commit to user
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa dan Hak-
Hak Terdakwa
a. Pencabutan Keterangan Terdakwa
Umumnya, banyak pihak atau terdakwa yang mencabut keterangannya
keterangan terdakwa dalam persidangan
yang disebabkan oleh alasan-alasan tertentu. Ditinjau dari segi bahasa,
pencabutan keterangan terdakwa berarti suatu proses atau keadaan dimana terdakwa menarik kembali pernyataannya atas apa yang dia
utarakan dalam tingkat penyidikan Berita Acara Pemeriksaan dikarenakan hal-hal tertentu. Pencabutan keterangan terdakwa dilakukan
atas alasan yang sah dan bukti yang konkret. Umumnya, faktor-faktor yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu antara lain :
1 Bahwa didalam penyidikan terdakwa disiksa, dipukuli hal ini senada
dengan Putusan Mahkamah Agung No. 381 K Pid 1995. 2
Tidak didampingi oleh penasihat hukum. 3
Tidak bisa membaca atau menulis sewaktu menandatangani berita acara pemeriksaan.
4 Adanya unsur atau faktor psikologis yang berlebihan sewaktu dalam
penyidikan Syaiful Bakhri, 2009:69. Penilaian alasan pencabutan keterangan terdakwa itu didasarkan
atas alat bukti dan jika alasan pencabutan itu terbukti maka pencabutan itu bisa dikabulkan jika pencabutan itu tidak beralasan maka dapat
ditolak, dan ini merupakan petunjuk atas kesalahan terdakwa didalam memberikan keterangan hal ini senada dengan apa yang tertuang dalam
yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K Kr 1959 yang
menjelaskan: “pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian di
commit to user sidang pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan
petunjuk tentang kesalahan terdakwa” Syaiful Bakhri, 2009:70.
Proses pembuktian terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa itu diberikan kepada terdakwa atau penuntut umum. Hal ini
bertujuan untuk mendukung apa yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu, dan bagi penuntut sendiri dapat menguatkan apa yang
menjadi dakwaannya dalam persidangan. Ditinjau dari segi pengertian bahasa, terdapat ada perbedaan makna
antara “pengakuan” dan “keterangan” Syaiful Bakhri, 2009:66. Pada pengakuan, terasa benar mengandung suatu “pernyataan” tentang apa
yang dilakukan seseorang sedang pada “keterangan” terasa kurang
menonjol pengertian pernyataan. Pengertian yang terkandung pada kata “keterangan” lebih bersifat suatu “penjelasan” akan apa yang dilakukan
seseorang M. Yahya Harahap, 2003:318.
b. Hak-Hak Terdakwa yang Diatur dalam KUHAP
Terdakwa atau tersangka belum dianggap bersalah sebelum adanya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap
presumtion of inoucent.
Jaminan ini untuk memberikan hak- hak terdakwa dalam proses peyidikan samapai pemeriksaan dalam persidangan. Hak-hak
terdakwa tersangka yag diatur dalam KUHAP yaitu: 1
Hak untuk segera mendapat pemeriksaan penyidik vide : Pasal 50 KUHAP;
Penjabaran prinsip peradilan sederhana, cepat, biaya ringan dipertegas dalam Pasal 50 KUHAP, yang memberi hak yang sah
menurut hukum dan undang-undang kepada tersangka atauterdakwa:
a Berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik;
b Berhak segera diajukan kesidang pengadilan;
c
Berhak segera diadili dan mendapat putusan pengadilan
speedy trial right
commit to user 2
Hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya vide
: Pasal 51 ayat 1 KUHAP; Hal ini dimaksukan agar terdakwa mengerti secara jelas dan
rinci sehingga tersangka dapat melakukan pembelaan atas apa yang telah disangkakan kepadanya.
