dihasilkan 30 g fraksi. Berdasarkan hasil penimbangan bobot ekstrak didapatkan rendemen sebesar 18,03, sementara bobot fraksi didapat rendemen FHEMM
sebesar 19,46.
D. Uji Pendahuluan
1. Penentuan dosis hepatotoksin karbontetraklorida
Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin. karbon tetrakloridadalam penggunaan dapat mengakibatkan perlemakan hati yang
ditandai dengan kenaikan kadar ALT-AST sekitar 3-4 kali normal Thapa dan Walia, 2007. Pemilihan dosis karbon tetrakloridadilakukan untuk mengetahui
pada dosis berapakarbon tetraklorida dapat merusak hati dengan melihat dari terjadinya peningkatan kadar ALT-AST.
Pada penelitian ini, dosis karbon tetrakloridayang digunakan adalah 2 mLkgBB dan menggunakan olive oil sebagai pelarut dengan perbandingan 1:1.
Penetapan dosis ini berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie 2002. Pemberian karbon tetrakloridapada tikus secara intraperitonial yang dimaksudkan
agar karbon tetrakloridadapat terlarut dalam cairan intraperitonial dan langsung terabsorbsi pada pembuluh darah dalam rongga perut, tetapi jika melalui saluran
cerna akan rusak akibat enzim pencernaan. Oleh sebab itu, diharapkan karbon tetrakloridadapat memberikan efek yang cepat.
2. Orientasi waktu pencuplikan darah hewan uji
Pada penelitian ini, dilakukan orientasi waktu pencuplikan darah hewan uji untuk mengetahui waktu optimal kehepatotoksikan karbon tetrakloridayang
ditunjukkan dengan
peningkatan kadar
ALT dan
AST. Karbon
tetrakloridadiujikan pada tikus, kemudian dilakukan pencuplikan darah melalui sinus orbitalis
mata dengan selang waktu tertentu yaitu jam ke-0, 24, dan 48. Berikut ini merupakan hasil orientasi waktu pencuplikan darah hewan uji yang
disajikan dalam bentuk tabel dan diagram batang.
Tabel I. Kadar ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang waktu jam
Purata Aktivitas serum ALT ± SE UI 66,8 ± 0,8
24 184,0 ± 16,5
48 62,3 ± 15,6
Keterangan : SE = Standard Error
Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLKgBB pada selang
waktu 0, 24, dan 48 jam
Tabel II. Perbedaan kenaikan kadar ALT setelah pemberian karbon
tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24, dan 48.
Jam 0 Jam 24
Jam 48 Jam 0
BB BTB
Jam 24 BB
BB Jam 48
BTB BB
BB= Berbeda bermakna p0,05 ; BTB = Berbeda tidak bermakna p0,05
Tabel III. Aktivitas kadar AST setelah pemberian karbon
tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam
Selang waktu jam Purata Aktivitas serum AST ± SE UI 154,2 ± 2,1
24 669,6 ± 8,4
48 197,7 ± 9,6
Keterangan : SE = Standard Error
Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLKgBB pada selang
waktu 0, 24, dan 48 jam
Tabel IV. Perbedaan kenaikan kadar AST setelah pemberian
karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24, dan 48
Jam 0 Jam 24
Jam 48 Jam 0
BB BB
Jam 24 BB
BB Jam 48
BB BB
BB= Berbeda bermakna p0,05 ; BTB = Berbeda tidak bermakna p0,05
Dari tabel I dan gambar 6 tersebut, terlihat bahwa kadar ALT pada
pencuplikan darah 24 jam 184,0 ± 16,5 UI dengan dosis karbon tetraklorida 2 mLkgBB lebih tinggi dibandingkan dengan pencuplikan darah pada jam ke 0
66,8 ± 0,8 UI dan 48 62,3 ± 15,6 UI. Begitu pula pada kadar AST serum yang paling tinggi terdapat pada kelompok pencuplikan 24 jam 694,0 ± 32,8 UI
dibandingkan dengan pencuplikan darah pada jam ke 0 150,9 ± 4,3 UI dan 48 207,0 ± 18,7 UI. Berdasarkan uji statistik ANOVA one way pencuplikan darah
jam ke-24 memberikan hasil yang berbeda bermakna dengan pencuplikan darah pada jam ke ke-0 dan 48, maka disimpulkan bahwa waktu kehepatotoksinan
karbon tetraklorida 2 mLkgBB pada tikus mencapai maksimal pada selang waktu 24 jam. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dosis hepatotoksin karbon
tetraklorida yang digunakan pada tikus betina adalah 2 mLkgBB dengan selang waktu pengambilan cuplikan darah adalah 24 jam setelah pemberian hepatotoksin
karbon tetraklorida.
3. Penetapan Dosis FHEMM