Isolasi dan Uji EkstrakBA Perairan Tawar dalam Mengendalikan Biofilm Aeromonas salmonicida Pada Berbagai Permukaan Padat

(1)

pada BERBAGAI PERMUKAAN PADAT

SKRIPSI

NIALUSI HUTAGAOL 100805023

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

salmonicidapada BERBAGAI PERMUKAAN PADAT

SKRIPSI

NIALUSI HUTAGAOL 100805023

Skripsiinidiajukansebagaisalahsatusyaratuntukmendapatkan GelarSarjanaSainsFakultasMatematikadanIlmuPengetahuanAlam

Universitas Sumatera Utara Medan

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

Judul : Isolasi dan Uji EkstrakBA Perairan Tawar dalam Mengendalikan Biofilm Aeromonas salmonicida Pada Berbagai PermukaanPadat

Kategori : Skripsi

Nama : Nialusi Hutagaol

Nomor Induk Mahasiswa : 100805023

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi

Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Mei 2015

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dra. Nunuk Priyani M.Sc Dr. It Jamilah M.Sc

NIP. 196404281996032001 NIP.196310121991032003

DisetujuiOleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. NursaharaPasaribu, M. Sc NIP. 196301231990032001


(4)

ISOLASI dan UJI EKSTRAK BAKTERI ASAM LAKTAT PERAIRAN

TAWAR dalam MENGENDALIKAN BIOFILM Aeromonas

salmonicidapada BERBAGAI PERMUKAAN PADAT

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Mei 2015

Nialusi Hutagaol 100805023


(5)

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Isolasi dan Uji Senyawa AntimikrobBAL Perairan Tawar dalam Mengendalikan Biofilm Aeromonas salmonicida pada Berbagai Permukaan Padat.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada IbuDr. It Jamilah,M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Nunuk Priyani,M.Sc selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan nasehat, saran dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada BapakProf. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Penguji I danIbu Dr. Hesty Wahyuningsih, MSi selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyusunan skripsi ini.Terimakasih kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Scselaku Ketua Departemen Biologi dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Scselaku Sekretaris DepartemenBiologi FMIPA USU, Bapak Dr. Sutarman, M.Scselaku Dekan FMIPA USU, Ibu Dr. Marpongahtun, M.Scselaku PembantuDekan I, Bapak Drs. Nursal,M.Siselaku Pembantu Dekan II danBapak Drs. Krista Sebayang, M.Siselaku Pembantu Dekan III. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Mhd Zaidun Sofyan,M.Si selaku dosen pembimbing akademik, dan kepada BapakdanIbuDosen Biologi FMIPA USU serta Ibu Roslina Ginting dan Abang Erwin selaku pegawa administrasi Departemen Biologi FMIPA USU.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah N. Hutagaol dan Ibu ku tercinta N. Marpaung yang senantiasa selalu berdoa, berkorban dan memberikan kasih sayang, dukungan penuh, juga kepada saudara-saudaraku tersayang abang Kolas, adik Soni dan adik Eem, terimasih juga kepada bapaktua, maktua, udak, tante, tulang, amangboru dan bou atas materi, doa dan dukungan penuh dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya kepada teman-teman tersayang Tien, Ledi, Yoan, Yuli, Norton Elfrida, Nova, Mei, Sri Acian, Juwita, Dilla, Devi Permatasari, Farah, Nurul, Lambok, Canro, bg Imam Aulia, ka Dian, ka Ulfa dan teman-teman seperjuangan angkatan 2010 yang tidak dapat disebutkan semuanya, kakakasuh Rohana Simanjuntak, adik asuh Surtika Pasaribu, kakak dan abang angkatan 2009, adik-adik angkatan 2011, adik-adik angkatan 2012, adik-adik angkatan 2013, adik-adik angatan 2014 serta teman-teman Persekutuan KeluargaBesar Kristen Biologi (PKBKB) yang selama ini memberikan bantuan dan dukungan yang diperlukan. SemogaTuhan Yang Maha Kuasa senantiasa selalu memberikan berkat dan kasih-Nya kepada kita. Amin.


