Pengaruh pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

(1)

ABSTRACT

The aimed of this study is to determine the short-term effect of hexane-ethanol fraction from mhexane-ethanol water extract of Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. leaves (FHEMM) and to prove information about the relationship between the FHEMM doses to decreased alkaline phosphatase (ALP) level in female Wistar rats induced by carbon tetrachloride.

This study was pure experimental with completely randomized direct sampling design. This study used 30 female Wistar rats, aged about 2-3 months, and ± 130-180 gram body weight. Rats were devided randomly into six group of 5 rats. Group I (control CMC) were given a dose of 0.057 mg/gBW orally (p.o.) and after six hour, blood were collected. Group II (control hepatotoxin) were given a dose of 2 mL/KgBW carbon tetrachloride – olive oil with ratio 1:1 intraperitoneally (i.p.) and after 24 hour, blood were collected. Group III (control dose of FHEMM) were given a dose of FHEMM 137.14 mg/KgBW once in p.o. and after 6 hour, blood were collected. Group IV, V, and VI (treatment group) sequentially were given FHEMM dose 34.28; 68.57; and 137.14 mg/KgBW once in six hours, then were given a dose of 2 mL/KgBW hepatotoxin in i.p.. Blood in treatment group were collected after 24 hour. Blood collected from the orbital sinus region and then measured ALP serum activities. The obtained data ALP serum activities were analyzed with statistical confidence level of 95%.

The result showed that short-term administration of FHEMM can reduced ALP serum activities in rats induced by carbon tetrachloride. However, there is no relationship between that doses to decrease the ALP serum activities.

Keywords: hexane-ethanol fraction, methanol-water extract, Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., short-term, carbon tetrachloride, Alkaline Phosphatase (ALP)


(2)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. (FHEMM) serta ada tidaknya kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas alkaline phosphatase (ALP) pada tikus betina Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini menggunakan tikus betina Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 130-180 gram. Tikus dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok, masing-masing kelompok 5 tikus. Kelompok I (kontrol CMC) diberikan CMC dosis 0,057 mg/KgBB peroral (p.o.) darah diambil pada jam ke 6. Kelompok II (kontrol hepatotoksin) diberikan karbon tetraklorida – olive oil dengan perbandingan 1:1 dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal (i.p.) darah diambil pada jam ke 24. Kelompok III (kontrol dosis FHEMM) diberi FHEMM dosis 137,14 mg/kgBB satu kali secara p.o., darah diambil pada jam ke 6. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) berurutan diberikan FHEMM dosis 34,28 mg/kgBB; 68,57 mg/kgBB; 137,14 mg/kgBB satu kali selama enam jam, kemudian diberikan karbon tetraklorida – olive oil dosis 2 mL/KgBB secara i.p.. Pencuplikan darah seluruh kelompok perlakuan dilakukan melalui sinus orbitalis. Pencuplikan darah kelompok IV-VI perlakuan FHEMM yaitu 24 jamsetelah perlakuan. Data aktivitas ALP kemudian diuji statistika dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jangka pendek FHEMM dapat menurunkan aktivitas ALP pada tikus terinduksi karbon tetraklorida. Namun, tidak terdapat kekerabatan antar dosis pemberian terhadap penurunan aktivitas ALP.

Kata kunci: fraksi heksan-etanol, ekstrak metanol, Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., jangka pendek, karbon tetraklorida, Alkaline Phosphatase (ALP)


(3)

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PENDEK FRAKSI HEKSAN-ETANOL DARI EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius

(L.) Müll. Arg. TERHADAP AKTIVITAS ALKALINE PHOSPHATASE

PADA TIKUS TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Cyndi Yulanda Putri

NIM : 128114135

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PENDEK FRAKSI HEKSAN-ETANOL DARI EKSTRAK MHEKSAN-ETANOL-AIR DAUN Macaranga tanarius

(L.) Müll. Arg. TERHADAP AKTIVITAS ALKALINE PHOSPHATASE

PADA TIKUS TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Cyndi Yulanda Putri

NIM : 128114135

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(5)

(6)

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Faith is the substance of things hoped for,

the evidence of things not seen

(Hebrews 11:1)

and You bless me with the best gift

that I’ve ever known

You give me purpose

You’ve given me purpose

(Purpose - Justin Bieber)

Kupersembahkan skripsiku untuk:

Tuhan Yesus Kristus, Ayah dan Mama tercinta,

Saudaraku:

Yenni Pintauli Pasaribu, S.T., M.Si.

Chintia Imelda Pasaribu, S.P.

Korchnoi Pasaribu, S.T.

Margareth Piesesha Pasaribu, S.Ked.

Jogi Nabasa Pasaribu

dan Almamaterku tercinta


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Jangka Pendek Fraksi Heksan-Etanol dari Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap Aktivitas Alkaline Phosphatase pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberi bimbingan, motivasi, dan bantuan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Ketua Program Studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing atas waktu dan kesabaran dalam membimbing, memberi masukan dan motivasi, serta teladan yang telah diberikan.

4. Bapak Jeffry Julianus, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas segala bimbingan yang telah diberikan.

5. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. sebagai Dosen Penguji Skripsi atas kritik dan saran serta motivasi yang telah diberikan.

6. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. sebagai Dosen Penguji Skripsi atas kritik dan saran serta motivasi yang telah diberikan.


(11)

7. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. sebagai Kepala Laboratorium Fakultas Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

8. Bapak Heru sebagai laboran di Laboratorium Farmakologi Toksikologi atas segala bantuan selama pelaksanaan skripsi ini.

9. Orangtuaku tercinta ayah Domarsan Pasaribu dan mama Lince Clara Sinaga atas doa, dukungan, nasihat, dan motivasinya yang selalu mengiringi setiap langkahku.

10. Kakak-kakakku Yenni Pintauli Pasaribu, Chintia Imelda Pasaribu, Korchnoi Pasaribu, Margareth Piesesha Pasaribu, dan adikku Jogi Nabasa Pasaribu atas segala doa, dukungan, dan motivasinya.

11. Abang Johannes Sidabutar, abang Edoardus Tumanggor, kak Trissya Yuliana, Elzha Yunita Sibarani, Rinch Garry Sibarani, Bobby Rafael Simatupang, Ronald Julio Simatupang, dan lain-lain  atas dukungan dan doanya.

12. Keponakanku Mangara Jordan, Sean Imanuel, Clem Seraf, Windi Abigail, Faith Geoffrey Hasian, Shalom Jeconia, Kleinhovia Gorga, Nathalie Geandra yang selalu membuat saya rindu untuk pulang bertemu, mencium, dan bermain bersama :’).

13. Sahabatku terkasih Meiranty Dwi Puspa Ningrum, Gesang Rizki Gumelar, Fadillah Soraya Alhamid, Romatua Panggabean, Anggraeni Fajri yang senantiasa memberikan dukungan dan mau mendengar setiap curhatan saya. huhuhu


(12)

14. Belut family Jessica, Vicky Wijoyo, Suzan, Maria Angelika, Rury Henggar, Patricia Valentina, atas kebersamaan, dukungan, canda dan tawa yang selalu ada dalam tiap kebersamaan kita.

15. Keluarga CEMARA Yeni Mardiaty Pasaribu, Lusia Jois Mariana, Natalia Putri Arumsari, Maria Angelika Suhadi, Bonifasia Anna, Siti Sisca Audya, Patrisia Yosepha Jelarut, Aditya Lela Novitasari, Kresensia Trisnawati Hasrat, Nanda Tiasari, Monalisa Mangkoan, Rahayu Triwanti, Rury Henggar, Veronika Purba, Satrio Budi Utomo, Lusia Christin Setiawati, Sona Karisnata Inriano, Lucia Ida Ayu atas segala dukungan yang telah diberikan.

16. Anggraeni Fajri, Florentina Merty, dan teman-teman KM2 lain yang telah memberikan semangat dan dukungan.

17. Tim Macaranga Maria Angelika Suhadi, Rahayu Triwanti, Sona Karisnata Inriano, Novita, Penina Kurnia Uly, Cinthya Anggarini, dan Oktariani Aurelia Jamil atas segala kerjasama, suka dan duka dalam pelaksanaan skripsi ini. 18. Kakak tingkatku ko Leo, ko Gomes, dan kak Alex yang telah membantu dan

memberikan motivasi dalam pelaksanaan skripsi ini.

19. Teman-teman FSM D 2012, FKK B 2012 dan seluruh teman-teman Farmasi 2012.

20. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.


(13)

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Yogyakarta, 3 November 2015 Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...vi

PRAKATA ...vii

DAFTAR ISI ...xi

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR GAMBAR ...xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...xviii

INTISARI ...xix

ABSTRACT ...xx

BAB I. PENGANTAR ...1

A. Latar Belakang ...1


(15)

2. Keaslian penelitian ...5

3. Manfaat penelitian ...6

B. Tujuan Penelitian ...6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ...7

A. Hati ...7

1. Anatomi fisiologi hati ...7

2. Fungsi hati ...12

3. Kerusakan hati ...15

4. Hepatotoksin ...16

B. Alkaline Phosphatase ...17

C. Karbon Tetraklorida ...19

D. Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...23

E. Ekstraksi ...26

F. Fraksinasi ...29

G. Landasan Teori ...31

H. Hipotesis ...33

BAB III. METODE PENELITIAN ...34

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...34

B. Variabel dan Definisi Operasional ...34

1. Variabel utama ...34

2. Variabel pengacau ...34


(16)

C. Bahan Penelitian ...36

1. Bahan utama ...36

2. Bahan kimia ...37

D. Alat Penelitian ...38

1. Alat pembuatan FHEMM ...38

2. Alat uji penetapan kadar air ...38

3. Alat perlakuan hewan uji ...38

E. Tata Cara Penelitian ...38

1. Determinasi tanaman Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...38

2. Pengumpulan bahan uji ...39

3. Pembuatan serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...39

4. Penetapan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...39

5. Pembuatan ekstrak metanol air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...40

6. Pembuatan fraksi heksan-etanol ekstrak metanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...40

7. Pembuatan suspending agent CMC 1% ...41

8. Pembuatan karbon tetraklorida dalam olive oil ...41

9. Penetapan dosis karbon tetraklorida ...41


(17)

