BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG
ISLAM DAN NEGARA
A. Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara
Perdebatan mengenai  hubungan  negara dan agama telah menjadi persoalan yang  cukup  krusial,  apakah  negara  bagian  dari  agama  ataukah  sebaliknya.
Pertanyaan adalah, apakah  negara ada hubungannya dengan agama dalam konteks Islam. Wacana atau istilah relasi antara Islam Agama dan negara tentu mewarnai
perdebatan  fiqh  siyasah  fiqih  politik  dalam  Islam.  Peristiwa  ini  bisa  jadi dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat
di  wilayah  tertentu.  Suatu  negara  memerlukan  sesuatu  institusi  apakah  itu  Islam atau  hal  lain  untuk  mengatur  kehidupan  sosial  kemasyarakatan  secara  bersama-
sama  untuk  mencapai  suatu  cita-cita  dan  keinginan.  Otoritas  politik  memiliki urgensi  yang  harus  ada  yang  terwakilkan  untuk  memerlukan  konsep  negara,
sehingga  dirasa  perlu  oleh  sebagian  kaum  Muslimin  untuk  memerlukan  konsep negara yang berhubungan dengan agama dan berinstitusi dengan Islam itu sendiri.
Perdebatan  ini  sebenarnya  bukan  perdebatan  atau  persoalan  baru  dalam wacaana  keislaman.  Jargon  syariat  Islam  menjadi  bahan  pertimbangan  diantara
kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Kejadian seperti ini hampir dialami oleh sebagian  negara  yang  mempunyai  pemeluk  agama  Islam  lebih  banyak  ketimbang
agama-agama  yang  lain.  Peristiwa  ini  bisa  dilihat  dari  banyaknya  organisasi  atau gerakan  Islam  di  dunia  yang  menyuarakan  agar  negara  harus  berdasarkan  Islam,
dengan kata lain menginginkan negara agama, seperti Ikhwanul Muslimin Mesir, Jama’at  Islamiyah  India,  FIS  Aljazair,  PAS  Malaysia,  bahkan  di  Indonesia
ketika  itu  ada  Masyumi  dan  sekarang  muncul  HTI  Hizbut  Tahrir  Indoneia. Historitas  negara  agama  tersebut  dapat  disebut  sebagai  alternataif  yang  bisa
dilakukan  dan  diwujudkan  oleh  kalangan  Islam  politik  untuk  menjadikan  syariat sebagai sistem kenegaraan.
Kalau  kita  melihat  dari  kaca  mata  dunia  sampai  saat  ini  tidak ada  satupun negara  yang  menjadi  acuan  bagi  negara  lain,  tidak  ada  representasi  negara  Islam.
Banyak  pemikiran  Islam  itu  tidak  lepas  dari  pengaruh  dunia  Barat.  Pada  masa modern,  ekspansi,  imprealisme  dan  kolonialisme  Eropa  kewilayah  Islam  tidak
hanya menciptakan dis-integrasi politik dis-integrartion of politic Islam tapi lebih jauh menggoncangkan jati diri Islam.
1
Perdebatan ini melahirkan tiga kelompok atau aliran, antara lain, Pertama, mereka  yang  secara  tegas  menginginkan  penyatuan  Islam  dan  negara.  Kedua,
mereka yang menginginkan isi dari negara bukan karena simbol dan formalnya saja. Ketiga,
mereka  yang memisahkan antara permasalahan agama Islam dan  negara. Kelompok  dan  aliran  tersebut  semuanya  mempunyai  pandangan  yang  berbeda
dalam memahami hubungan antara agama dan negara, tetapi dari ketiga pandangan tersebut  mengakui  peran  penting  negara  dalam  proses  pencarian  identitas  negara,
umat  Islam  ada  yang  meniru  Barat  dan  ada  pula  yang  menolak  secara  terang- terangan, tetapi menurut penulis tidak semua yang berasal dari Barat itu tidak baik
pasti  ada  baiknya  juga,  tetapi  ada  juga  yang  bersikeras  mengatakan  bahwa  Islam mempunyai konsep yang jelas.
Beragam  macam  pendukung  dan  penentang  tentang  relasi  agama  dan negara, ada yang ekstrim, ada yang moderat. Pendukung yang ekstrim, mereka yang
mencoba  menerapkan  Islam  sebagai  institusi  negara,  mengubah  sistem  politik
1
Azyumardi  Azra,  Pergolakan  Politik  Islam  dari  Fundamentalisme,  Modernisme  Hingga Post-Modernisme
Jakarta: Paramadina, 1996, h. 2.
menjadi  khilafah atau  negara  Islam.  Sementara  ada  juga  yang  memisahkan  agama Islam dari konteks negara.
