B. Islam dan pluralisme
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan zaman pencerahan enlightment Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern, yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang
berorientasi pada superioritas akal rasionalisme dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di
Eropa yang timbul sebagai konsikuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja, munculah suatu fahan yang dikenal
dengan ”Liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi dan keragaman pluralism.
Islam sendiri sebagai agama yang universal sangat menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan, persamaan hak, kebebasan liberalism dan mengakui adanya
agama yang plural. Pluralisme agama menurut Islam adalah hukum atau aturan tuhan law of God yang tidak akan berubah, tidak akan dilawan dan diingkari.
Ungkapan ini bagi sebagian orang menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai pluralisme, karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak
penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan agama masing-masing. Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham ”pluralisme
agama”, penyebaran paham ini di Indonesia sangat meluas. Istilah pluralisme agama atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa
ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib salah satu penulis gerakan Islam liberal di Indonesia, disamping M. Dawam Raharjo dan Djohan Effendi.
Ketika akhir tahun 1960-an, paham ini tentu saja sangat aneh, meskipun ide- ide persamaan agama tidak pernah berhenti dilontarkan, tetapi hampir tidak ada
kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang melontarkan pahan semacam ini.
Gagasan penyamaan agama, oleh sebagian kalangan kemudian di populerkan dengan istilah Pluralisme Agama yang dikembangkan sampai ke level
operasional kehidupan sosial. Seperti penghalalan perkawinan antar agama dan sebagainnya. Gagasan ini juga secara tidak terlalu tepat distandarkan pada ide
Trancendent Unity of Religion yang secara sistematis dikembangkan oleh Frieth
Ohof Schoon. Dengan gagasan ”pluralisme agama” itu, maka tidak boleh ada ”truth claim”
, bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan ini, maka masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran mutlak,
karena masing-masing mempunyai metode, jalan atau bentuk untuk mencapai tuhan.
Ide Trancendent Unity of Religion sendiri berpendapat, bahwa semua agama
adalah sama, esensinya adalah sama, sebab agama itu didasarkan kepada sumber yang sama. Bentuknya bisa berbeda, karena manifestasi yang berbeda ketika
menanggapi yang mutlak. Diskursus tentang istilah Islam dan pluralisme merupakan tema penting
yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan Muslim pada dekade 1980-an. Pentingnya tema ini nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kondisi objektif
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai tingkat kemajemukan tinggi secara fisik negara kepulauan maupun dari segi sosial budaya social culture.
Secara fisik kepulauan Indonesia terdiri tidak kurang dari ± 15.000 pulau besar kecil dihuni maupun tidak dihuni. Selain itu Indonesia terdiri dari beberapa suku,
bahasa, adat-istiadat serta agama yang juga menunjukkan heterogenitas sosial budaya, sekalipun Islam agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal
perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
28
Nurcholish sangat menyadarai bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik, baik dari segi etis, adat-istiadat maupun agama. Dari segi agama, selain
Islam realitas menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah
sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Namun demikian ia tetap optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini,
Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan, seperti dinyatakan dalam urainnya sebagai berikut:
”Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam disebut sebagai dukungan karena Islam adalah agama yang pengalamannya
dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih nampak jelas dan
nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana agama Islam merupakan anutan mayoritas agama-agama lain, tidak mengalami kesulitan berarti, tapi
sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di
negara-negara demokratis Barat. Disana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kelebihan beragama yang menjadi hak mereka”.
29
Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula
mencerminkan tekad demi berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya adalah Indonesia mempunyai
pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran politik dan keagamaan, sejak zaman pra kemerdekaan hingga setidaknya ia melihat
ideologi negara pancasilalah yang sudah memberi kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan.
28
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban Jakarta: Paramadina, 1992, h. iv.
29
Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. xvviii.