11.Penetapan dosis FHEMM ...42

12.Penetapan waktu pencuplikan darah ...42

13.Pengelompokan dan perlakuan hewan uji ...42

14.Pemeriksaan sampel darah ...43

F. Tata Cara Analisis Hasil ...44

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...45

A. Hasil Determinasi Tanaman ...45

B. Uji Pendahuluan ...45

1. Rendemen FHEMM ...45

2. Penetapan kadar air serbuk Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...46

3. Penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida ...46

4. Penentuan dosis FHEMM ...47

5. Penentuan waktu pencuplikan darah ...48

C. Hasil Uji Hepatoprotektif FHEMM ...52

1. Kontrol CMC ...53

2. Kontrol hepatotoksin ...56

3. Kontrol dosis FHEMM ...57

4. Perbandingan aktivitas ALP kelompok perlakuan dengan kontrol CMC dan kontrol hepatotoksin ...58

5. Perbandingan antar dosis FHEMM ...60

D. Rangkuman Pembahasan ...63


(18)

A. Kesimpulan ...66

B. Saran ...66

DAFTAR PUSTAKA ...67

LAMPIRAN ...72


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Purata aktivitas serum ALT ± SE pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ...49

Tabel II. Hasil uji Tukey aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ...50

Tabel III. Purata aktivitas serum AST ± SE pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ...51

Tabel IV. Hasil uji Tukey aktivitas serum AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ...52

Tabel V. Purata ± SE aktivitas serum ALP tikus betina Wistar pada kelompok perlakuan ...53

Tabel VI. Hasil uji Mann Whitney aktivitas ALP tikus betina Wistar pada


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampakan arterior lokasi hati pada rongga abdominopelvis ...7

Gambar 2. Lobus hati ...8

Gambar 3. Komponen Hati ...10

Gambar 4. Asinus hati dan zonasi metabolik ...11

Gambar 5. Pembentukan bilirubin dari fagositosis sel darah merah ...12

Gambar 6. Struktur kimia karbon tetraklorida ...19

Gambar 7. Mekanisme karbon tetraklorida menginduksi kerusakan hati ...20

Gambar 8. Metabolisme lipid ...21

Gambar 9. Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...23

Gambar 10. Isolasi kandungan ellagitannin yang terdapat pada daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...25

Gambar 11. Diagram batang purata aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ...49

Gambar 12. Diagram batang purata aktivitas serum AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ...51


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...73

Lampiran 2. Foto ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...74

Lampiran 3. Foto FHEMM ...75

Lampiran 4. Foto suspensi FHEMM ...76

Lampiran 5. Surat Determinasi Tanaman Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. .77 Lampiran 6. Surat keterangan penggunaan IBM SPSS Statistics 22 asli ...78

Lampiran 7. Surat ethical clearance penelitian ...79

Lampiran 8. Hasil Uji Statistik Data Orientasi ALT dan AST ...80

Lampiran 9. Hasil Uji Statistik Data ALP Penelitian ...91

Lampiran 10. Perhitungan dosis FHEMM ...108

Lampiran 11. Perhitungan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ...109

Lampiran 12. Perhitungan persen rendemen FHEMM ...110


(22)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. (FHEMM) serta ada tidaknya kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas alkaline phosphatase (ALP) pada tikus betina Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

Penelitian ini menggunakan tikus betina Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 130-180 gram. Tikus dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok, masing-masing kelompok 5 tikus. Kelompok I (kontrol CMC) diberikan CMC dosis 0,057 mg/KgBB peroral (p.o.) darah diambil pada jam ke 6. Kelompok II (kontrol hepatotoksin) diberikan karbon tetraklorida – olive oil dengan perbandingan 1:1 dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal (i.p.) darah dicuplik pada jam ke 24. Kelompok III (kontrol dosis FHEMM) diberi FHEMM dosis 137,14 mg/kgBB satu kali secara p.o., darah dicuplik pada jam ke 6. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) berurutan diberikan FHEMM dosis 34,28 mg/kgBB; 68,57 mg/kgBB; 137,14 mg/kgBB satu kali selama enam jam, kemudian diberikan karbon tetraklorida – olive oil dosis 2 mL/KgBB secara i.p.. Pencuplikan darah seluruh kelompok perlakuan dilakukan melalui sinus orbitalis. Pencuplikan darah kelompok IV-VI perlakuan FHEMM yaitu 24 jam setelah perlakuan. Data aktivitas ALP kemudian diuji statistika dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian jangka pendek FHEMM dapat menurunkan aktivitas ALP pada tikus terinduksi karbon tetraklorida. Namun, tidak terdapat kekerabatan antar dosis pemberian terhadap penurunan aktivitas ALP.

Kata kunci: fraksi heksan-etanol, ekstrak metanol, Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., jangka pendek, penurunan aktivitas ALP, karbon tetraklorida


(23)

ABSTRACT

The aimed of this study is to determine the short-term effect of hexane-ethanol fraction from mhexane-ethanol water extract of Macaranga tanarius L. leaves (FHEMM) and to prove information about the relationship between the FHEMM doses to decreased alkaline phosphatase (ALP) level in female Wistar rats induced by carbon tetrachloride.

This study was pure experimental with completely randomized direct sampling design. This study used 30 female Wistar rats, aged about 2-3 months, and ± 130-180 gram body weight. Rats were devided randomly into six group of 5 rats. Group I (control CMC) were given a dose of 0.057 mg/gBW orally (p.o.) and after six hour, blood were collected. Group II (control hepatotoxin) were given a dose of 2 mL/KgBW carbon tetrachloride – olive oil with ratio 1:1 intraperitoneally (i.p.) and after 24 hour, blood were collected. Group III (control dose of FHEMM) were given a dose of FHEMM 137.14 mg/KgBW once in p.o. and after 6 hour, blood were collected. Group IV, V, and VI (treatment group) sequentially were given FHEMM dose 34.28; 68.57; and 137.14 mg/KgBW once in six hours, then were given a dose of 2 mL/KgBW hepatotoxin in i.p.. Blood in treatment group were collected after 24 hour. Blood collected from the orbital sinus region and then measured ALP serum activities. The obtained data ALP serum activities were analyzed with statistical confidence level of 95%.

The result showed that short-term administration of FHEMM can reduced ALP serum activities in rats induced by carbon tetrachloride. However, there is no relationship between that doses to decrease the ALP serum activities.

Keywords: hexane-ethanol fraction, methanol-water extract, Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., short-term, carbon tetrachloride, ALP


(24)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1,4 kg (3 lb) (Tortora and Derrickson, 2014) yang multifungsi yaitu berperan penting dalam metabolisme, klirens metabolik, produksi protein dan lipid, dan juga berperan dalam kerusakan akibat senyawa kimia. Selain itu, hati juga berperan dalam sistem imun, yaitu dalam produksi sejumlah protein darah yang penting dalam melawan infeksi (Muench, 2013).

Kerusakan pada organ hati (hepatotoksisitas) dapat menyebabkan terganggunya fungsi fisiologis tubuh. Hepatotoksisitas tersebut dapat disebabkan oleh toksin kimia atau natural yang terdapat di lingkungan, rumah, atau di tempat kerja (Zimmerman and Lewis, 1995).

Steatosis merupakan salah satu jenis kerusakan hati. Pada keadaan steatosis, hepatosit mengandung 5% (5 gram per 100 mL) lemak (Rom, Markowitz, 2007). Steatosis dapat disebabkan oleh penyakit hati alkoholik maupun penyakit hati non alkoholik/non alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Kondisi NAFLD menyebabkan lebih dari 95% dari total kematian akibat penyakit hati (Canadian Liver Foundation, 2013). Prevalensi NAFLD pada populasi umum negara-negara bagian Barat adalah 20-30% (Bellentani, Scaqlioni, Marino, Bedogni, 2010). Prevalensi NAFLD pada populasi umum di negara-negara Asia-Pasifik adalah


(25)

Singapore 5%; dan di Indonesia yaitu sekitar 30% (Amarapurkar, Hashimoto, Lesmana, Sollano, Chen, and Goh, 2007).

Parameter kerusakan hati adalah terjadinya peningkatan alanine aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), alkaline phosphatase (ALP), gamma glutamyltransferase (GGT), dan total bilirubin (TB) (EMA, 2008). Salah satu enzim yang digunakan sebagai parameter kerusakan hati adalah alkaline phosphatase (ALP). ALP adalah enzim yang mengkatalisis hidrolisis monoester dari asam fosfor dan juga mengkatalisis reaksi transfosforilasi. Peningkatan kadar ALP mengindikasikan adanya kerusakan hati (Millan, 2006).

Hepatotoksin yang sering digunakan dalam eksperimen kerusakan hati pada tikus adalah karbon tetraklorida (Kumar, Sivaraj, Elumalai, Kumar, 2009). Prinsip karbon tetraklorida menginduksi kerusakan hati yaitu dengan membentuk radikal triklorometil yang jika berikatan dengan molekul seluler seperti asam nukleat, protein, dan lemak akan merusak proses yang krusial pada sel yaitu metabolisme lipid dengan hasil akhir yaitu degenerasi melemak (steatosis) (Weber, Boll, Stampfl, 2003).

Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan tanaman obat. Tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan penyakit (peventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Jika dilihat dari prevalensi penyakit hati yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, perlu adanya pengembangan mengenai tanaman obat yang berpotensi


(26)

sebagai hepatoprotektor. Tumbuhan Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. atau di Indonesia dikenal dengan nama tutup ancur, hanuwa, mara, atau mapu merupakan tumbuhan kecil sampai sedang, memiliki ranting tebal, berwarna hijau keabuan, panjang dan lebar daun 8-32 x 5-28 cm (Agroforestry Database 4.0) adalah salah satu tumbuhan obat.

Penelitian yang dilakukan oleh Adrianto (2011), ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek hepatoprotektif pada tikus yang terinduksi parasetamol. Penelitian terkait juga dilakukan oleh Tiala (2013) yang melaporkan bahwa ekstrak metanol-air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek hepatoprotektif pada tikus terinduksi karbon tetraklorida. Kumazawa, Murase, Momose, Fukumoto (2014) telah melakukan penelitian pada daun Macaranga tanarius dan didapatkan bahwa ekstrak metanol-air Macaranga tanarius L. memiliki senyawa prenylflavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian tentang daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. juga telah dilakukan oleh Puteri dan Kawabata (2010) bahwa fraksi etil asetat ekstrak metanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki senyawa ellagitannin yaitu mallotinic acid, corilagin, macatannin A, chebulogic acid, dan macatannin B. Senyawa tanin yang merupakan senyawa fenolik terdapat pada daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. juga berpotensi sebagai antioksidan. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti tertarik untuk melihat aktivitas hepatoprotektif fraksi heksan-etanol ekstrak metanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat aktivitas ALP.


