BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wacana tentang agama dan negara, seolah tidak akan pernah ada habisnya. Dua institusi ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya bagi yang berada dalam
wilayah keduanya. Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang sangat  jelas  karena  berkaitan  erat  dengan  prilaku  seseorang  dalam  interaksi  sosial
kehidupannya dan agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran dalam setiap langkah kehidupan, baik terhadap sesama maupun dengan sumber agama tersebut.
Sedangkan  negara  merupakan  sebuah  bangunan  yang  mencakup  seluruh aturan  mengenai  tata  kemasyarakatan  yang  mempunyai  wewenang  dalam
memaksakan  setiap  aturan  yang  dibuatnya  kepada  masyarakat.  Di  sini,  bisa  saja aturan  yang  dibuat  oleh  negara  sejalan  dengan  apa  yang  menjadi  sumber  acuan
masyarakat agama, tetapi bisa juga berlawanan  atau tidak sejalan dengan agama, tergantung  bagaimana  sistem  yang  dianut  oleh  seluruh  negara  tersebut,  yang
kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara. Perdebatan  mengenai  Islam,  apakah  harus  dikaitkan  dengan  permasalahan
negara, pastinya perdebatan ini akan terus menerus dibahas dalam dunia intelektual dalam dan luar kampus, aktivis dan sebagainya masih sering mendiskusikan bentuk
yang  ideal  apakah  Islam  berhubungan  dengan  negara  atau  tidak.  Hubungan  Islam dan  negara  merupakan  persoalan  tidak  hanya  dunia  intelektual  an  sich  yang
membahas  persoalan  ini,  tapi  sebagian  masyarakat  Muslim  Indonesia mempersoalkan  masalah  ini,  persoalan  ini  sebenarnya  bagian  dari  masalah  yang
sangat  besar  tentang  dimana  posisi  agama  dalam  negara.  Bermacam  argumentasi telah muncul dalam rangka menjawab persoalan dan perdebatan ini.
Banyak  upaya  yang  telah  dilakukan  para  intelektual  muslim  dalam  rangka pencarian konsep tentang relasi agama dan negara pada dasarnya mengandung dua
maksud.  Pertama,  untuk  menemukan  idealitas  Islam  tentang  negara  menekankan aspek  teoritis  dan  formal,  yaitu  mencoba  menjawab  pertanyaan.  ”Bagaimana
bentuk negara Islam?”. Pendekatan  ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu mengenai negara.
Kedua, untuk  melakukan  idealisasi  dari  perspektif  Islam  terhadap  proses
penyelenggaraan  negara  menekankan  aspek  praktis  dan  substansial,  yakni mencoba  menjawab  pertanyaan.  ”Bagaimana  isi  negara  menurut  Islam?”.
pendekatan  ini  didasarkan  pada  anggapan  bahwa  Islam  tidak  membawa  konsep tertentu  tentang  negara,  tetapi  hanya  menawarkan  prinsip-prinsip  dasar  tentang
etika dan moral. Sebagimana  Munawir  Sjadzali  mengatakan  bahwa  persoalan  ini  banyak  di
perbincangkan oleh beberapa kalangan. Pertama, mereka yang berpendirian bahwa Islam  bukanlah  semata-mata  agama  dalam  pengertian  Barat,  yakni  hanya
menyangkut  hubungan  antara  manusia  dengan  tuhan,  sebaliknya  Islam  adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia  termasuk  kehidupan  bernegara,  kalangan  ini  mengacu  kepada  sistem politik  Islam  yang  telah  dilaksanakan  oleh  Nabi  Muhammad  Saw  dan  Empat
Sahabatnya. Kedua,
berpendirian  bahwa  Islam  adalah  sebagai  suatu  agama  yang  tidak ada  hubungannya  dengan  urusan  kenegaraan,  menurut  kalangan  ini  Muhammad
hanyalah  seorang  rasul  biasa  seperti  hanya  rasul-rasul  sebelumnya,  dengan  tugas
hanya  mengajak  manusia  kembali  kepada  kehidupan  yang  mulia  dan  berbudi pekerti  baik.  Nabi  Muhammad menurut  kalangan  ini  tidak  pernah  mendirikan  dan
menjadi kepala negara. Ketiga,
mereka  menolak  pendapat  bahwa  Islam  adalah  suatu  agama  yang serba lengkap  yang di dalamnya mengatur sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran  ini
juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan antara  manusia  dan  Maha  Penciptanya,  sebagaimana  pengertian  Barat.  Menurut
mereka  Islam  merupakan  ajaran  totalitas,  tetapi  dalam  bentuk  petunjuk-petunjuk pokok  saja,  karena  itu  menurut  mereka,  dalam  Islam  tidak  terdapat  sistem
ketatanegaraan  dalam  artian  teori  yang  lengkap,  namun  disana  terdapat  sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.
