Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara

BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG

ISLAM DAN NEGARA

A. Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara

Perdebatan mengenai hubungan negara dan agama telah menjadi persoalan yang cukup krusial, apakah negara bagian dari agama ataukah sebaliknya. Pertanyaan adalah, apakah negara ada hubungannya dengan agama dalam konteks Islam. Wacana atau istilah relasi antara Islam Agama dan negara tentu mewarnai perdebatan fiqh siyasah fiqih politik dalam Islam. Peristiwa ini bisa jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat di wilayah tertentu. Suatu negara memerlukan sesuatu institusi apakah itu Islam atau hal lain untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara bersama- sama untuk mencapai suatu cita-cita dan keinginan. Otoritas politik memiliki urgensi yang harus ada yang terwakilkan untuk memerlukan konsep negara, sehingga dirasa perlu oleh sebagian kaum Muslimin untuk memerlukan konsep negara yang berhubungan dengan agama dan berinstitusi dengan Islam itu sendiri. Perdebatan ini sebenarnya bukan perdebatan atau persoalan baru dalam wacaana keislaman. Jargon syariat Islam menjadi bahan pertimbangan diantara kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Kejadian seperti ini hampir dialami oleh sebagian negara yang mempunyai pemeluk agama Islam lebih banyak ketimbang agama-agama yang lain. Peristiwa ini bisa dilihat dari banyaknya organisasi atau gerakan Islam di dunia yang menyuarakan agar negara harus berdasarkan Islam, dengan kata lain menginginkan negara agama, seperti Ikhwanul Muslimin Mesir, Jama’at Islamiyah India, FIS Aljazair, PAS Malaysia, bahkan di Indonesia ketika itu ada Masyumi dan sekarang muncul HTI Hizbut Tahrir Indoneia. Historitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai alternataif yang bisa dilakukan dan diwujudkan oleh kalangan Islam politik untuk menjadikan syariat sebagai sistem kenegaraan. Kalau kita melihat dari kaca mata dunia sampai saat ini tidak ada satupun negara yang menjadi acuan bagi negara lain, tidak ada representasi negara Islam. Banyak pemikiran Islam itu tidak lepas dari pengaruh dunia Barat. Pada masa modern, ekspansi, imprealisme dan kolonialisme Eropa kewilayah Islam tidak hanya menciptakan dis-integrasi politik dis-integrartion of politic Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri Islam. 1 Perdebatan ini melahirkan tiga kelompok atau aliran, antara lain, Pertama, mereka yang secara tegas menginginkan penyatuan Islam dan negara. Kedua, mereka yang menginginkan isi dari negara bukan karena simbol dan formalnya saja. Ketiga, mereka yang memisahkan antara permasalahan agama Islam dan negara. Kelompok dan aliran tersebut semuanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami hubungan antara agama dan negara, tetapi dari ketiga pandangan tersebut mengakui peran penting negara dalam proses pencarian identitas negara, umat Islam ada yang meniru Barat dan ada pula yang menolak secara terang- terangan, tetapi menurut penulis tidak semua yang berasal dari Barat itu tidak baik pasti ada baiknya juga, tetapi ada juga yang bersikeras mengatakan bahwa Islam mempunyai konsep yang jelas. Beragam macam pendukung dan penentang tentang relasi agama dan negara, ada yang ekstrim, ada yang moderat. Pendukung yang ekstrim, mereka yang mencoba menerapkan Islam sebagai institusi negara, mengubah sistem politik 1 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme Jakarta: Paramadina, 1996, h. 2. menjadi khilafah atau negara Islam. Sementara ada juga yang memisahkan agama Islam dari konteks negara. Pandangan, relasi atau hubungan antara agama dan negara menurut Kamaruzzaman menjadi dua gerakan. Pertama, gerakan fundamentalisme yaitu kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara. Kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu, modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa agama dan negara di integrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, mereka memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem kenegaraan. 2 Di sini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada dalam memahami hubungan antara agama dan negara, yang akan diklarifikasikan berdasarkan tiga paradigma yaitu, paradigma Islam formalistik, paradigma Islam substansif serta paradigma Islam sekularistik, penulis juga mengklasifikasi tokoh- tokoh yang berada dalam paradigma tersebut.