Pandangan,  relasi  atau  hubungan  antara  agama  dan  negara  menurut Kamaruzzaman  menjadi  dua  gerakan.  Pertama,  gerakan  fundamentalisme  yaitu
kalangan  yang  menginginkan  adanya  integrasi  agama  dan  negara.  Kedua  disebut gerakan modernisme  yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu, modernisme Islam
dan  modernisme  sekuler.  Modernisme  Islam  berpandangan  bahwa  agama  dan negara  di  integrasikan  namun  tidak  mempersoalkan  jika  umat  Islam  mencontoh
Barat.  Adapun  kelompok  modernisme  sekuler,  mereka  memisahkan  antara  agama dan  negara  dan  pada  waktu  bersamaan  mencontoh  gaya  Barat  dalam  sistem
kenegaraan.
2
Di  sini  penulis  mencoba  menggambarkan  beberapa  pandangan  yang  ada dalam  memahami  hubungan  antara  agama  dan  negara,  yang  akan  diklarifikasikan
berdasarkan  tiga  paradigma  yaitu,  paradigma  Islam  formalistik,  paradigma  Islam substansif  serta  paradigma  Islam  sekularistik,  penulis  juga  mengklasifikasi  tokoh-
tokoh yang berada dalam paradigma tersebut.
1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik
Paradigma  ini  menginginkan  pengintegrasian  antara  Islam  dan  negara. Karena  Islam  adalah  agama  yang  serba  lengkap  yang  mengatur  masalah  agama,
negara dan masyarakat, dalam paradigma ini mereka mencoba menjelaskan bahwa Islam  tidak  dapat  dilepaskan  dengan  persoalan  negara,  tidak  ada  pemisahan
layaknya agama Kristen dalam doktrin two sord-nya tersebut.
2
Kamaruzzaman,  Relasi  Islam  dan  Negara:  Perspektif  Modernis  dan  Fundamentalis Magelang: Indonesia Tera, 2001, h.50.
Paradigma  ini  menjelaskan  bahwa  antara  Islam  dan  politik  tidak  dapat dipisahkan, sekiranya muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala
sesuatu,  termasuk  persoalan  agama  dan  politik,  syariat  Islam,  din  wa  daulah merupakan  Istilah  yang  berhubungan  dengannya.  Dalam  pandangan  ini  Islam
merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memilki sistem dan teori politik tersendiri.
Sistem  pemerintahan  dan  politik  yang  bergariskan  Islam  tak  lain  hanya sistem  yang  pernah  dilaksanakan  oleh  Nabi  Muhammad  Saw  dan  Khulafa  Ar-
Rasyidin.  Kelompok  ini  secara  spesifik  terbagi  lagi  menjadi  dua  aliran,  yakni tradisionalis  dan  fundamentalis.  Kalangan  tradisionalis  adalah  mereka  yang  tetap
ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan empat sahabatnya, dengan tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah
mereka  yang  ingin  melakukan  reformasi  sistem  sosial,  sistem  pemerintahan  dan negara  untuk  kembali  kepada  konsep  Islam  secara  total  dan  menolak  konsep
lainnya.
3
Dengan begitu mereka mempunyai keyakian bahwa umat Islam mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk Islam, entah itu dengan
kata  apa,  karena  kepercayaan  yang  teguh  bahwa  antara  Islam  dan  politik  harus disatukan,  banyak  orang  memberi  penilaian  terhadap  kelompok  ini  sebagai
penganut mazhab teokratis.
4
Tokoh  yang  berada  dalam  paradigma  ini  adalah  Muhammad  Natsir, disamping  banyak  tokoh  yang  lain  baik  di  luar  maupun  di  dalam  negeri.  Faktor
yang  paling  dominan  yang  melatar  belakangi  pemikiran  Natsir  tentang  hal  ini
3
Edward Bot,  “Islam dan Negara  menurut  Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.
4
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang Tidak Mudah
Jakarta: Ushul Press, 2005, h. 8.
adalah keyakinannya akan ajaran Al-Qur’an. Muhammad Natsir secara tegas dalam pidatonya tentang ”Islam sebagai dasar negara” menyatakan yakni “kehendak kami
saya dan Masyumi sebagaimana  yang sudah diketahui kita semua, supaya negara Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam.
5
Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara. Lembaga negara sebagai  alat  untuk  menerapkan  hukum-hukum  yang  telah  ada,  dan  pikiran  seperti
ini  nampaknya  menguasai  pandangan  Natsir  dalam pelaksanaan  syariat Islam  atau hukum-hukum Islam di Indonesia.
