Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal Dengan Jarum 27g Quincke Dan 27g Whitacre
PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE
SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM
27G QUINCKE DAN 27G WHITACRE
TESIS
Oleh
EDLIN
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM 27G QUINCKE DAN
27G WHITACRE
TESIS
Oleh EDLIN
PEMBIMBING I : dr. Asmin Lubis, DAF SpAn. KAP KMN
PEMBIMBING II : Prof.dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC
Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan
Reanimasi
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
(3)
PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM 27G QUINCKE DAN 27G WHITACRE
TESIS Dr. EDLIN
Menyetujui,
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP KMN Prof.dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC
NIP: 195308261981021001 NIP: 195208261981021001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ketua Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Anestesiologi dan Reanimasi
FK USU/RSUP HAM Medan FK USU-RSUP HAM Medan
dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn.KIC
(4)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Segala puji dan syukur saya sampaikan kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya saya berkesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian di bidang Anestesiologi. Semoga karya tulis ini merupakan sumbangsih bagi perkembangan Anestesiologi di Indonesia.
Tak lupa shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah zaman kegelapan ke zaman Islam zaman penuh cahaya.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas ini.
Bapak Dekan Fakultas Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas ini.
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan, Rumah Sakit Haji Medan, Rumah Sakit Rumkit Kesdam, Rumah Sakit Umum Sipirok dan Rumah Sakit Umum Sibolga yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan rumah sakitnya.
(5)
Dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada dr.Asmin Lubis DAF,SpAn, KMN KAP KIC dan Prof dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC sebagai pembimbing penelitian saya, dimana atas bimbingan, pengarahan dan sumbang saran yang telah diberikan, saya dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya.
Juga dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada dr Hasanul Arifin SpAn KAP KIC, sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, DR.dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA, Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Reanimasi atas nasehat, kesabaran dan keikhlasan telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani program pendidikan ini.
Rasa Hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya: Dr A Sani P. Nasution, SpAn KIC, Dr. Chairul Mursin, SpAn, Dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV, Dr. Akhyar H. Nst, SpAn, KAKV, Dr. Soejat Harto, SpAn, KAP, Dr Muhammad AR, SpAn, Dr. Veronica H. Y, SpAn, Dr. Walman Sitohang, SpAn, Dr. Tumbur SpAn, Dr. Dadik W. Wijaya, SpAn, Dr. M. Ihsan, SpAn, Dr. Nugroho, SpAn, Dr. Guido M. Solihin, SpAn, dan lain-lain di Fakultas Kedokteran USU Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang dengan keikhlasan dan ketulusannya telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya selama mengikuti program pendidikan ini.
Ucapan terima kasih saya berikan kepada Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan sebagai pembimbing metode penelitian dan analisa statistik pada penelitian ini yang banyak memberikan masukan, arahan, kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya tulis ini.
Kepada seluruh pasien dan keluarganya di RSUP. H. Adam Malik Medan, RS Haji Medan,dan RS Pirngadi Medan yang besar perannya sebagai “guru” kedua saya dalam menempuh pendidikan spesialis. Khusunya yang berperan serta dalam penelitian ini, rasa sakit mereka telah memotivasi saya untuk dapat
(6)
memberikan yang terbaik dari ilmu yang saya dapatkan dan pelajari, saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf bila pelayanan saya kurang berkenan di hati.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh teman-teman Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi, karyawan, paramedis Anestesiologi dan Reanimasi FK USU yang telah banyak membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian program pendidikan dan penelitian ini.
Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya persembahkan kepada orang tua saya tercinta, Bapak dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn, dan ibu saya Hj. Rita Zulmi atas segala jerih payah, pengorbanan, doa dan kasih sayang beliau dalam mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan keringat dan air mata, sehingga saya dapat menjadi seperti sekarang ini.
Dari hati yang tulus saya ucapkan terima kasih yang tak terkira kepada adik-adik saya, sahabat dan teman atas pengertian, doa, dorongan semangat, kesabaran, dan kesetian yang tulus dalam suka dan duka mendampingi saya selama pendidikan yang panjang dan cukup melelahkan.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT segala pujian dan ucapan syukur serta permohonan ampun saya sembahkan, semoga kita semua senantiasa diberi syafaat dan karunia-Nya.
Wassalammualaikum
Medan, Desember 2010
(7)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR GRAFIK... ix
DAFTAR LAMPIRAN... ix
ABSTRAK ... x
ABSTRACT... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesa... 3
1.4 Tujuan Penelitian... 3
1.4.1 Tujuan Umum ... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ... 3
1.5 Manfaat Penelitian... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Anestesi Spinal ... 5
2.2 Post Dural Puncture Headache ... 8
(8)
2.2.2 Klasifikasi PDPH ... 9
2.2.3 Patofisiologi PDPH ... 11
2.2.4 Terapi PDPH ... 13
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 17
3.1 Desain ... 17
3.2 Tempat dan Waktu ... 17
3.3 Populasi Penelitian ... 17
3.4 Sampel dan Cara Pemilihan (Randomisasi) sampel... 17
3.5 Estimasi Besar Sampel ... 18
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 18
3.6.1 Inklusi... 18
3.6.2 Eksklusi ... 18
3.6.3 Kriteria Drop Out ... 19
3.7 Informed consent ... 19
3.8 Cara kerja... 19
3.9 Alur Penelitian... 21
3.10 Identifikasi Variabel ... 22
3.10.1 Variabel Bebas ... 22
3.10.2 Variable Tergantung... 22
3.11 Rencana Manajemen dan Analisa Data... 22
3.12 Definisi Operasional... 23
3.13 Masalah Etika ... 24
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 25
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 25
(9)
4.3 Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian... 27
4.4 Banyak usaha tusukan ... 28
4.5 Insidensi PDPH ... 29
4.5.1 Insidensi PDPH selama observasi... 30
4.5.2 Insidensi PDPH 6 jam paska spinal ... 31
4.5.3 Insidensi PDPH 24 jam paska spinal ... 32
4.5.4 Insidensi PDPH 48 jam paska spinal ... 32
4.5.5 Insidensi PDPH 72 jam paska spinal ... 32
4.6 Keparahan PDPH... 34
4.6.1 Keparahan PDPH 6 jam paska spinal ... 34
4.6.2 Keparahan PDPH 24 jam paska spinal... 34
4.6.3 Keparahan PDPH 48 jam paska spinal... 35
4.6.4 Keparahan PDPH 72 jam paska spinal... 35
4.7 Hubungan insidensi PDPH dengan banyaknya tusukan... 36
BAB 5 PEMBAHASAN ... 37
5.1 Gambaran Umum ... 37
5.2 Banyak Usaha Tusukan ... 37
5.3 Insidensi PDPH ... 38
5.4 Keparahan PDPH... 39
5.5 Hubungan banyaknya tusukan dengan Insidensi PDPH ... 40
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 41
6.1 Kesimpulan... 41
6.2 Saran ... 41
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2-1. Klasifikasi PDPH... 11
Tabel 4.1-1. Data Demografi Umur Subjek Penelitian ... 25
Tabel 4.1-2. Data Demografi Jenis Kelamin... 27
Tabel 4.2-1. Data demografi PS-ASA ... 27
Tabel 4.3-1. Jenis operasi antar kedua kelompok ... 28
Tabel 4.4-1. Banyak Usaha tusukan... 28
Tabel 4.5-1. Insidensi Kejadian PDPH ... 30
Tabel 4.5-2. Insidensi PDPH 6 jam paska spinal ... 31
Tabel 4.5-3. Insidensi PDPH 24 jam paska spinal ... 32
Tabel 4.5-4. Insidensi PDPH 48 paska spinal ... 32
Tabel 4.5-5. Insidensi PDPH 72 jam paska spinal ... 32
Tabel 4.6-1. Keparahan PDPH 6 jam paska spinal ... 34
Tabel 4.6-2. Keparahan PDPH 24 jam paska spinal ... 34
Tabel 4.6-3. Keparahan PDPH 48 jam paska spinal ... 35
Tabel 4.6-4. Keparahan PDPH 72 jam paska spinal ... 35
Tabel 4.7-1. Hubungan banyak tusukan dengan PDPH... 36
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Jenis Tipe Jarum... 1Gambar 2. Spinal cord dan nerve roots... 12
Gambar 3. Kerangka Konsep ... 1
(11)
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.4-1. Banyaknya usaha tusukan ... 29 Grafik 4.5-1. Insidensi PDPH antara Jarum Whitacre dan Quincke... 31 Grafik 4.7-1. Hubungan banyak tusukan dan insidensi PDPH ... 36
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: RIWAYAT HIDUP PENELITI ... 46 LAMPIRAN 2: LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN . 47 LAMPIRAN 3: LEMBARAN KOMITE ETIK... 50 LAMPIRAN 4: PERSETUJUAN KESEDIAAN MENSUBJEK PENELITIAN 51 LAMPIRAN 5: LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN ... 53 LAMPIRAN 6: DATA HASIL PENELITIAN ... 54 LAMPIRAN 7: TABEL RANDOMISASI ... 58
(12)
ABSTRAK
Latar Belakang, Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi
iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan atau robekan pada dura mater yang menyebabkan kebocoran CSF. PDPH merupakan keluhan yang tidak menyenangkan untuk pasien dan bisa berakibat fatal. Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan tipe jarum yang terbaik antara 27G Quincke dan 27G Whitacre dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif.
