Islam dan Sekularisme Negara Sekuler

BAB IV TELAAH TERHADAP ISU WACANA

PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

A. Islam dan Sekularisme Negara Sekuler

Islam dan sekularisme adalah sebuah istilah yang sangat berbeda, sekularisme bagi kebanyakan orang selalu dikaitkan dengan permasalahan negara. Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan panjang dalam dunia keislaman. Dalam konteks agama dan negara, banyak kalangan pemikir yang merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan masalah dalam agama, negara dan masyarakat, banyak para pemikir Islam yang menolak secara tegas tentang sekularisme, dengan alasan ideologi tersebut yang membuang Islam dari permasalahan negara. Dalam musyawarah nasionalnya tanggal 26-29 Juli 2005, MUI Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa diantaranya adalah pernyataan bahwa sekularisme, pluralisme dan liberalisme dalam pemikiran keagamaan tidak sesuai dengan ajaran Islam dan karena itu diharamkan untuk mengikutinya 1 . Setelah fatwa haram tersebut terdengar beberapa intelektual Muslim merasa gerah atas fatwa haram tesebut, banyak pula dari intelektual tersebut menjawab fatwa tersebut melalui wacana dan dialog. Sekularisme telah banyak digunakan oleh beberapa negara Islam dan no- Islam, sekularisme diartikan sebagai suatu kebijakan yang memisahkan agama dari negara, faham ini yang kebanyakan diadopsi oleh kebanyakan negara Kristen Eropa dan Barat 1 M. Dawam Raharjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009, dari httpwww.ircp.online.org?. Sebuah negara demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme yang benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal dan buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme yang benar, atau menerapkan Islam dalam konteks negara, seperti Turki, Mesir dan Irak, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi sekularisme, tapi menerapkannya salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan menerapkan konsep ini berakibat fatal, karena bukan saja gagal dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang luhur. 2 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penolakan sebagai kaum Muslim terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk kepada pengalaman negara-negara yang gagal dalam menerapkan prinsip ini. Seperti yang disebut diatas. Sekularisme Turki, misalnya diidentikan dengan serial pelanggaran terhadap atribut-atribut dan praktik-praktik keagamaan, sekularisme berarti pelanggaran jilbab, penutupan institusi pengajaran Al-Qur’an dan penangkapan aktivis Islam. Selama ini sebagian masyarakat Muslim mencurigai dan sangat takut dengan istilah sekularisme yang dimengerti sebagai pemisahan agama Islam dan politik, atau lebih luas lagi, antara agama Islam dan kehidupan publik. Sebagian Muslim memandang pemisahan tersebut sebagai pemisahan yang menempatkan Islam jauh dari campur tangan negara. Sikap sebagian Muslim takut akan larangan- larangan sekularisme seperti pelanggaran jilbab, menikah beda agama, dan lain- lain. Dalam websitnya JIL mengatakan bahwa kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Mereka menentang negara agama teokrasi atau sistem pemerintahan 2 Lutfhi Assyaukanie, “Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009 dari httpwww.islamlib.comidindex.php?page=articleid=799. Islam, mereka meyakini bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak mempunyai hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada diruang privat dan unsur publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. Mengamati berbagai persoalan yang berkembang khususnya dalam bidang politik Islam, dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional. Ulil Mengatakan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan porsi politik dalam Islam sangatlah kecil, itupun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang yang berarti kepentingan rakyat kecil, bukan pada tatanan model-model politik. 