Menurut Natsir Islam dan negara merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan dan dipisahkan, oleh karena itu keterkaitan Islam dan negara  sangat
signifikan, kalau ada pembedaan antara keduanya, menurutnya itu karena pengaruh Barat.  Barat  yang  mencoba  menancapkan  doktrin  kedalam  dunia  Islam.  Natsir
memandang bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik. Islam  tidak  memisahkan  persoalan  rohani  dan  duniawi,  melainkan  mencakup  dua
segi, hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
6
Ahmad  Suhelmi  mengungkapkan  bahwa  pandangan  Natsir  tentang  agama tertitik  tolak  dari  pandangan  bahwa  agama  Islam  tidak  dapat  dipisahkan  dari
negara,  bagi  Natsir  urusan  kenegaraan  pada  pokoknya  merupakan  bagian  integral risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah sosio-politik umat, diantara
prinsip-prinsip  yang  harus  diikuti  dan  dihormati.  Menurut  Natsir  adalah  prinsip syura
,  tentang  bagaimana  mengembangkan  dan  menyesuaikan  mekanisme  syura,
5
Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 8.
6
Aay Muhammad  Furqon, Partai  Keadilan  Sejahtera: Ideologi dan  Praksis  Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer
Bandung: Mizan, 2004, h. 8.
menurut Natsir semuanya bergantung kepada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak menetapkan secara kaku dan pasti.
7
Ia  adalah  demokrat  yang  bagus  dan  gigih,  sekalipun  tidak  senang  dengan praktik-praktik  sistem  demokrasi  di  Barat.  ”Demokrasi  bagus”  akan  tetapi  sistem
kenegaraan  Islam  tidak  menggantungkan  semua  urusan  kepada  kerahiman instelling-instelling demokrasi.  Islam menurutnya adalah sintesis antara demokrasi
dan  otokrasi  atau  sistem  politik  diktatosial,  tetapi  bagaimana  sintesis  ini beroperasinya, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara menyakinkan.
8
Kemudian  upaya  ini  juga  terjadi  pada  gerakan  yang  dinamakan  dengan DITII  Darul  IslamTentara  Islam  Indonesia.  Suatu  gerakan  yang  berideologikan
Islam  yang mempunyai tujuan mendirikan  negara Islam  yang di dalamnya berlaku hukum  syariat  Islam.  Gerakan  ini  muncul pada  tahun  1949-1962  yang  melakukan
konfrontasi  dengan  jalur  peperangan  lewat  tentara  yang  mereka  latih  dengan mengambil  teknik  perjuangan  gerilya.  Tokoh  yang  melakukan  gerakan  ini  antara
lain, Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureureh. Paradigma ini memahami bahwa Islam sebagai agama pada prinsipnya tidak
dapat  dipisahkan,  alasan  seperti  ini  memunculkan  sebuah  sistem  syariat  secara langsung  sebagai  sebuah  konstitusi  negara,  ada  semacam  kesadaran  teologis  yang
sangat  kental,  bahwa  syariat  Islam  dengan  kesempurnaannya  dapat  menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam.
Munawir  Sjadzali  menjelaskan  bahwa  pengaruh  aliran  ini  pada  umumnya berpendirian  bahwa  Islam  merupakan  sebuah  agama  yang  serba  lengkap  yang
mengurusi  masalah  keduniaan  dan  kenegaraan  serta  masalah  politik.  Oleh karenanya  dalam  bernegara  umat  Islam  hendaknya  kembali  kepada  sistem
7
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir Jakarta: Teraju, 2002, h. ix-x.
8
Suhelmi, Polemik Negara Islam, h. ix-x.
ketatanegaraan  Islam, sistem  kenegaraan  atau  politik  yang  harus  diteladani  adalah sistem yang telah dilaksanakan Rasulullah dan empat sahabatnya.
9
Para  pendukung  aliran  ini  secara  tegas  menolak  adanya  liberalisme, sekularisme  dan  ideologi-ideologi  Barat  lainnya,  mereka  mendukung  adopsi  yang
komprehensif  dari  sumber-sumber  illahiyah  yang  sakral  sebagai  suatu  cara  untuk mengakhiri  hegemoni  Barat  dan  sekaligus  berupaya  mengatasi  berbagai  masalah
sulit yang dihadapi masyarakat Muslim. Mereka  menginginkan  penyatuan  agama  dan  negara,  mereka  beranggapan
bahwa  integrasinya  agama  dan  negara  juga  dibangun  atas  contoh  Nabi,  yang sekaligus  bertindak  sebagai  agamawan  dan  negarawan.  Kekuasaan  agama  dan
negara harus digabung dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat Islam bisa diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi.