Metode, Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis acak, tersamar ganda. Setelah
mendapat persetujuan dari komite etik FK USU Medan, dikumpulkan sebanyak 100 sampel penelitian, laki-laki dan perempuan, umur 18-60 tahun, status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi elektif dengan spinal anesestesi. Sampel dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi masing-masing 50 subjek, dimana kelompok A menggunakan jarum Whitacre (Pencan) 27G dan kelompok B menggunakan jarum Quincke (Spinocan) 27G. Kemudian dipantau insidensi dan keparahan PDPH pada 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska operasi. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t, dan uji Chi-kuadrat.
Hasil, Pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang
mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dengan analisa tes Chi square didapat hasil p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini. Dari keenam pasien yang mengalami PDPH, derajat keparahan yang terjadi berkisar ringan dan sedang. Dari hasil analisa tingkat keparahan terhadap waktu-waktu pengamatan dengan tes Chi square didapat p=0.170, tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap tingkat derajat PDPH antara kedua jarum.
Kesimpulan, Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap insidensi
PDPH dan keparahan PDPH antara jarum spinal 27G Whitacre dan 27G Quincke. Kata Kunci: Postdural Puncture Headache, 27G Quincke, 27G Whitacre, anestesi spinal
(13)
ABSTRACT
Background, Post Dural Puncture Headache (PDPH) is an iatrogenic
complication after spinal anesthesia that caused by CSF leakage due to a tear or hole in the duramater. PDPH is an unpleasant complaint to patient and could cause fatal problems. One of the most important factors that contribute the incidence and severity of PDPH is the size of the dural perforation that depends on the size and type of spinal needle. The aim of the study is to compare the best needle type between 27G Quincke and 27G Whitacre to decrease the incidency and severity of PDPH.
Methode, The study is a randomized, double blind clinical trial. After getting the
approval of the ethic committee of medical faculty in USU, 100 study samples were collected, men and women, age 18-65 yrs old, physical status ASA 1-2 that underwent elective surgery with spinal anesthesia. The sample was then divided randomly into two groups with 50 subjects each, where group A applied 27G Whitcare (Pencan) and group B 27G Quincke (Spinocan) needle. Incidency and severity of PDPH was then observed periodically in 6, 24, 48 and 72 hours post spinal. T independent and Chi square test was used to analyze the results.
Result, Only 1 (2%) patient in Whitacre group had PDPH, where as 5 (10%)
patient in Quincke group had PDPH. Statistically there is no significant difference in the incidence of PDPH between the two groups with p=0.204. From the six patients that had PDPH the severity varies form mild to medium. Statistically there is no significant difference in the severity of PDPH that occurred with
p=0.170.
Conclusion, Theres is no significant difference statistically in the incidency and
severity of PDPH between 27G Whitacre and 27G Quincke needle.
Key words: Postural Puncture Headache, 27G Quincke, 27G Whitacre, spinal
(14)
ABSTRAK
Latar Belakang, Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi
iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan atau robekan pada dura mater yang menyebabkan kebocoran CSF. PDPH merupakan keluhan yang tidak menyenangkan untuk pasien dan bisa berakibat fatal. Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan tipe jarum yang terbaik antara 27G Quincke dan 27G Whitacre dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif.
Metode, Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis acak, tersamar ganda. Setelah
mendapat persetujuan dari komite etik FK USU Medan, dikumpulkan sebanyak 100 sampel penelitian, laki-laki dan perempuan, umur 18-60 tahun, status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi elektif dengan spinal anesestesi. Sampel dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi masing-masing 50 subjek, dimana kelompok A menggunakan jarum Whitacre (Pencan) 27G dan kelompok B menggunakan jarum Quincke (Spinocan) 27G. Kemudian dipantau insidensi dan keparahan PDPH pada 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska operasi. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t, dan uji Chi-kuadrat.
Hasil, Pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang
mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dengan analisa tes Chi square didapat hasil p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini. Dari keenam pasien yang mengalami PDPH, derajat keparahan yang terjadi berkisar ringan dan sedang. Dari hasil analisa tingkat keparahan terhadap waktu-waktu pengamatan dengan tes Chi square didapat p=0.170, tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap tingkat derajat PDPH antara kedua jarum.
Kesimpulan, Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap insidensi
PDPH dan keparahan PDPH antara jarum spinal 27G Whitacre dan 27G Quincke. Kata Kunci: Postdural Puncture Headache, 27G Quincke, 27G Whitacre, anestesi spinal
(15)
ABSTRACT
Background, Post Dural Puncture Headache (PDPH) is an iatrogenic
complication after spinal anesthesia that caused by CSF leakage due to a tear or hole in the duramater. PDPH is an unpleasant complaint to patient and could cause fatal problems. One of the most important factors that contribute the incidence and severity of PDPH is the size of the dural perforation that depends on the size and type of spinal needle. The aim of the study is to compare the best needle type between 27G Quincke and 27G Whitacre to decrease the incidency and severity of PDPH.
Methode, The study is a randomized, double blind clinical trial. After getting the
approval of the ethic committee of medical faculty in USU, 100 study samples were collected, men and women, age 18-65 yrs old, physical status ASA 1-2 that underwent elective surgery with spinal anesthesia. The sample was then divided randomly into two groups with 50 subjects each, where group A applied 27G Whitcare (Pencan) and group B 27G Quincke (Spinocan) needle. Incidency and severity of PDPH was then observed periodically in 6, 24, 48 and 72 hours post spinal. T independent and Chi square test was used to analyze the results.
Result, Only 1 (2%) patient in Whitacre group had PDPH, where as 5 (10%)
patient in Quincke group had PDPH. Statistically there is no significant difference in the incidence of PDPH between the two groups with p=0.204. From the six patients that had PDPH the severity varies form mild to medium. Statistically there is no significant difference in the severity of PDPH that occurred with
p=0.170.
Conclusion, Theres is no significant difference statistically in the incidency and
severity of PDPH between 27G Whitacre and 27G Quincke needle.
Key words: Postural Puncture Headache, 27G Quincke, 27G Whitacre, spinal
(16)
BAB 1
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi sehari-hari. Tehnik ini telah digunakan secara luas untuk memberikan anestesia, terutama untuk operasi pada daerah di bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.1
Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah postdural puncture headache
(PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3 Angka yang tertinggi dijumpai pada penusukan lumbal diagnostic dengan menggunakan jarum spinal tipe
Quincke dengan ukuran 20G atau 22G.2
Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan atau robekan pada dura mater yang menyebabkan kebocoran CSF.4 Tanda dan gejala dari PDPH merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebro spinal, traksi atau penarikan dari isi kranial dan vasodilatasi refleks serebral.5 PDPH bisa disertai dengan mual dan muntah, gangguan pendengaran dan penglihatan.6 PDPH merupakan keluhan yang tidak menyenangkan untuk pasien dan bahkan bisa berakibat fatal dengan resiko nyeri bertahan selama berbulan bahkan bertahun.7,8 Ada beberapa laporan yang
(17)
menyatakan bahwa PDPH yang tidak ditangani bisa menyebabkan subdural hematoma bahkan kematian akibat bilateral subdural hematoma.9
Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Semakin kecil jarum yang digunakan, semakin kecil insidensi terjadinya PDPH.10,11 Jarum spinal dengan ukuran 29 G atau yang lebih kecil lagi, secara tehnik lebih sukar untuk digunakan dan disertai dengan tingkat kegagalan yang tinggi untuk anestesi spinal.12 Sehingga pemilihan jarum 25 G dan 27G dianggap masih dapat ditampilkan untuk menunjukkan perbandingan tingginya insidensi PDPH setelah anestesi spinal. Sedang pada Indonesia, khususnya Medan, pemakaian tipe jarum spinal yang lazim dipakai adalah jarum cutting point dengan ukuran 25 G. Pemakaian jarum pencil point
apalagi dengan jarum 27G masih belum banyak dijumpai.
Dari penelitian Hwang dkk, membandingkan insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre dengan jarum 25G dan 26G Quincke tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik.13
Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14
Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%). 12
Dari penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapat hasil insidensi PDPH 68.2%, 31.8% dan 0%.15 Shah dkk (2002), meneliti insidensi PDPH dengan tiga
(18)
jarum yang serupa, yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH 20%, 12.5% dan 4.5%.1
Dari banyaknya variasi persentase insidensi PDPH post spinal anestesia dengan menggunakan jarum yang berbeda yang mendukung dan menolak adanya perbedaan antara tipe jarum membuat peneliti ingin melakukan penelitian tentang insidensi PDPH pada pasien-pasien yang akan dilakukan spinal anestesi dengan dua jarum berbeda yakni jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
Apakah ada perbedaan insidensi PDPH setelah tindakan anestesi spinal dengan penggunaan jarum spinal Quincke 27G dan Whitacre 27G
1.3 Hipotesa
Ada perbedaan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal dengan penggunaan jarum spinal Quincke 27G dan Whitacre 27G
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
1. Untuk mendapatkan tipe jarum yang optimal dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mendapatkan tipe jarum yang dapat mengurangi insidensi frekwensi dari PDPH
2. Mendapatkan tipe jarum yang dapat mengurangi tingkat keparahan dari PDPH
(19)
3. Meneliti jumlah kejadian insidensi PDPH post injeksi dari kedua tipe jarum spinal yang berbeda
4. Meneliti insidensi kegagalan pada pemakaian jarum kedua tipe
1.5 Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan tipe jarum yang ideal dalam mengurangi insidensi dan keparahan dari PDPH
2. Memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien-pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi dengan regional anestesi subarachnoid block 3. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dalam meneliti insidensi PDPH
(20)
BAB 2
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi Spinal
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.1
Anestesi spinal merupakan tehnik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering di pergunakan pada tindakan anestesi sehari-hari. Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah
postdural puncture headache (PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3 Angka yang tertinggi dijumpai pada penusukan lumbal diagnostic dengan
(21)
menggunakan jarum spinal tipe Quincke dengan ukuran 20G atau 22G.2
Tiap robekan pada dura dapat mengakibatkan terjadinya PDPH. Hal ini bisa disebabkan oleh tindakan diagnostic lumbal puncture, tindakan myelogram, anestesi spinal atau “wet tap” epidural bila jarum epidural menembus ruang epidural dan memasuki ruang sub-arakhnoid.