(6)

TAWAR dalam MENGENDALIKAN BIOFILM Aeromonas

salmonicidapada BERBAGAI PERMUKAAN PADAT

ABSTRAK

Aeromonassalmonicidamerupakanbakteripenyebabfurunculosis yang mampu membentuk biofilm pada permukaan padat. Penelitian ini bertujuan untuk mengendalikan biofilm Aeromonassalmonicida dengan memanfaatkan senyawa anti mikrobasamlaktat (BAL) yang di isolasi dari usus ikan mas (Cyprinuscarpio) asal Medan, Sumatera Utara. Dari 12 isolathasilisolasipada media MRSA di dapat kanisolat UM1 yang paling potensial dalam menghambat Aeromonassalmonicida dengan diameter zona hambat8,35mm. Perhitungan jumlah sel dan hasil pengendalian biofilm pada sisik ikan mas dan plastik PVC dilakukan dengan metode pelepasan sel biofilm dengan serbuk kacahalus (glass bead), kemudian kultur disebar pada cawan untuk perhitungan cawan total (TPC). Pembentukan biofilm dilakukan pada hari ke 1, 3 dan 5. Biofilm Aeromonassalmonicida pada lempeng PVC mampu

membentuk biofilm dengan jumlah sel tertinggi pada hari ke-3 yaitu sebesar 0,74 x 109

CFU/lempeng dan lempeng sisik ikan mampu membentuk biofilm dengan jumlah sel

tertinggi pada hari ke-3 yaitu sebesar 0,90 x 109 CFU/lempeng. Senyawa anti mikrob BAL

UM1 mampu menurunkan jumlah sel biofilm pada masing-masing uji sebesar 101

CFU/lempeng.

Kata Kunci : Bakteri Asam Laktat, Aeromonassalmonicida, biofilm, sisik ikan dan plastik PVC


(7)

Surface

ABSTRACT

Aeromonassalmonicida is a bacterium that causefurunculosis on fish and is able to form biofilm on solid surface. The aim of this research is to control biofilm Aeromonassalmonicida using antimicrobial compound of Lactid Acid Bacteria (LAB) isolated from fresh water of intestinum gold fish (Cyprinuscarpio) pond around Medan city, North Sumatera. There were 12 (LAB isolated) from fresh water. The selected isolate, UM1, was found as a potential biocontrol agent of Aeromonassalmonicida which showed the highest inhibition 8.5 mmcompared to other 12 isolates. Further more UM1 was used to produce antimicrobial compound to control biofilm cell’s of Aeromonassalmonicida on gold fish scale and polyvinyl chloride (PVC). Biofilm formation of Aeromonassalmonicidawas performed in 1, 3 and 5 days in Nutrient Broth on fish scale and PVC then were detached with micro glass bead for bacterial counting. The highestnumber of biofilm cells were found at 3 days of incubation, 0.74 x 109 CFU/unit on PVC and 0.90 x 109 CFU/unit on fish scale. Controling of biofilm cell of Aeromonassalmonicida with antimicrobial compound of LAB isolate reduced up to 101CFU/unit biofilm cell of Aeromonassalmonicida.

Keyword :Lactid Acid Bacteria (LAB), Aeromonassalmonicida, biofilm, fish scales and plastic PVC


(8)

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar Isi vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Lampiran x

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4Manfaat 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penyakit Pada Ikan 4

2.1.1Penyebab Penyakit Ikan Golongan Bakteri 4

2.1.2Penyebab Penyakit Ikan Golongan Jamur 6

2.2Bakteri Asam Laktat (BAL) 9

2.2.1Probiotik 10

2.2.2Manfaat Probiotik 11

2.3 Biofilm 12

BAB 3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu danTempat 13

3.2 Alat dan Bahan 13

3.3 Rancangan Percobaan 13

3.4 Isolasi dan Karakterisasi BAL 14

3.5 Seleksi BAL Potensial 15

3.6 Kurva Pertumbuhan Isolat BAL 15

3.7 Produksi Estrak Kasar Senyawa Antimikroba BAL 15

3.8 Uji Aktivitas Estrak Kasar Senyawa Antimikroba BAL 16

3.9 Pembentukan Sel Biofilm Aeromonassalmonicida 16

3.10 Pengendalian Sel Biofilm Aeromonas salmonicida 17

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi dan Karakterisasi BAL 18

4.2 Seleksi BAL Potensial 20

4.3 Kurva Pertumbuhan BAL Potensial 24

4.4 Uji Estrak Kasar Senyawa Antimikroba BAL 4.5 Pembentukan Sel Biofilm A. salmonicida

25 27


(9)

(10)

DAFTAR TABEL

NomorTabel Judul Halaman

4.1. KarakteristikMorfologiBakteriAsam Laktat

dariPerairan Tawar

23

4.2. UjiAntagonisIsolatBakteriAsam

LaktatterhadapAeromonas salmonicida

24 4.3.