1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik

Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara. Karena Islam adalah agama yang serba lengkap yang mengatur masalah agama, negara dan masyarakat, dalam paradigma ini mereka mencoba menjelaskan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dengan persoalan negara, tidak ada pemisahan layaknya agama Kristen dalam doktrin two sord-nya tersebut. 2 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis Magelang: Indonesia Tera, 2001, h.50. Paradigma ini menjelaskan bahwa antara Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, sekiranya muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan agama dan politik, syariat Islam, din wa daulah merupakan Istilah yang berhubungan dengannya. Dalam pandangan ini Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memilki sistem dan teori politik tersendiri. Sistem pemerintahan dan politik yang bergariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Khulafa Ar- Rasyidin. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi menjadi dua aliran, yakni tradisionalis dan fundamentalis. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan empat sahabatnya, dengan tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep lainnya. 3 Dengan begitu mereka mempunyai keyakian bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk Islam, entah itu dengan kata apa, karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis. 4 Tokoh yang berada dalam paradigma ini adalah Muhammad Natsir, disamping banyak tokoh yang lain baik di luar maupun di dalam negeri. Faktor yang paling dominan yang melatar belakangi pemikiran Natsir tentang hal ini 3 Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30. 4 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah Jakarta: Ushul Press, 2005, h. 8. adalah keyakinannya akan ajaran Al-Qur’an. Muhammad Natsir secara tegas dalam pidatonya tentang ”Islam sebagai dasar negara” menyatakan yakni “kehendak kami saya dan Masyumi sebagaimana yang sudah diketahui kita semua, supaya negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam. 5 Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara. Lembaga negara sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada, dan pikiran seperti ini nampaknya menguasai pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat Islam atau hukum-hukum Islam di Indonesia. Menurut Natsir Islam dan negara merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan, oleh karena itu keterkaitan Islam dan negara sangat signifikan, kalau ada pembedaan antara keduanya, menurutnya itu karena pengaruh Barat. Barat yang mencoba menancapkan doktrin kedalam dunia Islam. Natsir memandang bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik. Islam tidak memisahkan persoalan rohani dan duniawi, melainkan mencakup dua segi, hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. 6 Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa pandangan Natsir tentang agama tertitik tolak dari pandangan bahwa agama Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah sosio-politik umat, diantara prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati. Menurut Natsir adalah prinsip syura , tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura, 5 Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 8. 6 Aay Muhammad Furqon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer Bandung: Mizan, 2004, h. 8. menurut Natsir semuanya bergantung kepada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak menetapkan secara kaku dan pasti. 7 Ia adalah demokrat yang bagus dan gigih, sekalipun tidak senang dengan praktik-praktik sistem demokrasi di Barat. ”Demokrasi bagus” akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelling-instelling demokrasi. Islam menurutnya adalah sintesis antara demokrasi dan otokrasi atau sistem politik diktatosial, tetapi bagaimana sintesis ini beroperasinya, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara menyakinkan. 8 Kemudian upaya ini juga terjadi pada gerakan yang dinamakan dengan DITII Darul IslamTentara Islam Indonesia. Suatu gerakan yang berideologikan Islam yang mempunyai tujuan mendirikan negara Islam yang di dalamnya berlaku hukum syariat Islam. Gerakan ini muncul pada tahun 1949-1962 yang melakukan konfrontasi dengan jalur peperangan lewat tentara yang mereka latih dengan mengambil teknik perjuangan gerilya. Tokoh yang melakukan gerakan ini antara lain, Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureureh. Paradigma ini memahami bahwa Islam sebagai agama pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan, alasan seperti ini memunculkan sebuah sistem syariat secara langsung sebagai sebuah konstitusi negara, ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat Islam dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam. Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa pengaruh aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa Islam merupakan sebuah agama yang serba lengkap yang mengurusi masalah keduniaan dan kenegaraan serta masalah politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem 7 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir Jakarta: Teraju, 2002, h. ix-x. 8 Suhelmi, Polemik Negara Islam, h. ix-x. ketatanegaraan Islam, sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan Rasulullah dan empat sahabatnya. 9 Para pendukung aliran ini secara tegas menolak adanya liberalisme, sekularisme dan ideologi-ideologi Barat lainnya, mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari sumber-sumber illahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk mengakhiri hegemoni Barat dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah sulit yang dihadapi masyarakat Muslim. Mereka menginginkan penyatuan agama dan negara, mereka beranggapan bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh Nabi, yang sekaligus bertindak sebagai agamawan dan negarawan. Kekuasaan agama dan negara harus digabung dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat Islam bisa diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi. Pandangan yang menginginkan menyatunya agama dan negara menurut Zuhairi Misrawi dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler, ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang Islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas. 10 Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa Yusuf Qardhawi adalah salah satu pemikir Muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara, sebagai alternatif dari kegagalan sistem sekuler yang telah memporak-porandakan nilai dan moralitas. Menurut Qardhawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat 9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI- PRESS, 1993, h.1. 10 Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses tanggal 1 Desember 2008 dari http:islamlib.comidindex.php?page=artikelid=148.html nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Qur’an dan Sunnah rujukan utamanya. 11