(27)

Fraksinasi menggunakan pelarut heksan-etanol didasarkan pada kemiripan lipofilisitas kandungan senyawa tanin yang terdapat pada fraksi etil asetat ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dengan lipofilisitas heksan etanol. Berdasarkan perhitungan menggunakan aplikasi Marvin Sketch© didapatkan bahwa lipofilisitas heksan-etanol adalah 2,97; dan campuran senyawa tanin yang memiliki lipofilisitas mendekati heksan-etanol berturut-turut adalah macatannin B (2,94); macatannin A (2,76); dan chebulogic acid (2,64).

Pemilihan jangka pendek efek hepatoprotektif fraksi heksan-etanol ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dilakukan bersamaan dengan pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak mheksan-etanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida (Novita, 2015). Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan karena penelitian menggunakan fraksi heksan-etanol ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dengan pemberian jangka pendek pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat aktivitas ALP belum pernah dilakukan.

1. Perumusan masalah

a. Apakah pemberian sediaan fraksi heksan-etanol ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. (FHEMM) jangka pendek memberi pengaruh penurunan aktivitas ALP pada tikus betina Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida?

b. Apakah dosis FHEMM memiliki kekerabatan dengan penurunan aktivitas ALP pada tikus betina Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida?


(28)

2. Keaslian Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Andhini dan Hendra (2011) terhadap ekstrak metanol air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek analgesik pada mencit betina galur Swiss. Penelitian menggunakan Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. pernah dilakukan oleh Adrianto (2011) yang melaporkan bahwa ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek hepatoprotektif pada tikus jantan terinduksi parasetamol. Penelitian terkait juga dilakukan oleh Tiala (2013) yang melaporkan bahwa ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek hepatoprotektif pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan pemberian jangka pendek. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Rahmamurti (2013) yang melaporkan bahwa bahwa ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek hepatoprotektif pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dengan pemberian jangka panjang.

Sejauh penelusuran pustaka yang peneliti lakukan, penelitian mengenai “Efek Hepatoprotektif Jangka Pendek Fraksi Heksan-Etanol Ekstrak Metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. (FHEMM) terhadap Aktivitas Alkaline Phosphatase (ALP) pada Tikus Betina Terinduksi Karbon Tetraklorida” belum pernah dilakukan.


(29)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai pengaruh pemberian jangka pendek FHEMM sebagai agen hepatoprotektor.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait:

1) Penurunan aktivitas ALP setelah pemberian FHEMM jangka pendek 1 kali 6 jam.

2) Hubungan kekerabatan antara dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas ALP.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui pemberian jangka pendek satu kali enam jam FHEMM sebagai agen hepatoprotektor.

2. Tujuan khusus

a. Membuktikan bahwa pemberian jangka pendek satu kali enam jam FHEMM berpengaruh terhadap penurunan aktivitas serum ALP tikus betina Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

b. Mengetahui kekerabatan antar dosis FHEMM terhadap penurunan aktivitas ALP pada tikus betina Wistar terinduksi karbon tetraklorida.


(30)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hati

1. Anatomi Fisiologi Hati

Hati adalah kelenjar terbesar di dalam tubuh yang memiliki berat sekitar 1,4 kg (3 lb) pada rata-rata orang dewasa (Tortora and Derrickson, 2014), berwarna merah kecoklatan (Frandson, Wilke, Fails, 2009), dan berbentuk piramida triangular (Karaliotas, Broelsch, Habib, 2006).

Gambar 1. Penampakan arterior lokasi hati pada rongga abdominopelvis (Tortora and Derrickson, 2014).


(31)

Dapat dilihat pada Gambar 1. bahwa hati terletak lebih rendah dari diafragma, paling banyak menempati bagian hipokondriak kanan dan daerah epigastrium dari rongga abdominopelvis. Hampir seluruh bagian hati diselubungi oleh peritoneum viseral dan seluruh bagian hati diselubungi oleh lapisan jaringan konektif yang tebal, tak beraturan yang berada di dalam peritoneum (Tortora and Derrickson, 2014). Hati terbagi menjadi 2 lobus, yaitu lobus kanan dan lobus kiri (Gambar 2.) dipisahkan oleh celah yang merentang dari tepi kiri vena kava inferior sampai ke kantung empedu. Lobus kanan terbagi oleh celah intralobular dalam dua lobus, yaitu paramedian kanan dan posterior kanan. Lobus kiri terbagi oleh celah intralobular kiri, yaitu paramedian kiri dan lateral kiri (Karaliotas, et al., 2006).


(32)

Hati tersusun dari beberapa komponen (Gambar 3.) yaitu:

a. Hepatosit

Hepatosit merupakan sel hati yang berperan penting dalam metabolisme, sekresi, dan endokrin. Hepatosit adalah sel epitelial dengan 5-12 sisi yang membentuk 80% volume hati. Hepatosit membentuk susunan kompleks tiga dimensi yang disebut lamina hepatik. Lamina hepatik bentuknya tidak beraturan dan bercabang. Lamina hepatik merupakan tempat hepatosit yang tiap sisinya dibatasi oleh endotelial melapisi ruang vaskular yang dinamakan hepatik sinusoid.

b. Bile canaliculi

Bile canaliculi merupakan saluran kecil antara hepatosit yang menampung empedu yang diproduksi oleh hepatosit. Dari bile canaliculi, empedu melewati bile ductules dan kemudian saluran empedu. Saluran empedu bergabung dan akhirnya membentuk saluran hepatik kanan dan kiri yang lebih luas, kemudian saluran ini bersatu dan meninggalkan hati sebagai common hepatic duct. Common hepatic duct bergabung dengan cystic duct untuk membentuk common bile duct. Dari common bile duct, empedu masuk ke duodenum untuk berpartisipasi dalam proses digesti.

c. Sinusoid hepatik.

Sinusoid hepatik merupakan kapiler darah yang sangat permeabel yang terletak di antara jajaran hepatosit yang menerima darah mengandung


(33)

oksigen dari cabang arteri hepatik dan nutrien- dari cabang vena porta hepatika.

(Tortora and Derrickson, 2014).

Gambar 3. Komponen hati (Tortora and Derrickson, 2014).

Hati memiliki unit fungsional terkecil yang disebut dengan asinus hati dan zonasi metabolik yang membedakan adanya suplai darah kaya oksigen pada pembuluh darah. Asinus hati mengandung hepatosit dan sinusoid dari lobulus yang bersebelahan dan disediakan oleh satu portal tract. Darah mengalir melalui sinusoid hepatik ke vena lobular pusat yang dapat dilihat pada Gambar 4. bagian A.


(34)

Gambar 4. Asinus hati dan zonasi metabolik (Naish and Court, 2009).

Hepatosit pada zona 1 dapat dilihat pada Gambar 4. bagian B, yaitu yang paling dekat dengan portal tract, menerima paling banyak oksigen dari arteriola hepatik dan nutrien dari venula porta. Hepatosit pada zona 3 perifer menerima lebih sedikit oksigen dan nutrien. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan ekspresi dan


(35)

metabolisme gen. Kejadian ini dikenal sebagai zonasi metabolik hati (Naish and Court, 2009).

2. Fungsi Hati

a. Mensekresikan empedu

Setiap hari, hepatosit mensekresikan 800-1000 mL empedu yang berwarna kuning, kecoklatan, atau hijau, dan berminyak. Cairan empedu memiliki pH 7,6-8,6 dan sebagian besar mengandung air, garam empedu, kolesterol, fosfolipid yang dikenal dengan lesitin, pigmen empedu, dan beberapa ion.

Gambar 5. Pembentukan bilirubin dari fagositosis sel darah merah (Tortora and Derrickson, 2014).

Pigmen utama empedu adalah bilirubun. Pada Gambar 5. di atas, fagositosis sel darah merah yang sudah tua melepaskan zat besi, globin, dan bilirubin (berasal dari heme). Zat besi dan globin kemudian didaur ulang, sedangkan bilirubin disekresikan ke empedu dan akan pecah di


(36)

usus. Salah satu produk dari pecahnya bilirubin di usus adalah sterkobilin, yang memberikan warna coklat pada feses (Tortora and Derrickson, 2014). b. Metabolisme karbohidrat

Hati memiliki fungsi spesifik dalam metabolisme karbohidrat seperti menyimpan glikogen, mengubah fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa, terjadinya proses glukoneogenesis, dan membentuk senyawa-senyawa penting dari metabolisme karbohidrat. Hati juga memainkan peranan penting dalam menjaga kadar glukosa darah. Hati menyimpan kelebihan glukosa sebagai glikogen dan mengembalikannya ke darah ketika kadar glukosa darah sangat rendah via “mekanisme buffer glukosa”. Pada glukoneogenesis, banyak asam amino dan gliserol dari trigliserida yang diubah menjadi glukosa, sehingga berkontribusi dalam menjaga agar kadar glukosa darah tetap normal (Mahtab and Rahman, 2009).

c. Metabolisme lipid

Aspek tertentu dalam metabolisme lipid terjadi di dalam hati. Fungsi spesifik hati dalam metabolisme lipid adalah membentuk hampir seluruh lipoprotein, beta-oksidasi dari asam lemak untuk menyediakan energi bagi bagian tubuh lain, sintesis kolesterol dan fosfolipid, mengubah karbohidrat dan protein menjadi lemak. Hampir seluruh sintesis lipid di dalam tubuh dari karbohidrat dan protein terjadi di hati, kemudian akan ditransportasikan pada lipoprotein ke jaringan adiposa untuk penyimpanan (Mahtab and Rahman, 2009).


(37)

d. Metabolisme protein

Hepatosit mendeaminasi asam amino sehingga asam amino dapat digunakan untuk produksi ATP atau diubah menjadi karbohidrat atau lemak. Amoniak toksik yang dihasilkan kemudian diubah menjadi urea yang kurang toksik dan diekskresikan dalam urin. Hepatosis juga mesintesis sebagian besar protein plasma, seperti alfa dan beta globulin, albumin, protrombin, dan fibrinogen (Tortora and Derrickson, 2014). e. Mengolah obat dan hormon

Hati akan mendetoksifikasi zat seperti alkohol dan mengekskresikan obat seperti penisilin, eritromisin, dan sulfonamid ke dalam empedu. Hati juga dapat mengubah atau mengekskresikan hormon tiroid dan steroid seperti estrogen dan aldosteron (Tortora and Derrickson, 2014).

f. Fungsi imunologi

Bakteri dan antigen dibawa ke hati melalui vena porta dari saluran gastrointestinal. Antigen akan difagosit dan didegradasi oleh sel Kupffer (yang bertindak sebagai penyaring). Sel Kuppfer adalah makrofag yang terikat pada endotelium. Sel ini diaktivasi pertama kali oleh antigen, mensekresikan interleukin, tumor necrosis factor, kolagen, dan lisosomal hidrolase. Antigen ini didegradasi tanpa produksi antibodi (Mahtab and Rahman, 2009).


(38)

g. Metabolisme obat

Hati memetabolisme hampir seluruh obat. Pada administrasi obat secara peroral, absorbi terjadi di usus halus dan dibawa ke hati melalui vena porta, kemudian didistribusikan ke kompartemen yang terkait. Hasil dari metabolisme obat yaitu termasuk produksi metabolit yang kurang aktif pada non pro-drug, produksi metabolit aktif pada pro-drug (Naish and Court, 2009).

3. Kerusakan Hati

Perubahan morfologi hati merupakan akibat dari kerusakan hati oleh agen kimia maupun biologi. Tipe perubahan menentukan manifestasi klinis, penurunan fungsi, serta perubahan biokimia hati. Beberapa jenis kerusakan hati adalah nekrosis, steatosis, kolestasis, dan sirosis (Zimmerman, 1999).

a. Nekrosis (kematian sel)

Nekrosis (kematian sel) dapat terjadi karena cedera sel langsung, gangguan fungsi intraseluler, atau cedera langsung oleh sistem imun yang dimediasi oleh kerusakan membran. Nekrosis hati dapat disebabkan oleh alkohol, CCl4, brombenzena, dan berilium (Duffus and Worth, 1996). b. Steatosis (perlemakan hati)

Steatosis atau perlemakan hati merupakan keadaan hepatosit yang secara morfologi mengandung lebih dari 5% lemak, atau secara kuantitatif mengandung lebih dari 5 g lemak per 100 g jaringan hepatik. Biasanya gejala ini terdapat pada pasien dengan diabetes melitus, hipertrigliseridemia, dan obesitas (Rom, Markowitz, 2007). Steatosis juga


(39)

seringkali terjadi karena penyakit hati alkoholik (Kelly, 2008). Senyawa kimia juga dapat menyebabkan steatosis, beberapa di antaranya adalah karbon tetraklorida, toluen, stiren, trikloroetan (TCE), dan metil kloroform (Rom, Markowitz, 2007).

c. Kolestasis

Kolestasis didefinisikan sebagai disorder sekresi empedu dan kolepoiesis yang menyebabkan kemacetan saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Kolestasis dapat menimbulkan penyakit kuning. Kolestasis ditandai dengan meningkatnya asam empedu, enzim spesifik, dan kolesterol dalam serum (Kuntz and Kuntz, 2008).

d. Sirosis

Sirosis hati adalah kondisi kronis yang bersifat irreversible yaitu penggantian hepatosit normal oleh jaringan fibrosa. Sirosis hati paling banyak terjadi karena infeksi virus kronis dan penyalahgunaan alkohol. Morbiditas sirosis hati meningkat pada pekerja yang setiap hari terpejan oleh solven organik seperti dimetilnitrosamin (DMN), trinitrotuluen (TNT), TCE, pestisida, dan hidrazin yang merupakan senyawa yang dapat meningkatkan laju sirosis (Rom, Markowitz, 2007). Sirosis merupakan bentuk kerusakan akhir dari kerusakan hati (Zimmerman, 1999).

4. Hepatotoksin

Hepatotoksin merupakan toksin yang dapat menyebabkan kerusakan hati. Senyawa kimia dan obat-obatan yang dapat memicu atau menyebabkan kerusakan hati diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:


(40)

a. Hepatotoksin intrinsik

Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang tergantung pada dosis. Hepatotoksin intrinsik bersifat reprodusibel pada hewan penelitian. Agen hepatotoksin intrinsik yaitu parasetamol, karbon tetraklorida, dan alkohol.

b. Hepatotoksin idiosinkratik

Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak tergantung pada dosis dan kerusakan yang dihasilkan tidak dapat diprediksi pada sebagian kecil resipien. Agen hepatotoksin idiosinkratik adalah isoniazid (INH), sulfonamid, valproat, dan fenitoin

(Friedman and Keeffe, 2012).

B. Alkaline Phosphatase

Alkaline Phosphatase (ALP) merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis sejumlah ester fosfat organik yang reaksi optimal terjadi pada pH alkali. ALP ditemukan di beberapa tempat, yaitu osteoblas, membran kanalikular hepatosit, perbatasan sel mukosal usus halus, tubulus proksimal di ginjal, plasenta, dan sel darah putih (Schiff, Sorrell, Maddrey, 2012).

Tes kadar ALP sensitif untuk mendeteksi obstruksi saluran empedu sehingga menjadi indikator terjadinya kolestasis (Hodgson, 2010). Peningkatan ALP terjadi karena peningkatan sintesis enzim hepatik. Kadar ALP dapat kembali normal secepat mungkin pada keadaan kolangitis supuratif akut, yaitu ketika serum aminotransferase telah meningkat. Hal ini terjadi karena ALP disintesis untuk


(41)

merespon adanya obstruksi empedu. Peningkatan asam empedu juga memicu peningkatan sintesis ALP. Serum ALP memiliki waktu paruh 17 hari, kadar tetap meningkat hingga 1 minggu setelah adanya perbaikan pada obstruksi empedu. Peningkatan kadar ALP juga mengindikasikan penyakit hati infiltratif seperti tumor, abses, granuloma, atau amiloidosis. Kadar ALP yang tinggi berhubungan dengan obstruksi empedu, kolangitis sklerosis, sirosis empedu primer, sepis, AIDS, kolestatis. Pada pasien yang kritis, kadar yang tinggi dapat mengindikasikan kolangitis sklerosis sekunder yang dengan cepat dapat menjadi sirosis. Kadar ALP yang sedang seringkali dijumpai pada hepatitis dan sirosis. Kadar ALP yang rendah dapat terjadi pada keadaan hipotiroid, anemia pernisius, kekurangan zink, hipofosfatasia kongenital, dan penyakit Wilson fulminan (Friedman and Keeffe, 2012).

Menurut Zimmerman (1999) pemberian hepatotoksin karbon tetraklorida dapat menyebabkan kenaikan kadar ALT dan AST sebesar 3-4 kali normal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradeep, Khan, Ravikumar, Ahmed, Rao, Kiranmai, et al. (2009), pemberian hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/KgBB dapat meningkatkan ALT dan AST sebesar 3-4 kali normal dan ALP sebesar 1,3 kali normal.


(42)

C. Karbon Tetraklorida

Gambar 6. Struktur kimia karbon tetraklorida (Enviromental Protection Agency, 2010).

Karbon tetraklorida merupakan cairan yang tidak berwarna dan mudah terbakar. Nama IUPAC karbon tetraklorida adalah tetraklorometana (Enviromental Protection Agency, 2010).

Karbon tetraklorida merupakan pelarut yang digunakan di industri dan juga merupakan toksin lingkungan yang biasa digunakan sebagai agen hepatotoksik pada tikus (Abraham, Wilfred, Cathrine, 1999). Penggunaan karbon tetraklorida sering digunakan sebagai model penelitian untuk memperlihatkan mekanisme aksi efek hepatotoksik pada tikus seperti degenerasi melemak, fibrosis, kematian sel hati, dan karsinogenisitas (Weber, et al., 2003).

Mekanisme kerusakan hati akibat hepatotoksin karbon tetraklorida dapat melalui dua jalur yang berbeda, yaitu jalur haloalkilasi dan jalur peroksidasi lipid (Gambar 7.). Karbon tetraklorida diaktivasi oleh enzim CYP2E1, CYP2B1 atau CYP2B2, dan kemungkinan juga oleh enzim CYP3A membentuk radikal triklorometil. Radikal triklorometil dengan adanya oksigen akan membentuk radikal peroksi triklorometil. Mekanisme karbon tetraklorida menyebabkan steatosis adalah melalui jalur haloalkilasi (Weber, et al., 2003).


(43)

Gambar 7. Mekanisme karbon tetraklorida menginduksi kerusakan hati (Weber, et al., 2003).

Melalui jalur haloalkilasi, radikal triklorometil dapat berikatan dengan molekul seluler (asam nukleat, protein, dan lemak) dengan merusak proses krusial pada sel seperti metabolisme lipid, dengan hasil akhir yaitu degenerasi melemak (steatosis). Kerusakan akibat pemejanan karbon tetraklorida menginduksi terjadinya steatosis yaitu dengan memblok sekresi lipoprotein dari hepatosit ke


(44)

sirkulasi. Semakin banyak metabolit reaktif yang dihasilkan, semakin luas pula terjadinya steatosis (Weber, et al., 2003).

Gambar 8. Metabolisme lipid (Weber, et al., 2003).

Ketoksikan karbon tetraklorida yang persisten mempengaruhi kapasitas untuk sintesis lipid. Pada saat terjadi akumulasi lemak, perubahan fungsi membran plasma juga terjadi pada saat yang bersamaan. Perubahan membran plasma terjadi selama pemejanan karbon tetralorida yang mempengaruhi ikatan membran enzim (Weber, et al., 2003).

Salah satu lipoprotein yang terganggu sekresinya adalah very low density lipoprotein (VLDL). Sekresi VLDL dari hepatosit sangat menurun ketika terinduksi karbon tetraklorida. Hal ini dapat dibuktikan yaitu dengan melihat pada fase awal


(45)

akut, karbon tetraklorida merusak aparatus Golgi sehingga fungsi hati terganggu. Padahal aparatus Golgi sangat penting dalam sintesis, maturasi, dan sekresi VLDL (Weber, et al., 2003).

Steatosis juga terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara sintesis dan degenerasi lipid, dapat juga terjadi karena kegagalan trigliserida menjadi VLDL dari hati ke sirkulasi. Formasi radikal triklorometil merupakan penyebab berkembangnya steatosis. Karbon tetraklorida meningkatkan sintesis asam lemak dan trigliserida dari asetat dan juga meningkatkan laju esterifikasi lipid. Sintesis kolesterol juga meningkat. Peningkatan esterifikasi asam lemak adalah respon sekunder (β-oxidation dan penurunan sekresi lipid) penghambatan terhadap karbon tetraklorida. Stimulasi oleh karbon tetraklorida mempengaruhi transport asetat ke sel hati, yang dapat menghasilkan peningkatan kemampuan substrat untuk membentuk trigliserida (Weber, et al., 2003).

Adanya kerusakan hati dapat dilihat dari kenaikan aktivitas serum ALT dan AST. Seatosis yang disebabkan oleh induksi hepatotoksin karbon tetraklorida ditandai dengan meningkatnya aktivitas serum ALT sebesar 3 kali normal dan aktivitas serum AST sebesar 4 kali normal (Zimmerman, 1999).


(46)

D. Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Gambar 9. Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. 1. Taksonomi

Kerajaan : Plantae (Tumbuhan) Sub kerajaan : Viridiplantae

Infra kerjaan : Sterptophyta Super divisi : Embryophyta Divisi : Tracheophyta Sub Divisi : Spermatophytina

Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua atau dikotil) Superorder : Rosanae

Order : Malpighiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Macaranga thouars

Spesies : Macaranga tanarius (L.) Mull. Arg.


(47)

2. Nama lain

Nama lain Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. adalah Macaranga molliuscula Kurz, Macaranga tomentosa Blume, Mappa tanarius L. Blume (Ong, 2014).

3. Morfologi

Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. (Gambar 9.) merupakan pohon kecil sampai sedang, berdaun hijau, memiliki ketinggian 4-5 meter dengan dahan agak besar. Daunnya berseling, agak membundar, dengan stipula besar yang luruh. Perbungaan bermalai di ketiak, bunga ditutupi oleh daun gagang. Buah kapsul berkokus 2, ada kelenjar kekuningan di luarnya. Biji membulat, menggelembur jenis ini juga mengandung tanin yang cukup untuk menyamak jala dan kulit (Wardiyono, 2012).

4. Kandungan kimia

Penelitian yang dilakukan oleh Kumazawa, et al., (2014) melaporkan bahwa ekstrak metanol air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki senyawa prenylfalvonoid yang berfungsi sebagai antioksidan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Matsunami, Takamori, Shinzato, Aramoto, kondo, Otsuka, Takeda (2006) pada daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terdapat glukosida megastigman (megastigmane glucoside) yang dinamai macarangioside A, macarangioside B, macarangioside C, macarangioside D. Selain itu, terdapat juga mallophenol B, lauroside E, methyl brevifolin carboxylate, dan hyperin dan isoquercitrin. Macarangioside A, B, dan C, dan mallophenol B memiliki aktivitas antioksidan. Pada tahun 2009, Matsunami, Otsuka, Kondo,


(48)

Shinzato, Kawahata, dan Takeda menemukan senyawa baru yang terdapat pada daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., yaitu lignan glucoside, (+)-pinoserinol 4-O-[6’-O-galloyl]-β-D-glucopyranoside (1), dan dua megastigmane glucosides

yang dinamakan macarangiosides E dan macarangiosides F (2,3), bersama dengan 15 campuran yang telah diketahui (4-18). Campuran 1 dan 2 memiliki aktivitas antioksidan.

Phommart, Sutthivaiyakit, Chimnoi, ruchirawat, Suttivaiyakit (2005) juga melakukan penelitian terhadap daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. ditemukan tiga kandungan senyawa baru yaitu tanarifuranonol, tanariflavaanon C, dan tanariflavanon D bersama dengan tujuh kandungan yang telah diketahui yaitu nymphaeol A, nymphaeol B, nymphaeol C, tanariflavanone B, blumenol A (vomifoliol), blumenol B (7,8 dihydrovomifoliol) dan annuionone E.

Gambar 10. Isolasi kandungan ellagitannin yang terdapat pada daun

Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Penelitian yang dilakukan oleh Puteri dan Kawabata (2010) yang melaporkan bahwa ekstrak etanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.


(49)

memiliki senyawa ellagitannins yaitu mallotinic acid, corilagin, macatannin A, chebulogic acid, dan macatannin B (Gambar 10.).

E. Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan senyawa aktif yang dapat larut dengan pelarut yang sesuai sehingga terpisah dari senyawa yang tidak dapat larut (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2000).

Salah satu metode ekstraksi dari material tumbuhan adalah ekstraksi dengan pelarut organik. Pemilihan pelarut tergantung pada beberapa faktor termasuk karakteristik dari konstituen yang akan diekstraksi, biaya, dan pengaruh lingkungan. Pelarut yang dapat melarutkan zat yang diinginkan pada tumbuhan, maka disebut miscella. Ekstraksi dengan pelarut organik dibagi menjadi beberapa cara, yaitu:

a. Maserasi

Metode ini meliputi merendam dan menggojog pelarut dan simplisia secara bersamaan. Pelarut kemudian dikeluarkan. Sisa miscella yang tidak dapat dikeluarkan kemudian ditekan atau disentrifugasi. b. Perkolasi

Pada metode ini, material tumbuhan dibasahkan dengan pelarut dan akan mengembang sebelum ditempatkan di camber perkolasi. Material secara berulang dibasuh dengan pelarut sampai semua bahan dikeluarkan. Pelarut berulang kali digunakan hingga jenuh.


(50)

Terdapat beberapa sifat-sifat senyawa yang diekstraksi, yaitu:

a. Polaritas

Prinsip “like dissolves like” berperan penting dalam ekstraksi. Pelarut non polar akan mengeskstraksi senyawa yang non polar, dan pelarut polar akan mengekstraksi senyawa yang polar.

b. Pengaruh variasi pH

Kemampuan ionisasi campuran merupakan pertimbangan penting lainnya, seperti pH pelarut dapat disesuaikan untuk memaksimalkan proses ekstraksi.

c. Termostabilitas

Solubilitas campuran pada pelarut meningkat seiring dengan naiknya temperatur dan temperatur yang lebih tinggi memfasilitasi penetrasi pelarut ke dalam struktur seluler organisme yang diekstraksi. Namun, hal tersebut tidak menguntungkan bagi senyawa yang tidak stabil terhadap temperatur.

(Houghton and Raman, 1998). Prinsip “like dissolves like” diaplikasikan lagi pada pemilihan pelarut. Tipe pelarut menentukan senyawa yang diekstrak. Sifat-sifat yang berkaitan dengan pelarut adalah titik didih, derajat kemampuan untuk terbakar (flammability), reaktivitas (Houghton and Raman, 1998).


(51)

Sifat-sifat pelarut yang digunakan dalam ekstraksi: a. Volatilitas, flammability, dan titik didih

Titik didih pelarut menentukan kemudahan untuk menghilangkan pelarut dari ekstrak. Titk didih pelarut yang lebih rendah lebih disukai daripada titik didih yang lebih tinggi dengan polaritas yang sama karena lebih mudah menguap, misalnya heksan (68ºC) lebih mudah menguap daripada sikloheksan (80,5 ºC). Namun, pelarut yang mudah menguap, membutuhkan prosedur penanganan yang lebih aman untuk melindungi operator dan lingkungan. Pelarut seperti dietileter, yang memiliki titik didih rendah, cenderung dihindari karena sifat lainnya yaitu mudah terbakar.

b. Toksisitas

Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan pelarut adalah toksisitas pelarut kepada operator. Sebagai contoh, inhalasi kloroform atau dietil eter dalam jumlah besar dapat menyebabkan depresi sistem respirasi dan anestesi sentral.

c. Reaktivitas

Reaktivitas pelarut penting untuk diketahui, karena pelarut dapat bereaksi secara kimia dengan senyawa yang akan dieksraksi membentuk artefak. Potensi reaksi kimia terjadi pada suasana asam atau basa.

(Houghton and Raman, 1998). Hasil dari proses ekstraksi disebut dengan ekstrak. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2000), ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau


(52)

cair yang dibuat dengan menyari simplisia. Cairan penyari yang dapat digunakan dalam pembuatan sediaan ekstrak adalah air, etanol, eter, atau campuran etanol dan air (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2000).

F. Fraksinasi

Fraksinasi merupakan metode untuk memisahkan senyawa murni dari campuran senyawa yang kompleks. Metode fraksinasi membutuhkan tahapan yang panjang. Polaritas suatu senyawa sangat berguna untuk menentukan posedur fraksinasi (Wolf, 1969). Pemilihan pelarut didasarkan pada “like dissolves like” (Handley and Adlard, 2001).

Pemilihan metode fraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor sebagai berikut.

a. Sifat dasar senyawa yang terdapat pada ekstrak

Solubilitas senyawa yang terdapat pada ekstrak berpengaruh terhadap pelarut yang digunakan. Pelarut yang bersifat polar akan menyari senyawa polar yang terdapat pada ekstrak. Hal sebaliknya jika pelarut yang bersifat non polar akan menyari senyawa non polar yang terdapat pada ekstrak. Hal ini merupakan faktor yang paling penting. Selain hal tersebut, kerentanan terhadap degradasi selama proses pemisahan berlangsung juga penting. Stabilitas senyawa yang dipisahkan seringkali tidak diketahui, sehingga prinsip umum fraksinasi adalah meminimalisasi suhu, perlindungan dari cahaya, dan menghindari pelarut reaktif.


(53)

b. Penggunaan setelah proses fraksinasi

Bahan beracun harus dihindari dalam proses fraksinasi dan fraksi harus dilarutkan pada pelarut yang kompatibel dengan sistem jika akan digunakan untuk tes biologis. Namun, jika fraksi akan digunakan untuk fraksinasi lanjut atau untuk isolasi, maka aspek toksisitas kurang penting. Jika fraksi harus terkonsentrasi sebelum tahap berikutnya, maka dipastikan bahwa tahap konsentrasi difasilitasi dengan menggunakan pelarut yang mudah menguap.

c. Keamanan

Teknik dan material yang digunakan harus mengurngi resiko efek samping yang akut maupun kronis akibat dari toksisitas, atau kemungkinan rusaknya material oleh beberapa faktor seperti terbakar dan korosif.

(Houghton and Raman, 1998). Metode fraksinasi dapat dibagi menjadi beberapa metode, yaitu:

a. Presipitasi

Presipitasi terjadi jika konsentrasi substasi pada larutan melebihi kelarutan maksimum. Presipitasi dapat digunakan untuk menghilangkan senyawa yang diinginkan atau senyawa yang tidak diinginkan dan mempertahankannya pada larutan.

Faktor yang dapat mempengaruhi presipitasi adalah pengaruh polaritas pelarut oleh penambahan pelarut yang dapat bercampur namun polaritasnya berbeda. Jika original ekstrak telah dibuat dengan air,


(54)

kemudian metanol, etanol 96% atau aseton, pada setiap penambahan, pelarut akan menjadi kurang polar dan senyawa yang polar akan mengalami presipitasi.

b. Destilasi

Destilasi merupakan metode fraksinasi untuk campuran yang mudah menguap. Destilasi bergantung pada gradien suhu yang ditetapkan di sepanjang kolom pendingin yang terletak di atas cairan mendidih. Campuran yang kurang volatil akan mengalami kondensasi paling dekat dengan boiling chamber. Kondensat di sepanjang kolom diambil dan komposisinya berbeda di sepanjang kolom.

c. Dialisis

Dialisis merupakan pemisahan berdasarkan ukuran molekul. Proses ini secara natural melewati membran sel dan sangat penting dalam berbagai proses fisiologis.

(Houghton and Raman, 1998).

G. Landasan Teori

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang multifungsi yaitu sebagai yaitu berperan penting dalam metabolisme, klirens metabolik, produksi protein dan lipid, dan juga berperan dalam kerusakan akibat senyawa kimia (Muench, 2003). Kerusakan hati akan menyebabkan terganggunya fisiologis tubuh.


(55)

tetraklorida dapat menyebabkan kerusakan hati namun tidak menyebabkan kematian. Mekanisme karbon tetraklorida menyebabkan kerusakan hati adalah dengan membentuk radikal triklorometil yang dapat merusak aparatus Golgi. Kerusakan pada aparatus Golgi menyebabkan terganggunya sekresi VLDL yang dapat menyebabkan penumpukan VLDL sehingga terjadi perlemakan hati atau steatosis (Weber, et al., 2003). Salah satu parameter kerusakan hati adalah terjadinya kenaikan aktivitas ALP (Friedman and Keeffe, 2012).

Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki bermacam-macam kandungan kimia diantaranya yang bersifat antioksidan adalah flavonoid dan tanin. Hasil isolasi senyawa yang terdapat pada fraksi etil asetat ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. adalah ellagitannin yang juga memiliki aktivitas antioksidan. Penelitian ini menggunakan fraksi heksan etanol dari ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang memiliki lipofilisitas sebesar 2,97 karena, lipofolisitas heksan etanol memiliki kemiripan lipofolisitas dengan 3 senyawa ellagitannin yang terdapat pada ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yaitu macatannin B, macatannin A, dan chebulogic acid dengan lipofilisitas berturut-turut adalah 2,94; 2,76; dan 2,64. Adanya antioksidan ini diduga dapat menangkal radikal bebas yang berasal dari induksi karbon tetraklorida.

Pemilihan jangka pendek efek hepatoprotektif fraksi heksan-etanol ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dilakukan bersamaan dengan pemberian jangka panjang fraksi


(56)

heksan-etanol ekstrak mheksan-etanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. pada tikus terinduksi karbon tetraklorida (Novita, 2015).

H. Hipotesis

Pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memiliki efek hepatoprotektif dengan menurunkan aktivitas ALP pada tikus betina Wistar terinduksi karbon tetraklorida.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh pemberian jangka pendek FHEMM terhadap aktivitas ALP pada tikus terinduksi karbon tetraklorida merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dosis pemberian jangka pendek sediaan FHEMM.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar ALP setelah pemberian jangka pendek sediaan FHEMM.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi hewan uji, yaitu tikus betina galur Wistar dengan berat badan 130-180 gram; umur 2-3 bulan; cara pemberian fraksi secara peroral (p.o.) sedangkan pemberian hepatotoksin secara intraperitoneal (i.p.); frekuensi pemberian FHEMM satu kali sehari; bahan uji yang digunakan yaitu daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang diperoleh dari Paingan,


(58)

Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

b. Variabel pengacau tak terkendali

Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah kondisi patologis hewan uji dan profil absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME).

3. Definisi Operasional

a. Ekstrak metanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Ekstrak metanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. merupakan ekstrak kental (bobot penimbangan tetap selama 2-3 hari) yang diperoleh dari hasil ekstraksi 40,0 gram serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang dimaserasi dengan pelarut metanol:air (1:1) sebanyak 200 mL selama 24 jam menggunakan shacker dengan kecepatan 140 rpm. Ekstrak cair yang diperoleh, kemudian diuapkan menggunakan rotary rotary vacuum evaporator dengan suhu 80oC hingga menjadi ekstrak kental. Setelah itu, ekstrak kental dipekatkan menggunakan oven dengan suhu 50oC.

b. Fraksi heksan-etanol ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. FHEMM adalah fraksi kental (bobot penimbangan tetap selama 2-3 hari) yang diperoleh dengan fraksinasi ekstrak kental daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. menggunakan pelarut heksan:etanol (1:1) dengan perbandingan ekstrak:pelarut adalah 1:5. Fraksinasi dilakukan dengan maserasi ekstrak selama 24 jam menggunakan shacker degan kecepatan


(59)

140 rpm. Fraksi cair yang diperoleh dipekatkan menggunakan oven dengan suhu 50oC.

c. Penurunan aktivitas ALP

Penurunan aktivitas ALP didefinisikan sebagai penurunan aktivitas ALP kelompok perlakuan FHEMM yang berbeda bermakna terhadap kelompok kontrol hepatotoksin.

d. Jangka pendek

Jangka pendek merupakan pemberian FHEMM 1 kali selama 6 jam.

C. Bahan Penelitian

1. Bahan utama

a. Hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus betina galur Wistar dengan berat badan 130-180 gram, umur 2-3 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang diperoleh di daerah Paingan, Maguwoharjo, Sleman dan dipanen pada pagi hari pada bulan Juni 2015. Daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang dipanen adalah daun yang memenuhi kriteria besar, berwarna hijau tua, tidak berbintik putih.


(60)

2. Bahan kimia

a. Metanol dan aquadest yang diperoleh dari CV. General Labora, Yogyakarta sebagai pelarut dalam proses ekstraksi.

b. Heksan dan etanol yang diperoleh dari CV. General Labora, Yogyakarta sebagai pelarut dalam proses fraksinasi.

c. Carboxymethyl Cellulosa (CMC) 1% yang diperoleh dari Laboratorium Biofarmasetika Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta sebagai pensuspensi FHEMM.

d. Karbon tetraklorida yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta sebagai hepatotoksin.

e. Olive oil Bertolli® sebagai pelarut hepatotoksin. f. Reagen ALP (Thermo Scientific)

Reagen ALP berisi 1) Active ingredients:

a) Reagent A:

4-NPP 16,3 mmol/L

b) Reagent B:

AMP 420 mmol/L

Mg Acetate 2,4 mmol/L

ZnSO4 1,2 mmol/L


(61)

D. Alat Penelitian

1. Alat pembuatan FHEMM

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan FHEMM adalah orbital shacker Optima®, Electric Sieve Shacker Indotest Multi Lab®, timbangan analitik Mettler Toledo®, oven Memmert®, blender Miyako®, rotary vacuum evaporator IKAVAC®, penangas air, ayakan no.50, moisture balance, serta alat-alat gelas Pyrex® berupa gelas beker, labu erlenmeyer, gelas ukur, labu ukur, batang pengaduk, pipet tetes, corong, labu alas bulat dan cawan porselen.

2. Alat uji penetapan kadar air

Moisture balance, beaker glass, sendok.

3. Alat perlakuan hewan uji

Alat-alat yang digunakan dalam perlakuan hewan uji adalah timbangan analitik Mettler Toledo®, spuit injeksi p.o dan syringe 3 cc Terumo®, spuit injeksi i.p dan syringe 1 cc Terumo®, pipa kapiler, serta alat-alat gelas Pyrex® berupa gelas beker, gelas ukur, labu ukur, batang pengaduk, pipet tetes, corong, dan pipet ukur.

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi tanaman Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Determinasi tanaman Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dilakukan dengan mencocokkan ciri-ciri makroskopis tanaman Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.. Determinasi dilakukan di bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


(62)

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang memenuhi kriteria besar, berwarna hijau tua, tidak berbintik putih yang dipetik dari daerah Paingan, Maguwoharjo, Sleman dan dipanen pada pagi hari agar tidak mengurangi kandungan metabolit sekunder daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

3. Pembuatan serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dicuci bersih dengan air mengalir, diangin-anginkan, dipotong agar mempercepat proses pengeringan, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 29oC. Daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. kering kemudian diserbuk menggunakan blender Miyako® dan diayak dengan ayakan nomor mesh 50.

4. Penetapan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Sebanyak 5 gram serbuk kering daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang sudah diayak, dimasukkan ke dalam alat moisture balance. Bobot serbuk kering kulit tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum pemanasan (bobot A), setelah itu dipanaskan pada suhu 110°C. Serbuk kering daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. yang sudah dipanaskan ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan (bobot B). Selisih bobot A terhadap bobot B merupakan kadar air dari sampel serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.


(63)

5. Pembuatan ekstrak metanol air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Sebanyak 40,0 gram serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dimaserasi dengan pelarut metanol:air (1:1) sebanyak 200 mL selama 24 jam menggunakan shaker dengan kecepatan 140 rpm untuk melarutkan senyawa yang diinginkan. Ekstrak cair yang diperoleh, kemudian disaring dengan corong Buchner untuk memisahkan ekstrak cair dengan residunya. Ekstrak cair yang telah disaring, diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator dengan suhu 80oC untuk mempercepat proses penguapan pelarut ekstrak. Setelah itu, ekstrak kental dituang ke dalam cawan porselen dan dipekatkan di oven dengan suhu 50oC. Ekstrak kental pekat yang masuk ke tahap fraksinasi adalah ekstrak kental yang memiliki bobot penimbangan tetap selama 2-3 hari.

6. Pembuatan fraksi heksan-etanol ekstrak metanol daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Ekstrak metanol air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. difraksinasi menggunakan pelarut heksan:etanol (1:1) dengan perbandingan ekstrak:pelarut adalah 1:5. Pemilihan heksan-etanol didasarkan pada kemiripan lipofilisitas senyawa tanin (macatannin A, macatannin B, dan chebulogic acid) dengan lipofilisitas heksan-etanol yang dihitung menggunakan aplikasi MarvinSketch©. Fraksinasi dilakukan dengan maserasi ekstrak selama 24 jam menggunakan shaker dengan kecepatan 140 rpm. Fraksi cair yang diperoleh, disaring dengan corong Buchner untuk memisahkan fraksi cair dengan residunya. Fraksi cair dituang ke cawan porselen dan dipekatkan pada oven


(64)

dengan suhu 50oC. Fraksi yang digunakan adalah fraksi yang memiliki bobot penimbangan tetap selama 2-3 hari.

7. Pembuatan suspending agent CMC 1%

Suspending agent CMC 1% dibuat dengan cara menimbang sebanyak 5,0 gram CMC dilarutkan menggunakan aquadest 200,0 mL dan didiamkan selama 24 jam hingga CMC mengembang. Suspensi tersebut kemudian ditambahkan dengan aquadest hingga 500,0 mL pada labu ukur 500,0 mL.

8. Penetapan dosis karbon tetraklorida

Penelitian yang dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) melaporkan bahwa dosis 2 mL/KgBB dapat merusak sel-sel hati yang ditandai dengan peningkatan kadar ALT dan AST 3-4 kali normal, namun pada dosis tersebut tidak menyebabkan kematian pada hewan uji. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2013) yang melaporkan bahwa induksi karbon tetraklorida 2 mL/KgBB mampu meningkatkan kadar serum ALT dan AST sebanyak tiga kali dari aktivitas serum awal.

9. Pembuatan karbon tetraklorida dalam olive oil

Hepatotoksin berupa karbon tetraklorida 2 mL/KgBB yang dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan 1:1.

10. Pembuatan sediaan FHEMM

Sediaan suspensi FHEMM dibuat dengan menimbang sebanyak 600 mg fraksi kental yang disuspensikan dengan CMC 1% dan diadd pada labu takar 25 mL. Pada proses pembuatan suspensi FHEMM dibantu dengan sonicator selama 5-10 menit.


(65)

11. Penetapan dosis FHEMM

Penetapan dosis FHEMM dihitung dengan konsentrasi yaitu 600 mg/25 mL dengan BB maksimal tikus 350 gram. Kemudian dibuat 3 peringkat dosis dengan faktor kelipatan 2.

12. Penetapan waktu pencuplikan darah

Penetapan waktu pencuplikan darah yang diambil dari sinus orbitalis mata ditentukan melalui orientasi kadar ALT dan AST pada jam ke 0, 24, dan 48 setelah pemberian hepatotoksin dosis 2 mL/kgBB secara i.p.. Menurut Janakat dan Al-Merie (2002) peningkatan aktivitas ALT dan AST maksimal terjadi pada jam ke 24 setelah pemberian karbon tetraklorida 2 mL/KgBB secara i.p..

13. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Sejumlah tiga puluh ekor tikus dibagi secara acak ke dalam enam kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok berisi lima ekor tikus. a. Kelompok I atau kelompok kontrol pensuspensi FHEMM, yaitu kelompok

yang diberikan CMC 1% secara p.o. dan diambil darahnya pada jam ke 6. b. Kelompok II atau kelompok kontrol hepatotoksin diberi karbon

tetraklorida – olive oil dengan perbandingan 1:1 dan dosis 2 mL/kgBB secara i.p. dan diambil darahnya pada jam ke 24.

c. Kelompok III atau kelompok kontrol dosis FHEMM diberi FHEMM dosis tinggi yaitu dosis 137,14 mg/kgBB satu kali secara p.o. dan diambil darahnya pada jam ke 6.


(66)

d. Kelompok IV atau kelompok perlakuan FHEMM diberi FHEMM dosis rendah yaitu dosis 34,28 mg/kgBB satu kali, enam jam setelah pemberian FHEMM kemudian diberikan karbon tetraklorida – olive oil dosis 2 mL/KgBB secara i.p.

e. Kelompok V atau kelompok perlakuan FHEMM diberi FHEMM dosis sedang yaitu dosis 68,57 mg/kgBB satu kali, enam jam setelah pemberian FHEMM kemudian diberikan karbon tetraklorida – olive oil dosis 2 mL/KgBB secara i.p.

f. Kelompok VI atau kelompok perlakuan FHEMM diberik FHEMM dosis tinggi yaitu dosis 137,14 mg/kgBB 1 kali, kemudian 6 jam setelah pemberian FHEMM diberikan karbon tetraklorida – olive oil dosis 2 mL/KgBB (1:1) secara i.p..

Pencuplikan darah semua kelompok perlakuan melalui sinus orbitalis mata. Pencuplikan darah kelompok IV-VI perlakuan FHEMM yaitu 24 jam setelah pemberian hepatotoksin 2 mL/KgBB secara i.p..

14. Pemeriksaan sampel darah

Pemeriksaan sampel darah dan penetapan aktivitas serum ALP dilakukan di Laboratorium Pusat Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Pemeriksaan sampel darah menggunakan reagen ALP (Thermo Scientific) dengan metode International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicines (IFCC). Cara pembuatan serum darah adalah sebagai berikut. a. Sampel darah vena diambil sebanyak 2-3 mL dan dimasukkan ke dalam


(67)

b. Sampel darah dibiarkan membeku (±15 – 30 menit).

c. Tabung disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit. d. Diambil bagian serum yaitu pada lapisan atas, kemudian dilakukan

pemeriksaan kadar ALP.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data aktivitas serum ALP diuji dengan Shapiro-Wilk untuk mengetahui distribusi data, kemudian dilanjutkan dengan analisis variansi pola searah (One Way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk melihat homogenitas varian antar kelompok sebagai syarat analisis parametrik. Jika data terditribusi normal (p>0,05) dan variansi data homogen (p>0,05) maka analisis data dapat dilanjutkan dengan uji Tukey HSD. Jika data terdistribusi normal (p>0,05) dan variansi data tidak homogen (p<0,05) maka analisis data dapat dilanjutkan dengan uji Games-Howell. Jika data tidak terdistribusi normal, maka analisis dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis yang selanjutnya diuji dengan Mann Whitney. Perbedaan bermakna antar kelompok ditandai dengan nilai p<0,05 dan perbedaan tidak bermakna antar kelompok ditandai dengan nilai p>0,05.


(68)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka pendek FHEMM serta ada tidaknya kekerabatan antar dosis pemberian FHEMM terhadap penurunan aktivitas ALP pada tikus betina Wistar terinduksi karbon tetraklorida.

A. Hasil Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian adalah Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyiapan bahan. Determinasi tanaman Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta atas nama Penina Kurnia Uly sebagai ketua tim penelitian. Determinasi tanaman yang dilakukan yaitu hingga tingkat spesies dengan cara mencocokkan ciri makroskopis tanaman dengan buku acuan. Bagian tanaman yang dideterminasi yaitu batang, daun, bunga, dan buah. Dari hasil determinasi adalah benar bahwa tanaman tersebut merupakan Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

B. Uji Pendahuluan

1. Rendemen FHEMM

Pembuatan FHEMM pada penelitian ini menggunakan metode ekstraksi yaitu maserasi. Ekstraksi serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll.


(69)

Arg. menghasilkan rendemen sebesar 18,03%. Fraksinasi ekstrak menghasilkan rendemen sebesar 19,46%. Rendemen fraksi yang didapatkan dari perbandingan antara bobot fraksi dengan bobok serbuk adalah sebesar 3,51%.

2. Penetapan kadar air serbuk Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Penetapan kadar air serbuk Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. bertujuan untuk memastikan bahwa serbuk Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. memenuhi persyaratan kadar air serbuk simplisia yang baik yaitu kurang dari 10% (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). Penetapan kadar air dilakukan dengan metode gravimetri menggunakan alat moisture balance. Penetapan kadar air menggunakan metode gravimetri dengan cara serbuk dipanaskan di dalam moisture balance pada suhu 110ºC selama 15 menit. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kadar air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. adalah 8,76%, maka serbuk Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. telah memenuhi syarat serbuk simplisia yang baik.

3. Penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Hepatotoksin yang digunakan pada penelitian ini adalah karbon tetraklorida. Hepatotoksin yang digunakan harus terlebih dahulu ditentukan dosisnya. Tujuan dari penentuan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida adalah untuk mengetahui besar dosis karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati, namun tidak menimbulkan kematian. Kerusakan hati yang terjadi dapat dilihat dari peningkatan kadar ALP. Kerusakan hati akibat karbon


(70)

tetraklorida ditandai dengan kenaikan ALT dan AST sebesar 3-4x normal (Thapa and Walia, 2007). Pada penelitian ini dosis hepatotoksin yang digunakan adalah 2,0 mL/KgBB yang mengacu pada penelitian Janakat dan Al-Merie (2002). Menurut penelitian tersebut terjadi peningkatan aktivitas ALT dan AST yang menunjukkan adanya kerusakan hati pada tikus terinduksi karbon tetraklorida, namun tidak menimbulkan kematian. Pada penelitian ini, rute pemberian hepatotoksin yaitu secara i.p. bertujuan untuk menghindari terjadinya kerusakan hepatotoksin karbon tetraklorida akibat enzim-enzim pencernaan.

4. Penentuan dosis FHEMM

Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Handayani (2011), konsentrasi maksimal ekstrak metanol-air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. (EMMT) yang dapat dibuat adalah 38,4%. Penentuan dosis pada penelitian FHEMM menggunakan konsentrasi 600 mg/25 mL atau 2,4% karena masih bersifat eksploratif. Konsentrasi FHEMM yang lebih kecil daripada EMMT didasarkan pada pertimbangan rendemen FHEMM terhadap total serbuk yang kecil yaitu 3,51%. Selain itu, karena penelitian ini menggunakan sediaan fraksi, maka dosis pemberian lebih kecil daripada sediaan ekstrak. Hal ini dikarenakan pada bentuk sediaan EMMT sangat mungkin terdapat banyak campuran selain ellagitannin. Sedangkan pada bentuk sediaan FHEMM, campuran senyawa selain macatannin A, macatannin B, dan chebulogic acid dengan lipofilisitas berturut-turut adalah 2,76; 2,94; dan 2,64 diminimalkan yaitu dengan


(71)

menggunakan pelarut heksan-etanol (lipofilisitas 2,97) yang memiliki kemiripan lipofilisitas dengan senyawa-senyawa tersebut.

Volume maksimal yang dapat digunakan secara peroral pada tikus adalah sebesar 5,0 mL. Pada penelitian ini dosis tertinggi didapat dari perhitungan volume menggunakan ⁄ dari volume maksimal yang dapat diberikan, yaitu 2 mL. Kemudian digunakan 3 peringkat dosis dengan faktor kelipatan 2 sehingga didapatkan dosis rendah yaitu sebesar 34,28 mg/kgBB; dosis sedang 68,57 mg/kgBB; dan dosis tinggi yaitu 137,14 mg/kgBB.

5. Penentuan waktu pencuplikan darah

Penentuan waktu pencuplikan darah bertujuan untuk mengetahui waktu karbon tetraklorida menimbulkan efek hepatotoksik yang maksimal dilihat dari aktivitas ALT dan AST. Karbon tetraklorida diberikan pada tikus dengan dosis 2 mL/KgBB secara i.p., kemudian dilakukan pencuplikan darah pada jam ke 0, 24, dan 48. Pada penelitian ini menggunakan hasil uji aktivitas ALT dan AST karena telah diketahui indikator terjadinya steatosis untuk pemejanan karbon tetraklorida 2 mL/KgBB, yaitu terjadi peningkatan aktivitas ALT sebesar 3x normal dan AST sebesar 4x normal. Hasil uji aktivitas ALT dan AST adalah sebagai berikut.

a. Hasil uji aktivitas ALT

Hasil analisis statistik serum ALT menunjukkan distribusi data normal dan variansi data homogen ditunjukkan dengan nilai p>0,05, sehingga data langsung dapat dianalisis menggunakan analisis variansi


(72)

satu arah (One Way ANOVA). Dari hasil yang didapatkan dan dapat dilihat pada diagram batang (Gambar 11.), terjadi peningkatan aktivitas serum ALT pada jam ke 24 (184 ± 16,5) U/L. Jika dibandingkan dengan jam ke 0 (66,83 ± 0,8) U/L, terjadi peningkatan serum ALT sebesar tiga kali.

Tabel I. Purata aktivitas serum ALT ± SE pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Selang waktu (jam) Purata Aktivitas serum ALT ±SE (U/L)

0 66,83 ± 0,8

24 184 ± 16,5

48 62,3 ± 15,6

Keterangan:

SE = Standard Error

Gambar 11. Diagram batang purata aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon


(73)

Hasil statistik didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara aktivitas serum ALT pada jam ke 0 dan 24. Hasil statistik aktivitas serum ALT pada jam ke 0 dan 48 berbeda, namun tidak bermakna. Perbedaan aktivitas serum ALT yang tidak bermakna pada jam ke 0 dengan jam ke 48 menunjukkan bahwa aktivitas serum ALT pada jam ke 48 telah kembali normal seperti pada jam ke 0.

Tabel II. Hasil uji Tukey HSD aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis

2 mL/kgBB

Selang waktu (jam)

Jam ke 0 Jam ke 24 Jam ke 48

Jam ke 0 BB BTB

Jam ke 24 BB BB

Jam ke 48 BTB BB Keterangan :

BB = berbeda bermakna (p<0,05); BTB = berbeda tidak bermakna (p>0,05) b. Hasil uji akivitas AST

Pada analisis data serum AST menunjukkan bahwa serum AST menunjukkan distribusi data yang normal sehingga data langsung dapat dianalisis menggunakan analisis variansi satu arah (One Way ANOVA). Hasil statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok jam ke 0 dengan 24, maupun antara kelompok jam ke 0 dengan 48. Namun, peningkatan yang signifikan terjadi pada jam ke 24. Penurunan serum AST pada jam ke 48 memiliki perbedaan yang bermakna, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan aktivitas


(74)

AST pada jam ke 48. Namun, penurunan tersebut tidak sampai pada nilai normalnya.

Tabel III. Purata aktivitas serum AST ± SE pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

Selang waktu (jam) Purata aktivitas serum AST ± SE (U/L)

0 154,20 ± 2,08

24 669,57 ± 8,37

48 197,73 ± 9,55

Keterangan:

SE : Standard Error

Gambar 12. Diagram batang purata aktivitas serum AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon


(75)

Tabel IV. Hasil uji Tukey HSD aktivitas serum AST pada selang waktu 0, 24, dan 48 jam setelah pemberian karbon tetraklorida dosis

2 mL/kgBB

Selang waktu (jam) Jam ke 0 Jam ke 24 Jam ke 48

Jam ke 0 BB BB

Jam ke 24 BB BB

Jam ke 48 BB BB Keterangan :

BB = berbeda bermakna (p<0,05); BTB = berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Oleh karena aktivitas ALT dan AST paling tinggi pada jam ke 24 setelah pemberian karbon tetraklorida 2 mL/KgBB, maka selanjutnya pencuplikan darah dilakukan pada jam ke 24 setelah pemberian karbon tetraklorida 2 mL/KgBB.

Pencuplikan darah untuk pengukuran ALP juga dilakukan pada jam ke 24 karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Dubey dan Mehta (2014) terjadi peningkatan kadar ALT dan AST pada jam ke 24 setelah induksi karbon tetraklorida bersamaan dengan peningkatan kadar ALP. Selain itu, juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Taj, Khan, Sultana, Ara, dan Haque (2014). Dari hasil penelitian tersebut, pencuplikan darah pada jam ke 24 menyebabkan kenaikan ALT dan AST serta ALP pada tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/KgBB.

C. Hasil Uji Hepatoprotektif FHEMM

Pada penelitian ini digunakan tiga peringkat dosis FHEMM dalam pengujian efek hepatoprotektif. Tiga peringkat dosis tersebut berturut-turut adalah


(1)

Lampiran 10. Perhitungan dosis FHEMM

• Berat badan maksimal tikus = 350 gram

• Konsentrasi FHEMM = 600 mg/25 mL 1. Dosis I

Volume = 0,5 mL

Dosis

2. Dosis II

= 34,28 mg/KgBB

Volume = 1 mL

Dosis

3. Dosis III

= 68,57 mg/KgBB

Volume = 2 mL

Dosis


(2)

Lampiran 11. Perhitungan kadar air serbuk daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Replikasi I

Kadar air =

Replikasi II

Kadar air =

Replikasi III

Kadar air =

Rata-rata =

= 8,76%


(3)

Lampiran 12. Perhitungan persen rendemen FHEMM

• Bobot total serbuk daun

Replikasi I + Replikasi II + ... + Replikasi n

= (40,01g + 40,16g + 40,3423g + 40,2263g + 40,3297g +40,10g + 40,25g + 20,39g + 40,00g + 40,03g +40,03g + 40,02g +40,09g + 40,03g + 40,03g +

40,50g + 40,05g + 40,03g + 40,04g +40,02g +40,00g + 40,02g) : 18 = 862,6983 g

• Bobot total EMMT

Replikasi I + Replikasi II + ... + Replikasi n

= 37,2885g + 20,3613g + 15,8970g + 28,6314 + 7,2300g + 10,9442g + 23,4058g + 11,8083g +

= 155,5665g

• Bobot total FHEMM

Replikasi I + Replikasi II + ... + Replikasi n

= 2,0589g + 1,3414g + 0,5518g + 2,401g +2,1897g + 0,7377g + 0,3938g + 1,4510g + 0,1592g + 4,4791g + 2,1923g + 1,7528g + 5,3613g + 1,8711g = 30,2727 g


(4)

 Persen rendemen fraksi dari total ekstrak

, �

, � � % = , %

 Persen rendemen fraksi dari total serbuk

, �


(5)

Lampiran 13. Konversi dosis tikus ke dosis manusia

Faktor konversi tikus 200 gBB ke manusia 70 kgBB =56,0

Dosis untuk manusia = dosis tikus 200 gBB x angka konversi ke manusia Dosis FHEMM untuk manusia adalah :

I. FHEMM 34,28 mg/kgBB tikus : 34,28 mg/kgBB = 0,03428 g/kgBB

= 0,03428 g/1000gBB = 0,006856 g/200gBB

0,006856 g/200gBB x 56,0 = 0,383936 g/70kgBB manusia ≈ 0,384 g/70kgBB manusia II. FHEMM 68,57 mg/kgBB tikus :

68,57 mg/kgBB = 0,06857 g/kgBB = 0,06857 g/1000gBB = 0,013714 g/200gBB

0,013714 g/200gBB x 56,0 = 0,767984 g/70kgBB manusia ≈ 0,768 g/70kgBB manusia III. FHEMM 137,14 mg/kgBB tikus :

137,14 mg/kgBB = 0,13714 g/kgBB = 0,13714 g/1000gBB


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Jangka Pendek Fraksi Heksan-Etanol dari Ekstrak Metanol-Air Daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap Aktivitas Alkaline Phosphatase pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida” bernama lengkap Cyndi Yulanda Putri. Penulis lahir di Merauke pada tanggal 22 Juli 1994. Penulis merupakan anak ke lima dari pasangan Domarsan Pasaribu dan Lince Clara Sinaga. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Negeri Pembina (1998-2000), SD YPPK Santo Mikael (2000-2006), SMP Negeri 1 Merauke (2006-2009), SMA Negeri 1 Merauke (2009-2012) sebelum melanjutkan pendidikan Strata 1 di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2012.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, penulis aktif dalam beberapa kegiatan, antara lain Student Exchange Programme

Committee (2013), KPU BEMF dan DPMF Farmasi (2013 dan 2014). Penulis juga

pernah menjadi asisten Praktikum Farmakologi Toksikologi (2014 dan 2015) dan Praktikum Farmasi Fisika (2015).


Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 118

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius (L) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 125

Pengaruh pemberian fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. jangka panjang 6 hari terhadap aktivitas serum alt dan ast tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

2 3 183

Efek hepatoprotektif pemberian jangka pendek 6 jam fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar alt-ast pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 139

Pengaruh pemberian jangka pendek 6 jam fraksi heksan etanol dari ekstrak metanol Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar albumin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 123

Pengaruh pemberian jangka pendek fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap aktivitas alkaline phosphatase pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 135

Pengaruh pemberian jangka panjang fraksi heksan-etanol dari ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. terhadap kadar bilirubin pada tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 1 133

Efek hepatoprotektif jangka panjang fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. terhadap aktivitas laktat dehidrogenase pada tikus betina galur wistar terinduksi karbon tetraklorida.

0 2 132

Efek hepatoprotektif jangka pendek ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius L. terhadap tikus terinduksi karbon tetraklorida.

0 4 106

Efek hepatoprotektif jangka pendek ekstrak metanol-air daun macaranga tanarius L. terhadap tikus terinduksi karbon tetraklorida - USD Repository

0 0 104