karena jumlah anggota keluarga yang besar berarti kepala keluarga harus memiliki strategi lain agar dapat menghidupi anggota keluarganya, sehingga digunakan
strategi-strategi lainnya seperti menggadaikan barang-barang atau perhiasan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
7.3. Hubungan Karakteristik Nelayan Alat Tangkap Statis dan Dinamis dengan Strategi Hidup Nelayan
Dari pembahasan di atas diperoleh keterangan bahwa terdapat berbagai jenis alat tangkap yang berbeda yang digunakan nelayan. Secara umum alat-alat
tangkap tersebut dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu alat tangkap statis dan alat tangkap dinamis. Nelayan dengan alat tangkap statis didefinisikan sebagai
kepemilikan alat tangkap yang tidak bergerak atau dapat dimanfaatkan sewaktu- waktu karena sifatnya yang menetap di laut. Nelayan dengan alat tangkap statis
antara lain adalah nelayan bagang, sero, dan budidaya. Sementara nelayan dengan alat tangkap dinamis didefinisikan sebagai kepemilikan nelayan terhadap alat
tangkap yang sifatnya tidak menetap di laut, melainkan memerlukan persiapan dalam penggunaannya sehingga tidak dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu.
Nelayan dengan alat tangkap dinamis antara lain adalah nelayan tembak, jaring serta kuli nelayan. Uji hubungan dilakukan dengan mengakumulasikan jumlah
responden nelayan bagang, sero, budidaya, dan bagang-budidaya sebagai nelayan dengan alat tangkap statis, serta mengakumulasikan jumlah responden nelayan
tembak , jaring, dan kuli nelayan sebagai nelayan dengan alat tangkap dinamis.
Kemudian dilakukan uji hubungan dengan tabulasi silang seperti yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya. Setelah uji hubungan dianalisis
menggunakan tabulasi silang pada SPSS 17, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara karakteristik nelayan dengan alat tangkap statis maupun
alat tangkap dinamis, dengan strategi hidup nelayan.
7.4. Mobilitas Sosial dan Stratifikasi Sosial Nelayan Sebelum dan
Sesudah Pencemaran
Selain menyebabkan turunnya limbah industri, berdirinya perusahaan- perusahaan industri di Jakarta juga menyebabkan tiga belas anak sungai yang
bermuara di Teluk Jakarta menjadi tidak terawat akibat banyaknya pendatang yang bekerja di perusahaan tersebut yang tinggal di daerah aliran sungai dan turut
menyumbang terjadinya pencemaran. Pencemaran yang terjadi teluk Jakarta khususnya akibat turunnya limbah industri ke laut telah menyebabkan terjadinya
perubahan struktur sosial masyarakat nelayan, yang antara lain terlihat dengan berubahnya pelapisan sosial. Perubahan pelapisan sosial terjadi karena
pencemaran akibat limbah telah menekan angka penghasilan nelayan yang sebelumnya merupakan pemasok utama ikan warga Jakarta. Berkembangnya
pekerjaan lain seperti tengkulak atau pedagang ikan menyebabkan terjadinya mobilitas sosial di kalangan nelayan tradisional. Untuk menganalisis pola
mobilitas sosial nelayan di Kampung Bambu, terlebih dahulu akan disajikan perubahan stratifikasi sosial sebelum dan sesudah pencemaran yang telah diukur
menggunakan metode reputasional. Dengan menggunakan metode ini responden diminta menilai status pekerjaan dengan cara menempatkannya pada skala
tertentu. Daftar jenis pekerjaan dieroleh dari focus group discussion bersama warga Kampung Bambu yang kemudian disusun dalam skala prestise pekerjaan
yang memperlihatkan peringkat prestise pekerjaan tertentu dalam struktur kelas komunitas. Dalam penelitian ini digunakan skala 1-6 untuk mengukur prestise
pekerjaan dengan menyusunnya dalam enam lapisan: bawah-bawah 1, bawah- atas 2, menengah-bawah 3, menengah-atas 4, atas-bawah 5, dan atas-atas
6. Satria, 2001. Dengan metode demikian diketahui pola stratifikasi yang dibayangkan responden nelayan tradisional seperti dijelaskan dalam matriks
berikut.