2. Paradigma Islam Substantif

Paradigma ini menolak pendapat bahwa antara agama dan negara itu disatukan, tetapi juga menolak adanya pemisahan secara total atau agama dan negara tidak dapat disatukan, paradigma ini terdiri dari kelompok yang mencoba mengetengahkan atau bisa dikatakan juga dengan kelompok yang mengambil jalan tengah, kelompok yang berada ditengah-tengah antara yang setuju dan tidak setuju dengan penyatuan agama dan negara. Sebagaimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa kelompok ini menolak secara tegas bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Maha Penciptanya. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. 12 Ada yang mengatakan juga bahwa kelompok ini adalah kelompok modernis, kelompok yang memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan termasuk pemerintahan dan negara hanya pada tatanan nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat Islam bisa mengambil sistem lain yang dirasakan bernilai dan bermanfaat. 13 11 Misrawi, Dalam Redaksi Islam Liberal, “Negara Syariat atau Negara Sekuler, 12 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2. 13 Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30. Mereka berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduniaan kemasyarakatan hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara teknis bisa mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini sistem “Barat” yang memperlihatkan kelebihannya. Paradigma ini biasanya di dukung oleh kaum modernis. Kalau kita lihat dari dua paradigma sebelumnya, paradigma ini mencoba menyelaraskan agama dan politik negara tanpa harus memformulasikan ataupun memisahkan keduanya. Bagi mereka yang penting adalah substansinya. Paradigma ini juga bisa disebut dengan paradigma Islam substantif. Adapaun tokoh yang berada dalam paradigma ini antara lain, Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal, Adapun dalam konteks Indonesia ada, Muhammad Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan sebagainya. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat format hubungan agama dengan masalah kenegaraan dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin politik. Meskipun demikian secara substansial keduanya sulit dipisahkan. Paradigma ini lebih menekankan nilai substansinya dari pada formal dan legalnya. Karena wataknya yang substansialis itu dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip Islam, kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, dimana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya. Refleksi kelompok ini dalam bidang politik, pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik. 14 14 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru Jakarta: Paramadina, 1995, h. 155. Negara tidak perlu menelusup masuk kedalam hubungan antara manusia dan tuhannya. Dengan kata lain negara tidak berhak mengintervensi kehidupan beragama seseorang. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah sebagai penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan serta kenyamanan warganya. Dengan kata lain negara hanya mengurus sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan politik saja bukan ikut campur dalam masalah privat, yang terpenting dalam kelompok ini adalah menciptakan format kehidupan demokratis yang berkeadaban civility dan format kewargaan yang inklusif inclusive citizenship tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama hanya puas menerapkan hal- hal simbolik, tetapi hal-hal substansial yang menjadi inti agama tidak terwujud. Dalam hal ini yang diinginkan oleh paradigma ini adalah jangan mementingkan formalnya saja tetapi substansinya. Kemudian kelompok ini menginginkan bagaimana antara ulama dan pemerintah agama dan negara bisa saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurusi masalah moral rakyatnya, kemudian pemerintah mengurusi masalah kesejahteraan, ketentraman dan perdamaian rakyat bisa tercapai. Agama dan negara harus bisa berjalan bersamaan bahkan harus saling mendukung tanpa harus diformalisasikan dan di pisahkan, yang terpenting bagaimana nilai-nilai Islam dapat diimplelemtasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Paradigma Islam Sekularistik