1
Perdebatan  mengenai  hubungan  Islam  dan  negara  telah  melahirkan  tiga kelompok besar dalam kalangan peneliti.
2
Pertama, dengan tegas menolak adanya hubungan  antara  agama  dan  negara  dalam  hal  ini  adalah  Islam,  kelompok  ini
beranggapan  bahwa  agama  dan  negara  merupakan  dua  hal  yang  berbeda  dan bertolak  belakang.  Agama  sama  sekali  tidak  membicarakan  persoalan  negara
dengan jelas, kelompok ini disebut dengan kelompok sekuler. Kedua, mereka yang mengasumsi  bahwa  agama  dan  negara  mempunyai  ikatan  erat  yang  tidak  dapat
dipisahkan.  Kelompok ini  sering  disebut  kelompok  formalis.  Ketiga,  mereka  yang mengambil  jalan tengah  yang mencoba mencari titik temu antara  kedua kelompok
tersebut. Terlepas  dari  kelompok-kelompok  tersebut  apakah  dalam  Islam  sekaligus
dalam  kitab  suci  Al-quran  di  perintah dan  di  tuntut untuk  mendirikan  negara  atau
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI- PRESS, 1993, h. 1-2.
2
Idris  Thaha,  Demokrasi  Religius:  Pemikiran  Politik  Nurcholish  Madjid  dan  Amien  Rais Jakarta: Teraju, 2005, h.40.
tidak, kenyataannya banyak kalangan Islam politik yang me\nginginkan penyatuan antara  agama  dan  negara  membutuhkan  sebuah  sistem  kenegaraan  yang  Islami,
karena  bagaimanapun,  untuk  mengamankan  suatu  kebijaksanaan  diperlukan  suatu kekuatan institusi politik. Untuk menegakkan  keadilan dan menjaga perdamaian,
diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.
3
Banyak faktor yang membuat kalangan yang menolak Islam sebagai negara atau tidak menyukai Islam disatukan dengan negara dengan berbagai banyak alasan,
faktor  tersebut  lebih  kepada  bahwa  Islam  belum  dapat  diterima  oleh  kalangan masyarakat  secara  utuh,  masih  adanya  ketakutan  dengan  Islam  jika  mempunyai
keterkaitan  dengan  negara  dengan  jargon  syariat  Islam  yang  banyak  kalangan mengatakan  tidak  ideal  diterapkan  dalam  konteks  negara  Indonesia  dan  lain
sebagainya. Di lain pihak banyak kalangan yang sepakat dengan penyatuan antara Islam
dan  negara,  paling  tidak  Islam  harus  mempunyai  andil  dalam  negara.  Beragam potret  aliran  maupun  mazhab  baik  dalam  soal  fikih,  tasawuf, ilmu  kalam maupun
cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam tidaklah monolitis.
