TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN DENGAN ALASAN DALAM PEMERIKSAAN DI DEPAN PENYIDIK TIDAK DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM DAN KEKUATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMERIKSAAN

(1)

commit to user

TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN DENGAN ALASAN DALAM PEMERIKSAAN DI DEPAN PENYIDIK TIDAK DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM

DAN KEKUATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN PERKARA PENGHASUTAN (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NO. 2336/Pid.B/2008/JKT.PST)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh

P. JEFRI LEO CANDRA S. NIM.E0007176

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

(3)

(4)

commit to user

PERNYATAAN

Nama : P. Jefri Leo Candra S

NIM : E0007176

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul : TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN DENGAN ALASAN DALAM PEMERIKSAAN DIDEPAN PENYIDIK TIDAK DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM DAN KEKUATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN PERKARA

PENGHASUTAN (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NO.

2336/Pid.B/2008/JKT.PST) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum (Skripsi) ini diberita dan citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan Hukum (Skripsi) dan gelar sarjana yang saya peroleh dari Penulisan Hukum (Skripsi) ini.

Surakarta, 5 Juli 2011 Yang membuat pernyataan

P. Jefri Leo Candra Saragih NIM.E0007176


(5)

commit to user

MOTTO

“Mintalah maka akan diberi kepadamu; carilah maka kamu

akan mendapat; ketoklah maka pintu dibukakanbagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap

orang mengetuk, baginya pintu dibukakan ( Injil Matius 7:7-8)

Kemenangan yang seindah indahnya dan sesukar sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri (Ibu Kartini).

I know that the greatest women in the world is MY MOM (NN). Kegagalan hanya terjadi bila kita menyerah (Lessing)

Dalam menjalani hidup ini kita harus selalu ingat siapa diri kita, mau kemana kita melangkah, dan apa tujuan hidup kita (ayahanda dan ibundaku) Kita belum pernah mendengar siapapun tersandung ketika sedang duduk, karena

itu, jalanlah terus meskipun kita tersandung dan jangan berhenti. Menyerah itu hal mudah yang bisa dilakukan oleh siapapun, tetapi tetap bertahan di kala


(6)

commit to user

PERSEMBAHAN

Sebuah pemikiran yang begitu tulus dan sederhana ini Penulis persembahkan kepada: TuhanYesus Kristus, Sang Maha Segalanya, Bapak (H. Saragih) dan Mamak (E.Sihaloho) tercinta, Adik-adikku Alexander Saragih dan Roy Saragih Komusema FH UNS, Rakhmalita Arlini (si calon dokter) & Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta


(7)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat beserta petunjuk-Nya sehingga Penulis akhirnya dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul, “TINJAUAN

YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN BERITA ACARA

PEMERIKSAAN (BAP) OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN DENGAN

ALASAN DALAM PEMERIKSAAN DIDEPAN PENYIDIK TIDAK

DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM DAN KEKUATANNYA SEBAGAI

BAHAN PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN PERKARA

PENGHASUTAN (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NO.

2336/Pid.B/2008/JKT.PST)”.

Penulisan Hukum ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini tidaklah mungkin selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

3. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum dan Bapak Muhammad Rustamaji, S.H.,M.H.

selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah memberikan bantuan dan arahan untuk membimbing Penulis, memberikan bantuan moril kepada Penulis agar dapat menjadi sarjana cerdas dan pekerja keras dan juga selaku pembimbing Moot Court KOMUSEMA yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk kelangsungan Moot Court FH UNS tercinta.

4. Bapak Bambang Santoso, S.H, M.H yang telah memberikan arahan awal kepada penulis untuk segera mendaftarkan penulisan hukum ini.


(8)

commit to user

5. Bapak Gusdan Hanung, S.E, S.H, M.H (Alm) dan Bapak Mohammad Adnan,

S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing Akademik Penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga kepada Penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Bapak dan Ibu Karyawan serta segenap staf Tata Usaha, Bagian Pendidikan,

Bagian Kemahasiswaan, Bagian Umum, Bagian Perlengkapan, dan Bagian Keamanan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Bapak dan Mamak (H. Saragih dan E. Sihaloho) tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada Penulis, juga doa yang tiada pernah putus sehingga membuat Penulis senantiasa tenang dan tetap semangat menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

9. Adik-adikku tersayang, Alexander Saragih dan Roy Saragih yang telah mendorong penulis untuk segera menyelesaikan PenulisanHukum ini.

10. Tulangku AKP. J. Saragih yang telah mendorong penulis untuk masuk Fakultas Hukum UNS dan selalu mendukung dan memberikan bimbingan kepada Penulis.

11. Namboru dan Amangboru Gisel yang mau mengantarkan penulis untuk daftar

ulang di Kampus UNS.

12. Seluruh Keluarga Besarku yang telah mendukung secara Moril dan Spritual 13. Rakhmalita Arlini, terima kasih telah menemaniku, juga doa dan dukungan

yang selalu membuat Penulis bersemangat untuk segera menyelesaikan kuliah.

14. Keluarga Dian Saragih, terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini. 15. Segenap Biro Hukum Sekretariat Negara R.I: Bapak Bigman, Ibu Rohana,

Mbak Pipit, Mas Prabu, Mas Doni, Mbak Rengga, Kang Egi, terimakasih buat bantuan dan dukungannya.

16. Keluarga Besar Moot Court Community FH UNS: Hifni, Lina, Adhi, Citra, Elvira, Tanty, Rere (KCB sejati), Corry (PH sejati, hehe...), Maya, Bembi,


(9)

commit to user

Yuda, Mas Nur, Cindhy, Tian, Erika, Vita, Vetty, Galuh, Anik, Riris, Orin, Yanuar “si Korea”, Naris, Ines, teruskan perjuangan kalian.

17. Buat temen begadang :Hifni, Hengki, Galih, Hage trima kasih selalu bias menjadi tempat curhat.

18. Teman-teman Geng Happy Heboh dan Teman kelompok Ospek: Giska

Talisha, Ayu Nindya Modjo, Tri Suryani, Wah Estuning, Oki Krinanditya, Hapsoro Widyo Kusumo, Hafid, Andang Aprianto, Penden, Mat Roffi alias Pakde, Betha alias Bude, Eka, Ginuk, Dian, Yurisa.

19. Buat mbak Yurista (tante) dan Mbak Mega (Nenek) yang sudah mau

memberikan banyak masukan dan pengalaman hidup buat penulis agar bias lebih baik.

20. Teman-teman Magangku: Lulu (jangan Gala uterus), Eki (The jack sejati). 21. Teman-teman kost yang selalu memberikan keceriaan dan menjadi tempat

berbagi: mas Yudi, mas Wawan, mas Tona, Habib, Pak dokter Fahmi, Mas Teko,

22. Seluruh keluarga besar Angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

23. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian Penulisan Hukum ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum ini masih jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun substansinya. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang menunjang bagi kesempurnaan Penulisan Hukum ini. Akhir kata Penulis berharap Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.