Pandangan  yang  menginginkan  menyatunya  agama  dan  negara  menurut Zuhairi Misrawi dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai tawaran alternatif
bagi  kegagalan  sistem  sekuler,  ini  menjadi  alasan  yang  sering  disebut-sebut  guna membangun masyarakat  yang Islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai
suatu resistensi terhadap modernitas.
10
Dalam  tulisannya  itu  ia  mengatakan  bahwa  Yusuf  Qardhawi  adalah  salah satu pemikir Muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara,
sebagai  alternatif  dari  kegagalan  sistem  sekuler  yang  telah  memporak-porandakan nilai  dan  moralitas.  Menurut  Qardhawi  tegasnya,  Islam  mempunyai  seperangkat
9
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI- PRESS, 1993, h.1.
10
Zuhairi  Misrawi,  “Negara  Syariat  atau  Negara  Sekuler,”artikel  diakses  tanggal  1 Desember 2008 dari http:islamlib.comidindex.php?page=artikelid=148.html
nilai  dan  pemikiran  guna  membangun  masyarakat  yang  berkeadilan  dan berkeadaban. Al-Qur’an dan Sunnah rujukan utamanya.
11
2. Paradigma Islam Substantif
Paradigma  ini  menolak  pendapat  bahwa  antara  agama  dan  negara  itu disatukan,  tetapi  juga  menolak  adanya  pemisahan  secara  total  atau  agama  dan
negara  tidak  dapat  disatukan,  paradigma  ini  terdiri  dari  kelompok  yang  mencoba mengetengahkan atau bisa dikatakan juga dengan kelompok yang mengambil jalan
tengah, kelompok yang berada ditengah-tengah antara  yang setuju dan tidak setuju dengan penyatuan agama dan negara.
Sebagaimana  Munawir  Sjadzali  mengatakan  bahwa  kelompok  ini  menolak secara tegas bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam
terdapat  sistem  kenegaraan,  tetapi  aliran  ini  juga  menolak  anggapan  bahwa  Islam adalah  agama  dalam  pengertian  Barat  yang  hanya  mengatur  hubungan  manusia
dengan  Maha  Penciptanya.  Kelompok  ini  berpendirian  bahwa  dalam  Islam  tidak terdapat  sistem  kenegaraan  tetapi  terdapat  seperangkat  tata  nilai  etika  bagi
kehidupan bernegara.
12
Ada yang mengatakan juga bahwa kelompok ini adalah kelompok modernis, kelompok  yang  memandang  bahwa  Islam  mengatur  masalah  keduniaan  termasuk
pemerintahan  dan  negara  hanya  pada  tatanan  nilai  dan  dasar-dasarnya  saja  dan secara  teknis  umat  Islam  bisa  mengambil  sistem  lain  yang  dirasakan  bernilai  dan
bermanfaat.
13
11
Misrawi, Dalam Redaksi Islam Liberal, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,
12
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2.
13
Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.
Mereka  berpendapat  bahwa  Islam  mengatur  masalah  keduniaan kemasyarakatan  hanya  secara  dasar-dasarnya  saja,  adapun  secara  teknis  bisa
mengadopsi  sistem  lain,  yang  dalam  hal  ini  sistem  “Barat”  yang  memperlihatkan kelebihannya. Paradigma ini biasanya di dukung oleh kaum modernis.
Kalau  kita  lihat  dari  dua  paradigma  sebelumnya,  paradigma  ini  mencoba menyelaraskan  agama  dan  politik  negara  tanpa  harus  memformulasikan  ataupun
memisahkan keduanya. Bagi mereka  yang penting adalah substansinya. Paradigma ini juga bisa disebut dengan paradigma Islam substantif.
Adapaun  tokoh  yang  berada  dalam  paradigma  ini  antara  lain,  Muhammad Abduh,  Muhammad  Husain  Haikal,  Adapun  dalam  konteks  Indonesia  ada,
Muhammad Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan sebagainya. Kelompok  ini  berpendirian  bahwa  Islam  tidak  terdapat  format  hubungan
agama dengan masalah  kenegaraan dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah doktrin  politik.  Meskipun  demikian  secara  substansial  keduanya  sulit  dipisahkan.
Paradigma ini lebih menekankan nilai substansinya dari pada formal dan legalnya. Karena  wataknya  yang  substansialis  itu  dengan  menekankan  nilai-nilai  keadilan,
persamaan,  musyawarah  dan  partisipasi  yang  tidak  bertentangan  dengan  prinsip- prinsip  Islam,  kecenderungan  ini  mempunyai  potensi  untuk  berperan  sebagai
pendekatan  yang  dapat  menghubungkan  Islam  dengan  sistem  politik  modern, dimana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.