4.4. 4.5.

UjiAktivitasEkstrak Kasar Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat

Perhitungan Rata-rata Jumlah Sel Biofilm Aeromonas salmonicida

Penurunan Rata-rata Jumlah Sel Biofilm Aeromonas salmonicida

28 27 29


(11)

DAFTAR GAMBAR

NomorGambar Judul Halaman

4.1. UjiAntagonisIsolat BAL

TerhadapMikrobaPatogenAeromonassalmonicida (a) Isolat UM1 selama 48 jam (b) Isolat UM4 selama 48 jam.

22

4.2.

4.3

HasilUjiAntagonisEkstrak Kasar

Senyawaantimikroba BAL selama 48 jam (a) Senyawaantimikrob UM1 (b)

SenyawaantimikrobUM4

terhadapAeromonassalmonicida KurvaPertumbuhanisolatterpilih


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

NomorLampiran Judul Halaman

1 Isolasi Bakteri Asam Laktat 38

2 AlurKerjaKarakterisasiBakteri Asam Laktat 39

3 AlurKerjaSeleksi Bakteri Asam Laktat 40

4 Alur Kerja Kurva Pertumbuhan Bakteri Asam

Laktat

41

5 AlurKerjaProduksi Estrak Kasar Senyawa

Antimikroba Bakteri Asam Laktat

41

6 AlurKerjaUjiAktivitasEkstrakKasar Senyawa

AntimikrobaBakteri Asam

LaktatterhadapAeromonas salmonicida

42

7 AlurKerjaPembentukan Biofilm Aeromonas

salmonicida

43

8 Alur Kerja Pengendalian Biofilm Aeromonas

salmonicida


(13)

TAWAR dalam MENGENDALIKAN BIOFILM Aeromonas

salmonicidapada BERBAGAI PERMUKAAN PADAT

ABSTRAK

Aeromonassalmonicidamerupakanbakteripenyebabfurunculosis yang mampu membentuk biofilm pada permukaan padat. Penelitian ini bertujuan untuk mengendalikan biofilm Aeromonassalmonicida dengan memanfaatkan senyawa anti mikrobasamlaktat (BAL) yang di isolasi dari usus ikan mas (Cyprinuscarpio) asal Medan, Sumatera Utara. Dari 12 isolathasilisolasipada media MRSA di dapat kanisolat UM1 yang paling potensial dalam menghambat Aeromonassalmonicida dengan diameter zona hambat8,35mm. Perhitungan jumlah sel dan hasil pengendalian biofilm pada sisik ikan mas dan plastik PVC dilakukan dengan metode pelepasan sel biofilm dengan serbuk kacahalus (glass bead), kemudian kultur disebar pada cawan untuk perhitungan cawan total (TPC). Pembentukan biofilm dilakukan pada hari ke 1, 3 dan 5. Biofilm Aeromonassalmonicida pada lempeng PVC mampu

membentuk biofilm dengan jumlah sel tertinggi pada hari ke-3 yaitu sebesar 0,74 x 109

CFU/lempeng dan lempeng sisik ikan mampu membentuk biofilm dengan jumlah sel

tertinggi pada hari ke-3 yaitu sebesar 0,90 x 109 CFU/lempeng. Senyawa anti mikrob BAL

UM1 mampu menurunkan jumlah sel biofilm pada masing-masing uji sebesar 101

CFU/lempeng.