Tabel 71. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sebelum Pencemaran dalam Pandangan Nelayan Reputasional
Lapisan Jenis Pekerjaan
Atas-Atas 1. Dokter Klinik
2. Pemilik Perahu 3. Lurah
Atas-Bawah 1. Nelayan Jaring
2. Nelayan Bagang 3. Nelayan Sero
4. Nelayan Tembak 5. Wiraswasta
6. Guru formal 7. Ketua RW
8. Ketua Koperasi 9. Guru Mengaji
10. Pegawai Pegadaian
Menengah-Atas 1. Nelayan
Budidaya 2. TKITKW
3. Pemilik Warung 4. Pegawai Kelurahan
5. Karyawan Supermarket 6. Pedagang pasar ikan
7. Ketua RT 8. Satpam
9. Pegawai TPI
Menengah-Bawah 1. Kuli Nelayan
2. Sopir Angkot 3. Becak
4. Kenek angkot 5. Tukang Ojek
6. Tukang sayur 7.Pedagang Pasar Tradisional
8. Pedagang Keliling
Bawah-Atas 1. Pengupas Kijing
2. Kuli bangunan Bawah-Bawah
1. Buruh cuci
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 71, persepsi stratifikasi responden menunjukkan bahwa lapisan elit atas-atas sebelum pencemaran terdiri dari dokter klinik, pemilik
perahu dan lurah. Pemilik perahu menempati posisi atas-atas karena kepemilikannya atas alat produksi. Sementara sebelum pencemaran nelayan
menempatkan diri mereka di lapisan atas-bawah. Hal ini mengindikasikan bagaimana nelayan merasa sebelum terjadi pencemaran mereka jauh lebih
sejahtera dibandingkan sekarang. Sebelum pencemaran, nelayan juga menempatkan ketua RW, ketua koperasi, guru mengaji, pegawai pegadaian, dan
wiraswasta setara dengan mereka di lapisan atas-bawah, nelayan juga menempatkan diri mereka lebih tinggi dari pegawai kelurahan yang hanya di
lapisan menengah atas. Di lapisan menengah atas nelayan menempatkan nelayan budidayaternak. Hal ini dikarenakan saat itu nelayan budidaya belum terlalu
banyak dibandingkan nelayang jaring, bagang, dan sero. Di lapisan menengah bawah nelayan menempatkan kuli nelayan setara
dengan sopir angkot, becak, pedagang tradisional. Hal ini mengindikasikan bahwa bahkan kuli nelayan pun saat sebelum pencemaran hidupnya tergolong sejahtera.
Sementara dalam pandangan nelayan, yang menempati lapisan bawah-atas adalah kuli bangunan dan pengupas kijing, serta lapisan bawah-bawah saat itu adalah
buruh cuci. Berdasarkan stratifikasi ini terlihat bagaimana sebelum pencemaran pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan yang sangat mereka banggakan dan
mampu menjamin kelangsungan hidup mereka. Perbedaan
kesejahteraan hidup antar lapisan sebelum pencemaran tidak terlihat signifikan. Nelayan mengaku alasan menempatkan diri mereka di lapisan
atas karena saat itu sangat mudah menangkap ikan dibandingkan sekarang, meskipun demikian pemilikan mereka terhadap alat-alat kekayaan yang lengkap
dan berkualitas hampir sama dengan lapisan menengah maupun bawah. Nelayan mengaku meskipun berada dalam lapisan yang sama dengan lurah atau pemilik
perahu, kondisi rumah serta kepemilikan alat transportasi mereka tidak sama dengan lurah atau pemilik perahu. Nelayan hanya merasa saat itu sebelum
pencemaran mereka sangat sejahtera, terlepas dari kepemilikan barang-barang ataupun kondisi rumah.