Banyak faktor yang diduga mempengaruhi insidensi dan keparahan PDPH termasuk umur, jenis kelamin, dan ras pasien, tehnik SAB, jumlah tusukan yang dilakukan, besar jarum dan desain ujung jarum.16 Salah satu faktor terpenting dan paling memegang peranan adalah desain dan besar jarum.
Ada beberapa tipe jarum yang saat ini digunakan untuk tindakan punksi dura. Seara umum tipe jarum ini dibedakan menjadi dua tipe, yakni tipe cutting (quincke) dan non-cutting / atraumatic (whitacre, sprotte, atraucan).
Jarum dengan ujung Quincke memotong serat dura dan bisa menyebabkan robekan dura yang menetap, sementara ujung jarum spinal non-cutting atau seperti
pencil-point (Whitacre, Sprotte) dapat mendorong serat dura sehingga dapat kembali ke tempat semula dan mengurangi hilangnya CSF setelah tusukan dura dan mengurangi insidensi PDPH. Oleh karena itu, banyak variasi dalam insidensi PDPH yang bisa timbul dengan desain jarum spinal yang berbeda.
Dengan mengurangi besar dari jarum spinal telah memberikan dampak yang signifikan terhadap insidensi dari PDPH. Insidensinya adalah 40% pada jarum 22G, 25% pada jarum 25G, 2-12% pada jarum 26G Quincke, 1-6% pada jarum 27G Quincke dan <2% pada jarum 29G.17
Dari penelitian Hwang dkk, membandingkan insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre dengan jarum 25G dan 26G Quincke tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik.13
(22)
Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14
Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%).12
Dari penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapat hasil insidensi PDPH 68.2%, 31.8% dan 0%.(15) Shah dkk (2002), meneliti insidensi PDPH dengan tiga jarum yang serupa, yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH 20%, 12.5% dan 4.5%.1
Ada kecenderungan dengan pemakaian gauge/ukuran jarum lebih kecil (29G) disertai dengan insidensi kegagalan tehnik yang lebih besar.12,16
Sebuah pengertian klasik mengenai dura mater spinal adalah serat kolagen yang tersusun teratur dan berjalan searah longitudinal. Hal ini didukung oleh penelitian histologis dari dura mater. Secara klinis dianjurkan untuk melakukan tindakan anestesi spinal bila dengan menggunakan jarum cutting secara paralel dan tidak memotong jalur serat dura longitudinal ini, dengan harapan akan memotong serat lebih sedikit. Akan tetapi dari penelitian mikroskop cahaya dan elektron menemukan pembantahan terhadap pendekatan klasik duramater manusia ini. Penelitian ini menemukan bahwa dura mater terdiri dari berbagai lapis serat, dimana tiap lapisan serat tidak memberikan orientasi arah yang spesifik. Sehingga penusukan jarum spinal dengan posisi sejajar searah longitudinal masih perlu dilakukan
(23)
penelitian lebih lanjut, walaupun ada penelitian yang menunjukkan adanya penurunan insidensi PDPH berdasarkan posisi bevel saat penusukan.17
Ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai hubungan banyaknya usaha tusukan spinal dengan insidensi PDPH yang menyertainya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk (2009) dengan menggunakan jarum 23G Quincke membandingkan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH. Dari hasil penelitian tersebut didapat ada hubungan yang signifikan terhadap banyaknya usaha tusukan dengan tingginya insidensi.18 Dari beberapa penelitian lain yang meneliti hubungan banyaknya tusukan spinal dengan insidensi PDPH pada jarum-jarum yang lebih kecil 26G dan 27G tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara banyaknya tusukan dengan tingginya insidensi PDPH, seperti yang dikemukakan oleh Kang SB dkk (1992).19 Pada penelitian ini, peneliti meneliti insidensi PDPH antara dua tipe jarum ukuran 27G, sehingga peneliti mengesampingkan faktor banyaknya tusukan untuk mempengaruhi tingginya insidensi terjadinya PDPH.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jarum 27 G Spinocan sebagai tipe jarum Quincke dan jarum 27 G Pencan sebagai tipe jarum Whitacre. Kedua tipe jarum ini berasal dari perusahaan yang sama guna membantu homogenitas jarum.
2.2 Post Dural Puncture Headache
2.2.1 Defenisi PDPH
Sudah lebih dari seratus tahun sejak dr.Bier mengalami dan menulis laporan kasus pertama terhadap post dural puncture headache. Deskripsi dr.Bier terhadap sakit kepala postural berat ini masih lazim dipakai sampai saat ini. Sebuah nyeri yang biasanya sangat berat, tumpul, bilateral, biasanya pada daerah frontal, retroorbital dan occipital yang menjalar ke leher, dimana biasanya diperberat bila posisi tegak lurus dan berkurang pada posisi supine. Nyeri kepala bisa berdenyut atau konstan dan bisa disertai dengan fotofobia, mual, muntah, gangguan pendengaran atau penglihatan.7,8,9
(24)
Onset nyeri kepala akibat PDPH ini bisa terjadi pada 12 sampai 72 jam setelah prosedur; akan tetapi, juga bisa ditemukan segera setelah tindakan. Pasien-pasien yang mengalami post dural puncture heachache tidak boleh diabaikan. Bila tidak ditangani nyeri bisa berlangsung sampai berminggu-minggu, dan pada kasus-kasus yang sangat jarang, bisa diperlukan tindakan operasi untuk mengatasinya.
Post Dural Puncture Headache (PDPH) merupakan komplikasi dari tusukan pada duramater (salah satu meningens yang mengelilingi otak dan spinal cord). PDPH sering terjadi pada anestesi spinal dan lumbal, dan juga epidural anestesi. PDPH bisa timbul dalam hitungan jam sampai hari setelah tusukan dan memberikan tanda dan gejala seperti pusing dan mual dan menjadi makin berat bila pasien mengambil posisi tegak lurus. Jadi PDPH bisa disimpulkan sebagai sakit kepala berat yang bisa disertai mual atau muntah setelah tusukan spinal dengan ciri khas memberat bila berubah posisi duduk atau tegak lurus dan menghilang atau berkurang bila posisi tidur datar.
Dari pernyataan di atas, diambil criteria Post Dural Puncture Headache:1
1. Timbul setelah mobilisasi
2. Diperberat dengan perubahan posisi duduk atau berdiri dan batuk, bersin 3. Berkurang atau hilang dengan posisi tidur terlentang
4. Nyeri sering terlokalisir pada occipital, frontal atau menyeluruh
2.2.2 Klasifikasi PDPH
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi 4 skala yakni:1
1. Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk / berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
(25)
2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.
3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur, berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan muntah.
Keluhan PDPH ini diduga merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebrospinal ke dalam ruang epidural. Berkurangnya tekanan hidrostatik pada ruang subaraknoid akan menyebabkan regangan terhadap meningens sehingga terjadi tanda dan gejala penyerta. Hal ini disebabkan hilangnya CSF lebih cepat dari produksinya sehingga terjadi traksi terhadap struktur-struktur yang menyangga otak, terutama dura dan tentorium. Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga menambah nyeri kepala. Traksi pada syaraf kranial dapat menyebabkan diplopia (biasanya pada syaraf kranial keenam) dan tinnitus.