Surakarta, 5 Juli 2011


(10)

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan Penguji ... iii

Halaman Pernyataan ... iv

Motto ... v

Halaman Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... x

Daftar Gambar ... xii

Abstrak ... xiii

Abstract ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Kerangka Teori ... 15

1. Tinjauan Umum tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa dan Hak-Hak Terdakwa a. Pencabutan Keterangan Terdakwa ... 15

b. Hak-Hak terdakwa yang diatur KUHAP ... 16

2. Tinjauan Umum tentang Penyidikan dan Penasihat Hukum a. Pengertian Penyidikan ... 19

b. Pengertian Penasihat Hukum ... 20 3. Tinjauan tentang Pembuktian dan Alat Bukti


(11)

commit to user

a. Pengertian Pembuktian ... 20

b. Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP ... 27

B. Kerangka Pemikiran ... 41

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Hasil Penelitian ... 43

1. Deskripsi Kasus ... 43

2. Dakwaan Penuntut Umum dalam Perkara Nomor : 2336/ Pid.B/ 2008/ JKT.PST Berbentuk Dakwaan Kumulatif ... . 44

3. Pemeriksaan Saksi-Saksi dan Keterangan Terdakwa dalam Persidangan ... 44

4. Tuntutan Penuntut Umum ... 51

5. Fakta-Fakta Hukum dalam Putusan yang Berkaitan Dengan Pencabutan Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa ... . 53

6. Kutipan Beberapa Pertimbangan Hakim Mengenai Berita Acara Pemeriksaan Terdakwa ... 54

7. Putusan Hakim Jakarta Pusat Terhadap Perkara Nomor : 2336/ Pid.B/ 2008/ JKT.PST ... . 55

B. Pembahasan ... 56

1. Analisis PencabutanKeterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Persidangan Perkara Nomor : 2336/ Pid.B/ 2008/ JKT.PST ... 56

2. Analisis Kekuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yang dicabut Oleh Terdakwa Sebagai Bahan Pemeriksaan ... 72

BAB IV. PENUTUP ... 78

A. Simpulan ... 78

B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA


(12)

commit to user

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 41 Gambar 2. Skematik Hak Pendampingan Penasihat Hukum Terhadap Pencabutan BAP Oleh Terdakwa ... 57 Gambar 3. Stematik Kekuatan BAP Sebagai Bahan Pemeriksaan ... 73


(13)

commit to user

ABSTRAK

P. Jefri Leo Candra S., E0007176. 2011. TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN DENGAN ALASAN DALAM

PEMERIKSAAN DIDEPAN PENYIDIK TIDAK DIDAMPINGI

PENASIHAT HUKUM DAN KEKUATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN PERKARA PENGHASUTAN (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NO. 2336/Pid.B/2008/JKT.PST. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan Hukum ini bertujuan untuk mengetahui pemeriksaan oleh penyidik tanpa didampingi penasihat hukum dapat menjadi alasan bagi terdakwa untuk mencabut keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di persidangan dalam perkara penghasutan Nomor: 2336/Pid.B/2008/JKT.PST dan kekuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut oleh terdakwa sebagai bahan pemeriksaan dalam perkara penghasutan Nomor: 2336/Pid.B/2008/JKT.PST.

Penulisan hukum ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif yang memberikan preskriptif mengenai mengenai pencabutan keterangan terdakwa dengan alasan tidak didampingi oleh penasihat hukum dan kekuatan Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) sebagai bahan pemeriksaan perkara nomor

2336/Pid.B/2008/JKT.PST yang menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan

perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti Penulis. Adapun teknik analisis bahan hukum dilakukan dengan metode silogisme dengan pola berpikir deduksi.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pencabutan keterangan terdakwa dalam putusan perkara Perkara Nomor : 2336/ Pid.B/ 2008/ JKT.PST ditolak atau tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim karena pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa FERRY JOKO JULIANTONO, SE, Ak.Msi dinilai tidak berdasar dan tidak logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim. Kekuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai bahan pemeriksaan, jika pencabutan diterima maka Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dianggap tidak benar dan keterangan yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim adalah keterangan yang diutarakan oleh terdakwa dalam persidangan. Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa (tersangka) dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan dalam persidangan


(14)

commit to user

ABSTRACT

P. Jefri Leo Candra S, E0007176. 2011. JURIDICAL OVERVIEW REVOCATION INTERROGATION (BAP) IN COURT BY DEFENDANT WITH REASON IN INTERROGATION IN FRONT OF INVESTIGATORS ARE NOT ACCOMPANIED BY LEGAL ATTORNEY AND STRENGTH AS MATERIAL EXAMINATION IN THE TRIAL OF INCITEMENT CASE (CASE STUDY IN DECISION NO.2336/Pid.B/JKT.PST). Faculty of Law Sebelas Maret University.

The purpose of this writing is to know interrogation without legal attorney may be the reason by defendant to revoke the statement interrogation (BAP) in the trial and strength interrogation (BAP) is repelead by the defendant as the material examination in the trial of incitement case on decision NO.2336/Pid.B/JKT.PST.

This law essay including kind of normative law research that give a prescriptive about revocation of defendant's testimonywith reason in interrogation in front of investigators are not accompanied by legal attorney and strength as material examination in the trial of incitement case (case study in decision NO.2336/PID.B/JKT.PST). Technique collecting of material law is doing by library research to collect and arrange material law that relate with the problem which researched, and the way is by inventarization and learning The Rules, Books, Essays and documents that relate with the problem that researched by the writer. In addition syllogism method with a pattern of thinking of deduction.

The result that can be got from this research is revocation of defendant’s testimony in a case decision No: 2336 / Pid.B / 2008 / JKT.PST rejected or not accepted by the Panel of Judges for the revocation by defendant testimony made by FERRY JOKO JULIANTONO, SE, Ak.Msi is unfounded and illogical. Basic and logical means that the reason underlying the revocation must be able to be verified reinforced or supported by other evidence showing that the reason for revocation are true and veriable by the judges. Strength of Interrogation (BAP) as a material examination, if the revocation is received so Interrogation (BAP) can considered not correct and information that are reasoning by the Panel of Judges is expressed by the defendant's testimony at trial. Whereas if the repeal is rejected by the judge, then the description of the accused (suspect) in interigation (BAP) can be used as aningredient in the trial examination.


(15)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hukum materiil merupakan hukum memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana (Rofikah, 1999:3). Hukum materiil ini disandingkan dengan hukum formil. Hukum formil bertujuan untuk menegakkan hukum materiil itu jika terjadi pelanggaran atas hukum materiil. Sistem hukum formil juga dikenal dengan criminal justice system (Yesmil Anwar dan Adang, 2009:33). Pengaturan hukum formal dalam sistem hukum di negara Indonesia terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pengaturan hukum formal tersebut berisi seluruh aturan proses penyelesaian hukum maupun aturan pokok mengenai bentuk dan sanksi perbuatan atau tindak pidana yang merugikan orang lain maupun yang tidak sesuai dengan kaidah moral serta ketertiban umum diatur dalam kedua kitab tersebut (Yesmil Anwar dan Adang, 2009:33).

Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dapat dikatakan sebagai landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan mengedapankan Hak Asasi Manusia (Yesmil Anwar dan Adang,

2009:64). Asas presumption of innonce merupakan salah satu penerapan

pentingnya menjunjung hak asasi manusia dalam hukum pidana. Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali. Hal ini senada dengan pandangan Paul R. Dubinsky dalam tulisannya yang mengatakan ”Like the harmonization of procedural law, the movement to advance international human rights is in flux” (harmonisasi hukum prosedural, gerakan untuk memajukan hak asasi internasional) (Paul R. Dubinsky, 2005:225).

Deklarasi Universal hak Asasi Manusia (DUHAM) mengatur Hak asasi terdakwa sebagai manusia yang dimaksud antara lain persamaan dimuka hukum


(16)

commit to user

(Pasal 6), tidak diperlakukan sewenang-wenang (Pasal 9), memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10), dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal 11), dan tidak diintervensi kehidupannya oleh negara (Pasal 12). Selain hak yang tidak tercantum dalam DUHAM tersebut, beberapa hak lainnya yang diatur dalam Kovenan ini adalah hak atas pengadilan yang jujur (Pasal 14), perlindungan dari kesewenang-wenangan hukum pidana (Pasal 15), hak atas pengakuan sebagai subyek hukum dimanapun berada (Pasal 16) (Isharyanto, 2006:10-12).

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menggangkat dan menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukannya yang ”berderajat”, sebagai mahluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka dan terdakwa dalam KUHAP telah ditempatkan dalam posisi his entity and dignity as a human being, yang harus diperlakukan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan (M. Yahya Harahap 2006:2). Selain asas praduga tak bersalah (presumtion of innocent), dalam KUHAP diatur juga hak tersangka dan terdakwa lainnya yaitu:

1. Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban didepan hukum (equality before the law). Tersangka dan terdakwa harus diperlakukan sama tanpa membedakan pangkat, golongan dan lainnya (entitled without any discrimanation to equal of the law).

2. Hak untuk menyiapkan pembelaan. Dalam KUHAP memberikan hak kepada

tersangka untuk didampigi oleh penasihat hukum dan penasihat hukum tersebut dapat berbicara dengan tersangka atau terdakwa tanpa didengar oleh penyidik atau aparat hukum lainnya (within sight not within hearing).

3. Kesalahan seseorag harus dibuktikan dalam sidang yang bebas, tidak memihan (impartiality), dan jujur (fair trial) (M. Yahya Harahap 2006:3).

Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana (M. Yahya Harahap. 2006:273). Pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa


(17)

commit to user

(Syaiful Bakhri, 2009:2), maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.

Pembuktian merupakan titik sentral hukum acara pidana (Syaiful Bakhri, 2009:2). Hal ini dapat dibuktikan sejak awal dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, terutama bagi hakim.

Hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009:28).

Keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.

Keterangan tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Keterangan di muka penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan tersangka sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa (Martiman Prodjohamidjojo.1984:137).

Terdakwa sering mencabut keterangannya di persidangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Alasan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik, tersangka tidak didampingi oleh


(18)

commit to user

penasihat hukum yang merupakan hak tersangka yang telah diatur dalam KUHAP. Perlakuan lain yang menjadi alasan pencabutan keterangannya yakni dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya (intimidasi). Begitulah selalu alasan yang yang melandasi setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2006:325).

Pengakuan yang bagaimanapun jelasnya dan tercatat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP), akan (selalu) dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan dengan berbagai alasan dan hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya. (anonim.pencabutan BAP terdakwa.www. tempo interaktif. com, diakses pada tanggal 26 november 2010, pukul 13.41 wib).

Hal ini dapat kita lihat pada kasus Nasruddin. Tidak hanya menolak bersaksi, eksekutor pembunuhan Nasrudin juga mencabut seluruh keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Alasan pencabutan karena terdakwa mengaku berada dalam tekanan penyidik saat memberikan keterangan. Persidangan dengan terdakwa Daniel Daen Sabon di Pengadilan Negeri Tangerang Jl. TMP Taruna, Banten, keempat terdakwa yakni; Eduardus Ndopo Mbeta, Hendrikus Kia Walen,Fransiskus Taden Kerans, dan Heri Santoso yang diminta menjadi saksi bagi Daniel daen, menolak untuk memberikan kesaksian. Pencabutan itu juga dilakukan oleh Hendrikus, Fransiskus, dan Heri di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Alasan pencabutan keterangan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karena terdakwa mengaku dalam tekanan atau intimidasi saat memberikan keterangan. Atas tindakan keempat terdakwa tersebut, Majelis Hakim meminta Jaksa menghadirkan penyidik yang memeriksa keempat terdakwa itu saat pemberkasaan BAP (Anonim, 2010).

Secara yuridis, pencabutan ini sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai alasan yang mendasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2006:326). Melihat pernyataan di atas proses pencabutan keterangan terdakwa mudah


(19)

commit to user

dilakukan dan tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi, kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktik di persidangan pencabutan begitu banyak menimbulkan permasalahan. Terutama mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa, di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan keterangan terdakwa.

Permasalahan lain terkait dengan pencabutan keterangan terdakwa adalah mengenai eksistensi keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dalam hal digunakan untuk membantu menemukan alat bukti dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP (Darwin Prinst, 1998:145). Sebab sesuatu hal yang fungsi dan nilainya digunakan untuk membantu mempertegas alat bukti yang sah, maka kedudukannya pun telah berubah menjadi alat bukti, termasuk pengakuan terdakwa pada tingkat penyidikan (M. Yahya Harahap, 2006: 323).

Masalah pencabutan keterangan terdakwa akan menimbulkan

permasalahan lain, yakni bagaimana ketentuan hukum terhadap pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan (ketentuan hukum berarti dasar hukum dilakukannya pencabutan keterangan terdakwa, faktor – faktor penyebab dilakukannya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan), implikasi pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat persoalan ini ke dalam skripsi dengan judul:

“TINJAUAN YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN DENGAN ALASAN DALAM PEMERIKSAAN DIDEPAN PENYIDIK TIDAK DIDAMPINGI PENASIHAT HUKUM DAN KEKUATANNYA SEBAGAI BAHAN PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN PERKARA

PENGHASUTAN (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN NO.


(20)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis sebelumnya, maka penulis merumuskan pokok permasalahan yang timbul dan akan dipecahkan secara jelas dan sistematis.

Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Perumusan masalah yang penulis ketengahkan meliputi :

1. Apakah pemeriksaan oleh penyidik tanpa didampingi penasihat hukum dapat menjadi alasan bagi terdakwa untuk mencabut keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di persidangan dalam perkara penghasutan Nomor: 2336/Pid.B/2008/JKT.PST?

2. Bagaimanakah kekuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut oleh terdakwa sebagai bahan pemeriksaan dalam perkara penghasutan Nomor: 2336/Pid.B/2008/JKT.PST?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan penelitian dapat bersifat untuk pengembangan ilmu dalam arti explanation, developmental, atau verifikasi ilmu, atau untuk membantu memecahkan masalah tertentu. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Objektif

a. Mendeskripsikan hak terdakwa diperkenankan untuk mencabut

keterangannya dalam persidangan karena tidak didampingi oleh Penasihat Hukum.


(21)

commit to user

b. Mendeskripsikan implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai bahan pemeriksaan dalam persidangan perkara penghasutan Nomor: 2336/Pid.B/2008/JKT.PST.

2. Tujuan Subjektif

a. Memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek yuridis pada teoritik dan praktik dalam lapangan hukum khususnya terhadap pencabutan keterangan terdakwa dalam pengadilan karena tidak didampingi Penasihat Hukum.

b. Melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar

dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya diharapkan akan dapat memberikan manfaat yang berguna terutama pada ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan pembuktian.

b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi jelas mengenai pemecahan permasalahan yang akan dipecahkan oleh penulis.

c. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(22)

commit to user

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti penulis yaitu seoarang terdakwa diperbolehkan atau tidak untuk mencabut keterangannya dikarekanakan saat penyidikan tidak didampingi penasihat hukum pada kasus penghasutan pada putusan No.2336/Pid.B/2008/JKT.PST serta apa implikasinya terhadap kekuatan alat bukti didalam persidangan.

b. Dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam

bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya. c. Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah

dengan kenyataan di lapangan.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35). Dua syarat utama

yang harus dipenuhi sebelum melakukan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggung jawabkan adalah peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya (Johnny Ibrahim, 2008: 26). Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim, 2008: 28).

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penulisan antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, penelitian penulis ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif. Pengertian hukum


(23)

commit to user

normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang berfokus pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

Penelitian hukum nenurut Johnny Ibrahim adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2008: 57). Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah pada objeknya, objek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan chaos tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dan ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sabagai suatu chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole of system (Johnny Ibrahim, 2008: 57).

Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut penulis, sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum sekunder yang terdiri dari semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Selain itu, menurut Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis terhadap tinjauan yuridis pencabutan keterangan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh terdakwa di persidangan dengan alasan dalam pemeriksaan di depan penyidik tidak didampingi penasihat hukum dan kekuatannya sebagai alat bukti dalam persidangan perkara penghasutan, dibutuhkan penalaran dari aspek hukum normatif yang merupakan ciri khas penelitian hukum normatif (Johnny Ibrahim, 2008: 127). Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis telah sesuai dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat.


(24)

commit to user

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum tentunya sejalan dengan sifat penelitian hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskripitif, artinya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial di dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh disiplin ilmu lain yang objeknya juga hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22).

Dalam penelitian ini, penulis akan memberikan preskriptif mengenai tinjauan yuridis pencabutan keterangan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh terdakwa di persidangan dengan alasan dalam pemeriksaan di depan penyidik tidak di damping penasihat hukum dan kekuatannya sebagai alat bukti dalam persidangan perkara penghasutan.

3. Pendekatan Penelitian

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian normatif, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian yang digunakan , antara lain pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histories (historical approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual

(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).

Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini akan menggunakan pendekatan kasus (case approach), yaitu dengan melakukan studi kasus terhadap putusan No.2336/Pid.B/2008/JKT.PST dalam perkara penghasutan.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa pada dasarnaya penelitian hukum tidak mengenal adanya data tetapi yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini yang


(25)

commit to user

digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yaitu yang mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yakni Putusan NO. 2336/Pid.B/2008/JKT.PST.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari bahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach), maka penulis akan menggunakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum


(26)

commit to user

tetap (inkrah van gewijde) (Peter Mahmud Marzuki: 94) yakni putusan pengadilan Jakarta pusat no. 2336/Pid.B/2008/JKT.PST.

6. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi sebuah laporan. Bahan yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode silogisme dengan pola berfikir deduksi. Metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2010:47). Artinya bahwa melakukan penglahan analisis bahan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalah konkret yang sedang diteliti.

Dalam penulisan ini, premis mayor adalah Kitab Udang-udang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ditarik kepada premis minor yakni permasalahan mengenai pencabutan keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh terdakwa dalam persidangan dengan alasan tidak didampingi oleh penasihat hukum saat tahapan penyidikan, lalu akan ditarik kesimpulan dari kedua premis tersebut,

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi, penulisan hukum ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab dengan menggunakan sistematika sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Dalam bab satu akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi


(27)

commit to user

memberikan pemahaman mendalam terhadap isi penelitian secara garis besar.

BAB II Tinjauan Pustaka

Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan diuraikan mengenai Tinjauan Umum tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa dan Hak-Hak Terdakwa, yang meliputi Pencabutan Keterangan Terdakwa; dan Hak-hak terdakwa yang diatur dalam KUHAP. Kemudian, diuraikan mengenai tinjauan umum tentang Penyidikan dan

Pengertian Penasihat Hukum yang meliputi

pengertian penyidikan dan pengertian mengenai Penasihat Hukum. Selanjutnya diuraikan mengenai pembuktian dan alat bukti, yang meliputi pengertian pembuktian; dan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keseluruhan uraian dapat memudahkan pembaca membaca dan memahami mengenai pencabutan keterangan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh terdakwa di persidangan dengan alas an dalam pemeriksaan di depan penyidik tidak didampingi penasihat hukum dan kekuatannya sebagai bahan pemeriksaan.

BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada BAB III penulis akan menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat


(28)

commit to user

dengan menggunakan tinjauan pustaka sebagai pisau analisisnya, dua pokok permasalahan yang diangkat adalah Apakah pemeriksaan oleh penyidik tanpa didampingi penasihat hukum dapat menjadi alasan bagi terdakwa untuk mencabut keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di persidangan perkara penghasutan dan Bagaimanakah kekuatan keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dicabut oleh terdakwa sebagai alat bukti dalam perkara penghasutan.

BAB IV Penutup

Bab IV ini merupakan bab terakhir dari keseluruhan penulisan hukum. Pada bab ini, berisikan simpulan dari pembahasan rumusan masalah hasil penelitian dalam penulisan hukum dan disertai saran yang didasari dari simpulan hasil penelitian tersebut.


(29)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa dan Hak-Hak Terdakwa

a. Pencabutan Keterangan Terdakwa

Umumnya, banyak pihak atau terdakwa yang mencabut

keterangannya (keterangan terdakwa) dalam persidangan yang

disebabkan oleh alasan-alasan tertentu. Ditinjau dari segi bahasa, pencabutan keterangan terdakwa berarti suatu proses atau keadaan dimana terdakwa menarik kembali pernyataannya atas apa yang dia utarakan dalam tingkat penyidikan (Berita Acara Pemeriksaan) dikarenakan hal-hal tertentu. Pencabutan keterangan terdakwa dilakukan atas alasan yang sah dan bukti yang konkret. Umumnya, faktor-faktor yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu antara lain :

1) Bahwa didalam penyidikan terdakwa disiksa, dipukuli hal ini senada dengan Putusan Mahkamah Agung No. 381 K / Pid / 1995.

2) Tidak didampingi oleh penasihat hukum.

3) Tidak bisa membaca atau menulis sewaktu menandatangani berita acara pemeriksaan.

4) Adanya unsur atau faktor psikologis yang berlebihan sewaktu dalam penyidikan (Syaiful Bakhri, 2009:69).

Penilaian alasan pencabutan keterangan terdakwa itu didasarkan atas alat bukti dan jika alasan pencabutan itu terbukti maka pencabutan itu bisa dikabulkan jika pencabutan itu tidak beralasan maka dapat ditolak, dan ini merupakan petunjuk atas kesalahan terdakwa didalam memberikan keterangan hal ini senada dengan apa yang tertuang dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K / Kr / 1959 yang menjelaskan: “pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian di


(30)

commit to user

sidang pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa” (Syaiful Bakhri, 2009:70).

Proses pembuktian terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa itu diberikan kepada terdakwa atau penuntut umum. Hal ini bertujuan untuk mendukung apa yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu, dan bagi penuntut sendiri dapat menguatkan apa yang menjadi dakwaannya dalam persidangan.

Ditinjau dari segi pengertian bahasa, terdapat ada perbedaan makna antara “pengakuan” dan “keterangan” (Syaiful Bakhri, 2009:66). Pada pengakuan, terasa benar mengandung suatu “pernyataan” tentang apa yang dilakukan seseorang sedang pada “keterangan” terasa kurang menonjol pengertian pernyataan. Pengertian yang terkandung pada kata “keterangan” lebih bersifat suatu “penjelasan” akan apa yang dilakukan seseorang (M. Yahya Harahap, 2003:318).

b. Hak-Hak Terdakwa yang Diatur dalam KUHAP

Terdakwa atau tersangka belum dianggap bersalah sebelum adanya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (presumtion of inoucent). Jaminan ini untuk memberikan hak- hak terdakwa dalam proses peyidikan samapai pemeriksaan dalam persidangan. Hak-hak terdakwa tersangka yag diatur dalam KUHAP yaitu:

1) Hak untuk segera mendapat pemeriksaan penyidik (vide : Pasal 50

KUHAP);

Penjabaran prinsip peradilan sederhana, cepat, biaya ringan dipertegas dalam Pasal 50 KUHAP, yang memberi hak yang sah menurut hukum dan undang-undang kepada tersangka atau/terdakwa:

a) Berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik; b) Berhak segera diajukan kesidang pengadilan;

c) Berhak segera diadili dan mendapat putusan pengadilan


(31)

commit to user

2) Hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (vide : Pasal 51 ayat (1) KUHAP);

Hal ini dimaksukan agar terdakwa mengerti secara jelas dan rinci sehingga tersangka dapat melakukan pembelaan atas apa yang telah disangkakan kepadanya.

3) Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (vide : Pasal 52 KUHAP);

Tidak hanya memberikan keterangan saat proses penydikan, dalam tahapan pemeriksaan persidangan pun terdakwa bebas dalam memberikan keterangannya. Keterangan ini dapat diartikan keterangan yang menguntungkan dirinya ( M. Yahya Harahap, 2003:332). Pasal 52 KUHAP ini menurut M. Yahya harahap belum dapat menjamin akan adanya pencabutan keterangan terdakwaa saat pengadilan karena ketentuan Pasal 52 KUHAP merupakan ketentuan semu selama mentalitas aparat penegak hukum tidak meyesuaikan dengan semangat dan jiwa yang dikehendaki KUHAP ( M. Yahya Harahap, 2003:332).

4) Hak untuk mendapatkan juru bahasa ( vide: Pasal 53 ayat (1) Jo. Pasal 177 ayat (1) KUHAP);

Hak mendapatkan Juru bahasa berlaku dalam setiap tingkat pemeriksaan baik pada pemeriksaan penyidikan maupun dalam pemeriksaan pengadilan. Adalah suatu hal yang tidak mungkin

bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk membela

kepentingannya, jika terhadapnya diajukan dan dituduhkan sangkaan dan dakwaan yang tak dimengerti olehnya ( M. Yahya Harahap, 2003:333).

5) Hak atas bantuan Hukum ( vide Pasal 54 KUHAP);

Guna kepentingan pembelaan diri, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum oleh seorang atau beberapa orang penasihat hukum, pada:


(32)

commit to user

a) Setiap pemeriksaan;

b) Dalam setiap waktu yang diperlakukan ( M. Yahya Harahap, 2003:332).

Ketentuan Pasal 54 memberi hak kepada tersangka atau terdakwa mendapat bantuan hukum sejak taraf pemeriksaan penyidikan dimulai. Kalau dikaji lebih dalam ketentuan ini masih mengandung kelemahan. Dikaitkan dengan Pasal 115 KUHAP, kelemahan itu dapat dilihat dari dua segi. Dari segi kualitas, bantuan penasihat hukum baru merupakan hak, akan tetapi belum ketingkat wajib. Artinya mendapatkan bantuan hukum dalam setiap

tingkatan pemeriksaan masih tergantung pada kemauan

tersangka/terdakwa itu sendiri. Akan berubah ketingkat wajib apabila sangkaan atau dakwaan yang disangkakan diancam dengan tindak pidana dengan hukuman mati atau hukuman lima belas tahun. Hal yang paling tragis hak mendapatkan dan didampingi penasihat pada tingkat penyidikan dianulir oleh ketentuan Pasal 115 KUHAP.

Keikutsertaan penasihat hukum dalam tahap penyidikan hanya bersifat fakultatif dan pasif ( M. Yahya Harahap, 2003:333). Fakultatif artinya seperti yang dijabarkan sebelumnya, sedangkan pasif artinya penasihat hukum saat mendampingi tersangka pada tahap penyidikan hanya sebagai penonton. Kedudukan dan

kehadirannya hanya sebatas melihat, menyaksikan dan

mendengarkan (sithin sight without hearing)( M. Yahya Harahap, 2003:333-334).

6) Hak Untuk memilih sendiri penasihat hukumnya (vide : Pasal 55 KUHAP);( M. Sofyan Lubis, 2010: 67).

Artinya tersangka atau terdakwa bebas dalam memilih siapapun yang akan menjadi penasihat hukumnya dalam

mendampingi dalam tahapan penyidikan sampai dengan


(33)

commit to user

2. Tinjauan Umum tentang Penyidikan dan Penasihat Hukum a. Pengertian Penyidikan

Berkaitan dengan Tugas Pokok Polisi dalam proses penyelesaian

perkara pidana dalam criminal justice system, maka dilakukan

penyidikan oleh penyidik Polri. Hal ini sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Pengertian penyidikan sendiri adalah ” serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang dalam Undang-Undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Penyidikan selain dilakukan oleh penyidik Polri juga dilakukan oleh penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Penyidik memiliki wewenang yaitu menerima laporan atau pengaduan, melakukan tindakan pertama di TKP (Tempat Kejadian Perkara), menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil seseorang untuk dipanggil sebagai saksi atau tersangka, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. Pengertian Penasihat Hukum

KUHAP, lebih menekankan dalam setiap proses peradilan pidana memperlihatkan ciri yang humanis. Salah satu hal penting dan humanis adalah adanya Bantuan Hukum. Bantuan Hukum dalam proses peradilan pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam tahap pemeriksaan pendahuluan sampai putusan. Dalam KUHAP memberikan definisi Penasihat Hukum dalam Pasal 1 huruf 13 yakni: “Penasihat Hukum


(34)

commit to user

adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau

berdasar Undang-Undang untuk member bantuan hukum”.

Dalam sejarahnya banyak sekali sebutan untuk penasihat hukum, namun dalam kode etik Advokat Indonesia dalam Pasal 1 hurug a dan b pengertian advokat disamakan dengan pengertian Penasihat hukum. Pasal 1 kode etik advokat: “adalah seseorang atau mereka yang melakukan pekerjaan jasa bantuan hukum termasuk konsultan hukum yang menjalankan pekerjaannya baik dilakukan diluar pengadilan dan atau di dalam pengadilan bagi klien sebagai mata pencahariannya”. Pengertian ini juga diperuntukkan pada pengacara, pengacara praktek dan Penerima Kuasa dengan izin khusus insidentil dari pengadilan setempat.

3. Tinjauan Umum tentang Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir pada penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim dalam persidangan ( Syaiful Bakhri, 2009:27). Pembuktian merupakan hal yang paling krusial dalam pemeriksaan suatu perkara pidana di pengadilan, guna menemukan kebenaran materiil (materieel waarheid) akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian hukum (Syaiful Bakhri, 2009:27).

Pengertian pembuktian menurut Subekti adalah yang dimaksudkan

dengan ”membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil

atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan” (R. Subekti, 2007:1). Pembuktian berupaya mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan.


(35)

commit to user

Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 10).

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa (M.Yahya Harahap, 2003 : 273). Dalam beberapa literatur yang penulis telaah dan cermati, terdapat beberapa teori-reori pembuktian. Terdapat empat teori sistem pembuktian yang digunakan untuk menilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang ada dalam ilmu pengetahuan hukum yaitu :

1) Teori Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka

(Conviction in Time).

Sistem pembuktian yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim, dengan menarik keyakinannya atas kesimpulan dari alat bukti yang diperiksanya dalam pengadilan. Alat bukti bisa saja diabaikan, dan menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa (Syaiful Bakhri, 2009:39).

Sistem pembuktian yang berguna dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa semata-mata berdasarkan keyakinan hakim saja. Tidak dipersoalkan masalah keyakinan hakim tersebut diperoleh darimana. Hakim seolah-olah hanya mengikuti hati


(36)

commit to user

nuraninya dan semua penilaian tergantung adanya kebijaksanaan hakim. Hakim sangat bersifat subjektif dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Putusan hakim dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009:40).

Mengingat kedudukan hakim hanya seorang manusia biasa, tentunya tidak dapat dijadikan ukuran yang baik dan pantas bahkan seringkali salah dalam menentukan keyakinannya terhadap perkara yang diselesaikannya sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam menafsirkan undang-undang. Akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian sebaliknya hakim bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 15).

2) Teori Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Positif (Positief Wettelijke Bewijstheorie).

Teori sistem ini keyakinan hakim tidak berarti, dengan suatu prinsip berpedoman pada alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang (Syaiful Bakhri, 2009:41). Bersalah atau tidaknya terdakwa didasarkan pada ada atau tidaknya alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 16). Sistem pembuktian yang digunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus secara mendasar berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.


(37)

commit to user

Berdasarkan pendapat D. Simons dalam bukunya Andi Hamzah dimana sistem pembuktian menurut undang-undang positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hukum secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Hati nurani hakim tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Teori ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkusitor (inquisitoir) dalam acara pidana (Andi Hamzah, 2001 : 247). Hakim seolah-olah hanya bersikap pasif sebagai alat pelaksana undang-undang semata-mata sehingga mengabaikan aspek moral dan hati nurani dalam menyelesaikan suatu perkara. Selain itu, hakim hanya berperan sebagai alat pelengkap di dalam suatu pengadilan atau lebih tepatnya seperti robot yang bertindak atas perintah undang-undang dan kepentingan pengadilan. Hakim tidak leluasa dalam mengambil keputusan dan kebijakan atas perkara yang ditanganinya dan terikat oleh peraturan yang ada.

Undang-undang menetapkan secara limitatif alat-alat bukti mana yang boleh dipakai hakim dan mana yang tidak boleh digunakan serta menentukan suatu cara bagaimana hakim dapat menggunakan alat-alat bukti serta menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Apabila alat-alat bukti tersebut telah digunakan secara sah sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkannya dengan keadaan sah terbukti, walaupun mungkin bertolak belakang dengan keyakinan hakim sendiri sehingga hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.

3) Teori Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Dengan

Alasan yang Logis (Conviction Raisonnee).

Teori ini berpijak dan berpedoman pada keutamaan akan keyakinan hakim sebagai dasar utama dalam menghukum terdakwa dimana keyakinan hakim itu harus disertai dengan pertimbangan


(38)

commit to user

hukum yang nyata dan logis sehingga, dapat diterima dengan akal pikiran yang sehat dan rasional. ”Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas” (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 16). Bebas ini dimaksudkan hakim dapat mempergunakan pemikirannya secara rasional sebagai suatu bentuk keyakinan dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang ditanganinya tanpa tergantung oleh ketentuan hukum positif yang mengaturnya. Keyakinan tidak perlu didukung adanya alat bukti yang sah. Peranan keyakinan hakim sangat penting dan krusial.

Hakim dapat menyatakan menghukum atau bersalahnya seorang terdakwa apabila ia telah meyakini secara rasional bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti unsur-unsur deliknya. Keyakinan hakim lebih mempertimbangkan alasan-alasan yang didasari atas pemikiran atau logika. Hakim berkewajiban menguraikan, menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya dengan alasan-alasan yang dapat diterima secara akal dan bersifat yuridis atas kesalahan terdakwa (Syaiful Bakhri, 2009:41). Adanya alat bukti tertentu diatur dalam sistem ini, tetapi undang-undang tidak mengaturnya dan menetapkan secara eksplisit. Sistem ini berpangkal pada tolak pada keyakinan hakim, dan pada sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Syaiful Bakhri, 2009:41).

4) Teori Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie).

Hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah apabila ia yakin dan keyakinan tersebut didasarkan kepada alat bukti yang sah menurut undang. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan suatu sistem keseimbangan antara sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim (M. Yahya Harahap, 2003 : 278). Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan


(39)

commit to user

hakim belaka. Rumusan dari hasil penggabungan ini berbunyi salah

tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim

yang didasarkan kepada cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in time. Hakim dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 :16).

Mengenai teori sistem pembuktian yang dianut Indonesia dari keempat teori sistem pembuktian diatas, dapat dilihat dari dua ketentuan yaitu Pertama, ketentuan HIR, yang berlakunya sebelum disahkannya dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai KUHAP. Ketentuan HIR yang mengatur mengenai sistem pembuktian ini terdapat Pasal 294 HIR, yang berbunyi sebagai berikut :

a) Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak mendapat keyakinan dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.

b) Atas persangkaan saja atau bukti-bukti yang tidak cukup tidak seorangpun yang dapat dihukum

Berdasarkan pasal tersebut, dapat terlihat bahwa sistem

pembuktian yang dianut HIR adalah Negatief Wettelijke

Bewijstheorie. Kedua, ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang merupakan peraturan pengganti HIR dan sampai


(40)

commit to user

saat ini masih berlaku. Dalam hukum acara pidana ketentuan KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari Pasal 183 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum acara pidana di Indonesia menggunakan teori sistem pembuktian menurutundang-undang yang negatif. Hal ini berarti tidak sebuah alat buktipun akan mewajibkan memidana terdakwa, jika hakim tidak sungguh-sungguh berkeyakinan atas kesalahan terdakwa. Begitupun sebaliknya jika keyakinan hakim tidak didukung dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah menurut hukum, maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa.

Dalam penjelasan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dijelaskan bahwa syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusan yang tertera dalam undang-undang, seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya, apabila :

a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti;

b) Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

tersebut, hakim akan ”memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Keyakinan hakim hanyalah sebagai pelengkap. Tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku,


(41)

commit to user

kemudian keterbuktiannya itu digabung dan didukung dengan keyakinan hakim.

Dalam praktik keyakinan hakim itu bisa saja dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi oleh suatu pembuktian yang cukup. Keyakinan hakim tersebut dianggap tidak mempunyai nilai apabila tidak dibarengi oleh pembuktian yang cukup. Sistem pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP dalam praktik penegakan hukum lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif.

b. Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP

Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Darwan Prinst, 1998 : 135). Yang dimaksud dengan alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 11).

Alat bukti memiliki peranan yang sangat penting di dalam proses pembuktian perkara pidana di persidangan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang (Syaiful Bakhri, 2009:46). Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa (Syaiful Bakhri, 2009:46). Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja (Syaiful Bakhri, 2009:46). Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang


(42)

commit to user

ditentukan Pasal 184 ayat (1) (Syaiful Bakhri, 2009:46). Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat (M. Yahya Harahap, 2003 : 285).

Alat-alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan berikut ini adalah uraian mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah menurut KUHAP :

1) Keterangan saksi

Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP ysng menyatakan bahwa : “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP yang menyatakan pengertian keterangan saksi yaitu : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau ”the

degree of evidance” keterangan saksi, mempunyai nilai kekuatan

pembuktian, beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan yakni harus mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (4) KUHAP), harus sesuai dengan dilihat, alami sediri, dan dengar (Pasal 1 ayat 27 dihubungkan dengan penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP), dan diberikan disidang pengadilan (Syaiful Bakhri, 2009:48). Syarat-syarat tersebut dapat kita lihat pada Putusan


(43)

commit to user

Pengadilan Tinggi Medan yang telah dikuatkan MARI No. 11 K/Pid/1982.

Secara global dalam praktik asasnya kerap dijumpai adanya beberapa jenis saksi, yaitu:

a) Saksi A Charge (memberatkan Terdakwa) dan Saksi A De

Charge (meringankan Terdakwa)

b) Saksi Mahkota/Kroon Geutige/Witness Crone

Secara Normatif dalam KUHAP tidak mengatur mengenai saksi jenis ini. Saksi mahkota adalah saksi yang diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa karena kurangnya alat bukti (Syaiful Bakhri, 2009:60).

2) Keterangan Ahli

Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menyatakan pengertian keterangan ahli yaitu : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan secara tegas. Kadang-kadang seorang ahli merangkap sebagai seorang saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apa yang dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut (Andi Hamzah, 2001 : 269).

Dari keterangan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli dituntut suatu pendidikan formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam suatu bidang dengan pendidikan khusus.


(44)

commit to user

KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di pengadilan sebagai alat bukti ”keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti ”surat”. Apabila keterangan diberikan pada waktru pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, maka keterangan ahli tersebut sebagai alat bukti surat. Misalnya mengenai penggunaan visum et repertum maupun rekam medik yang dibuat oleh dokter.

3) Surat

Mengenai alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

a) ”Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri;

b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya; c) Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat

berdasarkan keahliannya;

d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.

Sebagai bagian dari alat bukti dalam pembuktian, maka perkembangan alat bukti surat ini, berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi, dengan diterimanya beberapa alat bukti surat elektronik, e-mail, sms, dan sebagainya (Syaiful Bakhri, 2009:64)

R. Soesilo dalam KUHAP memberikan komentar mengenai alat bukti surat ini (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, 1997:166), bahwa Pasal 187 membedakan atas empat macam surat itu yaitu :


(45)

commit to user

(1) berita acara dan surat lain yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan tentang keterangan ini;

(2) surat yang dibuat menurut peraturan undang-undang atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan (3) surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.

Berkaitan dengan Berita Acara Pemeriksaan adalah merupakan berita acara penyidikan dan lampiran-lampiran yang bersangkutan, dijilid menjadi satu berkas oleh penyidik (M. Yahya Harahap, 2003 : 356).

Setelah itu, pendapat dari R. Soesilo tersebut dikaitkan dengan pengertian Berita Acara Pemeriksaan sebelumnya, maka ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan adalah merupakan alat bukti surat. Hal ini senada pada pendapat Jaksa penuntut umum pada kasus terdakwa kompol Arafat Enani mengatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan adalah merupakan alat bukti surat ( Anonim. Jaksa Bersikukuh BAP Sebagai Alat Bukti. Diakses dari Http://www.jurnas.Com/news/l pada hari rabu 20 april 2011 pukul 20.38 wib).

4) Petunjuk

Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : ”Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.


(46)

commit to user

Dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa :”Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa”.

Mengenai penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, dan penuh kecermatan berdasrkan hati nuraninya, sebagaimana diatur pada Pasal 188 ayat (3), sehingga hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga dengan sengat penting dan mendesak saja alat bukti petunjuk dipergunakan setelah ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti (Syaiful Bakhri, 2009:65). Pengamatan hakim dapat dijadikan sebagai alat bukti.

5) Keterangan terdakwa

a) Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa, berdasarkan

Pasal 189 KUHAP yang menyatakan mengenai alat bukti keterangan terdakwa berbunyi:

(1) ”Keterangan tedakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”.

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatannya


(47)

commit to user

pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemerikasaan

keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah

pemeriksaan keterangan saksi (Syaiful Bakhri, 2009:65). Pemeriksaan terdakwa diatur dalam Pasal 175-178 KUHAP, antara lain:

Pasal 175 berbunyi: “Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.”

Pasal 176 berbunyi:

“Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang, mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.”

Pasal 177 berbunyi:

“jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.” Pasal 178 berbunyi:

“Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan /atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan


(48)

commit to user

semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.”

b) Pengertian Tersangka dan Terdakwa

Pengertian Tersangka didalam KUHAP Pasal 1 ayat (14), adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka dalam Black Law Dictonary, diartikan sebagai ”suspect” yakni: A person reputed or suspected to be involved in a crime (seseorang yang disangka terlibat dalam suatu kejahatan). Dalam hukum acara pidana, pemeriksaan

terhadap tersangka maupun saksi dimaksudkan untuk

menemukan kebenaran dalam peristiwa pidana yang

bersangkutan. Dalam Pasal 117 KUHAP, keterangan saksi dan atau tersangka kepada penyidik diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun dan apabila dilanggar dapat dipidana sesuai dengan Pasal 422 KUHP (Yesmil Anwar, 2009:255).

Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan

perkaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan.

Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP.

Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal


(1)

dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.

3) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa

4) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya (Syaiful Bakhri, 2009:68).

Dari asas diatas maka dapat kita simpulkan bahwa kekuatan Kekuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yang dicabut Oleh Terdakwa Sebagai Bahan Pemeriksaan adalah :

a. Apabila pencabutan diterima oleh Majelis Hakim, maka konsekuensi yurudisnya adalah keterangan terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan tidak dapat dijadikan bahan pemeriksaan oleh hakim dalam mendapatkan kebenaran materiil sehingga Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dianggap tidak benar dan keterangan yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim adalah keterangan yang diutarakan oleh terdakwa dalam


(2)

commit to user

persidangan dengan mempertimbangkan asas yang yang telah diutarakan sebelumnya.

b. Jika pencabutan ditolak oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa dalam persidangan tidak dapat menjadi pertimbangan dalam putusan Majelis Hakim dan menjadi petunjuk dalam menentukan kesalahan terdakwa. Keterangan terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan dalam persidangan guna mendapatkan kebenaran materiil dalam persidangan guna mempertegas dan mendapatkan alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Mencermati dari kesimpulan sebelumnya dan juga menelaah dari putusan yang menjadi dasar dari penulisan ini yakni putusan perkara penghasutan Nomor: 2336/Pid.B/2008/JKT.PST, yang dalam proses pembuktian dalam persidangan terdakwa mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dikarenakan alasannya adalah tidak didampingi oleh penasihat hukum adalah tidak diterima oleh Majelis Hakim. Hal ini sesuai dengan jawaban yang diutarakan penulis dalam pembahasan pada rumusan masalah yang pertama. Dengan tidak diterimnya pencabutan keterangan Berita Acara pemerisksaan (BAP) oleh terdakwa dalam persidangan, maka Berita acara Pemeriksaan tersebut menjadi bahan pemeriksaan dalam persidangan untuk mendapatkan dan mempertegas alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.


(3)

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan serta dalam pembahasan atas masalah yang timbul tersebut berdasarkan teori-teori yang telah digunakan serta bahan dan literatur yang ada, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Ditinjau dari segi yuridis, terdakwa berhak mencabut kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam penyidikan. Undang-undang pun pada dasarnya tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan dilakukan itu memiliki alasan yang mendasar dan logis. Pencabutan kembali tanpa dasar yang kuat dan logis tidak dapat dibenarkan oleh Undang-Undang. Dalam putusan yang diteliti oleh penulis pencabutan keterangan pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan alasan didampingi penasihat hukum ditolak. Hal ini sesuai dengan pertimbangan hakim dengan tetap menggunakan BAP sebagai bahan pemeriksaan dan menyamakan nya dengan Alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Hakim memutuskan menolak. Penolakan tersebut didapat dengan mencari fakta-fakta dan bukti dalam persidangan mengenai berita acara pemeriksaan bahwa berita acara pemeriksaan tersebut dibuat sesuai dengan penyidikan yang sah dengan pejabat yang sah dengan adanya tanda tangan pejabat penyidik kepolisian beserta tersangka dan penaihat hukumnya.

2. Kekuatan Kekuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yang dicabut Oleh Terdakwa Sebagai Bahan Pemeriksaan adalah :

a. Apabila pencabutan diterima oleh Majelis Hakim, maka konsekuensi yurudisnya adalah keterangan terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan tidak dapat dijadikan bahan pemeriksaan oleh


(4)

commit to user

Acara Pemeriksaan (BAP) dianggap tidak benar dan keterangan yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim adalah keterangan yang diutarakan oleh terdakwa dalam persidangan dengan mempertimbangkan asas yang yang telah diutarakan sebelumnya. b. Jika pencabutan ditolak oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya

adalah keterangan terdakwa dalam persidangan tidak dapat menjadi pertimbangan dalam putusan Majelis Hakim dan menjadi petunjuk dalam menentukan kesalahan terdakwa. Keterangan terdakwa dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan dalam persidangan guna mendapatkan kebenaran materiil dalam persidangan guna mempertegas dan mendapatkan alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh tulisan ini dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:

1. Dikaitkan dengan alasan pencabutan keterangan terdakwa pada perkara ini yakni perkara Nomor : 2336/ Pid.B/ 2008/ JKT.PST Penyidik sebaiknya dalam awal pemeriksaan selalu memberitahukan segala hak dari tersangka sesuai dengan apa yang ada pada KUHAP yang dalam kasus ini adalah hak tersangka atau/ terdakwa khususnya dalam hak pendampingan Penasihat Hukum, .

2. Dikaitkan dengan alasan pencabutan keterangan terdakwa pada perkara ini yakni perkara Nomor : 2336/ Pid.B/ 2008/ JKT.PST, sebaiknya dalam setiap ruangan pemeriksaan tersangka dipasang beberapa alat kamera video seperti CCTV (Closed Circuit Television) agar saat pencabutan keterangan BAP dalam persidangan tersebut hakim dapat menilai alasan pencabutan dengan melihat rekaman CCTV tersebut.


(5)

commit to user Daftar Pustaka BUKU

Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan RI

Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : PT. Sinar Grafika. Campbell Black, Henry. 1979. Black’s Law Dictionary. United States of America: West

Publishing Co.

Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta : Djambatan. Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana.

Bandung : PT.Mandar Maju.

H.B Soetopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Suarakrta : sebelas Maret University Press.

Johnny Ibrahim.2006.Teori dan Metodologi Penelitian Nrmatif. Malang: Banyumedia

Martiman Pridjohamidjojo. 1982. Penyelidikan dan Penyidikan. Jakarta. Ghalia Indonesia

Moeljatno. 1999. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta : Bumi Aksara.

Muhammad Rustamaji, Dewi Gumati. 2011. MOOTCOURT Membedah

Peradilan Pidana dalam Kelas Pendidikan Hukum Progrsif. Surakarta. CV.

Mefi Caraka

M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali. Jakarta : Sinar Grafika.

________________.2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

Kembali. Jakarta : Sinar Grafika

Peter Mahmud Marzuki.2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(6)

commit to user

Soenarto Soerodibroto. 2000. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

Jakarta : Rajawali Pers.

Syaiful Bakhri. 2009. Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilam Pidana. Jakarta: P3IH.

Yesmil Anwar & Adang. 2009. Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjajaran.

Rofikah.1999. Buku Pegangan Kuliah. Surakarta. UNS Press

JURNAL

Anonim. Jaksa Bersikukuh BAP sebagai Alat Bukti Surat. Http://www.jurnas.Com/news//8517l diakses pada hari rabu 20 april 2011 pukul 20.38 wib

Isharyanto. 2006. ”Problematika Normatif Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai Salah Satu Perwujudan Hak Asasi Manusia”.Yustisia Jurnal Hukum Bisnis. Edisi Nomor : 71 Tahun XVIII. Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Paul R. Dubinsky. 2008. Wayne state university Journal of International Law. Vol. 44, No. 2

Paul R. Dubinsky. 2005. Yale Journal of International Law. Vol. 30, p. 211

PUSTAKA MAYA

Anonim. 2010. www.tempoiteraktif.com diakses pada tanggal 26 november 2010 pukul 13.41 wib

Anonim. 2010. www. detiknews. com, diakses pada tanggal 26 November 2010, pukul 14.41 wib

PERATURAN PERUNDANGAN DAN PUTUSAN HAKIM

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).