4
Penafsiran  dua  istilah  tersebut  akan  terus  menerus  menjadi  persoalan  dan perdebatan  antara  kalangan  yang  setuju  dan  yang  tidak  setuju  secara  tegas  bahwa
Islam terlepas dari negara. Dalam penafsiran antara Islam dan negara, sebagaimana yang  penulis  katakan  tadi  adalah  kalangan  yang  setuju  bahwa  Islam  tidak
dipisahkan  dengan  konteks  negara.  Penafsiran  yang  lain  mengatakan  Islam  dan negara  merupakan  dua  entitas  yang  terpisah  dan  harus  dipisahkan.  Sedangkan
pandangan  yang  paling  moderat  pun  juga  ada,  pandangan  moderat  menegaskan, meski  Islam  dan  negara  merupakan  persoalan  yang  berbeda  namun  kedunya
3
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik  Jakarta: Gramedia, 1981, h. 8-9.
4
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah
Jakarta: Ushul Press, 2005, h.21.
mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.
5
Perbedaan disini akan selalu ada dalam menafsirkan segala sesuatu dan mewarnai dunia keislaman.
Para pemikir politik Islam sepakat bahwa hubungan antara Islam dan politik dalam makna negara, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Dari aspek manapun,
definisi politik selalu di postulasikan terkait dengan Islam. Ada dua dimensi dalam hubungan  Islam  dengan  negara,  yaitu  dimensi  the  art  of  government  seni  dalam
memerintah dan dimensi struggle for power perjuangan untuk meraih kekuasaan. Jika  politik  didefinisikan  dalam  konteks  the  art  of  government,  menurut  Abdul
Rasyid  Moten,  sudah  dapat  diketahui  adanya  hubungan  antara  Islam  dan  negara, bahkan negara tidak dapat dilepaskan dari Islam dalam formulasi Al-Quran, hal ini
masuk kedalam lingkup amar ma’ruf nahyi munkar memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar. Dalam formulasi sosiologis berarti adanya keharusan bagi
setiap umat Islam, dengan berpedoman kepada nilai-nilai  keislaman, berpartisipasi dalam  mengoreksi  jalannya  pemerintahan.
6
Begitu  juga  jika  politik  di  definisikan sebagai  struggle  for  power,  maka  tak  ada  kontradiksi  antara  Islam  dan  negara.
7
Sebagaimana  diketahui,  titik  akhir  dari  struggle  for  power  adalah  formasi kekuasaan politik.
Para  pemikir  Islam  kontemporer,  terutama  Muhammad  Rasyid  Ridha, Sayyid  Qutb  dan  al-Maududi,  telah  bayak  mengemukakan  pandangannya  bahwa
Islam  adalah  suatu  agama  yang  tidak  mengurusi  masalah  agama  semata,  Islam sekaligus mengurusi masalah kenegaraan. Dalam arti lain, bahwa negara merupakan
wacana keagamaan yang berimplikasi kepada suatu keterkaitan antara kedunya.
5
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam,  h.6.
6
Abdul Rasyid Moten, Political Science an Islamic Perspective London: Macmalian Press, 1996, h. 20.
7
Moten, Political Science an Islamic,h.20.
Kalau  dalam  konteks  politik  Indonesia  sebenarnya  perdebatan  sekaligus pergulatan  hubungan  antara  Islam  dan  negara  sudah  berlangsung.  Dalam  proses
awal  pembentukan  sebuah  negara,  ketika  itu  persoalan  yang  paling  krusial  yang dihadapi  oleh  bangsa  Indonesia  adalah  menyepakati  bentuk  dasar  sebuah  negara.
Dalam  sidang-sidang  BPUPKI  Badan  Penyelidik  Usaha-usaha  Persiapan Kemerdekaan  permasalahan  pokok  yang  dibahas  ketika  itu  antara  lain  persoalan
bentuk negara, ini juga menyangkut masalah hubungan agama dengan negara. Dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka adalah Ki Bagus
Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar, Muhammad Natsir dan KH. A. Wachid  Hasyim.  Dalam  kelompok  ini  pihak  Islam  bersatu  menghadapi  pihak
nasionalis.  Gagasan  tentang  suatu  bentuk  negara  berdasarkan  Islam  telah  muncul kepermukaan, sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang.