Sekularisme adalah sebuah ideologi atau paham yang intinya adalah agama merupakan masalah pribadi dan masalah subjektif, setiap individu yang hanya bermanfaat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan. Disamping itu paham hidup ini memandang agama hanya berhubungan dengan masalah privat, dalam arti masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu, urusan kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan, pengembangan ilmu dan teknologi modern, dalam pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak perlu dikaitkan dengan agama. 15 Sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagi cara dalam sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara Katolik, menekankan pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada dua aspek yang sama, dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan gereja dan negara. Kata secular, seculer, seculare berarti temporal, sementara, tak abadi. Sekularisme adalah gerakan dalam masyarakat yang mencoba memisahkan urusan luar dunia dari dunia ini. 16 Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan yang tidak akan pernah usai, banyak kalangan intelektual Islam merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan dan menjawab persoalan tentang agama Islam dengan negara, dan banyak pula yang secara tegas menolak konsep sekularisme dengan alasan ideologi tersebut berasal dari Barat dan berbahaya bagi Islam itu sendiri. Para sejarawan mendefinisikan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai hal yang mengindikasikan ”penempatan” agama dalam masyarakat. 17 Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen dan Barat. Kristen Romawai dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan 15 Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan Bandung: Mizan, 1998, h. 75. 16 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam Bandung: Mizan, 1997, h. 179. 17 Sommerville, The Secularazation of Early Modern England, New York: Oxford, 1992, h. 8. interpretasi yang berbeda, pembedaan antara gereja dan negara serta wilayah kekuasaan mereka berbeda. Islam tidak mengakui ini, para teolog Islam membedakan antara urusan agama dan negara dalam kaitannya dengan upaya untuk mencapai keselamatan di akhirat dan hal yang hanya berkenaan dengan kehidupan pribadi di dunia ini. Meskipun demikian Islam tidak pernah mendefinisikan persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Islam juga tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik. Islam tidak mengalami reformasi analog seperti reformasi Protestan di dunia Kristen Barat. Gerakan reformasi Islam, sebelum kedatangan pengaruh Barat, bertujuan memurnikan Islam dari bid’ah dengan jalan memperkuat otoritas Islam atas masyarakat serta memastikan kepatuhan total terhadap hukum-hukum, hal ini berbeda dengan tujuan Protestan yang bermaksud memurnikan agama dengan memisahkan dari negara. Sekularisme sering kali dikaitkan dengan era pencerahan di Eropa dan memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat dan Fasisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme. Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan dan tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan, tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan, pola pemisahan agama dan negara ini menolak eksistensi ”negara agama” juga kaitan dengan hukum keagamaan Di dunia Islam, sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah menjadi paradigma ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan dianggap secara sistematis dan terencana. Sekularisasi dianggap prasyarat transformasi masyarakat tradisional menjadi modern, pendukung arus sekular menyuguhkan analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik Islam untuk berkembang atau berevolusi. 18 Ada dua macam sekularisme, yaitu, sekularisme objektif dan sekularisme subjektif. Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural atau institusional terdapat pemisahan antara agama dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipatahkan dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara agama dan negara. 19 Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama Islam dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim. Sekularisme sebetulnya adalah istilah netral untuk menunjuk kepada konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali di perkenalkan oleh 18 Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syahab Jakarta: Citra, 2006, h. 1. 19 Peter L. Berger, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion New York, Doubleday and Company Inc, 1969, h. 179. George Jacob Holyoake 1817-1906, seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas keagamaan dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri, negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja. Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik negara dipihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara. Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. Dalam pengalaman sejarah Eropa, proses sekularisme hidup perdampingan dengan intersifikasi keagamaan pada tingkat personal dan rakyat, sekularisme sering kali selalu dikaitkan dengan pengalaman sejarah bangsa Eropa dan memainkan peranan penting dalam peradaban Barat. Peristiwa yang menghebohkan dan mengejutkan di dunia Islam adalah bagaimana ketika itu Mustafa Kemal Attaturk memberlakukan sekularisme di Turki pada tahun 1924, yang kita tahu bahwa Turki yang sebelumnya menjadi pusat khilafah Islamiyah yang salah satu tokoh intelektualitas Muslim Ali Abd Ar-Raziq menerbitkan bukunya yang berjudul al-Islam wa ushul al-hukmi Islam dan dasar- dasar pemerintahan pada tahun 1925 yang berisi penolakan secara tegas tentang doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah kedunia dengan membawa misi ganda double mission, dunia dan akhirat. 