Jan dkk, membagi tingkat keparahan dari PDPH dengan skala manalog nuremik verbal 0 sampai 10 (0=tanpa nyeri dan 10=nyeri yang paling tak tertahankan). Untuk mempermudah, Shaik dkk (2008), membagi skala 0 – 10 ini menjadi 3 tingkat, yakni ringan, sedang dan berat, sesuai dengan yang tertera pada tabel 2.2-1.20
(26)
Tabel 2.2-1. Klasifikasi PDPH
Ringan
Tidak ada gangguan dalam aktivitas Tidak dibutuhkan penanganan
Sedang
Terjadi gangguan dalam aktivitas Dibutuhkan analgesia secara regular
Berat
Hanya dapat berbaring di tempat tidur Anoreksia
2.2.3 Patofisiologi PDPH
2.2.3.1Anatomi dura mater spinal
Dura mater spinal adalah sebuah tuba yang menjalar dari foramen magnum menuju segmen kedua dari sakrum. Ia terdiri dari spinal cord dan akar-akar nervus yang menembusnya. Dura mater itu sendiri merupakan jaringan konektif yang padat yang terdiri dari serat kolagen dan elastis. Deskripsi klasik dari duramater spinal adalah serat kolagen yang menjalar dengan arah longitudinal. Hal ini telah didukung oleh penelitian histologis terhadap dura mater. Pengajaran klinis berdasarkan hal ini merekomendasikan agar jarum cutting spinal diorientasikan paralel dibandingkan dengan arah memotong serat-serat longitudinal ini. Akan tetapi, dari studi miskroskopik electron dan cahaya telah melawan teori klasik terhadap anatomi dura mater ini. Studi ini menunjukkan bahwa dura mater terdiri dari serat kolagen yang tersusun berlapis-lapis, dimana tiap lapis terdiri dari serat kolagen dan elastis yang
(27)
tidak menunjukkan orientasi yang spesifik. Pada permukaan luar atau permukaan epidural memang teratur dengan arah longitudinal, tetapi pola ini tidak berulang pada lapis-lapis berikutnya. Dari penilaian lebar terhadap ketebalan dura menunjukkan bahwa dura posterior bervariasi dalam ketebalan sepanjang spinal, baik dalam individu maupun antar individu. Perforasi dura pada area yang tebal akan menyebabkan kebocoran CSF yang lebih sedikit dibanding perforasi pada area yang tipis, dan hal ini dapat menjelaskan kejadian yang tidak terduga pada akibat perforasi dura.17
(28)
2.2.3.2Cairan Cerebrospinal
Produksi CSF terjadi terutama pada pleksus koroid, tetapi ada beberapa bukti yang menunjukkan adanya produksi ekstrakoroidal. Sekitar 500 cc dari CSF diproduksi perhari (0.35 cc/min). volume CSF pada orang dewasa adalah sekitar 150 cc, dimana setengahnya berada di dalam kavitas kranial. Tekanan CSF pada region lumbal pada posisi horizontal adalah 5-15 cmH2O. diperkirakan pada posisi berdiri akan meningkat sampai 40 cmH2O. Tekanan CSF pada anak-anak akan meningkat sesuai umur.17
2.2.4 Terapi PDPH
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi
Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.17
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial.17,21
Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimana
(29)
pasien dalam keadaan dehidrasi akan menyebabkan produksi CSF yang berkurang. Sehingga, bila seseorang sudah terehidrasi dengan baik, dan kecepatan produksi CSF normal, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa overhidrasi akan membantu meningkatkan kecepatan produksi CSF. Oleh karena itu tidak diperlukan pemberian cairan berlebihan pada pasien yang telah terehidrasi dengan baik, dan penting untuk memastikan bahwa pasien dalam kondisi terhidrasi baik sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Pada penelitian ini, kami memastikan pasien dalam keadaan terhidrasi baik dengan melakukan terlebih dahulu Tilt Test.22
Tilt test itu sendiri adalah tes kecukupan cairan/hidrasi pada pasien, dengan memperhitungkan faktor posisi dan gravitasi, dilakukan dengan mengukur tekanan darah pasien saat terlentang mendatar dan kemudian mengukur tekanan darah pasien setelah diposisikan tidur terlentang dalam posisi head up dengan sudut 40 – 50 selama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood
(30)
SPINAL
Dura Mengalami Robekan
PDPH
CSF Mengalami Kebocoran
Nyeri kepala berat dan tumpul yang bertambah bila posisi tegak lurus dan hilang bila posisi supine
Isi Cranial tertarik pada posisi tegak lurus Jarum Spinal 27G
Quincke
Jarum Spinal 27G Whitacre
(31)
BAB 3
3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain
Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak, prospektif, double blind
untuk mengetahui perbedaan insidensi dan tingkat keparahan PDPH pada pasien post injeksi anestesi spinal dengan jarum Quincke 27G dan Whitacre 27G
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP.H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring pada kota Medan dan sekitarnya. Dilakukan dimulai bulan November 2010 sampai selesai
3.3 Populasi Penelitian
Populasi adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi spinal selain operasi seksio Caesarea
3.4 Sampel dan Cara Pemilihan (Randomisasi) sampel
Diambil dari pasien operasi yang akan dilakukan dengan anestsi spinal anestesia dengan status fisik ASA 1 dan 2.
a. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok. Kelompok A memakai jarum spinal quincke 27G untuk spinal anestesinya dan Kelompok B memakai jarum spinal Whitacre 27G untuk spinal anestesinya.
(32)
b. Randomisasi blok dilakukan oleh relawan dengan memakai tabel angka random. Dengan menjatuhkan pena ke kertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan.
3.5 Estimasi Besar Sampel
Dari penelitian sebelumnya di dapat persentase P1 = 30%, dan P2 diharapkan memiliki perbedaan -20%, sehingga didapat P2 = 10%. Dengan kekuatan 80%. Maka nilai-nilai ini dimasukkan ke dalam rumus mencari besar sampel23 :
Didapat hasil n1 = n2 = 49 orang
Sehingga ditetapkan jumlah keseluruhan sampel penelitian ini adalah 98 orang.
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.6.1 Inklusi
1. Bersedia ikut dalam penelitian 2. Usia 18 - 65 tahun
3. Pasien status fisik ASA 1 dan 2
3.6.2 Eksklusi
1. Pasien dengan kelainan kognitif 2. Pasien wanita hamil
3. Pasien dengan nyeri kepala kronik sebelumnya
(33)
i. Luka atau infeksi pada daerah yang akan dilakukan injeksi spinal ii. Thrombositopenia (<50.000)
iii. Hipovolemia berat dan syok.
iv. Tekanan intrakranial yang meningkat. v. Kelainan tulang belakang
vi. Obesitas berat
3.6.3 Kriteria Drop Out
1. Pasien yang memerlukan usaha tusukan spinal lebih dari 6 kali. 2. Mengalami keadaan syok selama operasi.
3. Operasi berlangsung lama sehingga membutuhkan tambahan obat anestesi umum.
3.7 Informed consent
Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik, penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.
3.8 Cara kerja
1. Setelah mendapat informed consent dan disetujui komite etik semua sampel dinilai ulang.
2. Populasi yang dijadikan sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok, A dan B.
3. Tiap pasien dipersiapkan untuk dilakukan tindakan spinal anestesia dengan pemasangan IV line abbocath 18 G dengan pemberian cairan infus RL 1000cc.
(34)
4. Pasien dipastikan dalam keadaan normovolemik dengan melakukan tilt test.
5. Kelompok A dipersiapkan untuk dilakukan tindakan spinal anestesia dengan jarum spinal 27G Quincke. Disuntikkan dengan posisi duduk dan dengan posisi bevel paralel dengan sagital plane untuk mencegah robekan dura yang lebih besar.
6. Kelompok B dipersiapkan untuk dilakukan tindakan spinal anestesia dengan jarum spinal 27G Whitacre. Disuntikkan dengan posisi duduk. 7. Dicatat waktu tusukan, jumlah berapa kali usaha tusukan untuk tercapai
CSF.
8. 6 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.
9. 24 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.
10.48 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.
11.72 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.
(35)
3.9 Alur Penelitian
Populasi
Inklusi Eksklusi
Sampel
Randomisa
Kelompok A 27G Quincke
Kelompok B 27G Quincke
Dilakukan pencatatan hemodinamik, waktu tusukan dan jumlah
Penilaian PDPH 6 jam paska spinal
Penilaian PDPH 24 jam paska spinal
Penilaian PDPH 48 jam paska spinal
Penilaian PDPH 72 jam paska spinal
Analisa Data Penelitian Gambar 4. Alur Penelitian
(36)
3.10 Identifikasi Variabel
3.10.1 Variabel Bebas
a. Jarum spinal Quincke 27G b. Jarum spinal Whitacre 27G
3.10.2 Variable Tergantung
a. Insidensi PDPH
PDPH adalah sakit kepala yang timbul bila pasien disuruh duduk dan berdiri, dan akan hilang atau berkurang bila pasien berbaring terlentang. b. Keparahan PDPH
Keparahan PDPH dinilai dengan metode Shaik dkk, membaginya menjadi 3 tingkat, Ringan, tidak ada gangguan dalam aktivitas dan tidak dibutuhkan penanganan Sedang, terjadi gangguan dalam aktivitas dan dibutuhkan analgesia regular dan Berat, pasien hanya dapat berbaring ditempat tidur dan mengalami anoreksia.
3.11 Rencana Manajemen dan Analisa Data
a. Data yang terkumpul dianalisa dengan program software SPSS versi 17. b. Untuk menentukan peranan tipe jarum spinal dalam menyebabkan PDPH
dilakukan dengan uji Chi-square
c. Pengujian kenormalan data dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov. d. Untuk menentukan perbandingan insidensi PDPH digunakan uji
t-independent pada distribusi data yang normal, dan bila distribusinya tidak normal digunakan Mann-Whitney.