Refleksi  kelompok  ini  dalam  bidang  politik,  pada  dasarnya  adalah melakukan  upaya  yang  signifikan  terhadap  pemikiran  dan  orientasi  politik  yang
menekankan manifestasi substansial dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.
14
14
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru
Jakarta: Paramadina, 1995, h. 155.
Negara tidak perlu menelusup masuk kedalam hubungan antara manusia dan tuhannya.  Dengan  kata  lain  negara  tidak  berhak  mengintervensi  kehidupan
beragama  seseorang.  Tugas  pemerintah  dalam  hal  ini  adalah  sebagai  penjaga perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan serta  kenyamanan
warganya. Dengan kata lain negara hanya mengurus sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan politik saja bukan ikut campur dalam masalah privat, yang terpenting
dalam  kelompok  ini  adalah  menciptakan  format  kehidupan  demokratis  yang berkeadaban  civility  dan  format  kewargaan  yang  inklusif  inclusive  citizenship
tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama hanya puas menerapkan hal- hal simbolik, tetapi hal-hal substansial yang menjadi inti agama tidak terwujud.
Dalam  hal  ini  yang  diinginkan  oleh  paradigma  ini  adalah  jangan mementingkan  formalnya  saja  tetapi  substansinya.  Kemudian  kelompok  ini
menginginkan  bagaimana  antara  ulama  dan  pemerintah  agama  dan  negara  bisa saling  mengisi  satu  sama  lain.  Para  ulama  mengurusi  masalah  moral  rakyatnya,
kemudian  pemerintah  mengurusi  masalah  kesejahteraan,  ketentraman  dan perdamaian rakyat bisa tercapai.
Agama  dan  negara  harus  bisa  berjalan  bersamaan  bahkan  harus  saling mendukung  tanpa  harus  diformalisasikan  dan  di  pisahkan,  yang  terpenting
bagaimana  nilai-nilai  Islam  dapat  diimplelemtasikan  dalam  kehidupan  berbangsa dan bernegara.
3. Paradigma Islam Sekularistik
Sekularisme adalah sebuah ideologi atau paham yang intinya adalah agama merupakan  masalah  pribadi  dan  masalah  subjektif,  setiap  individu  yang  hanya
bermanfaat  untuk  memenuhi  tuntutan-tuntutan  kejiwaan.  Disamping  itu  paham
hidup ini memandang agama hanya berhubungan dengan masalah privat, dalam arti masalah-masalah  pribadi.  Oleh  karena  itu,  urusan  kemasyarakatan,  seperti  politik,
ekonomi,  kebudayaan,  pengembangan  ilmu  dan  teknologi  modern,  dalam pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak perlu dikaitkan dengan agama.
15
Sekularisme  telah  banyak  digunakan  dalam  berbagi  cara  dalam  sejumlah perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai
kebijakan  memisahkan  gereja  dari  negara.  Di  negara-negara  Katolik,  menekankan pembedaan antara orang awam dari  kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada
dua aspek yang sama, dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan gereja dan negara.
Kata  secular,  seculer,  seculare  berarti  temporal,  sementara,  tak  abadi. Sekularisme  adalah  gerakan dalam masyarakat  yang mencoba memisahkan urusan
luar dunia dari dunia ini.
16
Terminologi  Islam  dan  sekularisme  sering  menjadi  perdebatan  yang  tidak akan  pernah  usai,  banyak  kalangan  intelektual  Islam  merujuk  kepada  sekularisme
untuk mengartikan dan menjawab persoalan tentang agama Islam dengan negara, dan  banyak  pula  yang  secara  tegas  menolak  konsep  sekularisme  dengan  alasan
ideologi  tersebut  berasal  dari  Barat  dan  berbahaya  bagi  Islam  itu  sendiri.  Para sejarawan mendefinisikan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai
hal yang mengindikasikan ”penempatan” agama dalam masyarakat.
17
Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen dan Barat. Kristen Romawai dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan
15
Amien  Rais,  Tauhid  Sosial:  Formula  Menggempur  Kesenjangan  Bandung:  Mizan, 1998, h. 75.
16
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam Bandung: Mizan, 1997, h. 179.