Tabel 72. Stratifikasi Sosial Masyarakat Nelayan Sesudah Pencemaran dalam Pandangan Nelayan Reputasional
Lapisan Jenis Pekerjaan
Atas-Atas 1. Dokter Klinik
2. Lurah Atas-Bawah
1. Pedagang Tengkulak 2. Wiraswasta
3. Guru formal 4. Pemilik Perahu
5. Ketua RW 6. Ketua Koperasi
7. Guru Mengaji 8. Pegawai Pegadaian
Menengah-Atas 1. TKITKW
2. Guru tidak formal 3. Konter pulsa
4. Pemilik Warung 5. Pegawai Kelurahan
6. Karyawan Supermarket 7. Pedagang pasar ikan
8. Pemilik warnet 9. Ketua RT
10. Satpam
Menengah-Bawah 1. Sopir Angkot
2. Becak 3. Kuli bangunan
4. Kenek angkot 5. Pegawai KBN
6. Pegawai TPI 7. Tukang Ojek
8. Tukang sayur 9. Pedagang Pasar Tradisional
10. Pedagang Keliling
Bawah-Atas 1. Nelayan Jaring
2. Nelayan Bagang 3. Nelayan Sero
4. Nelayan Tembak 5. Nelayan Budidaya
Bawah-Bawah 1. Kuli Nelayan
2. Buruh cuci 3. Pengupas Kijing
Sumber: data primer diolah
Berdasarkan Tabel 72, persepsi stratifikasi responden menunjukkan bahwa lapisan elit atas-atas setelah pencemaran terdiri dari dokter klinik dan lurah.
Pemilik perahu bergeser turun menempati posisi atas-bawah akibat penghasilan yang semakin berkurang setelah pencemaran. Bahkan secara drastis nelayan
menempatkan diri mereka turun hingga ke lapisan bawah-atas, hal ini mengindikasikan bagaimana nelayan merasa mereka mengalami keadaan yang
sangat berlawanan dibandingkan dengan saat sebelum terjadi pencemaran. Setelah pencemaran muncullah pedagang atau tengkulak yang dipersepsikan oleh nelayan
menempati posisi atas-bawah, setara dengan ketua RW, ketua koperasi, guru mengaji, pegawai pegadaian, dan wiraswasta. Hal ini memperlihatkan posisi
nelayan yang turun hingga ke lapisan bawah-atas sangat kontradiktif dengan pekerjaan pedagangtengkulak yang baru muncul setelah pencemaran namun
menempati posisi atas-bawah. Di lapisan menengah bawah nelayan menempatkan pegawai TPI yang turun
dari lapisan menengah atas menjadi lapisan menengah bawah, serta di lapisan bawah dihuni oleh pekerjaan yang berhubungan dengan laut. Hal ini
mengindikasikan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan produksi laut setelah pencemaran dipersepsikan oleh nelayan mengalami penurunan social
sinking setelah terjadi pencemaran, kecuali pada pekerjaan tengkulak yang baru
muncul setelah terjadi pencemaran. Apabila sebelum pencemaran nelayan menempatkan posisi sosial mereka lebih tinggi dari pada supir angkot dan kuli
bangunan, saat ini mereka merasa pekerjaan sebagai supir angkot atau kuli bangunan jauh lebih baik daripada nelayan karena pekerjaan tersebut memiliki
penghasilan yang tetap.
Sebelum pencemaran Sesudah pencemaran Gambar 4. Pola Mobilitas Nelayan Sebelum dan Sesudah Pencemaran
1
60 39
10
85
5
Gambar 4 menunjukkan pola mobilitas yang terjadi dalam kurun waktu sebelum pencemaran periode 90-an dan sesudah pencemaran periode 2000.