20 Dalam artian Nabi Muhammad hanya membawa risalah kenabian an sich tanpa ada sangkut pautnya dengan kehidupan temporal negara. Peristiwa sekularisme juga terjadi di negara- negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat secara langsung maupun tidak langsung. Yang membuat kasus Turki menjadi penting adalah kompleksitas persoalan yang menjadi latar belakang peristiwa sekularisme. Sebagai negara yang makin demokratis dan ingin menjunjung kebebasan liberalisme berserikat, Turki memberi saluran dan mengakomodasi berbagai aliran politik, agar maistream politik yang demokratis itu semakin diterima dan mengakar. Yang terjadi adalah, politik Islam itu sangat menguat serta berpotensi mengubah sistem politik Turki yang demokratis dan sekuler itu sendiri. Bagi pembela demokrasi, kasus Turki mengangkat kembali dilema sistem demokrasi, yaitu bagaimana sebenarnya mengakomodasi berbagai politik kepentingan dan aliran masyarakat, namun tetap menjaga agar politik kepentingan dan aliran itu tidak cukup kuat untuk menggoyahkan sistem demokrasi. Sebagaimana kita mengetahui bahwa Turki dihidupi oleh dua peradaban besar di dunia yang terus menerus tumbuh dan berinteraksi, yakni peradaban Barat dan Peradaban Islam. Kemal Attaturk adalah peletak kebudayaan Barat yang terpenting di Turki modern, ia mengubah politik Islam di Turki yang mewarisi dari Ottoman Empire menjadi politik nasional demokrasi seperti di Barat dengan 20 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru Jakarta: Logos, 2001, h. 136. berbagai kebijakan yang radikal. 21 Di tingkat eksekutif dan legislatif, Attaturk menghapuskan kesultanan dan kekhalifahan Islam di tahun 1924, menghapuskan kementrian, pengadilan dan berbagai gelar keagamaan, mengadopsi sistem hukum sekuler Swiss tahun 1926 dan mendeklarasikan Turki sebagai negara republik yang sekuler dalam amandemen konstitusi tahun 1937. Lebih jauh dari itu, Turki juga merubah pendidikan nasional yang bercorak keagamaan menjadi pendidikan model Barat sejak tahun 1926, huruf resmi berbahasa Arab juga diubah menjadi bahasa Latin di tahun 1928. bahasa resmi Nasional Turki di bersihkan dari pengaruh Persia dan Arab dan menjaga perifikasi bahasa ini dengan mendirikan Turkish Linguistic Society, tahun 1932. bahkan panggilan solat diganti dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki. Emansipasi wanita digalakkan dengan mengaktifkan mereka di dunia politik. 22 Namun bagaimanapun juga peradaban Islam lebih lama mengakar, kecenderungan Islamisasi terus hidup dengan menggunakan atribut modern dan juga dihasilkan oleh pendidikan Barat yang modern juga. Sebagaimana Turki, kemudian datang Iran yang ketika itu Dinasti Pahlevi 1925-1979 merupakan periode sekuler, ketika upaya-upaya untuk memaksakan tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan masa yang dipelopori dan dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum pernah secara penuh ditumpas. 21 Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik Jakarta: Putra Berdikari Bangsa, 2000, h. 4.\ 22 Denny JA, dkk, Negara Sekuler, h. 4. Sekularisme sebagai suatu yang impor dari asing dihubungkan dengan pengaruh Amerika yang berlangsung secara gradual terhadap Iran dan terhadap penguasa kedua Pahalevi, Muhammad Reza Syah. 23 Kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sekularisme di negara Muslim yang ketika itu banyak yang menentang dengan perlawanan. Kalau dalam konteks Indonesia, salah satu proklamator kita Soekarno, ia adalah salah seorang Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, ketika itu banyak orang yang menganggap sebagai sekularis. Soekarno mengungkapkan bahwa agama Islam harus dipisahkan oleh negara, karena Indonesia dari sudut pandangan populasi bukanlah negara yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Dengan kenyataan itu tentu kalau Islam dijadikan dasar negara akan terjadi diskriminasi terhadap pemeluk agama yang lain. Menurut Soekarno, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi sedangkan kehidupan bernegara adalah masalah dunia temporal dan kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintah. 24 Cak Nur berpendapat bahwa negara Islam itu tidak terdapat dalam Al- Qur’an dan konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam serta sebuah bentuk apologis umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama beabad-abad. 25 23 Jhon. L Espositto, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Bandung: Mizan, 1999, h. 134. 24 Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler Jakarta: Darul Falah, 1999, h. 59 25 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan, 1992, h. 13. Menurut An-Naim pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa Islam menurunkan ketingkat privat karena prinsip-prinsip Islam, sebetulnya masih bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama. 26 Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama, dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban mendirikan negara. Namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum Muslim. Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik negara karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada moral dan pribadi. Paradigma ini selalu memisahkan Islam agama dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniaan termasuk pemerintahan dan negara. 27 tokoh yang terkenal yang menyuarakan secara lantang adalah Ali Abd Ar-Raziq, Thaha Husain, Abdullahi Ahmed An-Naim serta Soekarno dalam konteks Indonesia. Mereka semua menentang penyatuan antara agama Islam dan negara. Dari ketiga paradigma tersebut, JIL dalam hal ini berada pada paradigma Islam sekularistik, karena menurutnya entitas kenegaraan dan keagamaan harus dipisahkan, mereka memberi gagasan tentang sekularisme sebagai sesuatu yang harus dijalankan dalam negara atau pemerintah. 26 Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Penerjemah Sri Murniati Jakarta: Mizan, 2007, h. 78. 27 Edward Bot, . “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.

B. Islam dan pluralisme