Dengan demikian, dapat dipahami bahwa panduan utama pembacaan Cala Ibi adalah menerima metafora sebagai hal yang biasa, membentuk cakrawala harapan
baru seperti yang disarankan oleh Cala Ibi, serta ketelatenan dan keikhlasan dalam menerima dan mengikuti panduan Cala Ibi. Lebih lanjut, memaknai Cala
Ibi berarti memahami. Memahami Cala Ibi di sini tidak sebatas pada struktur kisah atau struktur luarnya, tetapi juga isi atau struktur dalamnya. Seperti halnya
pemahaman atas struktur luarnya, pemahaman atas struktur dalamnya juga dipandu Cala Ibi,
Seandainya ini sebuah buku—seperti pernah kata Kiki—ada beberapa kalimat yang patut diingat. Menurut Kiki, sebuah buku sebenarnya
hanya terdiri dari beberapa kalimat utama. Sisanya adalah pengulangan, pemekaran, penjelasan, perumitan, bahkan
pembingungan hlm. 117.
Melalui kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Cala Ibi menyarankan pembaca untuk menemukan kalimat-kalimat utamanya yang nantinya dapat digunakan
untuk memahami struktur dalamnya. Kalimat-kalimat utama di sini tidak dipahami sebagai sekadar kalimat, melainkan gagasan. Berkaitan dengan hal
tersebut, gagasan utama Cala Ibi dapat ditemukan dengan mencari model dan matriksnya.
C. Model dan Matriks Cala Ibi
55
1. Model Identitas
Cala Ibi dibuka dengan, “Bapakku anggrek bulan, putih dari hutan. Ibuku mawar merah di taman, dekat pagar pekarangan. Bertemu suatu pagi di pelabuhan.
Melahirkanku. Bayi merah muda kemboja. Bunga kuburan” hlm. 1. Rangkaian
55
Model-model yang dibicarakan di dalam bagian ini tidak diurutkan berdasarkan penting-tidaknya sebagai gagasan-gagasan Cala Ibi, tetapi berdasarkan kesan yang dihadirkannya
sejak awal hingga akhir Cala Ibi. Seluruh model tersebut pun pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk menemukan gagasan pokok Cala Ibi.
Strategi pembacaan..., Bramantio, FIB UI, 2008
kalimat tersebut adalah pernyataan Maya tentang identitasnya. Maya pun mengulang pernyataannya dengan cara senada sebanyak dua kali di bagian lain,
“Bapakku pekerja ladang kopra yang pergi belajar ke Jawa. Ibuku penyanyi radio dan ratu dansa. Anaknya pekerja kerah putih di Jakarta” hlm. 3 dan “Bapakku
bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody Mary” hlm. 4. Ketiga rangkaian kalimat tersebut memperlihatkan bahwa
identitas seseorang pertama kali terumus melalui riwayat atau garis keturunan, siapa bapak dan ibunya. Meskipun demikian, kalimat-kalimat tersebut tidak
mengarah pada penegasan tentang hal itu. Dengan menyatakan identitasnya melalui tiga cara yang berbeda, Maya sesungguhnya menghadirkan pemahaman
bahwa identitas seseorang tidak dapat dirumuskan dengan mudah. Pada rumusan pertama dan ketiga dapat diketahui bahwa betapa berbeda identitas seseorang
ketika ia melihat kedua orangtuanya sebagai anggrek bulan dan mawar merah, dengan ketika ia melihat orangtuanya sebagai bening air kelapa muda dan sirup
merah kental. Dengan begitu, riwayat atau garis keturunan yang selama ini dipahami sebagai yang memberi landasan awal dalam menentukan identitas pun
ternyata bukan sesuatu yang pasti, semua tidak lebih daripada pemerian atas kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri. Seseorang membawa bagian bapak dan
bagian ibu di dalam dirinya, dan hal itu menyebabkan dirinya bukan lagi bapak dan ibunya, melainkan individu baru yang unik. Lebih lanjut, pada rumusan kedua
yang tampak justru terlepasnya individu dari bapak dan ibunya, karena ia adalah “pekerja kerah putih,” bukan salah satu atau campuran kedua orangtuanya yang
“pekerja ladang kopra” dan “penyanyi radio dan ratu dansa.” Hal tersebut semakin menegaskan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang pasti karena senantiasa ada
kemungkinan untuk mempertanyakan dan membentuknya kembali. Dalam
Strategi pembacaan..., Bramantio, FIB UI, 2008
kaitannya dengan struktur kisah Cala Ibi, usaha mempertanyakan dan membentuk kembali identitas tampak pada diri Maya yang berusaha memahami dirinya
dengan menuliskan kembali mimpi-mimpinya dan mengisahkan Maia, begitu pula Maia yang berusaha memahami dirinya dengan melakukan perjalanan menjelajahi
hutan dan mengisahkan Maya.
Pada bagian yang lain Maya mempermasalahkan nama sebagai sesuatu yang menentukan identitas seseorang,
Karena sebal dengan namaku, aku sebal juga dengan para orang tua, mereka sesukanya saja memberi nama anak. Seandainya anak-
anak dibiarkan tak bernama hingga cukup besar untuk memilih dan menamai dirinya sendiri. Tak perlu ada leluhur. Tak ada bintang film
idola orang tua. Tak ada orang mati bernama bagus yang hidup lagi dan lagi. Tak ada sifat rujukan, keinginan dan harapan, atau usulan
dari teman botanis. Tak ada pemerian, pemaknaan. Aku tak pernah ingin merujuk diriku dari namaku, melihat dalam namaku.
Berbahagialah orang-orang Jawa. Betapa beruntungnya mereka, tak harus bermarga, tak harus membawa nama keluarga. Nama-nama
punya mereka malah seringkali cuma satu kata singkat saja, su-ini su- itu su-sesuatu—begitu sederhana, hanya ada pada dirinya. Sedang aku
mesti menghela apa-apa ke mana-mana: marga, nama keluarga, garis ayah, rangkaian panjang sejarah. Menempel di belakang dua namaku.
Seperti bayangan, keluar panjang dari telapak kaki, menjatuhkan tubuh ke tanah, hitam terseret langkah-langkah kaki. Bayangan, yang
mengikuti sepanjang jalan. hlm. 7
Melalui kutipan tersebut dapat diketahui bahwa ada ketidakpuasan pada diri Maya berkaitan dengan penamaan dirinya oleh orangtuanya. Dengan memiliki
nama pemberian orangtua, seseorang dengan sendirinya akan selamanya terikat pada orangtuanya, semacam berhutang untuk sesuatu yang bukan materi atau
budi, melainkan nama dan identitas, sehingga kemerdekaannya sebagai individu pun tidak pernah sepenuhnya. Selain itu, senantiasa ada maksud di balik
pemberian nama, yang diakui atau tidak, memberi ikatan kepada pemiliknya untuk merujuk, berusaha merujuk, atau bahkan dipaksa merujuk kepada makna
tersebut. Pernyataan Maya tersebut, selain berkaitan dengan permasalahan
Strategi pembacaan..., Bramantio, FIB UI, 2008
seputar nama sebagai identitas, juga memiliki kaitan dengan panduan pembacaan Cala Ibi, khususnya tentang pengalaman pembacaan dan cakrawala harapan.
Pembacaan Cala Ibi bagaikan “anak-anak yang dibiarkan tak bernama hingga cukup besar untuk memilih dan menamai dirinya sendiri. Tak perlu ada leluhur,
bintang film idola orang tua, dan orang mati bernama bagus yang hidup lagi dan lagi. Tak ada sifat rujukan, keinginan dan harapan, atau usulan dari teman
botanis. Tak perlu pemerian, pemaknaan.” Pembacaan Cala Ibi cukup “ada pada dirinya sendiri” seperti halnya orang Jawa yang “betapa beruntungnya mereka,
tak harus bermarga, tak harus membawa nama keluarga.” Pernyataan Maya tersebut menegaskan hasil analisis pada bagian sebelumnya bahwa Cala Ibi
cukup dibaca sebagai sebuah teks tunggal, bukan sebagai salah satu titik di dalam rangkaian panjang sejarah, baik sejarah kehidupan maupun sejarah karya sastra.
2. Model Keperempuanan