17
Sommerville, The Secularazation of Early Modern England, New York: Oxford, 1992, h. 8.
interpretasi  yang  berbeda,  pembedaan  antara  gereja  dan  negara  serta  wilayah kekuasaan  mereka  berbeda.  Islam  tidak  mengakui  ini,  para  teolog  Islam
membedakan antara urusan agama dan negara dalam kaitannya dengan upaya untuk mencapai keselamatan di akhirat dan hal  yang hanya berkenaan dengan kehidupan
pribadi  di  dunia  ini.  Meskipun  demikian  Islam  tidak  pernah  mendefinisikan persoalan  keagamaan  dan  politik  sebagai  dua  institusi  yang  berbeda.  Islam  juga
tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik. Islam tidak mengalami reformasi analog seperti reformasi Protestan di dunia
Kristen  Barat.  Gerakan  reformasi  Islam,  sebelum  kedatangan  pengaruh  Barat, bertujuan  memurnikan  Islam  dari  bid’ah  dengan  jalan  memperkuat  otoritas  Islam
atas  masyarakat  serta  memastikan  kepatuhan  total  terhadap  hukum-hukum,  hal  ini berbeda  dengan  tujuan  Protestan  yang  bermaksud  memurnikan  agama  dengan
memisahkan dari negara. Sekularisme  sering  kali  dikaitkan  dengan  era  pencerahan  di  Eropa  dan
memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat dan Fasisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme.
Kelompok  sekuler  percaya  bahwa  Islam  dan  politik  harus  dipisahkan  dan  tidak mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan,
tidak  mengatur  hal-hal  yang  berkaitan  dengan  politik  atau  pemerintahan,  pola pemisahan  agama  dan  negara  ini  menolak  eksistensi  ”negara  agama”  juga  kaitan
dengan hukum keagamaan Di  dunia  Islam,  sekularisasi  bukan  hanya  sebuah  proses,  tapi  juga  telah
menjadi paradigma ideologi dan dogma  yang diyakini  kebenarannya dan dianggap secara  sistematis  dan  terencana.  Sekularisasi  dianggap  prasyarat  transformasi
masyarakat  tradisional  menjadi  modern,  pendukung  arus  sekular  menyuguhkan
analisis  yang  penuh  optimis  atas  nilai-nilai  Barat,  dan  mengukuhkannya  sebagai konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik
Islam untuk berkembang atau berevolusi.
18
Ada  dua  macam  sekularisme,  yaitu,  sekularisme  objektif  dan  sekularisme subjektif.  Sekularisme  objektif  terjadi  bila  secara  struktural  atau  institusional
terdapat  pemisahan  antara  agama  dan  lembaga-lembaga  lain.  Sedangkan sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipatahkan
dalam  agama,  ada  pemisahan  antara  pengalaman  hidup  dengan  pengalaman keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara
agama dan negara.
19
Dalam  istilah  politik,  sekularisme  adalah  pergerakan  menuju  pemisahan antara  agama  Islam  dan  negara.  Hal  ini  dapat  berupa  hal  seperti  mengurangi
keterkaitan  antara  pemerintahan  dan  agama  negara,  menggantikan  hukum keagamaan  dengan  hukum  sipil,  dan  menghilangkan  pembedaan  yang  tidak  adil
dengan  dasar  agama.  Hal  ini  dikatakan  menunjang  demokrasi  dengan  melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
Secara  umum  sekularisme  dipahami  sebagai  upaya  untuk  memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama
sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan
demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim. Sekularisme sebetulnya adalah istilah netral untuk menunjuk kepada konsep
tentang  pemisahan  agama  dan  negara.  Istilah  ini  pertamakali  di  perkenalkan  oleh
18
Ahmad  Vaezi,  Agama  Politik:  Nalar  Politik  Islam.  Penerjemah  Ali  Syahab  Jakarta: Citra, 2006, h. 1.
19
Peter  L.  Berger, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion New York, Doubleday and Company Inc, 1969, h. 179.
George  Jacob  Holyoake  1817-1906,  seorang  sarjana  Inggris,  sebagai  sebuah gagasan  alternatif  untuk mengatasi  ketegangan  panjang  antara  otoritas  keagamaan
dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme masing-masing agama dan negara memiliki  otoritasnya  sendiri-sendiri,  negara  mengurusi  politik  sedangkan  agama
mengurusi gereja. Sebagaimana  praktik  kenegaraan  yang  terdapat  di  Barat,  kaum  sekular
menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam dan  politik  merupakan  dua  hal  yang  sangat  berbeda.  Mendirikan  negara  bukanlah
suatu  kewajiban  agama,  itu  hanya  kebutuhan  duniawi  yang  lepas  dari  pengaruh agama. Karena  itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik negara dipihak
lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara. Sekularisme  adalah  pergerakan  menuju  pemisahan  totalitas  antara  agama
dan  negara.  Hal  ini  dapat  berupa  hal  seperti  mengurangi  keterkaitan  antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan  hukum keagamaan dengan  hukum
sipil  dan  menghilangkan  pembedaan  yang  tidak  adil dengan  dasar  negara.  Hal  ini dikatakan  menunjang  demokrasi  dengan  melindungi  hak-hak  kalangan  beragama
minoritas. Dalam pengalaman sejarah Eropa, proses sekularisme hidup perdampingan
dengan  intersifikasi  keagamaan  pada  tingkat  personal  dan  rakyat,  sekularisme sering  kali  selalu  dikaitkan  dengan  pengalaman  sejarah  bangsa  Eropa  dan
memainkan peranan penting dalam peradaban Barat. Peristiwa  yang  menghebohkan  dan  mengejutkan  di  dunia  Islam  adalah
bagaimana ketika itu Mustafa Kemal Attaturk memberlakukan sekularisme di Turki pada  tahun  1924,  yang  kita  tahu  bahwa  Turki  yang  sebelumnya  menjadi  pusat
khilafah Islamiyah yang salah satu  tokoh intelektualitas Muslim Ali Abd Ar-Raziq
menerbitkan bukunya  yang berjudul al-Islam wa ushul al-hukmi Islam dan dasar- dasar  pemerintahan  pada  tahun  1925  yang  berisi  penolakan  secara  tegas  tentang
doktrin  yang  mengatakan  bahwa  Nabi  Muhammad  diutus  Allah  kedunia  dengan membawa  misi  ganda  double  mission,  dunia  dan  akhirat.