8
Kemudian  pergolakan  ini  berlanjut  ketika  umat  Muslim  berusaha memformalisasikan  Islam  dalam  konteks  negara  Islam  sebagai  dasar  agama  tentu
tidak  dapat  diterima  oleh  kalangan  nasionalis  sekuler.  Demikian  pula  dengan kelompok  Islam  politik  tetap  gigih  untuk  menjadikan  Islam  sebagai  dasar  negara.
Perdebatan Soekarno dengan Muhammad Natsir  tentang  hubungan agama Islam dengan negara terekam dalam panji Islam
9
, perdebatan ini akan terus menerus tidak ada habisnya.
Perdebatan  yang  sama  terjadi  dalam  sidang  konstituante  di  Bandung  pada tahun  1956-1959.  Voting  yang  dilakukan  majelis,  yang  bertugas  membuat  UUD
baru.  Ini  tidak dapat  menetapkan  dasar  negara  antara  pilihan  pancasila  dan  Islam. Saat  itu  terjadi  perdebatan  antara  pancasila  dan  Islam.  Partai-partai  Islam  seperti
Masyumi  dan  NU  memperjuangkan  negara  demokrasi  berdasarkan  Islam.  Dan
8
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir Jakarta: Teraju, 2002, h. viii
9
Suhelmi, Polemik Negara Islam,h. viii.
partai nasionalis seperti PNI dan Partai Komunis bersatu mempertahankan pancasila sebagai dasar negara.
10
Perdebatan  ini  kembali  mewarnai  politik  Indonesia,  ketika    Soeharto berkuasa  bagaimana  ketika  itu  partai  Islam  yang  mengusung  Islam  sebagai  dasar
negara  tidak  diberikan  ruang  gerak  yang  signifikan.  Soeharto  tidak  mau membiarkan partai Islam memimpin Indonesia dengan alasan mencoba mendirikan
negara Islam dan jargon Syariat Islam. Lengsernya  Soeharto masih saja perdebatan ini  dibahas,  perdebatan  yang  terjadi  tidak  banyak  bergeser  dari  apa  yang
diperdebatkan Soekarno dan Natsir, jadi tidak memuat persoalan-persoalan baru. Piagam  Jakarta  adalah  salah  satu  perdebatan  yang  menarik  pada  masa
reformasi,  banyak  ketika  itu  partai  Islam  mencoba  mengangkat  kembali  piagam Jakarta  yang  semula  juga  pernah  diperdebatkan,  PPP  Partai  Persatuan
Pembangunan  dan  PBB  Partai  Bulan  Bintang,  kedua  partai  ini  mencoba mengangkat  tema  yang  sudah  lama  dibahas,  kedua  partai  ini  mencoba
mempermasalahkan kembali persoalan-persoalan yang menyangkut masalah agama dan  negara,  mereka  mencoba  menjadikan  syariat  Islam  sebagai  salah  satu  hukum
negara. Usulan  itu  berawal  dari  keinginan  F-PPP  dan  F-PBB  dalam  rapat  panitia
Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR  yang bertugas menyiapkan amandemen pasal-pasal UUD  1945  untuk  sidang  tahunan  MPR  tahun  2000.  Sidang  tersebut  mencuat
persoalan  piagam  Jakarta  dan  syariat  Islam  di  Indonesia,  catatan  atas  kontroversi amandemen pasal 29 UUD 1945. Ketegangan itu berakhir ketika MPR memutuskan
untuk  menunda  pembahasan  beberapa  pasal  sensitif  dalam  rangka  amandemen. Alasan  penundaan  ini  secara  formal  adalah  keterbatasan  waktu  sidang.  Tetapi  ini
10
Bahtiar  Effendy,  Teologi  Baru  Politik  Islam,  Pertautan  Agama  40  Negara  dan Demokrasi
Yogyakarta: Galang Press, 2001, h. 7.
sebenarnya  menunjukkan  bahwa  masalah  itu  memang  bukan  permaslahan  yang mudah bagi perumusan bangunan negara Indonesia.