3 Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik
vide : Pasal 52 KUHAP; Tidak hanya memberikan keterangan saat proses penydikan,
dalam tahapan pemeriksaan persidangan pun terdakwa bebas dalam memberikan keterangannya. Keterangan ini dapat diartikan
keterangan yang menguntungkan dirinya M. Yahya Harahap, 2003:332. Pasal 52 KUHAP ini menurut M. Yahya harahap belum
dapat menjamin akan adanya pencabutan keterangan terdakwaa saat pengadilan karena ketentuan Pasal 52 KUHAP merupakan
ketentuan semu selama mentalitas aparat penegak hukum tidak meyesuaikan dengan semangat dan jiwa yang dikehendaki
KUHAP M. Yahya Harahap, 2003:332. 4
Hak untuk mendapatkan juru bahasa vide: Pasal 53 ayat 1 Jo. Pasal 177 ayat 1 KUHAP;
Hak mendapatkan Juru bahasa berlaku dalam setiap tingkat pemeriksaan baik pada pemeriksaan penyidikan maupun dalam
pemeriksaan pengadilan. Adalah suatu hal yang tidak mungkin bagi
seorang tersangka
atau terdakwa
untuk membela
kepentingannya, jika terhadapnya diajukan dan dituduhkan sangkaan dan dakwaan yang tak dimengerti olehnya M. Yahya
Harahap, 2003:333. 5
Hak atas bantuan Hukum vide Pasal 54 KUHAP; Guna kepentingan pembelaan diri, tersangka atau terdakwa
berhak mendapatkan bantuan hukum oleh seorang atau beberapa orang penasihat hukum, pada:
commit to user a
Setiap pemeriksaan; b
Dalam setiap waktu yang diperlakukan M. Yahya Harahap, 2003:332.
Ketentuan Pasal 54 memberi hak kepada tersangka atau terdakwa mendapat bantuan hukum sejak taraf pemeriksaan
penyidikan dimulai. Kalau dikaji lebih dalam ketentuan ini masih mengandung kelemahan. Dikaitkan dengan Pasal 115 KUHAP,
kelemahan itu dapat dilihat dari dua segi. Dari segi kualitas, bantuan penasihat hukum baru merupakan hak, akan tetapi belum
ketingkat wajib. Artinya mendapatkan bantuan hukum dalam setiap tingkatan
pemeriksaan masih
tergantung pada
kemauan tersangkaterdakwa itu sendiri. Akan berubah ketingkat wajib
apabila sangkaan atau dakwaan yang disangkakan diancam dengan tindak pidana dengan hukuman mati atau hukuman lima belas
tahun. Hal yang paling tragis hak mendapatkan dan didampingi penasihat pada tingkat penyidikan dianulir oleh ketentuan Pasal
115 KUHAP. Keikutsertaan penasihat hukum dalam tahap penyidikan
hanya bersifat fakultatif dan pasif M. Yahya Harahap, 2003:333. Fakultatif artinya seperti yang dijabarkan sebelumnya, sedangkan
pasif artinya penasihat hukum saat mendampingi tersangka pada tahap penyidikan hanya sebagai penonton. Kedudukan dan
kehadirannya hanya
sebatas melihat,
menyaksikan dan
mendengarkan
sithin sight without hearing
M. Yahya Harahap, 2003:333-334.
6 Hak Untuk memilih sendiri penasihat hukumnya vide : Pasal 55
KUHAP; M. Sofyan Lubis, 2010: 67. Artinya tersangka atau terdakwa bebas dalam memilih
siapapun yang akan menjadi penasihat hukumnya dalam mendampingi
dalam tahapan
penyidikan sampai
dengan pemeriksaan dalam persidangan.
commit to user
2. Tinjauan Umum tentang Penyidikan dan Penasihat Hukum
a. Pengertian Penyidikan
Berkaitan dengan Tugas Pokok Polisi dalam proses penyelesaian perkara pidana dalam
criminal justice system,
maka dilakukan penyidikan oleh penyidik Polri. Hal ini sesuai dengan Pasal 17 Undang-
Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Pengertian penyidikan sendiri adalah ”
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang dalam Undang-Undang untuk mencari
dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya
” Penyidikan selain dilakukan oleh penyidik Polri juga dilakukan
oleh penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Penyidik memiliki wewenang
yaitu menerima laporan atau pengaduan, melakukan tindakan pertama di TKP Tempat Kejadian Perkara, menyuruh berhenti seseorang tersangka
dan memeriksa tanda pengenal diri, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan
surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil seseorang untuk dipanggil sebagai saksi atau tersangka, mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Pengertian Penasihat Hukum
KUHAP, lebih menekankan dalam setiap proses peradilan pidana memperlihatkan ciri yang
humanis.
Salah satu hal penting dan humanis adalah adanya Bantuan Hukum. Bantuan Hukum dalam proses peradilan
pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam tahap pemeriksaan pendahuluan sampai putusan. Dalam KUHAP memberikan definisi
Penasihat Hukum dalam Pasal 1 huruf 13 yak ni: “Penasihat Hukum
commit to user adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasar Undang- Undang untuk member bantuan hukum”.
Dalam sejarahnya banyak sekali sebutan untuk penasihat hukum, namun dalam kode etik Advokat Indonesia dalam Pasal 1 hurug a dan b
pengertian advokat disamakan dengan pengertian Penasihat hukum. Pasal 1 kode etik advokat: “adalah seseorang atau mereka yang melakukan
pekerjaan jasa bantuan hukum termasuk konsultan hukum yang menjalankan pekerjaannya baik dilakukan diluar pengadilan dan atau di
dalam pengadilan bagi klien sebagai mata pencahariannya ”. Pengertian
ini juga diperuntukkan pada pengacara, pengacara praktek dan Penerima Kuasa dengan izin khusus insidentil dari pengadilan setempat.
3. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir pada penjatuhan pidana vonis oleh hakim dalam persidangan Syaiful
Bakhri, 2009:27. Pembuktian merupakan hal yang paling krusial dalam pemeriksaan suatu perkara pidana di pengadilan, guna menemukan
kebenaran materiil
materieel waarheid
akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian hukum Syaiful
Bakhri, 2009:27. Pengertian pembuktian menurut Subekti adalah yang dimaksudkan
dengan ”membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil- dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan” R.
Subekti, 2007:1. Pembuktian berupaya mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan
pelanggaran hukum, meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah
dilakukan, dan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan.
commit to user Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara
pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian Hari Sasangka dan Lily Rosita,
2003 : 10. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa M.Yahya
Harahap, 2003 : 273. Dalam beberapa literatur yang penulis telaah dan cermati, terdapat beberapa teori-reori pembuktian. Terdapat empat teori
sistem pembuktian yang digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang ada dalam ilmu pengetahuan hukum
yaitu : 1
Teori Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka
Conviction in Time
. Sistem pembuktian yang menentukan kesalahan terdakwa
semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim, dengan menarik keyakinannya atas kesimpulan dari alat bukti yang
diperiksanya dalam pengadilan. Alat bukti bisa saja diabaikan, dan menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa Syaiful Bakhri,
2009:39. Sistem pembuktian yang berguna dalam menentukan bersalah
atau tidaknya terdakwa semata-mata berdasarkan keyakinan hakim saja. Tidak dipersoalkan masalah keyakinan hakim tersebut
diperoleh darimana. Hakim seolah-olah hanya mengikuti hati
commit to user nuraninya dan semua penilaian tergantung adanya kebijaksanaan
hakim. Hakim sangat bersifat subjektif dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Putusan hakim dimungkinkan tanpa
didasarkan kepada alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang Syaiful Bakhri, 2009:40.
Mengingat kedudukan hakim hanya seorang manusia biasa, tentunya tidak dapat dijadikan ukuran yang baik dan pantas bahkan
seringkali salah dalam menentukan keyakinannya terhadap perkara yang diselesaikannya sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman
dalam menafsirkan undang-undang. Akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan
alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya.
Demikian sebaliknya hakim bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukkan
bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 15.
2 Teori Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Positif
Positief Wettelijke Bewijstheorie
. Teori sistem ini keyakinan hakim tidak berarti, dengan suatu
prinsip berpedoman pada alat bukti yang ditentukan oleh Undang- Undang Syaiful Bakhri, 2009:41. Bersalah atau tidaknya terdakwa
didasarkan pada ada atau tidaknya alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah
kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata Hari Sasangka dan Lily
Rosita, 2003 : 16. Sistem pembuktian yang digunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus secara mendasar
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.
commit to user Berdasarkan pendapat D. Simons dalam bukunya Andi Hamzah
dimana sistem pembuktian menurut undang-undang positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim
dan mengikat hukum secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Hati nurani hakim tidak ikut hadir dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Teori ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkusitor
inquisitoir
dalam acara pidana Andi Hamzah, 2001 : 247. Hakim seolah-olah hanya
bersikap pasif sebagai alat pelaksana undang-undang semata-mata sehingga mengabaikan aspek moral dan hati nurani dalam
menyelesaikan suatu perkara. Selain itu, hakim hanya berperan sebagai alat pelengkap di dalam suatu pengadilan atau lebih tepatnya
seperti robot yang bertindak atas perintah undang-undang dan kepentingan pengadilan. Hakim tidak leluasa dalam mengambil
keputusan dan kebijakan atas perkara yang ditanganinya dan terikat oleh peraturan yang ada.
Undang-undang menetapkan secara limitatif alat-alat bukti mana yang boleh dipakai hakim dan mana yang tidak boleh digunakan
serta menentukan suatu cara bagaimana hakim dapat menggunakan alat-alat bukti serta menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti
tersebut. Apabila alat-alat bukti tersebut telah digunakan secara sah sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus
menetapkannya dengan keadaan sah terbukti, walaupun mungkin bertolak belakang dengan keyakinan hakim sendiri sehingga hakim
berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. 3
Teori Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan Alasan yang Logis
Conviction Raisonnee
. Teori ini berpijak dan berpedoman pada keutamaan akan
keyakinan hakim sebagai dasar utama dalam menghukum terdakwa dimana keyakinan hakim itu harus disertai dengan pertimbangan
commit to user hukum yang nyata dan logis sehingga, dapat diterima dengan akal
pikiran yang sehat dan rasional. ”Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas” Hari Sasangka dan Lily
Rosita, 2003 : 16. Bebas ini dimaksudkan hakim dapat mempergunakan pemikirannya secara rasional sebagai suatu bentuk
keyakinan dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang ditanganinya tanpa tergantung oleh ketentuan hukum positif yang
mengaturnya. Keyakinan tidak perlu didukung adanya alat bukti yang sah. Peranan keyakinan hakim sangat penting dan krusial.
Hakim dapat menyatakan menghukum atau bersalahnya seorang terdakwa apabila ia telah meyakini secara rasional bahwa perbuatan
yang bersangkutan terbukti unsur-unsur deliknya. Keyakinan hakim lebih mempertimbangkan alasan-alasan yang didasari atas pemikiran
atau logika. Hakim berkewajiban menguraikan, menjelaskan alasan- alasan yang mendasari keyakinannya dengan alasan yang dapat
diterima secara akal dan bersifat yuridis atas kesalahan terdakwa Syaiful Bakhri, 2009:41. Adanya alat bukti tertentu diatur dalam
sistem ini, tetapi undang-undang tidak mengaturnya dan menetapkan secara eksplisit. Sistem ini berpangkal pada tolak pada keyakinan
hakim, dan pada sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif Syaiful Bakhri, 2009:41.
4 Teori Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif
Negatief Wettelijke Bewijstheorie
. Hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah apabila ia
yakin dan keyakinan tersebut didasarkan kepada alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif merupakan suatu sistem keseimbangan antara sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim M. Yahya
Harahap, 2003 : 278. Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan
commit to user hakim belaka. Rumusan dari hasil penggabungan ini berbunyi salah
tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim
yang didasarkan kepada cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem pembuktian
conviction in time
. Hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan nurani hakim sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa
ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang
belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan Hari Sasangka dan
Lily Rosita, 2003 :16. Mengenai teori sistem pembuktian yang dianut Indonesia dari
keempat teori sistem pembuktian diatas, dapat dilihat dari dua ketentuan yaitu
Pertama
, ketentuan HIR, yang berlakunya sebelum disahkannya dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 mengenai KUHAP. Ketentuan HIR yang mengatur mengenai sistem pembuktian ini terdapat Pasal 294 HIR, yang berbunyi
sebagai berikut : a
Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak mendapat keyakinan dengan upaya bukti menurut undang-
undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.
b Atas persangkaan saja atau bukti-bukti yang tidak cukup tidak
seorangpun yang dapat dihukum Berdasarkan pasal tersebut, dapat terlihat bahwa sistem
pembuktian yang
dianut HIR
adalah
Negatief Wettelijke
Bewijstheorie
. Kedua, ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merupakan peraturan pengganti HIR dan sampai
commit to user saat ini masih berlaku. Dalam hukum acara pidana ketentuan
KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari Pasal 183 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa
hukum acara pidana di Indonesia menggunakan teori sistem pembuktian menurutundang-undang yang negatif. Hal ini berarti
tidak sebuah alat buktipun akan mewajibkan memidana terdakwa, jika hakim tidak sungguh-sungguh berkeyakinan atas kesalahan
terdakwa. Begitupun sebaliknya jika keyakinan hakim tidak didukung dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah menurut
hukum, maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa. Dalam penjelasan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, dijelaskan bahwa syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusan yang tertera
dalam undang-undang, seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya, apabila :
a Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti; b
Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan ”memperoleh keyakinan” bahwa tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Keyakinan hakim hanyalah sebagai pelengkap. Tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang kesalahannya tidak
terbukti secara sah berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku,
commit to user kemudian keterbuktiannya itu digabung dan didukung dengan
keyakinan hakim. Dalam praktik keyakinan hakim itu bisa saja dikesampingkan
apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi oleh suatu pembuktian yang cukup. Keyakinan hakim tersebut dianggap tidak
mempunyai nilai apabila tidak dibarengi oleh pembuktian yang cukup. Sistem pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP
dalam praktik penegakan hukum lebih cenderung pada pendekatan
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.
b. Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP
Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa Darwan Prinst, 1998 : 135. Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11.
Alat bukti memiliki peranan yang sangat penting di dalam proses pembuktian perkara pidana di persidangan. Pasal 184 ayat 1 KUHAP
telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang- undang Syaiful Bakhri, 2009:46. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa Syaiful Bakhri, 2009:46. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat
hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat- alat bukti itu saja Syaiful Bakhri, 2009:46. Mereka tidak leluasa
mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang
commit to user ditentukan Pasal 184 ayat 1 Syaiful Bakhri, 2009:46. Pembuktian
dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang mengikat M. Yahya Harahap, 2003 : 285. Alat-alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP
dan berikut ini adalah uraian mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut KUHAP :
1 Keterangan saksi
Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP ysng menyatakan bahwa : “Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar
, ia lihat dan ia alami sendiri”. Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP yang menyatakan
pengertian keterangan saksi yaitu : “Keterangan saksi adalah
salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau ”the
degree of evidance” keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan pembuktian, beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh
seorang saksi, sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan yakni harus
mengucapkan sumpah atau janji Pasal 160 ayat 3, dan Pasal 160 ayat 4 KUHAP, harus sesuai dengan dilihat, alami sediri, dan
dengar Pasal 1 ayat 27 dihubungkan dengan penjelasan Pasal 185 ayat 1 KUHAP, dan diberikan disidang pengadilan Syaiful
Bakhri, 2009:48. Syarat-syarat tersebut dapat kita lihat pada Putusan
commit to user Pengadilan Tinggi Medan yang telah dikuatkan MARI No. 11
KPid1982. Secara global dalam praktik asasnya kerap dijumpai adanya
beberapa jenis saksi, yaitu: a
Saksi
A Charge
memberatkan Terdakwa dan Saksi
A De Charge
meringankan Terdakwa b
Saksi Mahkota
Kroon GeutigeWitness Crone
Secara Normatif dalam KUHAP tidak mengatur mengenai saksi jenis ini. Saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari
salah seorang tersangkaterdakwa karena kurangnya alat bukti Syaiful Bakhri, 2009:60.
2 Keterangan Ahli
Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan pengertian keterangan ahli yaitu :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan secara tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap
sebagai seorang saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa yang dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan ahli
adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut Andi
Hamzah, 2001 : 269. Dari keterangan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka lebih jelas lagi
bahwa keterangan ahli dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam
suatu bidang dengan pendidikan khusus.
commit to user KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di pengadilan
sebagai alat bukti ”keterangan ahli” Pasal 186 KUHAP dan keterangan ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat
bukti ”surat”. Apabila keterangan diberikan pada waktru pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan
dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, maka keterangan ahli
tersebut sebagai alat bukti surat. Misalnya mengenai penggunaan
visum et repertum
maupun rekam medik yang dibuat oleh dokter. 3
Surat Mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang
menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat 1 huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah : a
”Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri;
b Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya;
c Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat
berdasarkan keahliannya; d
Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain”. Sebagai bagian dari alat bukti dalam pembuktian, maka
perkembangan alat bukti surat ini, berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi, dengan diterimanya beberapa alat bukti surat
elektronik, e-mail, sms, dan sebagainya Syaiful Bakhri, 2009:64 R. Soesilo dalam KUHAP memberikan komentar mengenai
alat bukti surat ini Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, 1997:166, bahwa Pasal 187 membedakan atas empat macam surat
itu yaitu :
commit to user 1 berita acara dan surat lain yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan tentang keterangan ini;
2 surat yang dibuat menurut peraturan undang-undang atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk
dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan
3 surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.
Berkaitan dengan Berita Acara Pemeriksaan adalah merupakan berita acara penyidikan dan lampiran-lampiran yang bersangkutan,
dijilid menjadi satu berkas oleh penyidik M. Yahya Harahap, 2003 : 356.
Setelah itu, pendapat dari R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan pengertian Berita Acara Pemeriksaan sebelumnya, maka ada
beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan adalah merupakan alat bukti surat. Hal ini senada pada
pendapat Jaksa penuntut umum pada kasus terdakwa kompol Arafat Enani mengatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan adalah
merupakan alat bukti surat Anonim. Jaksa Bersikukuh BAP Sebagai Alat Bukti. Diakses dari Http:www.jurnas.Comnewsl
pada hari rabu 20 april 2011 pukul 20.38 wib. 4
Petunjuk Dalam Pasal 188 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa :
”Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
commit to user Dalam Pasal 188 ayat 2 KUHAP disebutkan bahwa
:”Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari :keterangan saksi, surat, keterangan ter
dakwa”. Mengenai penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, dan penuh kecermatan berdasrkan hati nuraninya,
sebagaimana diatur pada Pasal 188 ayat 3, sehingga hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam
penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga dengan sengat penting dan mendesak saja alat bukti petunjuk dipergunakan setelah
ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti Syaiful Bakhri, 2009:65. Pengamatan hakim dapat dijadikan sebagai alat bukti.
5 Keterangan terdakwa
a Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa, berdasarkan
Pasal 189 KUHAP yang menyatakan mengenai alat bukti keterangan terdakwa berbunyi:
1 ”Keterangan tedakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
2 Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat
bukti yang lain”. Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan
terakhir dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Penempatannya
commit to user pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang
dipergunakan untuk menempatkan proses pemerikasaan keterangan
terdakwa dilakukan
belakangan sesudah
pemeriksaan keterangan saksi Syaiful Bakhri, 2009:65. Pemeriksaan terdakwa diatur dalam Pasal 175-178
KUHAP, antara lain: Pasal 175 berbunyi: “Jika terdakwa tidak mau menjawab
atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk
menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.” Pasal 176 berbunyi:
“Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang
menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari
sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-
menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang,
mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan
tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.” Pasal 177 berbunyi:
“jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang
bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal
seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi
juru bahasa dalam perkara itu.” Pasal 178 berbunyi:
“Jika terdakwa atau saksi bisu danatau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai
penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli
tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan
commit to user semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis
dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua
pertanyaan serta ja waban harus dibacakan.”
b Pengertian Tersangka dan Terdakwa
Pengertian Tersangka didalam KUHAP Pasal 1 ayat 14, adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya,
berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka dalam Black Law Dictonary, diartikan
sebagai ”
suspect
” yakni:
A person reputed or suspected to be involved in a crime
seseorang yang disangka terlibat dalam suatu kejahatan. Dalam hukum acara pidana, pemeriksaan
terhadap tersangka
maupun saksi
dimaksudkan untuk
menemukan kebenaran
dalam peristiwa
pidana yang
bersangkutan. Dalam Pasal 117 KUHAP, keterangan saksi dan atau tersangka kepada penyidik diberikan tanpa adanya tekanan
dari siapapun dan dalam bentuk apapun dan apabila dilanggar dapat dipidana sesuai dengan Pasal 422 KUHP Yesmil Anwar,
2009:255. Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa
setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya
sudah mulai
disidangkan di
Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh
diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP.
Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan
diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal
commit to user didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa
dan diadili di sidang pengadilan Adnan Paslyadja, 1997:69. Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur
dari terdakwa adalah: 1
Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana; 2
Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan;
3 orang yang sedang dituntut, ataupun
4 Sedang diadili di sidang pengadilan Darwan prinst, 1998:14-
15
c Asas Penilaian Keterangan Terdakwa
Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan
terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan
berpijak, antara lain: 1
Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan Syaiful Bakhri, 2009:68
Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh
terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim
anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum. 2
Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri Pernyataan terdakwa meliputi:
1 Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri.
Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa.
commit to user 2
Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. Terdakwa sendirilah yang mengetahui kejadian itu.
Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut
dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan
sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.
3 Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan
yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian
tetap merupakan keterangan terdakwa 4
Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam
persidangan dalam
kedudukannya sebagai
terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara
terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya
sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya
Syaiful Bakhri, 2009:68. 3
Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat 4; Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
commit to user kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain. Dapat disimpulkan, bahwa alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa, bukan alat bukti yang memiliki sifat
menentukan dan mengikat Ssyaiful Bakhri, 2009:68. 4
Keterangan Terdakwa di Luar Sidang
The Confession Outside the Court
Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah
bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat disimpulkan, bahwa keterangan
terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah.
Walaupun keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti,
namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat 2 KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
dipergunakan untuk membantu menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang
didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepada terdakwa Andi Hamzah, 1997:323. Sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat 1 huruf a jo.
Ayat 3 KUHAP, bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
ialah keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan dan keterangan itu itu dicatat dalam berita acara
penyidikan, serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.
commit to user d
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang
tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat,
dan menentukan. Namun demikian, keterangan terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses persidangan.
Adapun nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai berikut:
1 Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas
untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalam keterangan terdakwa. Hakim dapat menerima atau
menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasan disertai
dengan argumentasi yang proporsional dan akomodatif. 2
Harus memenuhi batas minimum pembuktian Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat 4 yang
menyebutkan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Dari ketentuan ini
jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu
lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Penegasan Pasal 189 ayat 4
KUHAP, sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yang
menegaskan, bahwa tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan
commit to user kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah. 3
Harus memenuhi asas keyakinan hakim Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai
dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu dibarengi dengan keyakinan hakim, bahwa
memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan
hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183
KUHAP yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya, di samping dipenuhi batas
minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi
dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya Andi Hamzah, 1997:323.
commit to user
B. Kerangka Pemikiran