20
Dalam  artian  Nabi Muhammad  hanya  membawa  risalah  kenabian  an  sich  tanpa  ada  sangkut  pautnya
dengan  kehidupan temporal negara. Peristiwa sekularisme  juga terjadi di negara- negara  berpenduduk  mayoritas  Muslim  lainnya,  baik  oleh  adanya  intervensi  Barat
secara langsung maupun tidak langsung. Yang membuat kasus Turki menjadi penting adalah kompleksitas persoalan
yang  menjadi  latar  belakang  peristiwa  sekularisme.  Sebagai  negara  yang  makin demokratis  dan  ingin  menjunjung  kebebasan  liberalisme  berserikat,  Turki
memberi  saluran  dan  mengakomodasi  berbagai  aliran  politik,  agar  maistream politik  yang  demokratis  itu  semakin  diterima  dan  mengakar.  Yang  terjadi  adalah,
politik  Islam  itu  sangat  menguat  serta  berpotensi  mengubah  sistem  politik  Turki yang demokratis dan sekuler itu sendiri.
Bagi  pembela  demokrasi,  kasus  Turki  mengangkat  kembali  dilema  sistem demokrasi,  yaitu  bagaimana  sebenarnya  mengakomodasi  berbagai  politik
kepentingan dan aliran masyarakat,  namun tetap menjaga  agar politik kepentingan dan aliran itu tidak cukup kuat untuk menggoyahkan sistem demokrasi.
Sebagaimana  kita  mengetahui  bahwa  Turki  dihidupi  oleh  dua  peradaban besar di dunia  yang terus menerus tumbuh dan berinteraksi, yakni peradaban Barat
dan  Peradaban  Islam.  Kemal  Attaturk  adalah  peletak  kebudayaan  Barat  yang terpenting di Turki modern, ia mengubah politik Islam di Turki yang mewarisi dari
Ottoman  Empire  menjadi  politik  nasional  demokrasi  seperti  di  Barat  dengan
20
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru Jakarta: Logos, 2001, h. 136.
berbagai  kebijakan  yang  radikal.
21
Di  tingkat  eksekutif  dan  legislatif,  Attaturk menghapuskan  kesultanan  dan  kekhalifahan  Islam  di  tahun  1924,  menghapuskan
kementrian,  pengadilan  dan  berbagai  gelar  keagamaan,  mengadopsi  sistem  hukum sekuler Swiss tahun 1926 dan mendeklarasikan Turki sebagai negara republik yang
sekuler dalam amandemen konstitusi tahun 1937. Lebih jauh dari itu, Turki juga merubah pendidikan nasional  yang bercorak
keagamaan  menjadi  pendidikan  model  Barat  sejak  tahun  1926,  huruf  resmi berbahasa  Arab  juga  diubah  menjadi  bahasa  Latin  di  tahun  1928.  bahasa  resmi
Nasional Turki di bersihkan dari pengaruh Persia dan Arab dan menjaga perifikasi bahasa  ini  dengan  mendirikan  Turkish  Linguistic  Society,  tahun  1932.  bahkan
panggilan solat diganti dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki. Emansipasi wanita digalakkan dengan mengaktifkan mereka di dunia politik.
22
Namun bagaimanapun juga  peradaban  Islam  lebih  lama  mengakar,  kecenderungan  Islamisasi  terus  hidup
dengan  menggunakan  atribut  modern  dan  juga  dihasilkan  oleh  pendidikan  Barat yang modern juga.