Menurut hasil diskusi kelompok terarah bersama para nelayan diperoleh informasi bahwa pada pekerjaan nelayan terjadi mobilitas vertikal ke bawah, dari lapisan
atas-bawah ke lapisan bawah-atas dan bawah-bawah. Nelayan yang pada periode sebelum pencemaran menempati posisi atas-bawah secara drastis mengalami
mobilitas vertikal ke posisi bawah-atas sebesar 60 persen dari keseluruhan nelayan, sementara 39 persen turun ke posisi bawah-bawah, yaitu mereka yang
tadinya memiliki alat produksi terpaksa harus menjual alat produksi mereka dan menjadi buruh nelayan. Pemilik kapal yang pada periode sebelum pencemaran
menempati posisi atas-atas juga mengalami mobilitas vertikal ke posisi atas- bawah sebesar satu persen. Penurunan status ini disebabkan semata oleh laut yang
semakin tercemar sehingga mengurangi debit ikan yang secara langsung akan berpengaruh pada kelangsungan distribusi pendapatan nelayan dan kondisi
ekonomi rumahtangga keluarga. Sebelum terjadi pencemaran, pada saat musim baratan nelayan masih bisa
mendapatkan ikan seperti pari, rajungan, udang, baronang, layur dan bawal di bibir pantai serta bisa tetap dijual. Namun sekarang, nelayan tidak mendapatkan
hasil sama sekali ketika musim baratan, sehingga mereka lebih memilih menganggur dan menunggu angin timur. Walaupun pekerjaan sebagai nelayan
telah terbukti mengalami social sinking setelah terjadi pencemaran, tetapi nelayan tidak berminat untuk mengganti pekerjaan mereka dari laut ke darat karena
mereka memiliki anggapan bahwa nelayan itu merdeka, tidak ada aturan yang mengikat mereka seperti jam kerja, sepulangnya dari laut mereka bebas mau
melakukan apa saja dan merekalah yang mengatur kehidupan mereka sendiri.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Kawasan Cilincing, Jakarta Utara merupakan tempat bermuara tiga belas anak sungai yang tercemar di pantai utara Jakarta, kawasan ini juga merupakan
daerah pembuangan limbah industri kawasan industri Tanjung Priuk. Kondisi pantai utara dan teluk Jakarta pada saat ini sangat kritis dan dilematis, karena
seluruh kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara sangat intensif untuk berbagai kegiatan pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa
memperhatikan lingkungan. Turunnya kualitas lingkungan laut di daerah Teluk Jakarta akibat limbah industri dan rumahtangga ini menyebabkan sulitnya nelayan
memperoleh tangkapan sebagai sumber penghidupan utama. Hal inilah yang mendasari komunitas nelayan Kampung Bambu yang hidup dan bergantung pada
sumberdaya lautan mengupayakan berbagai strategi untuk dapat bertahan hidup dari besarnya dampak pencemaran.
Bentuk strategi bertahan hidup yang dilakukan rumahtangga nelayan di Kampung Bambu sangat beragam. Strategi bertahan hidup yang dilakukan
rumahtangga nelayan tersebut antara lain strategi berbasis modal sosial, strategi alokasi sumberdaya manusia, strategi berdasarkan basis produksi, strategi spasial
dan strategi finansial. Strategi pertama adalah strategi berbasis modal sosial yang terwujud dalam kelembagaan patron klien berupa sistem bagi hasil antara nelayan
dengan pedagang, pemilik perahu maupun pemilik ternak. Nelayan di Kampung Bambu mengembangkan alat tangkap yang berbeda, masing-masing alat tangkap
tersebut memiliki sistem patron-klien yang bervariasi. Meskipun terlihat pada hasil penelitian bahwa hampir seluruh nelayan merasa tidak puas terhadap patron,
ketergantungan pada patron tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan nelayan. Kedua, strategi alokasi sumberdaya manusia. Strategi ini merupakan strategi
pemanfaatan modal manusia dalam rumahtangga nelayan, yang terlihat pada diversifikasi kerja rumahtangga nelayan dan pelibatan anggota rumahtangga
nelayan. Strategi alokasi sumberdaya manusia yang dilakukan oleh kepala rumahtangga terwujud dalam strategi pola nafkah ganda. Meskipun demikian, dari