(37)
f. Interval kepercayaan yang dipakai 95%
3.12 Definisi Operasional
a. Anestesi spinal adalah tehnik anestesi dengan memasukkan obat anestesi dengan bantuan jarum spinal ke dalam ruang CSF dengan harapan terjadi blockade sensorik/nyeri dan motorik/gerak pada daerah pusat ke bawah. b. Bevel adalah ujung jarum spinal
c. Jarum spinal Quincke 27G adalah jarum spinal dengan ujung jarum memotong (cutting) dimana yang dipakai pada penelitian ini adalah jarum spinal Spinocan 27G
d. Jarum spinal Whitacre 27G adalah jarum spinal denga ujung jarum tumpul (pecil point) dimana yang dipakai pada penelitian ini adalah jarum spinal Pencan 27G
e. MAP adalah nilai tekanan darah sistol ditambah 2 kali nilai tekanan darah diastole kemudian dibagi 3.
f. Nyeri PDPH berat adalah nyeri kepala dimana pasien tidak dapat beranjak dari tempat tidurnya dan hanya dapat tidur telentang dan anoreksia dijumpai
g. Nyeri PDPH ringan adalah nyeri kepala tanpa gangguan aktivitas dan tidak diperlukan penanganan
h. Nyeri PDPH sedang adalah nyeri kepala dengan adanya batasan aktivitas dan dibutuhkan tambahan obat untuk nyeri kepalanya
i. PDPH (Post Puncture Dural Headache) adalah perasaan nyeri kepala yang parah dan memberat bila pasien berubah posisi dan hilang bila pasien dalam posisi tidur
j. Tilt Test adalah tes hidrasi dengan mengukur tekanan darah saat terlentang mendatar dan kemudian mengukur tekanan darah pasien setelah diposisikan tidur terlentang dengan posisi head up dan sudut 40
(38)
– 50 selama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.
3.13 Masalah Etika
a.Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dan hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian.
b.Sebelum anestesi dan proses penelitian dimulai dipersiapkan alat kegawatdaruratan (oro/nasopharyngeal airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoskop, endotracheal tube ukuran pasien, suction set), monitor (pulse oximetry, tekanan darah, EKG, laju jantung), obat emergensi (efedrin, adrenalin, sulfas atropin, lidokain, aminofilin, deksametason).
c.Jika terjadi hipotensi akibat tindakan spinal, akan diatasi dengan pemberian efedrin, sebuah vasokonstriktor seperlunya.
d.Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru dan otak selama anestesi dan proses penelitian berlangsung, maka langsung dilakukan antisipasi dan penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar seperti yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
e.Bila terjadi PDPH berat yang sangat mengganggu, maka akan diberikan cairan dekstran 5% 500 cc melalui infus, kemudian obat-obat analgesia seperti parasetamol. Bila diperlukan maka akan dilakukan kompresi abdomen dengan pemakaian korset. Apabila hal ini juga tidak dapat membantu, maka akan dilakukan tindakan Epidural Blood Patch, dengan memberikan 15 cc darah autologous pasien sendiri.
(39)
BAB 4
4
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama 1 bulan dari awal sampai akhir bulan November 2010, dan diperoleh 100 pasien yang bersedia mengikuti penelitian dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi dengan spinal anestesia sesuai dengan prosedur penelitian. Dari 100 pasien yang menjadi subjek penelitian dibagi secara random dalam 2 kelompok dengan menggunakan dua tipe jarum spinal yang berbeda, yakni kelompok A 50 orang dengan jarum spinal Whitacre 27G dan kelompok B 50 orang dengan jarum spinal Quincke 27G.
4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian
Karakteristik umum subjek penelitian berupa umur, jenis kelamin. Sebaran data karakteristik tersebut terlihat pada tabel (4.1-1)
Tabel 4.1-1. Data Demografi Umur Subjek Penelitian
Jenis Jarum n Mean Std. Deviation p
Whitacre 50 44.34 12.145
Umur
Quincke 50 40.60 12.304 0.129*
*uji t-independent tes
Umur pasien yang menjadi subjek pada kedua kelompok dari yang paling muda usia 20 tahun dan tertua usia 65 tahun dengan rerata 44.34 pada kelompok Whitacre dan 40.60 pada kelompok Quincke dengan uji T independent test didapat nilai p = 0.129 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.
(40)
Sedang penyebaran demografi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin bisa dilihat pada tabel (4.1-2) di bawah ini
(41)
Tabel 4.1-2. Data Demografi Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Whitacre Quincke Total p
Pria 33 (66%) 33 (66%) 66 (66%)
Wanita 17 (34%) 17 (34%) 34 (34%)
1.000*
*uji Chi square
Jenis kelamin pada kelompok Whitacre 33 pria dan 17 wanita, dengan pada kelompok Quincke 33 pria dan 17 wanita dengan uji Chi square didapat nilai
p=1.000, berarti tidak ada perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok data.
4.2 Physical status ASA
Karakteristik PS-ASA pada penelitian ini terlihat pada tabel (4.2-1) dibawah ini.
Tabel 4.2-1. Data demografi PS-ASA
PS ASA
Whitacre Quincke Total p
1 23 (46%) 28 (56%) 51 (51%)
2 27 (54%) 22 (44%) 49 (49%) 0.424* *uji Chi square
Physical status ASA (PS ASA) pada kedua kelompok ini adalah 1 dan 2, dimana pada pasien PS ASA 1 berjumlah 51 orang dan pasien PS ASA 2 49 orang. Dari analisa dengan uji Chi square untuk PS ASA terhadap kedua kelompok, didapat
p=0.424, berarti tidak ada perbedaan PS ASA antara kedua kelompok data.
(42)
Karakteristik jenis operasi yang dilaksanakan pada subjek penelitian ini yaitu bedah ortopedi, obstetrik, urologi, digestif. Dimana data demografinya dapat dilihat pada tabel (4.3-1) berikut ini
Tabel 4.3-1. Jenis operasi antar kedua kelompok
Jenis operasi Whitacre Quincke Total p
Urologi 23(46%) 15(30%) 38(38%)
Digestif 7 (14%) 18 (36%) 25 (25%)
Ortopedi 18(36%) 14(28%) 32 (32%)
Obstetrik 2 (4%) 3 (6%) 5 (5%)
0.65*
*uji Chi square
Pada penelitian ini jenis operasi urologi paling banyak dijumpai pada kedua kelompok yakni 38 orang (38%), kemudian ortopedi 32(32%), digestif 25 (25%) dan jenis operasi paling sedikit obstetrik 5 (5%). Setelah dianalisa dengan uji Chi square di dapat hasil p=0.65, dengan arti tidak ada perbedaan yang signifikan tetrhadap jenis operasi antar kedua grup.
4.4 Banyak usaha tusukan
Banyaknya usaha tusukan untuk masuk ke rongga sub-araknoid dengan tanda dijumpainya tetesan CSF melalui jarum spinal dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.
Tabel 4.4-1. Banyak Usaha tusukan
UsahaTusukan Whitacre Quincke Total p
1 kali tusukan 27 33 60
2 kali tusukan 15 10 25
3 kali tusukan 7 5 12
4 kali tusukan 1 2 3
(43)
*uji Chi-square
Dari hasil penelitian didapat bahwa ada 33 pasien kelompok Quincke yang hanya membutuhkan 1 tusukan, dan 27 pasien kelompok Whitacre dengan 1 tusukan. 15 pasien membutuhkan 2 tusukan untuk kelompok Whitacre dan 10 pasien untuk kelompok Quincke. 7 pasien membutuhkan 3 tusukan pada kelompok Whitacre dan 5 pasien untuk kelompok Quincke. 1 pasien dari kelompok Whitacre membutuhkan 4 tusukan dan 2 pasien pada kelompok Quincke. Dari analisa tes uji Chi square didapat
p=0.519, dengan arti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap usaha tusukan antara kedua kelompok jarum.
Gambaran demografis banyaknya tusukan pada dua kelompok ini dapat lebih jelasnya dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.4-1. Banyaknya usaha tusukan
4.5 Insidensi PDPH
Jumlah pasien yang mengalami kejadian PDPH dalam kurun waktu pemantauan penelitian ini dapat dilihat dari table-tabel di bawah ini.
(44)
4.5.1 Insidensi PDPH selama observasi
Tabel 4.5-1. Insidensi Kejadian PDPH
Insidensi
PDPH Whitacre Quincke Total p
Negatif 49 (98%) 45 (90%) 94 (94%)
Positif 1 (2%) 5 (10%) 6 (6%) 0.204*
*uji Chi square
Pada tabel ini adalah data insidensi PDPH yang terjadi dalam kurun waktu penelitian (3 hari). Didapat hasil pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dari analisa tes Chi square didapat hasil
p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini.
Untuk lebih jelasnya gambaran insidensi PDPH antar jarum Whitacre dan Quincke ini dapat dilihat dari grafik (4.5-1) di bawah ini.
(45)
Grafik 4.5-1. Insidensi PDPH antara Jarum Whitacre dan Quincke
Tampak walaupun kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien kelompok Quincke, 5 org (10%) dan hanya 1 org (2 %) pasien dalam kelompok Whitacre yang mengalami PDPH, tapi dari perbandingan statistik, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna.
Jumlah kejadian PDPH dibagi menjadi 4 rentang waktu observasi, yakni 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska spinal anestesia. Didapat hasil-hasil sebagai berikut.
