mereka, kaum wanita dianggap sebagai harta warisan. Oleh sebab itu, mereka tak berhak menerima warisan. Bahkan menurut Syari’at Yahudi, kedudukan kaum wanita juga tidak baik. Hal ini diungkapkan dalam Jewish Encyclopaedia yang dikutip oleh Maulana Muhammad Ali dalam bukunya “Islamologi” adalah sebagai berikut: “Pada saat itu tak dipersoalkan seorang janda 4 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 284 mendapat bagian waris dari harta suami yang meninggal, karena janda itu dianggap sebagai barang warisan yang harus diserahkan kepada ahli waris......... Demikian pula tak dipersoalkan tentang anak perempuan bahwa mereka menerima warisan dari ayah mereka, karena anak perempuan itu dikawinkan oleh ayahnya, atau setelah ayah meninggal, dikawinkan oleh saudara laki-laki atau kerabat terdekat, dengan demikian, mereka menjadi harta pusaka dalam keluarga di mana mereka dinikahkan” En. J, halaman 583. 5 M. Ali Hasan menegaskan dalam bukunya “Hukum Warisan dalam Islam” bahwa, mereka beranggapan janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya sebagaimana dalam suatu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan: ﻥ + , ﻥ - . 6 Artinya : “Bila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan janda, kerabatnya melemparkan pakaiannya pada muka perempuan tersebut. Hal ini berarti ia melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik, terus dikawininya dan jika jelek ditahannya sampai meninggal dunia dan kemudian dipusakai harta peninggalannya.” Akan tetapi, setelah perkembangan Islam sudah semakin maju, aqidah umat Islam bertambah kuat, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki- 5 Maulana Muhammad Ali, Islamologi : Dinul Islam, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1996, cet.V, hal. 820 6 M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, Jakrta: Bulan Bintang, 1996, cet.VI, h.4 lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan dibatalkan oleh Allah SWT, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an: +, - . 01 24 5 67- 8 9 -: 4; =0 ? Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditentukan.” Al-Nisa, 4:7 AB CD E FG H IJKL MN 5 O 8P 1Q RS 2 HTU Q V Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak- anakmu yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan”. An-Nisa, 4:11 Dalam surat di atas al-Nisa, 4:11, ketentuan pembagian ini bukan berarti sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, ketentuan ini justru menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena berbedanya beban dan tanggung jawab antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem sosial Islam. Selain itu, agama Islam menghendaki dan meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu sendi pembentukan dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan. 7 7 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris. hal. 8 Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara kongkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun dalam kenyataannya, masyarakat sering melakukannya dengan cara perdamaian dan tidak menggunakan ketentuan tersebut. 8 Dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada buku II tentang hukum kewarisan BAB III pasal 183 yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.” 9 Meminjam bahasa ushul fiqh, kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan ‘urf. Kata ‘urf ini seakar dengan kata ma’ruf yang artinya baik, jika penggunaannya konsisten. Sesungguhnya tidak bisa dikatakan ‘urf, jika kebiasaan tadi tidak membawa kebaikan atau kemashlahatan bagi manusia. Secara sosiologis dalam masyarakat sering terjadi suatu tindakan yang terjadi secara berulang-ulang yang dianggap baik, meskipun kadang- kadang berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku. 10 Oleh karena itu, penulis mencoba membahas bagaimana kedudukan al-shulhu dalam ilmu waris menurut hukum Islam, dan sebagai perbandingan adalah Kompilasi Hukum Islam KHI dengan pendapat para ulama, sehingga jelas akan kedudukan 8 Ibid. hal. 198 9 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam KHI, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004, cet.I, h. 10 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hal 198 hukum pembagian waris melalui asas perdamaian shulh dengan mengenyampingkan ketentuan nash yang qoth’i.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah