Tingkat residu pestisida dilingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suhu lingkungan, kelarutannya dalam air, serta penyerapan oleh koloid dan
bahan organik tanah. Stabilitas pestisida di lingkungan dihitung dengan waktu degradasi setengah umur jangka waktu yang diperlukan untuk degradasi senyawa
kimia hingga tinggal separuhnya DT50 Yuantari, 2009.
Menurut Supriyadi et al. 2001, mengingat dampak yang diakibatkan oleh pestisida cukup serius, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan dan
penggunaannya di lapangan. Alasan kuat yang mendasari pengurangan tersebut adalah: i keprihatinan akan kontaminasi pestisida pada lingkungan, ii
kebutuhan untuk pengembangan sistem produksi yang akrab lingkungan, iii residu pestisida pada produk pertanian dan lingkungan, iv keselamatan
pengguna pestisida, dan v dampak pestisida pada ekosistem pertanian.
2.3 Bioremediasi Pengertian dari bioremediasi sendiri adalah proses penguraian limbah pencemar
menggunakan agen biologi mikroba yang dilakukan dalam kondisi terkendali controlled condition. Proses bioremediasi dapat terjadi secara alamiah oleh
mikroba yang terdapat pada lingkungan tercemar intrinsict bioremediation. Meskipun demikian, sering kali dilakukan beberapa hal untuk mempercepat
proses tersebut. Contohnya dengan menambahkan mikroba exogenous microbe, nutrien, donor dan atau akseptor elektron Sarwoko, 2005.
Bioremediasi adalah suatu teknik yang menggunakan makhluk hidup untuk meminimalisir atau mengurangi kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari
akumulasi senyawa-senyawa toksik dan limbah berbahaya lainnya. Penggunaan bakteri untuk degradasi dan detoksifikasi sejumlah senyawa toksik, seperti
pestisida adalah cara yang efektif untuk mengurangi kontaminasi senyawa pencemar. Isolasi bakteri indigenous yang dapat memetabolisme pestisida
merupakan detoksifikasi secara in situ. Metodologi bioremediasi untuk menghilangkan senyawa-senyawa xenobiotik seperti pestisida di tanah memiliki
beberapa manfaat karena ramah lingkungan dan telah berhasil diaplikasikan di banyak negara Nawaz et al., 2012.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Biodegradasi Glifosat Glifosat N-phosphonomethyl glycine adalah herbisida sistemik non-selektif
yang diaplikasikan langsung kepada daun tanaman. Kemampuan glifosat sebagai herbisida diketahui pada tahun 1971. Glifosat tersusun atas asam, garam
monoamonium, garam diamonium, potasium, sodium, dan trimetilsulfonium atau garam trimesium Tomlin, 2006.
Gambar 1. Struktur Glifosat Tu et al., 2002
Glifosat bekerja membunuh gulma dengan cara menghambat aktivitas enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase EPSPS yang terdapat
dalam kloroplas tanaman, yang diperlukan untuk pembentukan asam amino aromatik tirosin, triptofan dan fenilalanin. Asam amino ini sangat diperlukan
untuk menghubungkan metabolisme primer dan sekunder dalam tanaman Carlisle Trevors, 1988. Glifosat juga daapat bertindak sebagai inhibitor kompetitif dari
phosphoenolpyruvate PEP yang merupakan salah satu prekursor untuk sintesis asam amino aromatik yang dapat mempengaruhi proses biokimia lainnya.
Walaupun efek ini dianggap sebagai efek sekunder, tetapi bisa saja hal ini merupakan peran glifosat dalam membunuh tanaman Tu et al., 2002.
Waktu paruh glifosat bervariasi tergantung dengan lingkungannya. Di air berkisar dari beberapa hari sampai 97 hari Tomlin, 2006. Sedangkan di tanah
cukup persisten dengan kisaran 2 sampai 197 hari Giesey, 2007. Di tanah, glifosat tahan terhadap degradasi kimia dan stabil terhadap sinar matahari. Relatif
tidak bergerak di dalam tanah karena adsorpsi yang kuat terhadap partikel tanah.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Jalur degradasi glifosat Schuette, 1998
Jalur utama degradasi glifosat oleh bakteri tanah menghasilkan aminomethyl Phosphonic Acid AMPAdan asam glioksilat. Kedua produk ini
selanjutnya terdegradasi menjadi karbondioksida Roberts, 1998. Bakteri mendegradasi glifosat melalui dua cara yaitu melalui produksi glisina atau AMPA.
Bakteri memutus ikatan C-P dari glifosaat menghasilkan fosfonat dan sarkosin. Fosfonat digunakan bakteri sebagai sumber fosfor bagi kehidupannya sedangkan
sarkosin digunakan bakteri sebagai sumber karbon dan menghasilkan produk AMPA Liawati, 2001. Degradasi AMPA umumnya lebih lambat dibandingkan
dengan glifosat kemungkinan karena AMPA dapat menyerap ke partikel tanah lebih kuat danatau kurang memungkinkan untuk menembus dinding sel atau
membran mikroorganisme tanah USDA, 1984. 2.5 Surfaktan dan Biosurfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan
Universitas Sumatera Utara
minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar
yang suka akan air hidrofilik dan bagian non polar yang suka akan minyaklemak lipofilik. Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif,
negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk
lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam
fase minyak. Umumnya bagian non polar lipofilik adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar hidrofilik mengandung gugus
hidroksil Jatmika, 1998.
Menurut Moroi 1992, berdasarkan sifat-sifat gugus hidrofilik yaitu gugus yang bersifat polar, surfaktan dikelompokkan sebagai berikut :
1 Surfaktan ionik Surfaktan ionik adalah surfaktan yang bagian hidrofiliknya bermuatan. Surfaktan
ionik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a. Anionik yaitu bagian hidrofiliknya mempunyai muatan negatif. Contoh : sabun
RCOO-Na+ b. Kationik yaitu bagian hidrofiliknya mempunyai muatan positif. Contoh: garam
ammonium rantai panjang R+NH3Clc. c. Amfoterik yaitu bagian hidrofiliknya bermuatan positif dan negatif.
2 Surfaktan non ionik Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang bagian hidrofiliknya tidak
bermuatan atau netral.
Surfaktan dapat diproduksi secara sintetis dan dapat juga diproduksi secara alami oleh tumbuhan, hewan dan banyak jenis mikroorganisme Zhang Miller,
1992. Kebutuhan akan surfaktan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya proses-proses yang membutuhkan senyawa aktif permukaan.
Surfaktan banyak dibutuhkan antara lain dalam proses bioremediasi, industri petrokimia, dan dalam meningkatkan perolehan minyak bumi Enhanced Oil
Recovery EOR Zajic Akit, 1983.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad
hidup dan proses biologiskimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di
atas serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini
berpotensi besar untuk diaplikasikan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat
toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif
permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia Ciccyliona Nawfa, 2012.
Biosurfaktan adalah surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu ketika ditumbuhkan dalam media dan kondisi tertentu. Banyak organisme
menghasilkan biosurfaktan saat tumbuh dalam media yang terdiri dari sumber karbon. Biosurfaktan terdiri dari lemak kompleks atau sederhana atau turunannya
Kosaric et al., 1987. Menurut Kosaric 2001, penggunaan biosurfaktan lebih banyak diminati dibandingkan surfaktan sintetis karena mempunyai beberapa
kelebihan, yaitu sifatnya yang ramah lingkungan yaitu biodegradable dapat terdegradasi secara alami dan tidak toksik beracun. Biosurfaktan dapat
diproduksi dari bahan dasar organik yang melimpah yaitu karbohidrat, lemak, dan protein.
Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri, ragi khamir dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa
mikroorganisme dapat menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan
substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan. Pengetahuan mengenai surfaktan akan
sangat berguna dalam merancang produk dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim
dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan
Universitas Sumatera Utara
berbagai jenis produk surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam amino Herawan et al., 1996.
Biosurfaktan dapat dihasilkan oleh mikroorganisme prokariot maupun eukariot. Bakteri penghasil biosurfaktan antara lain Pseudomonas aeruginosa, P.
fluorescens, Bacillus cereus, B. thuringiensis, B. sphaericus. Biosurfaktan ini dihasilkan pada permukaan sel mikroorganisme atau diekskresikan ke lingkungan
yang dapat membantu melepaskan senyawa hidrokarbon dalam senyawa organik dan meningkatkan konsentrasi senyawa hidrokarbon dalam air melalui pelarutan
ataupun emulsifikasi Banat, 1995. Mikroorganisme dapat memproduksi biosurfaktan ketika ditumbuhkan pada substrat yang tidak larut seperti
hidrokarbon, minyak, dan lilin atau pada substrat yang larut karbohidrat Carillo et al., 1996. Beberapa mikroorganisme menghasilkan biosurfaktan hanya
ketika ditumbuhkan pada hidrokarbon, sementara yang lainnya membutuhkan substrat yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam amino untuk
membentuk suatu biosurfaktan. Selain itu minyak, lemak dan asam lemak juga digunakan sebagai substrat untuk menghasilkan suatu biosurfaktan Ghazali
Ahmad, 1997.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 METODE PENELITIAN