4.5.2 Insidensi PDPH 6 jam paska spinal
Tabel 4.5-2. Insidensi PDPH 6 jam paska spinal
Insidensi
PDPH 6 jam Whitacre Quincke Total p
Negatif 50 (100%) 49 (98%) 99
Positif 0 1 (2%) 1 1.000*
*uji Chi square
Dari hasil di atas dilakukan uji Chi square didapat hasil p=1.000, sehingga tidak ada perbedaan bermakna yang signifikan terhadap insidensi PDPH 6 jam paska spinal pada kedua kelompok ini.
(46)
4.5.3 Insidensi PDPH 24 jam paska spinal
Tabel 4.5-3. Insidensi PDPH 24 jam paska spinal
Insidensi
PDPH 24 jam Whitacre Quincke Total p
Negatif 50 (100%) 49 (98%) 99
Positif 0 1 (2%) 1 1.000*
*uji Chi square
Dari hasil di atas dilakukan uji Chi square didapat hasil p=1.000, sehingga tidak ada perbedaan bermakna yang signifikan terhadap insidensi PDPH 24 jam paska spinal pada kedua kelompok ini.
4.5.4 Insidensi PDPH 48 jam paska spinal
Tabel 4.5-4. Insidensi PDPH 48 paska spinal
Insidensi
PDPH 48 jam Whitacre Quincke Total p
Negatif 49 (98%) 45 (90%) 94
Positif 1 (2%) 5 (10%) 6 0.204*
*uji Chi square
Dari hasil di atas dilakukan uji Chi square didapat hasil p=0.204, sehingga tidak ada perbedaan bermakna yang signifikan terhadap insidensi PDPH 48 jam paska spinal pada kedua kelompok ini.
4.5.5 Insidensi PDPH 72 jam paska spinal
Tabel 4.5-5. Insidensi PDPH 72 jam paska spinal
Insidensi
PDPH 72 jam Whitacre Quincke Total p
Negatif 50 (100%) 48 (96%) 98
(47)
*uji Chi square
Dari hasil di atas dilakukan uji Chi square didapat hasil p=0.495, sehingga tidak ada perbedaan bermakna yang signifikan terhadap insidensi PDPH 72 jam paska spinal pada kedua kelompok ini.
(48)
4.6 Keparahan PDPH
Keparahan dari kejadian PDPH selama pemantauan 6 jam paska, spinal, 24 jam, 48 jam dan 72 jam dapat dilihat dari tabel-tabel berikut ini.
4.6.1 Keparahan PDPH 6 jam paska spinal
Tabel 4.6-1. Keparahan PDPH 6 jam paska spinal
Keparahan
PDPH 6 jam Whitacre Quincke Total p
Tidak ada 50 49 99
Ringan 0 0 0
Sedang 0 1 1
Berat 0 0 0
1.000*
*uji Chi square
Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=1.000, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum 6 jam paska spinal.
4.6.2 Keparahan PDPH 24 jam paska spinal
Tabel 4.6-2. Keparahan PDPH 24 jam paska spinal
Keparahan
PDPH 24 jam Whitacre Quincke Total p
Tidak ada 50 48 98
Ringan 0 0 0
Sedang 0 2 2
Berat 0 0 0
0.495*
(49)
Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=0.495, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum 24 jam paska spinal.
4.6.3 Keparahan PDPH 48 jam paska spinal
Tabel 4.6-3. Keparahan PDPH 48 jam paska spinal
Keparahan
PDPH 48 jam Whitacre Quincke Total p
Tidak ada 49 44 93
Ringan 1 4 5
Sedang 0 2 2
Berat 0 0 0
0.131*
*uji Chi square
Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=0.131, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum 48 jam paska spinal.
4.6.4 Keparahan PDPH 72 jam paska spinal
Tabel 4.6-4. Keparahan PDPH 72 jam paska spinal
Keparahan
PDPH 72 jam Whitacre Quincke Total p
Tidak ada 50 48 98
Ringan 0 2 2
Sedang 0 0 0
Berat 0 0 0
0.495*
*uji Chi square
Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=0.495, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum.
(50)
4.7 Hubungan insidensi PDPH dengan banyaknya tusukan
Dalam penelitian dilakukan analisa data terhadap banyaknya tusukan dengan insiden kejadian PDPH, yang bisa dilihat dari tabel data di bawah ini.
Tabel 4.7-1. Hubungan banyak tusukan dengan PDPH
Insidensi PDPH Banyak Usaha
Tusukan Negatif Positif
Total
p
1 kali tusukan 57 3 60
2 kali tusukan 23 2 25
3 kali tusukan 12 0 12
4 kali tusukan 2 1 3
0.170*
*uji Chi square
Dari data di atas dilakukan analisa dengan tes uji Chi square dan didapatkan hasil p=0.170, berarti tidak ada hubungan kejadian PDPH dengan banyaknya usaha tusukan spinal.
Untuk lebih jelasnya gambaran hubungan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH ini dapat dilihat melalui grafik (4.7-1) di bawah ini.
(51)
BAB 5
5
PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum
Dari data umum karakteristik sampel terlihat bahw umur, jenis kelamin, PS ASA dan jenis operasi antara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik, sehingga sampel yang diambil relative homogen dan layak untuk dibandingkan.
5.2 Banyak Usaha Tusukan
Banyaknya usaha tusukan diperhitungkan karena tingkat kesukaran dalam penggunaan jarum Whitacre diperkirakan sedikit lebih sulit dibandingkan penggunaan jarum Quincke yang sudah lazim dipakai.
Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan berapa kali usaha tusukan dilakukan dalam upaya mencapai ruang sub-arakhnoid dengan tipe jarum Quincke dan Whitacre. Dimana yang melakukan tusukan ini adalah dokter-dokter PPDS anestesi dengan pengalaman tindakan spinal anestesi minimal 6 bulan (pertengahan semester 2). Dari hasil penelitian ini didapatkan p=0.519 melalui uji Chi square dengan makna tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap usaha tusukan antar kedua jarum.
(52)
Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa walau penggunaan jarum Whitacre sedikit lebih sulit, tetapi tingkat kesulitan dalam penggunaannya tidak jauh berbeda dengan jarum Quincke secara statistik.
5.3 Insidensi PDPH
Keluhan PDPH diduga merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebrospinal ke dalam ruang epidural. Hal ini disebabkan terjadinya robekan akibat penggunaan jarum spinal. Diperkirakan besar dan tipe jarum antara cutting point dengan pencil point dapat mengurangi insidensi PDPH yang timbul.
Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5%.14 Sebaliknya, pada penelitian Ripul dkk, yang membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik, menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%).12 Begitu juga dengan penelitian Irawan dkk dan Shah dkk yang meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapatkan ada hubungan bermakna insidensi PDPH dengan tipe jarum yang digunakan, dimana jarum Whitacre 27G memiliki insidensi yang lebih kecil dibandingkan jarum 25G dan 27G Quincke.
Pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dari analisa tes Chi square didapat hasil p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini. Begitu juga dengan Insidensi PDPH dalam 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska spinal, juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara kedua jarum.
(53)
Hasil penelitian ini memberikan hasil yang serupa seperti yang dilakukan oleh Lynch dkk, dan berbeda dengan hasil yang dilakukan oleh Irawan, Shah maupun Ripul, kemungkinan disebabkan sampel pasien yang digunakan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Irawan, Shah dan Ripul, populasi sampel adalah pasien-pasien obstetrik paska section caesarea dengan spinal anestesi. Dimana pada pasien-pasien obstetrik, terutama pasien-pasien yang hamil, ketebalan dura maternya berbeda dengan pasien yang tidak hamil. Tekanan dari rongga abdomen menyebabkan ruang subarakhnoidnya lebih kecil dan duramaternya cenderung lebih rapuh dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini menyebabkan insidensi PDPH pada pasien-pasien wanita hamil cenderung lebih sering terjadi.17 Sedang pada penelitian ini, wanita hamil tidak diikut sertakan sebagai sampel guna mengurangi bias yang ditimbulkan. Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Lynch dkk, sehingga hasil penelitian ini hampir serupa dengan hasil yang dilakukan oleh Lynch.
Ada kemungkinan bahwa hasil penelitian bisa menjadi berbeda bila sampel pasien termasuk pasien-pasien hamil, atau sampel hanya terdiri dari pasien-pasien hamil saja.
5.4 Keparahan PDPH
Diperkirakan keparahan dari PDPH yang timbul bisa disebabkan oleh besarnya robekan yang ditinggalkan akibat tusukan jarum spinal.
Dari keenam pasien yang mengalami PDPH, derajat keparahan yang terjadi berkisar ringan dan sedang. Tidak ada keparahan yang berat timbul selama pengamatan paska operasi. 1 pasien Whitacre yang mengalami PDPH derajat keparahannya ringan. Sedang pada 5 pasien Quincke, 2 mengalami PDPH derajat ringan dan 3 mengalami PDPH derajat sedang. Dari hasil analisa tingkat keparahan terhadap waktu-waktu pengamatan dengan tes Chi square didapat tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap tingkat derajat PDPH antara kedua jarum.