3 Lebih lanjut ia mengatakan bahwa politik dan negara adalah sesuatu yang terpisah, dan mempunyai bagian masing-masing Dan sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfa’at-manfa’at amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama. 4 Al-Qur’an sendiri di dalamnya tidak membahas persoalan negara, Al-Qur’an tidak menyuruh untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam, tapi hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah dan melarang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, tercela serta durhaka. Al- Qur’an hanya meletakkan garis besar pada kaum Muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar basis-basis yang telah di tetapkan. 3 Ulil Abshar Abdalla, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos, 1 Juni 2003. 4 Abdalla, ”Politik Dalam Islam”. Aktivis JIL Novriantoni, kerap mengkritisi peran ulama, yang baginya cenderung berubah menjadi qodoh hakim ketimbang berperan sebagai dai. Menurutnya ulama itu seharusnya berposisi sebagai dai bukam sebagai hakim. Ia mengutip pendapat tokoh Ikhwanul Muslimin Makmun Hudaibi, yang mengatakan nahnu du’ad wa lasna qodoh kita adalah dai bukan hakim. 5 Karena itulah perlunya sekularisme, pemisahan antara wewenang agama dan negara, negara teokrasi itu adalah negara-negara yang membawa bencana lebih besar dari pada negara sekular, ia mengatakan bahwa, khilafah adalah utopia yang harus mulai ditinggalkan oleh umat Islam. 6 JIL dikenal sebagai jaringan dan paham yang mengusung sekularisme, FUUI Forum Ulama Umat Islam dibawah pimpinan KH. Atian Ali Da’i telah mengeluarkan semacam fatwa hukuman mati terhadap Ulil Abshar Abdalla dkk, dan MUI Majelis Ulama Indonesia sebagaimana yang penulis uangkapkan di awal telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan JIL, tentang ide-idenya, sebagaimana kesesatan Ahmadiyah dan LDII. Ulil menilai definisi MUI dan FUUI tentang sekularisme terlalu sederhana, memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama Islam. Menurutnya sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama Islam dan kekuasaan negara. Negara sekular artinya negara yang tidak dikuasai ulama seperti Iran yang mengenal konsep wilayatul faqih kekuasaan kaum ulama, sekularisme tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam rung publik. 7 5 Hasil Wawancara antara Suparni Surjono, mantan duta besar RI di Suriname dengan Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme, artikel diakses tanggal I September 2008, dari httpwww.islamlib.com. 6 Hasil Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme dari httpwww.islamlib.com. 7 Hasil wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang sekularisme dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008, dari httpwww.islamlib.com Burhanuddin, mantan Presiden Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga mantan aktivis JIL mengatakan Islam dan sekularisme merupakan sesuatu yang berbeda, menurutnya terlalu dini untuk mengadopsi Islam dalam konteks negara, tidak mungkin Islam disatukan dalam permasalahan negara, bukan berarti Islam tidak secara penuh diletakkan di ruang publik, tapi Islam pun layak ambil peran dalam persamalahan negara jika dibutuhkan. 8 Para intelektual kelompok liberal seperti, Ulil abshar Abdalla, Lufhi Assyaukanie, Saiful Mujani dan Hamid Basyaib, menampilkan antitesis dari kelompok Harakah Islamis yang ingin menerapkan syariat Islam, sekularisme dipandang sebagi satu-satunya juru selamat. Mereka menentang setiap bentuk Islam politik yang hendak menerapkan sistem nilai dan simbol-simbol Islam di bidang politik, mereka juga menolak gagasan negara Islam serta formalisasi syariat. Mereka menganggap bahwa sekularisasi diartikan sebagai pemisahan agama dan negara adalah pilihan terbaik kaum Muslim untuk menghadapi tantangan modernitas. Lebih jauh mereka menganjurkan agar agama ditarik mundur dari ruang publik keruang privat. Karena dianggap keluar dari mainstream ajaran Islam, beberapa pihak menyarankan agar JIL membikin agama baru dan tidak mengatasnamakan Islam, karena sebagian Muslim mengatakan bahwa JIL telah keluar dari Islam yang sebenarnya, sekularisme adalah tidak bisa diterima dalam konteks Islam. 8 Hasil wawancara langsung dengan Burhanuddin, tanggal 23 April 2009.

B. Islam, Pluralisme dan HAM Negara Plural