Masalah dasar pluraslime yang dikembangkan Cak Nur sering menuai kontroversi dari kalangan intelektual Muslim lainnya, bahkan MUI sekalipun. Cak
Nur menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan memperoleh manfaat yang sangat besar dalam usaha transformasi sosial menuju demokrasi, keterbukaan demi
keadilan itu, jika pluralisme dapat ditanamkan dan dijalankan oleh setiap Muslim yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, oleh karena itu ia dengan tegas
menyatakan bahwa tidak ada jalan lagi bagi umat Muslim khususnya Indonesia untuk menjalankan pluralisme untuk membuat negeri, bangsa ini maju, makmur,
kuat dan modern sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia. Pluralisme, sebagimana halnya seluruh fenomena dan mazhab pemikiran,
memiliki sifat pertengahan moderatadil, keseimbangan juga mempunyai sisi yang ekstrim, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan
keadilan serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara kemajemukan perbedaan dan pluralitas serta faktor kesamaan, pengikat dan
kesatuan. Sementara itu, dis-integrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh “sikap ekstrem memusuhi menyempal”, yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor
pemersatu, juga oleh sikap “penyeragaman” yang mengingkari kekhasan dan perbedaan, yaitu, sikap ekstrem represif dan otoriter “yang menafihkan perbedaan
masing-masing pihak dan keunikannya.
30
Islam sendiri hanya mengakui “ketunggalan” yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk yang plural.
Muhammad Fathi Osman mengatakan bahwa pluralisme adalah bentuk kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat
tertentu atau dunia secara keseluruhan, makannya menurutnya lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan
30
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bingkai persatuan
. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattanie Jakarta: Gema Insani Press, 1999, h. 10.
perasaan pribadi, sementara koeksistensi semata-mata penerimaan terhadap pihak lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme menuntut untuk
melakukan kerjasama, memahami agama lain demi kebaikan bersama, setiap manusia wajib memiliki hak dan kesempatan untuk menikmatinya, setiap manusia
memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingan.
31
Ini menandakan bahwa pluralisme sangat memegang teguh prinsip-prinsip keagamaan sesuai dengan agama masing-masing, memiliki rasa toleransi
keagamaan baik individu maupun golongan, membiarkan setiap manusia menggunakan dan menikmati hak-haknya tersebut.
Pluralisme mempunyai arti bahwa kelompok-kelompok kecil minoritas society
dapat berperan serta secara penuh, dan setara dengan kelompok-kelompok besar majoritas society dalam lingkup masyarakat yang majemuk, sembari
mempertahankan ideologi dan identitas serta perbedaan yang khas. Pluralisme hampir layaknya sebuah agama dilindungi oleh negara dan hukum, pada awalnya
pluralisme hanya mengacu kepada masalah-masalah tertentu antara lain, perbedaan agama dan suku, tetapi lebih lanjut pluralisme mengasumsi berbagai macam
keyakinan, kelembagaan dan komunitas yang seyogyanya muncul berbarengan dan menikmati pengakuan dan perlakuan yang sama.
Kelompok mayoritas dalam hal ini adalah Islam, seperti pemeluk agama lain yang menjadi mayoritas di sebuah negara, harus hidup dengan kalangan minoritas
Muslim harus bisa hidup dengan kalangan minoritas dalam suatu negeri tertentu. Penduduk Muslim dari suatu negeri dapat memiliki perbedaan-perbedaan kesukuan
31
Muhammad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan Pandangan Al- Qur’an, Kemanusiaan Sejarah dan Peradaban
. Penerjemah Irfan Abu Bakar Jakarta: Paramadina, 2006, h. 2-3.
dan doktrinal dalam diri mereka sendiri ataupun dengan kaum Muslim lain diseluruh dunia.
Non-Muslim yang berada dalam negara yang berpenduduk Muslim mayoritas harus dilakukan oleh kaum Muslim dan pemerintah setempat dengan baik
dan adil, martabat dan hak-hak mereka harus dijamin meskipun harus dilindungi oleh hukum Islam dan pemerintahan. Begitupun juga dengan non-Muslim yang
merupakan penduduk tidak tetap dalam negara Islam juga berhak terhadap martabat diri dan keamanan yang dilindungi oleh hukum Islam sekalipun, kemudian non-
Muslim dapat memperoleh pekerjaan di negara mayoritas Muslim sekalipun menjabat sebagai menteri wazir.
32
C. Hak Asasi Manusia