(54)
5.5 Hubungan banyaknya tusukan dengan Insidensi PDPH
Diperkirakan bahwa semakin besar lubang atau robekan yang timbul akibat jarum, semakin besar pula insidensi PDPH yang timbul. Diasumsikan bahwa semakin banyak usaha tusukan, semakin banyak lubang yang terjadi, maka semakin besar insidensi PDPH yang terjadi.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk (2009) dengan menggunakan jarum 23G Quincke membandingkan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH, didapat ada hubungan yang signifikan terhadap banyaknya usaha tusukan dengan tingginya insidensi.18 Akan tetapi penelitian Kang SB dkk, menemukan bahwa pada jarum-jarum yang lebih kecil 26G dan 27G tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara banyaknya tusukan dengan tingginya insidensi PDPH.19
Dari data penelitian yang didapat, dari 60 pasien yang memerlukan 1 kali upaya tusukan, terdapat 3 insidensi PDPH. Pada 25 pasien yang memerlukan 2 kali upaya tusukan, ada 2 insidensi PDPH. Pada 12 pasien yang memerlukan 3 kali usaha tusukan, tidak ada PDPH yang terjadi. Dan pada 3 pasien yang memerlukan 4 kali usaha tusukan, ada 1 insidensi PDPH. Pada penelitian ini, yang menggunakan tipe jarum ukuran 27G, dengan analisa uji Chi square didapati hasil p=0.170, berarti tidak ada hubungan kejadian PDPH dengan banyaknya usaha tusukan spinal. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Kang SB dkk.
(55)
BAB 6
6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap insidensi PDPH antara jarum spinal Whitacre dan Quincke.
2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap keparahan PDPH antara jarum spinal Whitacre dan Quincke.
3. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap banyaknya usaha tusukan antara jarum spinal Whitacre dan Quincke.
4. Pada penelitian ini tidak dijumpai adanya hubungan antara banyaknya usaha tusukan jarum spinal dengan insidensi PDPH.
6.2 Saran
1. Jarum Quincke 27G menunjukkan kemampuan yang sama secara statistik dalam mengurangi insidensi dan keparahan PDPH pada pasien-pasien anestesi spinal dibandingkan dengan jarum Whitacre 27G.
2. Penggunaan jarum Whitacre 27G ternyata dapat diterima dan dipakai pada ruang lingkup pendidikan dokter spesialis anestesi berhubung tingkat kesukaran dalam banyaknya usaha tusukan tidak berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan jarum Quincke 27G.
3. Penelitian ini perlu dilanjutkan dalam membandingkan kedua tipe jarum Quincke dan Whitacre pada populasi wanita hamil yang cenderung lebih mudah mengalami PDPH.
(56)
4.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shah A, Bhatia PK, Tulsiani KL. Postdural puncture headache in Caesarean Section – A comparative study using 25G Quincke, 27G Quincke and 27G Whitacre needle. Dalam : Indian Journal of Anaesthesiology, 456,2002,hal:373-7.
2. Shutt LE, et al. Spinal anaesthesia for Caesarean section: comparison of 22 gauge and 25 gauge Whitacre needle with 26 gauge Quincke needles. Dalam : Anesthesia Journal, 69, 1992, hal: 589-4.
3. Holdgate A, Cuthbert K. Perils and pitfalls of lumbar puncture in the emergency department. Dalam: Emergency Medicine, Fremantle, 13(3), 2001 Sep,hal: 351-8.
4. Kleinman, Wayne, Mikhail, Maged. Spinal, epidural and caudal blocks. Dalam: Clinical Anesthesiology, Lange, Edisi 4. 2006, hal: 319.
5. Hart JR, Whitacre RJ. Pencil point needle in prevention of post spinal headache. 147, 1951, hal:. 657-658.
6. Kaul TK, Chopra H, Gautam PL. Hearing Loss after spinal Anesthesia relation to needle size. Dalam: Journal of Anesthesia Clinical Pharmacology, 12, 1996, hal: 113-6.
7. Eerola M, Kaukinen L, Kaukinen S. Fatal brain lesion following spinal anaesthesia. Dalam: Acta Anaesthesiology Scandinavia 25, 1981, hal:115-6.
8. Gerrtse BJ, Gielen MJ. Seven months delay for epidural blood patch in PDPH.
(57)
9. Zeidon A, et al. Does PDPH left untreated lead to subdural haematoma? Case report and review of the literature., Dalam: International Journal of Obstetric Anesthesiology, 15, 2006, hal: 50-8.
10. Hawkins JL, et al. Anesthesia-related deaths during obstetric delivery in the United States. Dalam: Anesthesiology, 1997, Vol. 86, hal: 277-84.
11. Reid JA, Thorburn J. Headache after spinal anesthesia. Dalam: British Journal of Anesthesia, 1991. hal: 674-7.
12. Ripul Oberoi, et al. Incidence of Post Dural Puncture Headache: 25 Gauge Quincke VS 25 Gauge Whitacre Needles. Dalam: Journal of Anaesthesiology of Clinical Pharmacology, 25, 2009, hal: 420-2.
13. Hwang JJ and Ho ST, Wang JJ, Liu HS. Post dural puncture headache in cesarean section: comparison of 25-gauge Whitacre with 25- and 26-gauge Quincke needles. Dalam: Acta Anaesthesiology Singapore, 35(1), Mar 1997,hal: 33-7.
14. Lynch J, Kasper SM, Strick K, Topalidis K, Schaaf H, Zech D, Krings-Ernst. The use of Quincke and Whitacre 27-gauge needles in orthopedic patients: incidence of failed spinal anesthesia and postdural puncture headache. Dalam: Anesthesiology Analgesia, 79, Jul 1994, Vol. 1, hal: 124-8.
15. Irawan Dino, Tavianto Doddy and Surahman Eri. Kejadian Post Dural Puncture Headache dan Nilai Numeric Rating Scale Pada Pasien Paska Seksio Cesarea Dengan Anestesi Regional Spinal Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung : FK Unpad, 2010, hal: 1-30.
16. Carrie LES, Collins PD. 29 gauge spinal needles. Dalam: Brisith Journal of Anaesthesiology, 66, 1991, hal: 145-6.
(58)
17. Turnbull D K, Shepherd D. B.Post-dural puncture headache: pathogenesis, prevention and treatments. Dalam: British Journal of Anaesthesia, 91(5), 2003, hal: 718-29.
18. Singh, Ranju, Padmaja, S. and Jain, Aruna. Incidence of Post Dural Puncture Headache with a 23 G Quincke Needle in Emergency Lower Segment Caesarean Section - an Audit. Dalam: Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 25(4), 2009, hal: 486-90.
19. Kang B, Seuk et al. Comparison of 26G and 27G Needles for Spinal Anesthesia or Ambulatory Surgery Patients. Dalam: Anesthesiology, 76, 1992, hal: 734-8.
20. Shaikh, Jan Muhammad, et al. Post dural puncture headache after spinal anaesthesia for caesarean section: a comparison of 25g quincke, 27g quincke and 27g whitacre spinal needles. Dalam: J Ayub Med Coll Abbottabad, 20(3), 2008, hal: 1-4.
21. Kotur PF. Evidence Based Management of Post Dural Puncture Headache.
Dalam: Indian Journal of Anaesthesiology, 50 (4), 2006, hal: 307-8.
22.Schwalbe, Steve. Pathophysiology and Management of Post-dural Puncture Headache: A Current Review. Society of Obstetric Anesthesia and Perinatology. 2000. Diambil dari:http://www.soap.org/media/newsletters/fall2000/pathophysio logy_management.htm
23. Madiyono, Bambang, Sastroasmoro, Sudigdo and Ismael, Sofyan. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3, Sagung Seto, 2010, 16, hal: 314-5.
(59)
LAMPIRAN 1: RIWAYAT HIDUP PENELITI
Nama : Dr. Edlin
Tempat/Tgl Lahir : Banda Aceh,26 Februari 1981
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Sei Bahorok Gg. Keplor No.30 Medan
Nama Ayah : dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn
Nama Ibu : Rita Zulmi
Status : Belum Menikah
RIWAYAT PENDIDIKAN
1980-1986 : TK Bintang Kecil 1986-1989 : SD Harapan I Medan 1989-1992 : SMP Harapan I Medan 1996-1999 : SMU Negeri 1 Medan
1999-2006 : S1 Pend. Dokter Fakultas Kedokteran USU Medan
(60)
LAMPIRAN 2: LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN
Assalamualaikum Wr.Wb,
Bapak/Ibu/Saudara/i Yth.
Saya, Dr. Edlin, saat ini menjalani program pendidikan dokter spesialis Anestesiologi dan Reanimasi akan melakukan penelitian,
Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal Dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pilihan tipe jarum spinal yang dapat mengurangi kejadian dan keparahan dari PDPH atau nyeri kepala setelah tindakan pembiusan melalui tulang belakang pada daerah punggung (pembiusan spinal).
Bapak/Ibu/Saudara/I Yth,
Penelitian ini menyangkut pelayanan tindakan pembiusan pada pasien yang menjalani operasi dengan pembiusan melalui tulang belakang (spinal). Yang dimaksud dengan pembiusan melalui tulang belakang (spinal) adalah pasien mendapatkan pembiusan separuh badan, pasien tetap sadar namun bagian tubuh yang dibius tidak merasa sakit/ sedikit merasa sakit karena telah mendapatkan pembiusan. Diharapkan operasi dapat berlangsung sesuai dengan perkiraan dokter bedah dan anestesi. Tetapi apabila operasi tidak dapat berlangsung sesuai perkiraan dan operasi berlangsung lebih lama maka tehnik pembiusan akan dipertimbangkan kembali mengenai apakah perlu atau tidak untuk beralih ke pembiusan umum.