Sebagaimana  Turki,  kemudian  datang  Iran  yang  ketika  itu  Dinasti  Pahlevi 1925-1979  merupakan  periode  sekuler,  ketika  upaya-upaya  untuk  memaksakan
tatanan  modernisasi  negara  pada  akhirnya  menyulut  perlawanan  masa  yang dipelopori  dan  dimotori  oleh  tokoh-tokoh  agama  syiah  yang  otoritasnya  belum
pernah secara penuh ditumpas.
21
Denny  JA,  dkk,  Negara  Sekuler:  Sebuah  Polemik  Jakarta:  Putra  Berdikari  Bangsa, 2000, h. 4.\
22
Denny JA, dkk, Negara Sekuler, h. 4.
Sekularisme  sebagai  suatu  yang  impor  dari  asing  dihubungkan  dengan pengaruh  Amerika  yang  berlangsung  secara  gradual  terhadap  Iran  dan  terhadap
penguasa kedua Pahalevi, Muhammad Reza Syah.
23
Kedua  peristiwa  tersebut  merupakan  peristiwa  sekularisme  di  negara Muslim  yang  ketika itu banyak  yang menentang  dengan perlawanan. Kalau dalam
konteks  Indonesia,  salah  satu  proklamator  kita  Soekarno,  ia  adalah  salah  seorang Muslim  yang  mendukung  pemisahan  antara  agama  dan  negara,  ketika  itu  banyak
orang yang menganggap sebagai sekularis. Soekarno mengungkapkan bahwa agama Islam  harus  dipisahkan  oleh  negara,  karena  Indonesia  dari  sudut  pandangan
populasi bukanlah negara  yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Dengan kenyataan itu  tentu  kalau  Islam  dijadikan  dasar  negara  akan  terjadi  diskriminasi  terhadap
pemeluk agama yang lain. Menurut  Soekarno,  agama  merupakan  masalah  spiritual  dan  pribadi
sedangkan kehidupan
bernegara adalah
masalah dunia
temporal dan
kemasyarakatan.  Bertolak  dari  asumsi  ini  Soekarno  menilai bahwa  aplikasi  ajaran agama  hanyalah  tanggung  jawab  pribadi  setiap  Muslim  dan  sama  sekali  bukan
masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintah.
24
Cak  Nur  berpendapat  bahwa  negara  Islam  itu  tidak  terdapat  dalam  Al- Qur’an dan konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam serta sebuah bentuk
apologis umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia Islam selama beabad-abad.
25
23
Jhon. L Espositto, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Bandung: Mizan, 1999, h. 134.
24
Ahmad Suhelmi,  Soekarno Versus  Natsir:  Kemenangan  Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler
Jakarta: Darul Falah, 1999, h. 59
25
Nurcholish  Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan, 1992,  h. 13.
Menurut An-Naim pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa Islam menurunkan  ketingkat privat  karena prinsip-prinsip Islam,  sebetulnya masih
bisa  diajukan  untuk  diadopsi  oleh  negara  menjadi  kebijakan  atau  undang-undang negara.  Namun,  pengajuan  ini  harus  didukung  oleh  public  reason  yang  berarti
bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus merujuk pada keyakinan agama.
26
Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama,  dalam  pengertian  bahwa  agama  sama  sekali  tidak  menyebut  kewajiban
mendirikan  negara.  Namun  tidak  pula  mewajibkan  untuk  mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum Muslim.
Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari politik  negara  karena  bagi  mereka  Islam  hanya  terbatas  pada  moral dan  pribadi.
Paradigma  ini  selalu  memisahkan  Islam  agama  dengan  urusan  pemerintahan, karena  mereka  berkeyakinan  bahwa  Islam  tidak  mengatur  masalah  keduniaan
termasuk pemerintahan dan negara.
27
tokoh yang terkenal yang menyuarakan secara lantang adalah Ali Abd Ar-Raziq, Thaha Husain, Abdullahi Ahmed An-Naim  serta
Soekarno  dalam  konteks  Indonesia.  Mereka  semua  menentang  penyatuan  antara agama Islam dan negara.
Dari  ketiga  paradigma  tersebut,  JIL  dalam  hal  ini  berada  pada  paradigma Islam  sekularistik,  karena  menurutnya  entitas  kenegaraan  dan  keagamaan  harus
dipisahkan,  mereka  memberi  gagasan  tentang  sekularisme  sebagai  sesuatu  yang harus dijalankan dalam negara atau pemerintah.
26
Abdullahi  Ahmed  An-Naim,  Islam  dan  Negara  Sekuler:  Menegosiasikan  Masa  Depan Syariah,
Penerjemah Sri Murniati Jakarta: Mizan, 2007, h. 78.
27
Edward Bot, . “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.
B. Islam dan pluralisme