dan kenyataan pun tidak jarang bagaikan mimpi ketika kenyataan tersebut terjadi tidak seperti atau bahkan melebihi yang diharapkan.
c. Awal dan Akhir
Di dalam Cala Ibi, awal dan akhir sebagai dua hal yang bertolak belakang dipertanyakan kembali, “Sepanjang malam ia tak tidur, tahu takkan bisa tertidur,
hingga langit di atas kepalanya menukar warna hitam itu jadi jingga merah biru ungu. Awal sebuah hari, atau akhir hari, ia tak pasti. Esok hari, tanah akan
kembali coklat, gunung hijau, samudera terbiru. Awal dari sebuah akhir, ataukah akhir dari sebuah awal. Ia tak pasti hlm. 57.” Melalui kutipan tersebut tampak
bahwa awal dan akhir yang memiliki kepastiannya masing-masing menjadi tidak pasti ketika keduanya disandingkan, “awal dari sebuah akhir, ataukah akhir dari
sebuah awal.” Pada bagian lain, “Kutuk atau berkah, betapa tipisnya, siapa gerangan yang tahu? Luka atau bahagia, betapa tipisnya, di mana awal bahagia di
mana akhir luka. Mengapa bahagia seorang anak menjadi luka orang tua? Memberkahi duka, mendukai berkah. Di mana anak berawal orang tua berakhir?”
hlm. 82. Kutipan tersebut memberi penegasan “betapa tipisnya” garis pembeda awal dan akhir dengan menggunakan metafora hubungan orangtua dan anak. Luka
seorang anak berakhir pada saat ia lepas dari orangtuanya, seperti yang terjadi pada Maia ketika berhasil meruntuhkan pagar besi bapaknya pada bab
“Runtuhnya Pagar Besi,” dan ia pun bahagia dengan mengawali jalan hidup yang dipilihnya sendiri. Sebaliknya, hal tersebut adalah akhir kebahagiaan dan awal
luka orangtua karena mereka tidak lagi memiliki kuasa penuh atas anak, seperti tampak pada ibu Maia yang menangisi Maia, “Kau melihat dua siluet di balik
jendela. Bapak dan ibumu, berdiri bersisian menatapmu. Dua siluet gelap, namun kau bisa melihat kilatan cahaya memantul di pipi ibumu, apakah itu air mata ...
Strategi pembacaan..., Bramantio, FIB UI, 2008
duka ataukah bahagia, kau tak bisa menerka yang dirasanya” hlm. 143. Pada bagian lain, Maya pun kembali menegaskan, “Akhir bagi mereka, awal bagiku”
hlm. 154.
Ketidakpastian dan tipisnya batas awal dan akhir tersebut adalah kondisi pembacaan Cala Ibi. Pembaca pada awalnya dibuat bingung dengan kerumitan
struktur kisahnya, “Percayatidakpercayatidak. Sedang jarum jam terus berdetak tiktaktiktak, aku menatap lesu jam di lenganku. Berhenti, terus, berhenti, terus ...
Tapi entah siapa yang pernah bilang, bingung adalah sebuah rasa, awal yang baik. Ataukah akhir” hlm. 129 dan “Misteri berlapis misteri kian banyak ketika kau
kian jauh berlapis, ketika kau mengira telah hampir mencapai akhir, ternyata kau baru saja menuju awal” hlm. 267—268.” Hal tersebut berkaitan dengan kisah
Cala Ibi yang pada akhirnya diketahui membentuk garis-waktu kisah berupa angka delapan, sehingga awal bingkai-Maya adalah akhir bingkai-Maya, dan
sebaliknya secara terus-menerus. Lebih lanjut, kebingungan di dalam pembacaan Cala Ibi ternyata tidak hanya terjadi di awal, melainkan juga di akhir, “Dan
jangan mengira, jangan pernah mengira kelak akan tahu. Kau takkan pernah tahu ... di akhir yang ada hanyalah ketaktahuan, seperti di awal” hlm. 230, karena
setelah memahami kisahnya pun, pembaca masih menghadapi sejumlah pertanyaan tentang struktur dalam atau isi Cala Ibi. Meskipun demikian, seperti
halnya hadirnya dunia nyata dan dunia mimpi, kondisi tersebut menjadi salah satu dari sejumlah gagasan Cala Ibi tentang kenyataan yang tidak jarang tampak
sedemikian aneh dan tak terperi, seperti cinta, Tiba-tiba ia berbalik, menatapmu yang sedang diam-diam
menatapnya, seperti tatapannya padamu sesaat lalu. Seakan kau dan dia bertukar tempat, jadi awal jadi akhir, tak usai. Kau dan dia saling
bertatapan beberapa saat, dengan rasa yang sulit dimengerti, semacam rasa yang bukan duka bukan bahagia, bukan cinta. Namun sesuatu
Strategi pembacaan..., Bramantio, FIB UI, 2008
yang terus-menerus, mengawali akhir mengakhiri awal yang dinamai manusia sebagai cinta, lebih dari kehendak kata itu, takkan pernah
usai hlm. 175.
4. Model Cakrawala