Yang akan saya nilai adalah kondisi keadaan pasien setelah operasi terutama mengenai nyeri kepala yang timbul. Perlu diketahui bahwa nyeri kepala ini merupakan resiko umum yang bisa timbul pada setiap operasi dengan pembiusan tulang punggung. Nyeri kepala yang termasuk istilah PDPH yang saya cari adalah nyeri kepala yang timbul atau memberat bila pasien duduk atau berdiri dan akan menghilang atau berkurang apabila pasien tidur berbaring telentang. Nyeri kepala ini akan saya
(1)
LAMPIRAN 5: LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN
Nama
: No.
Medical
record
(MR)
:
Umur
: No.
Telepon
:
Jenis Kelamin :
Alamat
:
Diagnosis :
Tindakan :
PS ASA
:
Berat badan
:
Tinggi badan :
Keadaan Pre Operasi
Tekanan Darah : mmHg
Laju Nadi
:
x/i
Laju nafas
:
x/i
WAKTU INSERSI JARUM SPINAL
:
BANYAK USAHA INSERSI :
Mulai Kerja Blok Sensorik :
Mulai Kerja Blok Motorik :
Monitoring Durante Operasi
5‘
10‘ 15‘ 20‘ 25‘ 30‘ 35‘ 40‘ 45‘ 50‘ 55‘ 60‘ 65‘ 70‘ 75‘ 80‘
Tekanan darah
(mmHg)
Laju nadi
Laju Nafas
Tinggi Blokade
Sensorik
Nyeri PDPH
Periode Inspeksi
Klasifikasi PDPH
6 jam paska injeksi spinal
24 jam paska injeksi spinal
48 jam paska injeksi spinal
Tingkat keparahan PDPH
Ringan
Tidak ada gangguan dalam aktivitas
Tidak dibutuhkan penanganan
Sedang
Terjadi gangguan dalam aktivitas
Dibutuhkan analgesia secara regular
(2)
LAMPIRAN 6: DATA HASIL PENELITIAN
No Nama Umu
r
Jenis
Kelamin Tindakan
PS
ASA Berat
Badan Tinggi
Badan Jenis
Banyak
Usaha
PDPH 6 jam
psc
PDPH 24 jam
psc
PDPH 48 jam
psc
PDPH 72 jam
psc
Tingkat PDPH 6 jam psc
Tingkat PDPH 24
jam psc
Tingkat PDPH 48
jam psc
Tingkat PDPH 72
jam psc
1 F 57 Wanita URS + DJ Stent 2 52 150 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 2 MD 25 Pria Refrakturisasi + Skeletal traksi 1 58 165 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
3 AR 52 Pria Turp 2 45 155 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
4 S 58 Pria Turp 2 62 175 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
5 AM 49 Pria Debridement 2 55 158 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
6 KS 42 Pria ORIF 2 50 160 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
7 M 42 Pria Hernioraphy 2 60 155 Spinocan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
8 LK 54 Wanita DJ stent 2 50 153 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
9 J 51 Wanita URS 2 50 154 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
10 M 23 Pria debridement 1 55 160 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
11 P 20 Pria Hernioraphy 1 62 164 Spinocan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
12 UP 27 Pria Removal implant 1 60 160 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
13 D 60 Pria Hernioraphy 1 57 156 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
14 MSS 28 Pria ROI / aff implant 1 65 168 Pencan 2 ‐ ‐ + ‐ 0 0 2 0
15 AS 29 Pria Appendectomy 1 65 160 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 16 IS 36 Pria Hemmoroidectomy 1 58 170 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 17 LD 59 Pria Hernioraphy 2 65 157 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
18 RA 22 Pria ORIF 1 55 160 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
19 S 50 Wanita histerectomi 1 50 155 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 20 S 41 Pria Explorasi abses + debridement 2 62 170 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
21 UJ 61 Pria TURP 2 44 165 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
22 JH 30 Pria Arthodesis 2 60 167 Spinocan 1 ‐ ‐ + + 0 0 1 1 23 S 35 Wanita Appendectomy 2 52 151 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 24 HC 51 Wanita Sebridement 2 55 160 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
(3)
25 PS 23 Pria Debridement 1 53 150 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 26 J 49 Wanita URS + Litotripsi 1 50 150 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
27 P 54 Pria Litotripsi 2 60 167 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
28 D 48 Pria TURP 2 56 150 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
29 D 47 Pria TURP 2 49 148 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
30 S 60 Pria ORIF 2 50 165 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
31 S 55 Pria TURP 2 60 173 Pencan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
32 RJ 19 Wanita Appendectomy 1 60 160 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
33 TS 64 Pria TURP 2 55 170 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
34 S 39 Wanita Appendectomy 1 64 155 Spinocan 3 ‐ ‐ 0 2 2 0 35 WH 63 Pria TURP + Ciistostomi 2 60 157 Pencan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 36 DS 24 Pria Hernioraphy 1 60 160 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
37 M 41 Pria Thoppytectomy 2 60 165 Spinocan 4 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
38 JT 39 Wanita URS 2 60 162 Spinocan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
39 RS 37 Pria Removal Plate 1 49 160 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
40 J 62 Pria Hernioraphy 1 60 155 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
41 SU 24 Pria Removal ORIF 1 50 160 Pencan 4 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 42 RG 42 Pria Removal Plate 1 60 154 Spinocan 2 ‐ ‐ + + 0 0 2 1 43 S 35 Wanita Removal ORIF 1 55 160 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 44 W 24 Wanita Hernioraphy 1 57 160 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 45 H 22 Pria Removal ORIF 1 64 170 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 46 S 26 Wanita Appendectomy 1 64 175 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 47 W 18 Pria Removal ORIF 1 59 160 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
48 R 24 Pria Hernioraphy 1 60 160 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
49 JH 54 pria TURP 2 65 165 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
50 G 65 Pria TURP 1 68 160 Pencan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
51 M 18 Wanita Appendectomy 2 58 165 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
(4)
53 SU 47 Wanita histerectomi 2 60 168 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
54 S 49 Pria TURP 2 65 165 Spinocan 1 ‐ ‐ + ‐ 0 0 1 0
55 B 55 Pria TURP 2 55 155 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
56 R 26 Wanita Appendectomy 1 65 172 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
57 DA 58 Pria TURP 2 65 170 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
58 F 55 Pria TURP 2 64 163 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
59 DB 36 Wanita Removal ORIF 1 57 160 Pencan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 60 LS 45 Wanita histerectomi 2 50 155 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 61 SR 33 Wanita Removal ORIF 1 60 157 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
62 RH 58 Pria TURP 2 65 165 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
63 FM 57 Pria TURP 1 65 168 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
64 MI 60 Pria TURP 2 65 165 Spinocan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
65 P 25 Pria Appendectomy 1 63 157 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
66 T 56 Pria TURP 2 65 160 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
67 B 54 Pria TURP 1 55 153 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
68 D 37 Wanita Removal ORIF 1 60 170 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
69 HS 57 Pria TURP 1 64 176 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
70 LI 37 Wanita Hernioraphy 1 48 150 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
71 D 34 pria ORIF 1 50 156 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
72 NY 45 Wanita Removal ORIF 1 60 158 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
73 W 50 Pria TURP 1 65 160 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
74 RN 53 Pria TURP 2 60 165 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
75 L 56 Pria TURP 2 52 155 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
76 KG 64 Pria TURP 2 64 164 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
77 O 30 Pria Removal ORIF 1 64 160 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 78 LP 40 Wanita histerectomi 2 57 1550 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
79 S 58 Pria TURP 1 58 155 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
(5)
81 M 47 Wanita Appendectomy 1 55 155 Spinocan 4 + + + ‐ 2 2 1 0 82 S 32 Wanita Removal ORIF 1 60 165 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
83 SL 67 Pria TURP 2 60 160 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
84 M 28 Wanita ORIF 2 55 154 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
85 LS 51 Pria Debridement 1 50 160 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
86 DL 29 Wanita ORIF 1 61 168 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
87 DA 22 Wanita Appendectomy 1 63 155 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 88 P 26 Pria Appendectomy 1 54 154 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 89 R 45 Wanita histerectomi 2 60 165 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
90 K 30 Wanita ORIF 2 55 150 Pencan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
91 S 56 Pria TURP 2 60 170 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
92 L 31 Wanita Removal ORIF 1 50 166 Spinocan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
93 MA 27 Pria Hernioraphy 2 50 157 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
94 SN 56 Pria TURP 2 65 169 Pencan 3 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
95 HM 44 Pria Appendectomy 1 60 160 Pencan 2 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
96 LS 20 Pria TURP 2 64 172 Spinocan 1 ‐ ‐ + ‐ 0 0 1 0
97 P 25 Wanita ORIF 2 55 165 Pencan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
98 R 27 Wanita Appendectomy 1 58 150 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0 99 S 31 Wanita Hernioraphy 1 65 164 Spinocan 1 ‐ ‐ ‐ ‐ 0 0 0 0
(6)