Pada konteks kekinian muncul HTI Hizbut Tahrir Indonesia yang mencoba mengangkat  persoalan-persoalan  klasik,  yang  tidak  jauh  seputar  hubungan  Islam
dan  negara  mereka  mencoba  memperjuangkan  bentuk  Khilafah  Internasional.  Ini adalah bagian dari kalangan kelompok yang memaknai keterkaitan hubungan Islam
dan negara, disamping banyak juga yang menolak argumentasi tersebut. Jaringan  Islam  Liberal  JIL  merupakan  suatu  jaringan  yang  membahas
tentang  masalah-masalah  keislaman.  Keterkaitan  agama  Islam  dan  negara  salah satu  topik  pembahasan  yang  akan  tidak  henti-hentinya  diperdebatkan,  baik  dari
kalangan yang pro dan yang kontra. Mengenai  pembahasan  Islam  dan  negara,  JIL  menjelaskan  bahwa  kalau
umat  Islam  mau  merenung  lebih  mendalam,  jelas  tergambar  bahwa  sebuah pemahaman  yang  benar,  evaluatif,  kritis  dan  rasional  akan  menunjukkan  bahwa
Islam bukanlah agama politik  semata dalam  konteks  negara.  Bahkan, porsi politik dalam  ajaran  Islam  sangatlah  kecil,  itupun  berkaitan  dengan  kepentingan  banyak
orang yang berarti kepentingan rakyat kecil lower class in the society, bukan pada tatanan  model-model  politik.  Oleh  karena  itu  negara  politik  dan  agama  Islam
suatu  yang  terpisah.  Dan,  sesungguhnya  pembentukan  pemerintahan  dan kenegaraan  adalah  atas  dasar  manfaat-manfaat  amaliah,  bukan  atas  dasar  sesuatu
yang  lain.  Pembentukan  negara  modern  didasarkan  pada  kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar negara.
11
Sebagian  orang  percaya  bahwa  politik  dalam  makna  negara  merupakan bagian  dari  agama.  Karena  itu,  ia  harus  diatur  sesuai  dengan  ajaran  agama.
11
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008 dari http:www.islamlib.comartikelpolitik-dalam-islam
Sementara  sebagian  lagi  percaya  bahwa  politik  merupakan  urusan  duniawi  dan tidak  ada  hubungannya  dengan  agama.  Ini  adalah  masyarakat  yang  sudah
terdoktrinasi  dengan  istilah  “Islam  adalah  agama  sekaligus  negara”.
12
Dengan demikian  sering  kali  menimbulkan  dilema  termasuk  dalam  munculnya  berbagai
pemikiran dan pemahaman tentang Islam  yang tidak saja berbeda, namun bertolak belakang  bahkan berbenturan.
Jaringan  Islam  Liberal  JIL  turut  berbicara  dan  meramaikan  perdebatan antara  Islam  dan  negara.  Banyak  artikel,  buku  dan  jurnal  yang  telah  di  terbitkan
sebagai  bagian  dari  kepedulian  dan  kontribusi  dalam  mencari  jalan  keluar  dalam persoalan perdebatan yang sangat lama. Dengan demikian berbagai penjelasan baik
yang  setuju  dan  tidak  setuju  diatas  mengantarkan  saya  untuk  mengetahui    dan mengetengahkan  pokok-pokok  persoalan  yang  cukup  signifikan,  sejauh  mana
pandangan  Jaringan  Islam  Liberal  JIL  mewarnai  persoalan  antara  Islam  dan negara.
Pandangan  yang  sangat  kritis  inilah  yang  menarik  perhatian  penulis  untuk memahami  lebih  lanjut  hubungan  Islam  dan  negara  menurut  JIL.  Disamping  itu,
penulis juga akan mencoba mencari letak argumentasi JIL tentang hubungan Islam dan  negara.  Untuk  itu,  penulis  tertarik  untuk  mengkajinya  melalui  skripsi  yang
berjudul:  Pola Hubungan  Islam  dan Negara  dalam  Pemikiran Jaringan  Islam Liberal.
12
Abdul  Moqsith  Ghazali  ed,  Ijtihad  Islam  Liberal,  Upaya  Merumuskan  Keberagaman Yang Dinamis
Jakarta: JIL, 2005, h. 86.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah