Gambaran Peran Apoteker Dalam Pelayanan Konseling di Apotek Wilayah Kota Medan

(1)

GAMBAR

PELAYANAN

FAKULTAS K

P

ARAN PERAN APOTEKER DALA

N KONSELING DI APOTEK WIL

KOTA MEDAN

SKRIPSI

SRI PUJI ASTUTI

1111102000097

S KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHA

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

DESEMBER 2015

AM

ILAYAH


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Sri Puji Astuti

Program Studi : Farmasi

Judul : Gambaran Peran Apoteker Dalam Pelayanan Konseling di Apotek Wilayah Kota Medan

Pelayanan konseling yang baik diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan peran apoteker dalam pelayanan konseling di apotek kota Medan. Metode survei dan simulasi pasien digunakan, dan 60 apotek dipilih secara acak dari 563 apotek di Medan. Alat bantu penelitian ini adalah skenario, lembarchecklist, dan resep yang ditulis oleh dokter. Terdapat 4 jenis resep yang digunakan yaitu resep hipertensi, asma, diabetes, dan hiperlipidemia. Data penelitian ini berasal dari kuisioner dan lembar checklist yang diisi setelah berkunjung ke apotek terpilih. Dari kuisioner diperoleh data 48,33% apoteker hadir setiap hari dan 50% hadir 1 bulan 1 kali, 60% apotek adalah milik PSA, 61,67% apotek tidak memiliki apoteker pendamping, 51,67% apotek tidak memiliki asisten apoteker, dan 85% apotek hanya melayani < 20 lembar resep per hari. Dari lembar check list diperoleh data bahwa 66,67% apotek bersedia melakukan pelayanan konseling. Tahapan konseling yang paling banyak dilakukan oleh apoteker adalah tahap 1 (100%), kemudian tahap 3 dan 4 (77,5%), tahap 5 (65%), dan terakhir tahap 2 (57,5%). Isi konseling yang disampaikan kepada pasien sebagian besar mengenai nama obat, waktu penggunaan (pagi/siang/sore), waktu penggunaan (sebelum/sesudah/sedang makan), jumlah frekuensi pelayanan, dan jumlah obat sekali minum (100%), jumlah obat yang diberikan (97,87%), indikasi (76,66%), interaksi obat (64,58%). Persentase kualitas penyampaian isi konseling adalah 100% kecuali Indikasi (98,33%), kontraindikasi (96,67%), interaksi obat (92,31%), dan efek samping, (73,91%).


(7)

ABSTRACT

Name : Sri Puji Astuti

Study Program : Pharmacy

Title : The Description of The Pharmacists Roles in Counseling Services at The Pharmacies of Medan

The good counseling service is needed to improve the patient adherence for using drug, hence can increase the successful patient therapeutic. The aim of this research is to describe the role of pharmacist for counseling service in Medan s pharmacy. The survey and simulation methods were conducted and 60 pharmacies were chosen randomly from 563 pharmacies in Medan. The tools of this research are the scenario, sheet checklist, and prescriptions written by doctors. There are four the variety of prescriptions used namely prescription of hypertension, asthma, diabetes, and hyperlipidemia. The data were conducted from questionnaires and checklists that filled after visiting the selected pharmacy. The questionnaires showed that 48.33 % pharmacists are present every day, while, 50 % pharmacists attend only one time for one month. In fact, only 60% pharmacists are owned by PSA. According to data of pharmacist assistant, 61, 67% pharmacy did not has pharmacist assistant, whilst, 51, 67% pharmacy has. The pharmacy only served less than 20 sheets prescriptions per day. The checklist data explained that 66.67% pharmacist have been willing to do counseling service. The most part of counseling was conducted by pharmacist that is the first step (100%), the third step and the fourth (77.5%), the fifth step (65%), and the second step (57,5), respectively. The counseling result was delivered to patient mostly about the drug s name, the using time (Morning/afternoon/ evening), the time of use (before / after / are eating), the number of frequent service, and the amount of drug to drink (100%), the amount of drug given (97, 87%), the indication (76, 66%), the drug interaction (64, 58%). The percentage of quality for delivering the counseling content is 100% except the indication (98, 33%), the contradiction (96, 67%), the drug interaction (92, 31%), and the bad effect (73, 91%).


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. sebagai Ketua Program Studi Farmasi dan pembimbing I dan Bapak Asep Dasuki S, S.Si., MM, Apt. sebagai pembimbing II yang telah memberikan ilmu, nasehat, waktu, tenaga, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.

2. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D, Apt. sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat, waktu, dan dukungan moral selama masa perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.

4. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Yusman dan Ibunda Rubiati, kakak dan adik yang sangat saya sayangi Yudi Pramana, Agung Wiradi, dan Ashbahna


(9)

syari yang selalu ikhlas memberikan dukungan moral, material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus di setiap waktu.

6. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Indah, Pipit, Hesti, Rizza, Athiyah, serta teman-teman farmasi 2011 beng-beng atas semangat dan kebersamaan selama 4 tahun kita bersama.

7. Teman-teman di RQ UIN dan KOMDA FKIK atas dukungan, semangat, dan persaudaraan yang berkesan selama ini.

8. Niken, Betti, Ayu, Nadhia yang selalu menginspirasi dan memberi semangat. 9. Fatimah, Winda, Nisa, Indah, Thame, terima kasih atas kebersamaan selama

ini.

10. Kak Tiwi, Kak Dina, Kak Desi, Kak Ayu, Bang Dikki, Bang Fachri, terima kasih atas motivasi dan bimbingannya.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis nantikan.semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, Desember 2015


(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Secara Teoritis ... 4

1.4.2 Secara Metodologi ... 4

1.4.3 Secara Aplikatif ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian ... 5

2.2 Apoteker ... 6

2.3 Peran Apoteker ... 7

2.3.1 Peran Apoteker Menurut WHO ... 7

2.3.2 Peraturan Apoteker Menurut Peraturan di Indonesia ... 8


(12)

2.4.1 Pelayanan Kefarmasian di Apotek ... 10

2.4.1.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ... 10

2.4.1.2 Pelayanan Farmasi Klinik ... 12

2.5 Konseling ... 17

2.6 Hipertensi ... 20

2.6.1 Penatalaksanaan hipertensi ... 21

2.6.2 Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian ... 24

2.6.3 Peran dan peluang apoteker ... 25

2.7 Asma ... 26

2.7.1 Penatalaksanaan asma ... 28

2.7.2 Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma ... 29

2.7.2.1 Rencana pengobatan (Care Plan) ... 29

2.7.2.2 Implementasi pengobatan ... 29

2.7.2.3 Monitoring dan evaluasi ... 30

2.8 Diabetes ... 30

2.8.1 Penatalaksanaan diabetes ... 31

2.8.2 Peran apoteker dalam penatlaksanaan diabetes mellitus... 32

2.9 Hiperlipidemia ... 37

2.9.1 Metabolisme Lipid dan Lipoprotein ... 37

2.9.2 Klasifikasi Hiperlipidemia ... 37

2.9.3 Terapi ... 38

2.9.3.1 Tujuan Terapi ... 38

BAB III DEFINISI OPERASIONAL ... 41

2.1 Definisi Operasional ... 41

BAB IV METODE PENELITIAN ... 43

4.1 Alur Kerja ... 43

4.2 Lokasi dan waktu penelitian ... 44

4.3 Rancangan penelitian ... 44

4.4 Populasi dan sampel ... 44

4.4.1 Populasi ... 44

4.4.2 Sampel ... 44

4.5 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 45

4.5.1 Kriteria inklusi ... 45

4.5.2 Kriteria eksklusi ... 45

4.6 Langkah-langkah penelitian ... 45

4.6.1 Instrumen penelitian ... 45

4.6.2 Teknik pengumpulan data ... 46

4.6.3 Sumber data ... 46

4.6.4 Pengolahan data ... 47


(13)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

5.1 Karakteristik Apotek Penelitian ... 50

5.2 Gambaran Pelayanan Konseling di Apotek Kota Medan ... 52

5.3 Gambaran Pelaksanaan Tahapan Konseling di Apotek Kota Medan 56 5.4 Gambaran Penyampaian Isi Konseling di Apotek Kota Medan ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

6.2 Kesimpulan ... 64

6.3 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa ... 21

Tabel 2.2 Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit ... 27

Tabel 2.3 Pendekatan Bertahap Untuk Penanganan Asma pada Orang Dewasa dan Anak di Atas 5 Tahun ... 28

Tabel 2.4 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 ... 32

Tabel 2.5 Penatalaksanaan diabetes ... 33

Tabel 5.1 Distribusi karakteristik apotek penelitian ... 50 Tabel 5.2 Persentase Jumlah Tahapan Konseling yang Dilakukan Apoteker 58


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Tahapan Perubahan Praktik Kefarmasian ... 6 Gambar 5.1 Persentase Pelayanan Konseling di Apotek Kota Medan ... 53 Gambar 5.2 Persentase Pelayanan Konseling Terhadap Frekuensi

Kehadiran Apoteker ... 55 Gambar 5.3 Persentase Pelaksanaan Tahapan Konseling di Apotek Kota

Medan ... 57 Gambar 5.4 Persentase Isi Konseling yang Disampaikan Oleh Apoteker ... 60 Gambar 5.5 Rata-Rata Persentase Isi Konseling yang Disampaikan Oleh

Apoteker yang Melayani Resep Hipertensi, Asma, Diabetes, dan

Hiperlipidemia ... 61 Gambar 5.6 Persentase Kualitas Penyampaian Isi Konseling ... 62 Gambar 5.8 Rata-Rata Persentase Kualitas Isi Konseling yang

Disampaikan Oleh Apoteker yang Melayani Resep Hipertensi, Asma,


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Resep ... 69

Lampiran 2. Skenario ... 70

Lampiran 3. Lembar Kuisioner ... 73

Lampiran 4. LembarCheck List... 74

Lampiran 5. Perhitungan Persentase Pelaksanaan Pelayanan Konseling di Apotek Kota Medan ... 87

Lampiran 6. Perhitungan Persentase Pelaksanaan Tahapan Konseling ... 88

Lampiran 7. Perhitungan Persentase Penyampaian Isi Konseling di Apotek Kota Medan ... 90


(17)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian menyatakan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian tersebut harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Peran apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pelayanan informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

Standar pelayanan farmasi di apotek secara khusus dibuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, pada bab pendahuluan tercantum bahwa farmasi harus memberikan pelayanan obat dan pelayanan klinik. Pelayanan obat mencakup penjaminan mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pengelolaan obat. Sedangkan pelayanan klinik mencakup pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (Menkes RI, 2014).


(18)

Pharmacist Practice Activity Classification (PPAC) yang disusun pada tahun 1998 oleh American Pharmaceutical Association menguraikan kegiatan apoteker yang mencakup berbagai tugas yang melibatkan interaksi pasien, seperti mewawancarai pasien, mendidik pasien, menyediakan informasi tertulis atau tidak tertulis, berdiskusi, mendemonstrasikan sesuatu, berhadapan langsung dengan pasien, dan melaksanakan konseling pada pasien (Rantucci, 2007).

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Konseling terutama ditujukan kepada pasien dengan kondisi khusus, pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis, pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus, pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit, pasien dengan polifarmasi, dan pasien dengan tingkat kepatuhan rendah (Menkes RI, 2014).

Konseling ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan penggunaan obat-obatan yang tepat (Rantucci, 2007). Salah satu manfaat dari konseling adalah meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Schnipper, et al., 2006). Selain itu pasien memperoleh informasi tambahan mengenai penyakitnya yang tidak diperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu bertanya, atau tidak dapat mengungkapkan yang ingin ditanyakan (Zillich, et al., 2006).

Menurut laporan Department of Health and Human Service (DHHS) tahun 1990, 48% seluruh penduduk Amerika serikat, dan 55 % geriatric, dalam beberapa hal, gagal mengikuti regimen pengobatan (Kessler, 1992). Meskipun ketidakpatuhan tidak selalu menimbulkan konsekuensi, penelitian menunjukkan bahwa 25% pasien akan menggunakan obat dengan cara yang dapat membahayakan kesehatan pasien, ketidakpatuhan dapat memperlama masa sakit atau meningkatkan keparahan penyakit. Tinjauan literatur memperlihatkan bahwa 11% pasien masuk rumah sakit akibat ketidakpatuhan terhadap terapi obat (Aslam, Tan dan Prayitno, 2003).


(19)

Di Indonesia peran apoteker sendiri belum berjalan maksimal. Berdasarkan survey yang dilaksanakan olehIndonesia Consumers Foundation (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, YLKI) pada bulan Agustus 2005, sebagian besar staf apotek di daerah Jakarta tidak tahu banyak tentang obat-obatan resep dan tidak tersedia untuk konsultasi professional. Sebagian besar apoteker yang berkompetensi tidak hadir pada lokasi bisnis dan sering membolehkan staf yang kurang berpengalaman bekerja di apotek. Dari 32 apotek yang diperiksa oleh YLKI, hanya 11 apoteker hadir pada saat kunjungan para peneliti. Dari seluruh peserta yang hadir, hanya 7 dapat menjelaskan secara baik kepada para pasien tentang obat-obatan yang diresepkan dokter (The Jakarta Post, 24 May 2006 dikutip dari James dan Spillance, 2010). Di Bali Tingkat kehadiran apoteker di apotek masih sangat rendah. Dari total 111 apotek di wilayah Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar Barat, Kuta Utara, dan Kuta Selatan, hanya 24 apotek (26,64%) yang terdapat tenaga ahli apoteker pada saat dilakukannya survey (Rai, et al., 2011). Hasil penelitian yang dilakukan Kwando Rendy R. (2014), menyatakan persentase kehadiran apoteker di apotek Surabaya Timur adalah 63,33% sedangkan rata-rata presentase pelayanan kefarmasian yang terjadi di apotek adalah 42,05% (Kwando, 2014). Di Medan, dalam penelitiannya Adelina (2009), melaporkan bahwa pada 85,82% pelayanan pasien dilakukan oleh asisten apoteker dan standar pelayanan kefarmasian di apotek masih dalam kategori kurang dengan presentase sebesar 42,74% (Adelina, 2009).

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai peran apoteker terhadap pelayanan konseling di kota Medan dengan menggunakan empat jenis resep yang diperoleh dari dokter. Pelayanan konseling yang dilakukan oleh apoteker dilihat dari apoteker yang bersedia melakukan pelayanan konseling, tahapan konseling yang dilakukan, isi konseling yang disampaikan, dan kualitas isi konseling yang disampaikan oleh apoteker.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diketahui adanya perbedaan antara peraturan yang berlaku dan kenyataan yang terjadi terkait dengan peran


(20)

apoteker. Untuk itu perlu dilakukan survey yang menggambarkan peran apoteker dalam pelayanan konseling di seluruh penjuru Indonesia salah satunya adalah di apotek wilayah kota Medan dengan membandingkan peran apoteker berdasarkan peraturan menteri kesehatan dengan peran apoteker di lapangan.

1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelayanan konseling di apotek wilayah kota Medan.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui frekuensi kehadiran apoteker di apotek wilayah kota Medan.

b. Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan pelayanan konseling, pelaksanaan tahapan konseling, penyampaian isi konseling, dan kualitas isi konseling di apotek wilayah kota Medan.

1.3 Manfaat Penelitian 1.3.1 Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan serta wawasan tentang peran apoteker dan pentingnya pelaksanaan peran apoteker terutama dalam segi konseling.

1.3.2 Secara Metodologi

Metode penelitian ini dapat menjadi referensi untuk diaplikasikan pada penelitian farmasi klinis sejenis.

1.3.3 Secara Aplikatif

a. Memberikan informasi tentang gambaran peran apoteker di apotek wilayah kota Medan.

b. Memberikan informasi tentang pelaksanaan pelayanan konseling di apotek wilayah kota Medan.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Profesi kefarmasian

Secara historis, perubahan-perubahan dalam profesi kefarmasiaan dapat dibagi dalam 4 tahap (Ross W. Holland dan Christine M. Nimmo, 1999):

1. Tahap 1 : Tugas utama farmasi adalah memproduksi. Pada tahap ini farmasi muncul sebagai industri rumahan yang melayani masyarakat. Apoteker membuat obat patennya sendiri dengan resep yang dibuat sendiri, kemudian dijual dari apotek mereka sendiri. Pasien akan datang ke apoteker untuk membeli obat dan meminta bimbingan dalam pemilihan dan penggunaan obat yang akan digunakan. Apotek pada periode ini setara dengan industri farmasi saat ini dan pada saat itu, farmasi memiliki nilai sosial yang jelas.

2. Tahap 2 : Pada periode ini muncul farmasi industri manufaktur dan pada saat yang sama pembuatan resep obat oleh dokter sedang meningkat, sehingga pekerjaan utama apoteker berhenti dalam memproduksi obat dan berpindah ke peracikan obat yang telah diproduksi dari industri yang disesuaikan dengan resep. Pada tahap ini pasien masih datang ke apotek untuk mendapatkan obat dan bimbingan dalam penggunaan obat. Peran apoteker masih memiliki nilai sosial yang jelas.

3. Tahap 3 : Pada tahap ini tugas utama apoteker mengalami penyimpangan. Banyaknya jumlah produk obat yang semakin meningkat membuat fokus utama peran apoteker menjadi ke produk obat dan peran pada pasien menjadi memudar. Hal tersebut juga di dorong oleh adanya Kode Etik Asosiasi Farmasi Amerika (American Pharmaceutical Association/AphA Code of Ethics) mulai tahun 1922-1969 farmasis dilarang untuk mendiskusikan efek terapi atau komposisi resep dengan pasien.


(22)

(23)

2.3 Peran Apoteker

2.3.1 Peran Apoteker Menurut WHO

Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh ketrampilan dan sikap untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda-beda. Konsep the seven-star pharmacist diperkenalkan oleh WHO dan diambil oleh FIP pada tahun 2000 sebagai kebijaksanaan tentang praktek pendidikan farmasi yang baik (Good Pharmacy Education Practice ) (Daris, 2006). Adapun peran farmasis yang di gariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “ seven stars pharmacist” meliputi (Firmansyah, 2009):

1. Pemberi Pelayanan

Dalam memberikan pelayanan mereka harus memandang pekerjaan mereka sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem pelayanan kesehatan dan profesi lainnya. Pelayanannya harus dengan mutu yang tinggi.

2. Pembuat Keputusan

Penggunaan sumber daya yang tepat , bermanfaat , aman dan tepat guna seperti SDM, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus merupakan dasar kerja dari apoteker. Pada tingkat lokal dan nasional apoteker memainkan peran dalam penyusunan kebijaksanaan obat-obatan. Pencapaian tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, menyintesa informasi dan data serta memutuskan kegiatan yang paling tepat.

3. Komunikator

Apoteker adalah merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter dan pasien untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada masyarakat. Dia harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri dalam berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal (langsung), non verbal, mendengarkan, dan kemampuan menulis.

4. Manajer

Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik dan keuangan), dan informasi secara efektif. Mereka juga harus senang dipimpin oleh orang


(24)

lainnya, apakah pegawai atau pimpinan tim kesehatan. Lebih-lebih lagi teknologi informasi akan merupakan tantangan ketika apoteker melaksanakan tanggung jawab yang lebih besar untuk bertukar informasi tentang obat dan produk yang berhubungan dengan obat serta kualitasnya.

5. Pembelajar jangka panjang

Tidak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi dan masih dibutuhkan pengalaman seorang apoteker dalam karir yang lama. Konsep-konsep, prinsip-prinsip, komitmen untuk pembelajaran jangka panjang harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan ketrampilan merekatetap up to date.

6. Pengajar

Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat. Sumbangan sebagai guru tidak hanya membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga memberi peluang pada praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan ketrampilan yang telah dimilikinya.

7. Pemimpin

Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi pelayanan kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalan semua hal yang menyangkut kesejahteraan pasien dan masyarakat. Kepemimpinan apoteker melibatkan rasa empati dan kemampuan membuat keputusan , berkomunikasi dan memimpin secara efektif. Seseorang apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.

2.3.2 Peran Apoteker Menurut Peraturan yang Berlaku Di Indonesia

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014, dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang Apoteker harus menjalankan peran yaitu :


(25)

1. Pemberi layanan

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan.

2. Pengambil keputusan

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. 3. Komunikator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien.Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

4. Pemimpin

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Pengelola

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan halhal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Pembelajar seumur hidup

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampillan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development /CPD)

7. Peneliti

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasiaan.


(26)

2.4 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2014). Apotek memiliki tugas dan fungsi sebagai :

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan

b. Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.

2.4.1 Pelayanan kefarmasian di apotek

Pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik.Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana (Menkes RI, 2014).

2.4.1.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehaatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan (Menkes RI, 2014).

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

b. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


(27)

c. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

d. Penyimpanan

1) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomorbatchdan tanggal kadaluwarsa.

2) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

3) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

4) Pengeluaran obat memakai system FEFO (First expire first out) dan FIFO (First In First Out).

e. Pemusnahan

1) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota.

Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan formulir satu sebagaimana terlampir. 2) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat

dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep


(28)

menggunakan formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

f. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

g. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika (menggunakan formulir 3 sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya.

2.4.1.2 Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud


(29)

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien(Menkes RI, 2014). Pelayanan farmasi klinik meliputi:

1. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

a. Kajian administratif meliputi:

1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan

2) Nama Dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf.

3) Tanggal penulisan resep

b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: 1) Bentuk dan kekuatan sediaan 2) Stabilitas

3) Kompatibilitas (ketercampuran obat) c. Pertimbangan klinis meliputi:

1) Ketepatan indikasi dan dosis obat 2) Aturan, cara dan lama penggunaan obat 3) Duplikasi dan/atau polifarmasi

4) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain)

5) Kontra indikasi dan interaksi

6) Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

2. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pelayanan informasi obat. Apoteker menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep, melakukan peracikan obat bila diperlukan, memberikan etiket, memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah. Apoteker di


(30)

Apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai (Menkes RI, 2014).

3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pelayanan informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat.Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pelayanan, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di Apotek meliputi:

a. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.

b. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan).

c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.

d. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi.

e. melakukan penelitian penggunaan obat.

f. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah. g. melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan formulir sesuai format yang telah ditetapkan (Menkes RI, 2014).


(31)

4. Konseling (dijelaskan lebih lanjut pada sub bab konseling) 5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi:

a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan.

b. Identifikasi kepatuhan pasien.

Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.

c. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.

d. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.

e. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes RI, 2014).

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:

a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui. b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.

c. Adanya multidiagnosis.

d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati. e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.

f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan.


(32)

a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.

c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pelayanan obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.

d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi. e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana

pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat dengan menggunakan formulir yang telah ditetapkan (Menkes RI, 2014).

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan:

a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat.

b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.


(33)

Faktor yang perlu diperhatikan:

a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (Menkes RI, 2014).

2.5 Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakanthree prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling(Menkes RI, 2014):

a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).

b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).

c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengantappering down/off).

d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).

e. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pelayanan lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Tahap kegiatan konseling:

a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions,yaitu:


(34)

1) Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?

2) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda? 3) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah

Anda menerima terapi obat tersebut?

c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.

d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat.

e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan formulir sesuai ketetapan peraturan.

Langkah-langkah dalam proses pendidikan dan konseling pasien akan bervariasi sesuai dengan kebijakan sistem kesehatan dan prosedur, lingkungan, dan pengaturan praktek. Umumnya, langkah-langkah berikut yang sesuai untuk pasien yang menerima obat baru atau yang kembali untuk kopi resep (ASHP,1997).

a. Jalin hubungan penuh perhatian dengan pasien. Perkenalkan diri Anda sebagai seorang apoteker, menjelaskan tujuan yang diharapkan dari sesi, dan mendapatkan persetujuan pasien untuk berpartisipasi. Tentukan bahasa lisan utama pasien.

b. Menilai pengetahuan pasien tentang masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan obat-obatan, fisik dan kemampuan mental untuk menggunakan obat secara tepat, dan sikap terhadap masalah kesehatan dan obat-obatan. Ajukan pertanyaan terbuka tentang tujuan setiap obat dan meminta pasien untuk menggambarkan atau menunjukkan bagaimana ia akan menggunakan obat. Pasien dengan kopi resep harus diminta untuk menjelaskan atau menunjukkan bagaimana mereka telah menggunakan obat-obatan mereka. Mereka juga harus diminta untuk menggambarkan masalah, keprihatinan, atau ketidak pastian yang mereka alami dengan obat mereka.


(35)

c. Memberikan informasi secara lisan dan menggunakan alat bantu visual atau demonstrasi untuk mengisi kesenjangan pasien dalam pengetahuan dan pemahaman. Buka wadah obat pasien untuk menunjukkan warna, ukuran, bentuk, dan tanda-tanda pada tablet oral. Untuk cairan oral dan suntikan, tunjukkan pasien tanda dosis pada alat ukur. Menunjukkan perakitan dan penggunaan perangkat administrasi seperti inhaler hidung dan oral. Sebagai pelengkap untuk komunikasi lisan tatap muka, sediakan handout untuk membantu pasien mengingat informasi tertulis. Jika pasien mengalami masalah dengan obat-nya, kumpulkan data yang sesuai dan nilai masalahnya. Kemudian menyesuaikan rejimen farmakoterapi yang sesuai dengan protokol atau resep.

d. Verifikasi pengetahuan dan pemahaman pasien tentang penggunaan obat-obatan. Mintalah pasien untuk menggambarkan atau menunjukkan bagaimana mereka akan menggunakan obat-obatan dan mengidentifikasi efek obatnya. Amati kemampuan penggunaan obat pasien dan ketelitian dan sikap pasien terhadap kepatuhan mengikuti rejimen farmakoterapi dan pemantauan rencana.

Poin ini berlaku untuk obat yang diresepkan dan obat yang tidak diresepkan. Apoteker harus member nasihat kepada pasien dalam pemilihan yang tepat dari obat yang tidak diresepkan (ASHP,1997).

Isi tambahan mungkin tepat ketika apoteker memiliki wewenang tanggung jawab dalam pengelolaan penyakit kolaboratif untuk kategori pasien tertentu. Tergantung pada manajemen penyakit atau rencana perawatan klinis pasien, berikut dapat meliputi:

a. Keadaan penyakit: apakah akut atau kronis dan yang pencegahan, penularan, perkembangan, dan kekambuhan.

b. Efek diperkirakan dari penyakit pada kehidupan sehari-hari pasien yang normal


(36)

Apoteker harus mendokumentasikan pendidikan dan konseling pada catatan medis tetap pasien sesuai dengan rencana perawatan pasien, kebijakan dan prosedur sistem kesehatan, dan undang-undang negara bagian dan federal yang berlaku. Ketika apoteker tidak memiliki akses kecatatan medis pasien, pendidikan dan konseling dapat didokumentasikan dalam profil pasiendi apotek itu, pada formulir pesanan obat atau resep, atau catatan konseling yang dirancang khusus (ASHP,1997).

Apoteker harus mencatat konseling yang ditawarkan, diterima, disediakan, atau ditolak dantingkat persepsi apoteker terhadap pemahaman pasien. Sebagaimana mestinya, isi harus didokumentasikan (misalnya, penyuluhan tentang interaksi obat-makanan). Semua dokumentasi harus dijaga untuk menghormati kerahasiaan dan privasi pasien dan untuk mematuhi hukum negara bagian dan federal yang berlaku (ASHP,1997).

2.6 Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Hipertensi, kenaikan tekanan darah diastolik atau sistolik, ditemukan dalam dua tipe: hipertensi esensial (Primer), yang paling sering terjadi, dan hipertensi sekunder, yang disebabkan oleh penyakit renal atau penyebab lain yang dapat diidentifikasi. Hipertensi malignan adalah bentuk hipertensi yang berat, fulminan, dan sering dijumpai pada kedua tipe hipertensi tersebut. Hipertensi merupakan penyebab utama stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal (Kowalak Jennifer P, 2011).

Hipertensi esensial biasanya dimulai secara berangsur-angsur tanpa keluhan dan gejala sebagai penyakit benigna yang secara perlahan-lahan berlanjut menjadi keadaan yang malignan. Jika tidak diobati, kasus-kasus yang ringan sekalipun dapat menimbulkan komplikasi berat dan kematian. Penanganan hipertensi yang dikelola dengan cermat, yang meliputi modifikasi gaya hidup serta pemakaian obat-obatan akan mempengaruhi prognosis. Apabila tidak ditangani, hipertensi memiliki angka mortalitas yang tinggi. Kenaikan tekanan darah yang berat (krisis hipertensi) dapat berakibat kematian (Kowalak Jennifer P, 2011).


(37)

Kurang dari 10% penderita hipertansi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau pbat-obatan tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkana hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

The Seventh Joint National Committeemengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa seperti yang tertera pada tabel 2.1 (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009)

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120–139 atau 80 -89

Tahap 1 hipertensi 140–159 atau 90–99

Tahap 2 hipertensi ≥160 atau ≥ 100

Dalam sebuah survey yang dilakukan pada tahun 2000, hipertensi didapatkan pada 28% populasi dewasa di Amerika. Berdasarkan studi Framingham mengenai tekanan darah di kalangan paruh baya dan lanjut usia, sekitar 90% individu ras caucasia di Amerika akan mengalami hipertensi pada masa hidupnya. Prevalensi hipertensi tersebut bervariasi dengan umur, ras, pendidikan, dan banyak variabel lainnya (Katzung Bertram G, 2010).

2.6.1 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi. Mortalitas dan morbiditas ini berrhubungan dengan kerusakan organ target. Misal:kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal. Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan pengurangan resiko (Depkes RI, 2006).


(38)

The Eight Joint National Committee memberikan 9 rekomendasi terbaru terkait dengan target tekanan darah dan golongan obat hipertensi yang direkomendasikan. Rekomendasi yang diusulkan adalah sebagai berikut (JNC, 2013): Rekomendasi 1

Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistolik ≥ 150 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 150 mmHg dan diastolik menjadi < 90 mmHg. (Rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A).

Pada populasi umum yang berumur ≥ 60 tahun, bila terapi farmakologi menghasilkan penurunan tekanan darah sitolik yang lebih rendah dari target (misalnya < 140 mmHg) dan pasien dapat mentoleransi dengan baik, tanpa efek samping terhadap kesehatan dan kualitas hidup, maka terapi tersebut tidak perlu disesuaikan lagi (Opini ahli, tingkat rekomendasi E).

Rekomendasi 2

Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah diastoliknya≥ 90 mmHg. Target penurunan tekanan darahnya adalah < 90 mmHg. (Untuk umur 30 – 59 tahun, rekomendasi kuat, tingkat rekomendasi A) (Untuk umur 18–29 tahun, opini ahli, tingkat rekomendasi E).

Rekomendasi 3

Pada populasi umum berumur < 60 tahun, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg (Opini ahli, rekomendasi E).

Rekomendasi 4

Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita penyakit ginjal kronik, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E).


(39)

Rekomendasi 5

Pada populasi berumur ≥ 18 tahun yang menderita diabetes, terapi farmakologi dimulai ketika tekanan darah sistoliknya≥ 140 mmHg atau diatoliknya ≥ 90 mmHg. Target terapi adalah menurunkan tekanan darah sistolik menjadi < 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Opini ahli, tingkat rekomendasi E)

Rekomendasi 6

Pada populasi umum yang bukan ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, atau penghambat reseptor angiotensin. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).

Rekomendasi 7

Pada populasi umum ras berkulit hitam, termasuk yang menderita diabetes, terapi antihipertensi awal hendaknya termasuk diuretika tipe tiazida atau penghambat saluran kalsium. (Untuk populasi kulit hitam secara umum: rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B) (Untuk ras kulit hitam dengan diabetes: rekomendasi lemah, tingkat rekomendasi C)

Rekomendasi 8

Pada populasi berumur ≥ tahun dengan penyakit ginjal kronik, terapi antihipertensi awal atau tambahan hendaknya temasuk penghambat enzim ACE atau penghambat reseptor angiotensin untuk memperbaiki fungsi ginjal. Hal ini berlaku bagi semua pasien penderita penyakit ginjal kronik tanpa melihat ras atau status diabetes. (Rekomendasi sedang, tingkat rekomendasi B).

Rekomendasi 9

Tujuan utama tatalaksana hipertensi adalah untuk mencapai dan menjaga target tekanan darah. Bila target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu sebulan terapi, naikkan dosis obat awal atau tambahkan obat kedua dari kelompok obat hipertensi pada rekomendasi 6 (diuretika tipe tiazida, penghambat saluran kalsium, penghambat enzim ACE, dan penghambat reseptor angiotensin). Penilaian terhadap tekanan darah hendaknya tetap dilakukan, sesuaikan regimen terapi sampai target tekanan darah tercapai. Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan terapi oleh 2


(40)

jenis obat, tambahkan obat ketiga dari kelompok obat yang tersedia. Jangan menggunakan obat golongan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin bersama-sama pada satu pasien.

Bila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat antihipertensi yang tersedia pada rekomendasi 6 oleh karena kontra indikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 macam obat, maka obat antihipertensi dari kelompok yang lain dapat digunakan. Pertimbangkan untuk merujuk pasien ke spesialis hipertensi. 2.6.2 Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian

Penyusunan rencana pelayanan kefarmasian dapat berupa (Depkes RI, 2006):

1. Menentukan tujuan terapi

Untuk penyakit hipertensi tujuan terapi adalah

a. Mencegah atau memperlambat komplikasi dari hipertensi dengan membantu pasien mematuhi regimen obatnya untuk memelihara tekanan darah < 140/90 mmHg atau < 130/80 mmHg untuk pasien hipertensi dengan diabetes dan gangguan ginjal.

b. Pasein mengerti pentingnyaadherencedengan terapi obatnya 2. Mengidentifikasi kondisi medis yang memerlukan terapi obat 3. Memecahkan masalah terapi obat : tujuan, alternatif, dan intervensi 4. Mencegah masalah terapi obat

Dalam rencana pelayanan kefarmasian, apoteker memberikan saran tentang pemilihan obat, penggantian atau obat alternatif, perubahan dosis, regimen obat (jadwal, rute, dan lama pemberian).

Rekomendasi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien dengan Hipertensi (Depkes RI, 2006):

1. Sarankan terapi antihipertensi untuk pasien-pasien pada klasifikasi tahap 1 hipertensi (TDS 140-159 mmHg) dan tahap 2 hipertensi (TDS≥ 160mmHg)


(41)

2. Sangat disarankan terapi antihipertensi pada pasien-pasien dengan kerusakan target organ atau dengan faktor resiko kardiovaskular lainnya bila TDS > 140 mmHg atau TDD≥ 90 mmHg.

3. Bila appropriate, sarankan pilihan awal untuk terapi antihipertensi. Pilihan awal untuk dewasa tanpa indikasi khusus:

a. Diuretik golongan tiazid (untuk kebanyakan pasien) b. Penghambat beta

c. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), d. Antagonis kalsium (long-acting)

e. Penyekat reseptor angiotensin

f. Rekomendasikan terapi kombinasi apabila cuma ada respon parsial dengan standar dosis monoterapi. Kombinasi yang efektif melibatkan diuretik tiazid atau antagonis kalsium dengan ACEI, ARB atau penyekat beta.

g. Untukisolated systolic hypertensionpada pasien-pasien dengan TDS>160 mmHg terapi awal dengan diuretik tiazid

4. Sarankan terapi dislipidemi dengan statin untuk semua pasien dengan hipertensi dan 3 atau lebih faktor resiko kardiovaskular, atau pada pasien dengan penyakit aterosklerosis atau penyakit arteri perifer.

5. Skrining semua pasien hipertensi untuk interaksi obat yang bermakna (dengan obat, nutrien, dll).

2.6.3 Peran dan Peluang Apoteker

Selain melakukan asuhan kefarmasian seperti yang diuraikan diatas, dalam membantu penatalaksanaan hipertensi selain berinteraksi dengan pasien, apoteker berinteraksi dengan profesi kesehatan lainnya terutama dokter. Apoteker dapat menjadi perantara antara pasien dan dokter. Kebanyakan pasien terutama kalau sudah kenal baik dengan apotekernya selalu membeli obat di apotik yang sama. Selain dokter, apoteker adalah anggota tim kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi tentang semua obat yang di konsumsi pasien. Seringnya dokter tidak


(42)

menyadari terapi atau obat-obat lain yang diresepkan oleh dokter lain kepada pasien. Dokter dan Apoteker dapat bekerja sama sehingga target yang diinginkan dokter tercapai (Depkes RI, 2006).

Apoteker dapat membantu dokter dalam (Depkes RI, 2006): 1. memberi edukasi ke pasien mengenai hipertensi,

2. memonitor respon pasien di farmasi komunitas

3. menyokong adherence terhadap terapi obat dan non-obat 4. mendeteksi dan mengurangi reaksi efek samping, dan 5. merujuk pasien ke dokter bila diperlukan.

Mendiskusikan dengan pasien keuntungan terapi hipertensi sama pentingnya dengan mendiskusikan mengenai efek sampingnya. Apabila pasien mengerti keuntungan yang potensial dari penggunaan obat untuk hipertensi, pasien akan lebih cendrung untuk mematuhi terapinya. Sewaktu diskusi untuk efek samping obat, Apoteker harus membicarakan bagaimana mencegah atau menangani efek-efek samping bila muncul agar pasien tetap meneruskan terapi obatnya (Depkes RI, 2006).

Beberapa studi di Amerika telah menunjukkan kalau Apoteker yang bekerja di klinik hipertensi atau dengan kolaborasi dengan dokter sanggup memperbaiki penanganan pasien dengan hipertensi. Terapi nonfarmakologi memerlukan perhatian yang cukup besar oleh profesi kesehatan agar berhasil. Terapi nonfarmakologi memerlukan perubahan sikap, dorongan dan nasihat yang terus menerus. Dengan membantu pasien bagaimana melibatkan perubahan/modifikasi kedalam gaya hidupnya dapat membantu pasien mencapai tujuan ini. Misalnya Apoteker dapat mendiskusikan mengenai olahraga, menurunkan berat badan, dan berhenti merokok (Depkes RI, 2006).

2.7 Asma

Asma (bronkial) merupakan gangguan inflamasi pada jalan napas yang ditandai oleh obstruksi aliran udara napas dan respons jalan napas yang berlebihan terhadap berbagai bentuk rangsangan. Obstruksi jalan napas yang menyebar luas tetapi bervariasi ini disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa jalan napas dan


(43)

peningkatan produksi mukus (lendir) disertai penyumbatan (plugging) serta remodeling jalan napas. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk penyakit paru obstruktif menahun (PPOM), yaitu penyakit paru jangka panjang yang ditandai peningkatan resistensi jalan napas; bentuk lain PPOM meliputi bronchitis dan emfisema (Kowalak Jennifer P, 2011).

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009).

Tabel 2.2 Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit

No Derajat Asma Gejala Fungsi Paru

1 Intermiten Siang hari≤ 2 kali per minggu Malam hari≤ kali per bulan Serangan singkat

Tidak ada gejala antar serangan Intensitas serangan bervariasi

Variabilitas APE < 20% VEP1 ≥ 80% nilai prediksi

APE ≥ 80% nilai terbaik

2 Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu Tetapi < 1 kali per hari

Malam hari > 2 kali per bulan

Serangan dapat mempengaruhi aktivitas

Variabilitas APE 20%-30%

VEP1 ≥ 80% nilai prediksi

APE≥ 80% nilai terbaik 3 Persisten Sedang Siang hari ada gejala

Malam hari > kali per minggu Serangan mempengaruhi aktivitas Serangan≥ 2 kali perminggu Serangan berlangsung berhari-hari Sehari-hari menggunakan β2-agonis aksi pendek

Variabilitas APE > 30% VEP1 60%-80% nilai prediksi

APE 60%-80% nilai terbaik

4 Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala Setiap malam hari sering

Timbul gejala

Aktivitas fisik terbatas Sering timbul serangan

Variabilitas APE >30% VEP1 ≤ 60% nilai prediksi

APE≤ 60% nilai terbaik

Sumber : Sukandar Elin Yulinahet al, 2009

APE : arus puncak ekspirasi


(44)

2.7.1 Penatalaksanaan Asma

Pada tabel 2.4 ditampilkan rekomendasi NAEPP untuk penanganan asma kronik (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009).

Tabel 2.3 Pendekatan Bertahap Untuk Penanganan Asma pada Orang Dewasa dan Anak di Atas 5 Tahun

Derajat Asma Pengobatan yang Diperlukan Untuk Kontrol Jangka Panjang Persisten berat Pengobatan utama

- Dosis tinggi inhalasi kortikosteroid

- Inhalasa β2 agonis kerja panjang, dan jika dibutuhkan

- Kortikosteroid ablet atau sirup (2 mg/kg/hari, tidak boleh melebihi 60 mg/hari)

Pemakaian berulang dapat mereduksi kortikosteroid sistemik dan untuk pemeliharaan gunakan kortikosteroid dosis tinggi

Persisten sedang Pengobatan utama

Dosis rendah menengah inhalasi kortikosteroid dan inhalasi β2 agonis kerja panjang

Alternatif pengobatan

- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang, atau - Dosis rendah sampai tinggi inhalasi kortikosteroid dan salah satu

modifikasi leukotrien atau teofilin

Jika dibutuhkan khususnya pada pasien dengan eksaserbasi parah) Pengobatan utama

- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang dan ditambahkan inhalasi β2 agonis kerja panjang

Alternatif pengobatan

- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang dan ditambahkan salah satu modifikasileukotrien atau teofilin

Persisten Ringan Pengobatan utama

Dosis rendah inhalasi kortikosteroid Alternatif pengobatan

Koromolin, leukotrien, nedocromil, atau sustained release teofilin dengan konsentrasi serum 5-15 mcg/ml

Intermiten - Tidak dibutuhkan pengobatan harian

- Eksaserbasi akan terjadi dalam waktu lama dengan fungsi paru normal dan tidak ada gejala. Direkomendasikan kortikosteroid sistemik.

Penangan cepat semua pasien

1. Bronkodilator kerja pendek: inhalasi β2 agonis kerja pendek 2-4 hirupan digunakan pada yang masih gejala

2. Intensitas pengobatan akan tergantung pada kerasnya eksaserbasi:mulai pengobatan pada interval 20 menit atau menggunakan nebulizer tunggal, jika diperlukan.


(45)

2.7.2 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Asma

Pengobatan asma merupakan long term medication, oleh karena itu kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker dalam penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait obat yang dapat timbul pada tahapan berikut (Depkes RI, 2006):

2.7.2.1 Rencana Pengobatan(Care Plan)

Dalam tim terpadu, peran apoteker adalah memberikan rekomendasi dalam pemilihan obat yang tepat berdasarkan kondisi pasien yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil diagnosa dokter.

2.7.2.2 Implementasi Pengobatan

a. Menyediakan obat (drug supply management) b. Pemberian informasi dan edukasi

Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti dan memahami rejimen pengobatan yang diberikan sehingga pasien dapat lebih berperan aktif dalam pengobatannya yang dapat meningkatkan kepatuhan mereka dalam menggunakan obat.

c. Konseling

Untuk penderita yang mendapat resep dokter dapat diberikan konseling secara lebih terstruktur dengan Tiga Pertanyaan Utama (Three Prime Questions) sebagai berikut :

1) Apa yang dikatakan dokter tentang peruntukan/kegunaan pengobatan anda?

2) Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?

3) Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda? Pemakaian pertanyaan Three Prime Questions yang diberikan saat konseling dimaksudkan agar :

1) Membantu pasien rawat inap, rawat jalan dan yang akan keluar dari rumah sakit untuk memahami rencana pengobatan asma


(46)

2) Tidak terjadi tumpang tindih informasi, perbedaan informasi dan melengkapi informasi yang belum diberikan dokter, sesuai kebutuhan 3) Menggali fenomena puncak gunung es dengan memakai

pertanyaan-pertanyaan terbuka(open ended questions) 4) Menghemat waktu

2.7.2.3 Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan pasien(medication record).

2.8 Diabetes

Diabetes adalah salah satu penyakit tidak menular yang menjadi prioritas ke empat penyakit yang diidentifikasi oleh WHO bersama dengan penyakit cardiovascular disease (CVD), yang mencakup serangan jantung, stroke, kanker dan penyakit pernapasan kronis. Diabetes melitus merupakan penyakit yang sering diderita oleh sebagian besar orang di dunia, bersifat kronis dan pembiayaannya mahal. Penyakit diabetes ini ditandai dengan hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah), akibat kurangnya insulin yang dihasilkan dalam tubuh karena kerusakan pankreas (diabetes tipe 1) atau akibat resistensi insulin (diabetes tipe 2) (International Diabetes Federation, 2011).

Tabel 2.4 Diagnosis DM dari ACCP/ADA 2013 Gula darah

terkontrol Prediabetes

Diabetes Melitus (DM) GDP (Glukosa Darah

Puasa) < 100 mg/dL

100 - 125

mg/dL 126mg/dL

Kadar glukosa 2 jam

setelah makan < 140 mg/dL

140 - 199

mg/dL 200mg/dL

GDS (Glukosa Darah Sewaktu)

200mg/dL + gejala

Hemoglobin A1c < 5.7 % 5,7-6,4% 6,5%


(47)

2.8.1 Penatalaksanaan Diabetes

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu (Azrifitria dan Silma Awalia, 2013):

a. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal.

b. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. The American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Tabel 2.5 Penatalaksanaan Diabetes Parameter Glikemik

GDP 70-130 mg/dL

Kadar glukosa 2 jam setelah makan <180 mg/dL

Hemoglobin A1c < 7%

Parameter Non Glikemik

Tekanan Darah < 130/80 mmHg

LDL

< 100 mg/dL

< 70 mg/dL (dengan penyakit kardiovaskular)

HDL > 40 mg/dL (Pria)

> 50 mg/dL (Wanita)

Trigliserida < 150 mg/dL

Sumber: Farmakoterapi Diabetes, 2013

Terapi non farmakologi seperti pengaturan pola hidup sangat penting dilakukan kepada pasien diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 untuk mengontrol konsentrasi glukosa darah agar tetap normal (Sweetman.S., 2009). Pengontrolan pola makan terutama dilakukan dengan menjaga asupan karbohidrat dan lemak (Wells Barbara G., 2009). Pengaturan pola makan ini pada intinya adalah dengan menerapkan pola konsumsi yang sehat dan kadungan gizi yang seimbang (Sweetman.S., 2009). Pola latihan fisik seperti aerobik juga sangat direkomendasikan. Latihan fisik ini diperlukan karena dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat,


(48)

meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan meningkatkan fungsi kardiovaskular (Sweetman.S., 2009).

Bila dalam 3 bulan pemberian terapi non farmakologi tidak menunjukkan perubahan pada pasien diabetes melitus maka penambahan terapi farmakologi berupa pemberian obat antidiabetes oral bisa dilakukan. Terdapat dua golongan utama obat antidiabetes oral yang bisa diberikan yaitu kelas sulfonilurea dan kelas biguanid (Sweetman.S, 2009).

Umumnya pengobatan awal untuk penyakit diabetes ini adalah kombinasi dari perubahan gaya hidup lebih sehat dengan penggunaan obat metformin (Maric Andreja, 2010). Metformin ini menimbulkan efek hipoglikemia yang rendah namun mudah menyebabkan terjadinya laktat asidosis pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal (Sweetman.S., 2009). Metformin menurunkan glukosa darah dengan cara menghambat produksi glukosa hepatik dan menurunkan resistensi terhadap insulin. Penggunaan metformin secara tunggal, mampu menurunkan HbA1c sampai 1,5% (Maric Andreja. 2010).

Dosis awal metformin 500 mg adalah dua atau tiga kali per hari atau 850 mg satu atau dua kali perhari setelah makan (Sweetman.S., 2009). Metformin digunakan saat sedang makan untuk mengurangi efek samping yang berhubungan dengan pencernaan (McEvoy, 2002). Metformin ini mampu mengalami interaksi bila digabungkan dengan obat lain, contohnya simetidin. Penggunaan simetidin dan metformin secara bersamaan bisa menyebabkan penurunan ekskresi metformin oleh ginjal sehingga bisa menyebabkan lactic acidosis. Maka bila kedua obat ini harus di gunakan dalam waktu yang sama atau berdekatan maka turunkan dosis metformin untuk mencegah interaksi tersebut (Baxter Karen, 2008).

2.8.2 Peran Apoteker dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Kontribusi apoteker ini pada intinya adalah penatalaksanaan penyakit, berarti mencakup terapi obat dan non-obat (Depkes RI, 2005):


(49)

Apoteker dapat mengidentifikasi pasien-pasien yang tidak menyadari kalau mereka menderita diabetes. Identifikasi mentargetkan pasien-pasien dengan resiko tinggi, termasuk pasien obesitas, pasien > 40 tahun, pasien dengan tekanan darah tinggi atau dislipidemia, pasien dengan sejarah keluarga diabetes, dan pasien yang mempunyai sejarah gestasional diabetes atau melahirkan anak dengan berat badan > 4,5 kg.

b. Merujuk pasien

Salah satu peran apoteker yang tidak kalah penting adalah merujuk pasien kepada tim perawatan diabetes lainnya seperti bagian gizi, poliklinik mata, pediatris, gigi dan lainnya bila diperlukan. Depresi juga sering dijumpai pada pasien diabetes, sehingga dapat dirujuk ke bagian penyakit jiwa bila diperlukan.

c. Memantau Penatalaksanaan diabetes

Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi. Apoteker harus mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker juga harus memantau tingkat kenormalan:

1. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg) 2. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)

3. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung

4. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun) 5. Vaksinasi influenza dan pneumokokal

Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi pencegahan komplikasi yang bisa memperburuk penyakit.


(50)

d. Menjaga dan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal terapi Ada 6 langkah yang dapat dilakukan:

1) Libatkan pasien, ciptakan suasana dimana pasien menjadi peduli dan bersedia untuk membantu menangani masalah yang berhubungan dengan obat.

2) Spesifik, dapatkan rincian spesifik bila pasien mendiskusikan masalah obatnya.

3) Identifikasi hambatan utama yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obatnya.

4) Simpulkan masalah pasien.

5) Memecahkan masalah dengan memberi saran pada pasien seperti berikut :

a) Meminum obat sesuai dengan yang diresepkan

b) Untuk mendapatkan hasil optimal, jadwal meminum obat harus dipatuhi

c) Bila anda masalah dengan efek samping yang dialami, kekhawatiran biaya obat sehingga mengharapkan obat alternatif lain yang lebih murah maka harus dibicarakan pada dokter.

d) Bila regimen obat terlalu susah, menjadi beban, atau membingungkan tanyakan ke dokter atau Apoteker.

e) Jumlah obat yang anda minum bukanlah pertanda betapa sehat atau tidak sehatnya anda. Lebih baik anda diskusi dengan Dokter atau Apoteker tentang target pengobatan seharusnya (misalnya target kadar gula, tekanan darah, kadar kolesetrol dsb).

f) Bila anda merasa depresi atau tertekan dengan ruwetnya penanganan diabetes anda, bicarakan dengan dokter atau apoteker. 6) Akhiri pertemuan, tanyakan langkah apa yang akan dilakukan pasien

setelah diskusi dengan apoteker.


(51)

Mencegah dan mengatasi komplikasi diabetes adalah salah satu hal penting dalam pengelolaan diabetes. Informasi mengenai komplikasi yang mungkin muncul menyertai diabetes sangat penting disampaikan kepada penderita dan keluarganya agar dapat melakukan antisipasi seperlunya.

f. Menjawab pertanyaan penderita dan keluarga mengenai DM

Biasanya pertanyaan berkisar tentang penyebab penyakit dan gejala-gejala yang harus diwaspadai, pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan, hal-hal apa yang harus dihindari untuk mencegah atau memperlambat perkembangan penyakit, tentang terapi obat dan efek samping obat, tentang komplikasi dan pencegahannya, sampai pada perawatan kaki, kulit, mulut dan gigi dan lain sebagainya.

g. Memberikan Pendidikan dan Konseling

Tujuan pendidikan kepada pasien adalah untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam pengobatannya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak pernah mendapat pendidikan mengenai diabetes, resiko untuk komplikasi major meningkat 4 kali lipat. Materi inti untuk pendidikan yang komprehensif yang dapat diberikan kepada pasien diabetes (Sumber: National Standard for diabetes self-management education, Diabetes Care 2005) terdiri dari definisi diabetes, proses penyakit, dan pilihan pengobatan, terapi nutrisi, aktivitas fisik, penggunaan obat, memonitor kadar gula sendiri, mencegah, mendeteksi, dan mengobati komplikasi-komplikasi akut dan kronis, target untuk mencapai hidup sehat, menyesuaikan sendiri perawatan dalam kehidupan sehari-hari (problem solving) serta penyesuaian psikososial dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan kepada pasien dapat diberikan dalam 3 tahap:

a. Tahap I : Segera dilaksanakan setelah pasien di diagnosa dengan DM sehingga dapat membantu mengatasi kebingungan, syok, terkejut dan lain sebagainya. Apoteker berusaha membantu pasien memahami dan menerima diagnosis.


(52)

b. Tahap II : Memberikan informasi yang lebih dalam, dengan berfokus pada masalah yang telah teridentifikasi sewaktu menilai pasien (misalnya peripheral neuropathy) dan hal-hal lain yang mungkin dapat diantisipasi (misalnya mengatasi reaksi hipoglikemi). Kegunaan dan cara minum obat yang benar harus dijelaskan.

c. Tahap III : Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk menekankan konsep, meningkatkan dan menjaga motivasi, dan berupaya agar pasien dapat mengurus dirinya dan peduli terhadap kesehatannya. Secara umum, tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan atau konseling kepada penderita diabetes dan keluarganya antara lain:

a. Agar penderita DM memiliki harapan hidup lebih lama dengan kualitas hidup yang optimal. Kualitas hidup sudah merupakan keniscayaan. Seseorang yang dapat bertahan hidup tetapi dengan kualitas hidup yang rendah, akan menggangggu kebahagiaan dan ketenangan keluarga.

b. Untuk membantu penderita DM agar dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi yang mungkin timbul dapat diminimalkan, selain itu juga agar jumlah hari sakit dapat ditekan.

c. Agar penderita DM dapat berfungsi dan berperan optimal dalam masyarakat.

d. Agar penderita DM dapat lebih produktif dan bermanfaat.

e. Untuk menekan biaya perawatan, baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluarga ataupun negara.

Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan kerjasama penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes dapat disampaikan dalam konseling. Namun dalam penyampaiannya harus mempertimbangkan kondisi penderita, baik kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya (Depkes RI, 2005).


(53)

2.9 Hiperlipidemia

Hiperlipidemia adalah peningkatan salah satu atau lebih kolesterol, kolesterol ester, fosfolipid atau trigliserida. Hiperlipoproteinemia adalah meningkatnya konsentrasi makro molekul lipoprotein yang membawa lipid dalam plasma. Ketidaknormalan lipid plasma dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap koroner, serebro vascular,dan penyakit pembuluh arteri perifer (Sukandar Elin Yulinahet al, 2009).

2.9.1 Metabolisme Lipid dan Lipoprotein

Kolesterol dan trigliserida di transpor dalam aliran darah membentuk kompleks bersama dengan fosfolipid dan protein (apoprotein) dalam partikel yang disebut lipoprotein. Apoprotein berperan sebagai molekul atau enzim pemberi sinyal dan memegang peran sangat penting dalam mengendalikan transpor lipid. Terdapat beberapa golongan lipoprotein yang mentranspor lipid antara jaringan yang berbeda dan mempunyai komposisi lipid dan apoprotein yang khas. Pada prinsipnya kkolesterol dimetabolisme di hati. Kadar kolesterol dalam darah dikendalikan oleh keseimbangan antara ambilan (uptake) dalam darah, produksi kolesterol (aktivitas jalur biosintesis kolesterol), dan ekskresi dari saluran pencernaan (asam empedu) (Davey Patrick, 2005).

2.9.2 Klasifikasi Hiperlipidemia

Klasifikasi menurut penyebabnya (Staf Pengajar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008):

1. Hiperlipidemia primer

Hiperlipidemia primer (disebut juga hiperlipidemia familil/herediter0 adalah hiperlipidemia yang disebabkan oleh kelainan genetic. Biasanya kelainan ini tidak memberikan gejala/keluhan (kecuali pada keadaan berat ditemukan adanya xantoma), biasanya kelainan ini ditemukan secara kebetulan pada waktu pemeriksaan laboratorium, misalnya pada waktu check up.


(54)

2. Hiperlipidemia sekunder

Hiperlipidemia sekunder adalah peningkatan kadar lipid darah yang disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, gangguan tiroid, penyakit hepar, dan oenyakit ginjal. Prevalensinya hanya sekitar 3-5% penduduk dewasa. Kelainan iini bersifat reversibel, bila penyakit primer sembuh.

Hiperlipidemia sekunder juga dapat disebabkan oleh obat-obat, seperti:

a. Β-bloker : hiperlipoproteinemia tipe IIa dan IIb b. Diuretic : hiperlipoproteinemia tipe IIb dan IV c. Estrogen : hiperlipoproteinemia tipe IV

d. Gestagen : hiperlipoproteinemia tipe IIb 2.9.3 Terapi

2.9.3.1 Tujuan Terapi

Tujuan yang ingin dicapai pada pengobatan adalah penurunan kolesterol total dan LDL untuk mengurangi resiko pertama atau berulang dari infark miokardiak, angina, gagal jantung, stroke iskemia, atau kejadian lain pada penyakit arterial perifer seperti karotid stenosis atau aneurisme aortik abdominal (Sukandar Elin Yulinah et al, 2009).

1. Terapi Non Farmakologi

Induksi penurunan bobot badan hingga 10% harus didiskusikan dulu dengan pasien yang kelebihan berat badan. Pada umumnya, aktivitas fisik teratur dan tidak terlalu berat, yaitu 30 menit tiap harinya untuk sebagian besar hari dalam seminggu harus diusahakan. Setiap pasien harus dianjurkan untuk berhenti merokok. Terapi diet yang objektif adalah menurunkan langsung konsumsi lemak total, lemak jenuh, dan kolesterol untuk mendapatkan bobot badan yang sesuai. Konsumsi kolesterol dan asam lemak jenuh yang berlebihan akan membawa ke pengurangan klirens hepatic LDL dan deposisi LDL dan oksidasi LDL dalam jaringan lemak. peningkatan


(1)

ëì íîyïð ñòó ñô ïõ ïtuöö ï÷øïùïðú ï û) ü ýþÿ ý ÿ ý ÿ ÿý y ÿ ýýþ ý

ýþ ý

ÿ

× 100% = 100%

ÿ × 100% = 83,33%

þ ÿ × 100% = 50%

ÿ ý 0%

ý × 100% = 16,67

ý ÿ ý × 100% = 50%

ü ý × 100% = 100%

ü ý

× 100% = 100%

þ ý ý ýþ × 100% = 100%

x × 100% = 100%

ýþ × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 16,7%

Interaksi obat : × 100% = 83,3%

Hal yang dihindari : × 100% = 66,7% Penyimpanan obat : × 100% = 33,3% Pembuangan obat :0%

b. Niasin

Nama obat : × 100% = 100%

Indikasi : × 100% = 83,33%

Kontra indikasi : × 100% = 50%

Onset obat :0%

Rute obat : × 100% = 16,67%

Bentuk sediaan : × 100% = 50% Penggunaan (1) : × 100% = 100% Penggunaan (2) : × 100% = 100%

Frek. pemberian : × 100% = 100% Jlh obat 1x minum : × 100% = 100% Jlh obat diberikan : × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 16,7%

Interaksi obat : × 100% = 83,3% Hal yang dihindari : × 100% = 66,7% Penyimpanan obat : × 100% = 33,3% Pembuangan obat :0%


(2)

!y" #$%& $' "( "tu) )"*+"," #- " . / 0 1234 567897 89:; 92 </ = 0 1 2>17 59>1 ?69@4 5 9> A17y9 :A 94 97 4 >4 ?B7 >1 @47 8 B @1 3

9AB 51?1 2 (C4 34567 8A1 24>4?B7 >1 @47 8) D 6 :6 >E

jumlah benar konten konseling

jumlah apoteker yang menyampaikan konten konseling×100%

*Persentase dihitung berdasarkan jumlah apoteker yang melakukan penyampaian isi konseling.

Nama obat : × 100% = 100%

Indikasi : × 100% = 98.3%

Kontra indikasi : × 100% = 96.7%

Onset obat : × 100% = 100%

Rute obat : × 100% = 100%

Bentuk sediaan : × 100% = 100% Penggunaan (1) : × 100% = 100% Penggunaan (2) : × 100% = 100%

Frek. pemberian : × 100% = 100%

Jlh obat 1x minum: × 100% = 100% Jlh obat diberikan : × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 73.9%

Interaksi obat : × 100% = 92.3%

Hal yang dihindari: × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Pembuangan obat : × 100% = 100%

D. Perhitungan gambar 5.7 rata-rata persentase kualitas penyampaian isi konseling (dihitung per isi konseling) pada kelompok hipertensi, asma, diabetes, dan hiperlipidemia.

Rumus :

jumlah benar konten konseling

jumlah apoteker yang menyampaikan konten konseling×100%

*Persentase dihitung berdasarkan jumlah apoteker yang menyampaikan isi konseling


(3)

F GHIyJ KLMN LO JP JtuQ QJRSJTJ KU J V) W XYZX[\]ZX^_ ]`a \]ZbX [y] c b]a] [aZa^d [ZX `a[eb] f]^X`dc bd^ gabX Y\X [Za ]h i] b\d bYa`

j]c ]d k] \ l × 100% = 100% m[fa ^]Za l × 100% = 100% nd [\ Y]a [fa ^] Za l × 100% = 100% o[ZX \d k] \ l pq

r_ \Xd k] \ l pq

sX [\_^ZXfa ]] [ l × 100% = 100% W X [ee_ [] ] [tVu l × 100% = 100% W X [ee_ [] ] [tvu l × 100% = 100%

w YX^hbXc kX Ya ] [ l × 100% = 100% x`gd k] \Vxca [_c l × 100% = 100% x`gd k]\fakXYa ^] [ l × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 100%

Interaksi obat : × 100% = 100%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Pembuangan obat : 0%

b. Furosemid

Nama obat : × 100% = 100%

Indikasi : × 100% = 100%

Kontra indikasi : × 100% = 100%

Onset obat : 0%

Rute obat : 0%

Bentuk sediaan : × 100% = 100% Penggunaan (1) : × 100% = 100% Penggunaan (2) : × 100% = 100%

Frek. pemberian : × 100% = 100%

Jlh obat 1x minum : × 100% = 100%

Jlh obat diberikan : × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 50%

Interaksi obat : × 100% = 100%

Hal yang dihindari : × 100% = 100%

Penyimpanan obat : × 100% = 100%


(4)

y z{|y} ~€ ‚ }ƒ }tu„ „}…†}‡} ~ˆ } ‰) Š ‹Œ‹Ž‹‘’ “” •‹ Žy – •” Ž””‘— Ž‹ “”Ž˜• ™‘‹“—– •—‘–

š ›‹ ”“•Œ‹™Ž”— “— Ž

œ– —   ž × 100% = 100% ŸŽ™” ‘” ž × 100% = 88,9%  — Ž Œ” Ž™” ‘ ” ž × 100% = 80% ¡Ž‹ —   ž × 100% = 100% ¢’ ‹—   ž × 100% = 100% £‹ Ž’‘‹™”  Ž ž × 100% = 100% Š ‹ Ž˜˜’ Ž  Ž¤¥¦ ž × 100% = 100% Š ‹ Ž˜˜’ Ž  Ž¤‰ ¦ ž × 100% = 100%

§Œ‹‘šŠ ‹–‹Œ” Ž ž × 100% = 100% ¨“©— ¥x–” Ž’– ž × 100% = 100% ¨“©— ™”‹Œ”‘ Ž ž × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 40%

Interaksi obat : × 100% = 90%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Pembuangan obat :0%

b. Salbutamol

Nama obat : × 100% = 100%

Indikasi : × 100% = 100%

Kontra indikasi : × 100% = 100%

Onset obat : × 100% = 100

Rute obat : × 100% = 100%

Bentuk sediaan : × 100% = 100% Penggunaan (1) : × 100% = 100% Penggunaan (2) : × 100% = 100%

Frek. Pemberian : × 100% = 100%

Jlh obat 1x minum : × 100% = 100% Jlh obat diberikan : × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 80%

Interaksi obat : × 100% = 90%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Pembuangan obat : 0%


(5)

ª «¬­y® ¯°±² °³ ®´ ®tuµ µ®¶·®¸® ¯¹ ® º) » ¼½¾¼¿ÀÁ¾¼Â ¾ÂÃÄ¿¾¼Å ¿Æ yÁ¿ ÆǾÁ ÈÉ ÁÂÃÁ¿ÁÉ ÄÀ¼ ü ½ÉÁ ÇÁü ÅÄÈÉ ÄÃÇ Áʼ À¼ ¾ ÁË ÌÊÁ ÀͼÀÎĽÈ¿

ÏÁ ÈÁÄÊÁ À Ð × 100% = 100% Ñ¿ÇÂÃÁ¾Â Ð × 100% = 100% ÒÄ¿À ½Á ¿ÇÂÃÁ ¾Â Ð × 100% = 100% Ì¿¾¼ ÀÄÊÁ À Ð × 100% = 100% Ó ÔÀ¼ÄÊÁ À Ð × 100% = 100% Õ¼ ¿ÀÔþ¼Ç ÁÁ ¿ Ð × 100% = 100% » ¼ ¿ÆÆÔ¿Á Á ¿Ö×Ø Ð × 100% = 100% » ¼ ¿ÆÆÔ¿Á Á ¿ÖÙØ Ð × 100% = 100%

Ú½¼ ÃË» ¼È ʼ½Â Á¿ Ð × 100% = 100% ÛÅÜÄÊÁ À×xÈ ¿ÔÈ Ð × 100% = 100% ÛÅÜÄÊÁ ÀÇÂʼ½Â ÃÁ ¿ Ð × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 100%

Interaksi obat : × 100% = 80%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100%

Pembuangan obat : × 100% = 100%

a. Obat Simetidin

Nama obat : × 100% = 100%

Indikasi : × 100% = 100%

Kontra indikasi : × 100% = 100%

Onset obat : × 100% = 100%

Rute obat : × 100% = 100%

Bentuk sediaan : × 100% = 100% Penggunaan (1) : × 100% = 100% Penggunaan (2) : × 100% = 100%

Frek. Pemberian : × 100% = 100%

Jlh obat 1x minum : × 100% = 100% Jlh obat diberikan : × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 100%

Interaksi obat : × 100% = 80%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Pembuangan obat : × 100% = 100%


(6)

Ý Þßàyá âãäå ãæ áç átuè èáéêáëá âì á í) î ïðñïòóôñï õ ñ õ ö÷òñïø õòù yô ò ù úõñ ôû üô õöô ò ôü÷óïöï ð üô úô öïø÷û ü÷ö

ýõ üïðøõüõúïû õ ô ôþ ÿ ô ó õû ô ñóôó õò

ôû ô÷ ô ó

× 100% = 100%

òúõöôñ õ × 100% = 100% ÷òó ðôõòúõöô ñ õ × 100% = 100% ÿ òñï ó÷ ô ó 0%

óï÷ ô ó × 100% = 100%

ï òóöñïúõôô ò × 100% = 100% î ï òùùòô ô ò × 100% = 100% î ï òùùòô ô ò × 100% = 100%

ðïö þî ïû ï ðõô ò

× 100% = 100%

øý÷ ôóxûõòû × 100% = 100%

øý÷ ôóúõ ï ðõöôò × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 100%

Interaksi obat : × 100% = 100%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Penyimpanan obat :0%

b. Niasin

Nama obat : × 100% = 100%

Indikasi : × 100% = 100%

Kontra indikasi : × 100% = 100%

Onset obat :0%

Rute obat : × 100% = 100%

Bentuk sediaan : × 100% = 100% Penggunaan (1) : × 100% = 100% Penggunaan (2) : × 100% = 100%

Frek. Pemberian : × 100% = 100% Jlh obat 1x minum : × 100% = 100% Jlh obat diberikan : × 100% = 100%

Efek samping : × 100% = 100%

Interaksi obat : × 100% = 100%

Hal yang dihindari : × 100% = 100% Penyimpanan obat : × 100% = 100% Pembuangan obat :0%