Kata Kunci : Bakteri Asam Laktat, Aeromonassalmonicida, biofilm, sisik ikan dan plastik PVC


(14)

Surface

ABSTRACT

Aeromonassalmonicida is a bacterium that causefurunculosis on fish and is able to form biofilm on solid surface. The aim of this research is to control biofilm Aeromonassalmonicida using antimicrobial compound of Lactid Acid Bacteria (LAB) isolated from fresh water of intestinum gold fish (Cyprinuscarpio) pond around Medan city, North Sumatera. There were 12 (LAB isolated) from fresh water. The selected isolate, UM1, was found as a potential biocontrol agent of Aeromonassalmonicida which showed the highest inhibition 8.5 mmcompared to other 12 isolates. Further more UM1 was used to produce antimicrobial compound to control biofilm cell’s of Aeromonassalmonicida on gold fish scale and polyvinyl chloride (PVC). Biofilm formation of Aeromonassalmonicidawas performed in 1, 3 and 5 days in Nutrient Broth on fish scale and PVC then were detached with micro glass bead for bacterial counting. The highestnumber of biofilm cells were found at 3 days of incubation, 0.74 x 109 CFU/unit on PVC and 0.90 x 109 CFU/unit on fish scale. Controling of biofilm cell of Aeromonassalmonicida with antimicrobial compound of LAB isolate reduced up to 101CFU/unit biofilm cell of Aeromonassalmonicida.

Keyword :Lactid Acid Bacteria (LAB), Aeromonassalmonicida, biofilm, fish scales and plastic PVC


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan intensifikasi budi daya dan industri akuakultur di Indonesia sudah maju sedemikian pesat, namun menghadapi berbagai kendala seperti tingginya angka mortalitas yang disebabkan oleh masalah penyakit. Salah satu bakteri patogen penyebab penyakit pada ikan ialah Aeromonas salmonicida. Pada tahun 1890, Emmerich dan Weibel pertama kali menemukan A. salmonicida pada ikan trout di Jerman. Strain dari A. salmonicida dapat menimbulkan gejala furunculosis dan carp erytrodermatitis yaitu pembengakakan dibawah kulit yang biasanya menjadi infeksi sistemik pada seluruh tubuh ikan (Holt et al., 1994). Wabah A. salmonicida pernah terjadi pada bulan Oktober 1980, terutama di daerah Jawa Barat mengakibatkan rendahnya konversi pakan atau menghasilkan produk yang tidak bermutu, bahkan kematian ikan yang berarti hilangnya pendapatan. Kerugian yang ditimbulkannya kira-kira mencapai 4 milyar rupiah (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Serangan bakteri ini baru terlihat apabila ketahanan tubuh ikan menurun akibat stres yang disebabkan oleh penurunan kualitas air, kekurangan pakan atau penanganan yang kurang tepat (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Bakteri obligat A. salmonicida dapat menginfeksi ikan salmon maupun non salmon diperairan laut maupun tawar seperti ikan mas, koi dan lele (Austin dan Austin, 2007).

Bakteri patogen cenderung menempel pada permukaan padat dan apabila kondisi memungkinkan, bakteri planktonik dalam perairan akan cenderung membentuk biofilm di berbagai permukaan baik biotik maupun abiotik (Characklis and Marshall, 1990). Pada saat sekarang ini, penelitian mengenai biofilm di bidang industri pangan semakin meluas. Hal ini terjadi karena potensinya yang besar sebagai sumber kontaminan yang berperan terhadap kerusakan pangan dan penyebaran penyakit. Beberapa penelitian terdahulu juga


(16)

menunjukkan bahwa jika mikroba dapat membentuk biofilm pada proses pertumbuhannya, daya tahan terhadap kondisi-kondisi buruk lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhannya sebagai sel planktonik (Donlan, 2002).

Penyakit pada ikan biasanya diatasi dengan antibiotik dan desinfektan. Akan tetapi, penggunaan antibiotik berdampak negatif yaitu dapat menyebabkan timbulnya bakteri yang resisten terhadap jenis antibiotik tertentu, penumpukan residu jenis antibiotik tertentu pada daging ikan dan udang, dan pencemaran lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengatasi penyakit bakterial pada organisme akuakultur adalah penggunaan bakteri probiotik. Penggunaan probiotik dianggap mampu memperbaiki kondisi perairan sehingga menjadi alternatif pembudidaya ikan saat ini. Menurut Verschuere et al., (2000), probiotik adalah agen mikroba hidup yang mampu memberikan keuntungan bagi inang dengan memodifikasi komunitas mikroba atau berasosiasi dengan inang, memperbaiki nilai nutrisi dan pemanfaatan pakan, meningkatkan respon inang terhadap penyakit, menghalangi mikroorganismse patogen dalam usus dan lingkungan dengan melepas enzim-enzim yang membantu proses pencernaan makanan sehingga dapat meningatkan laju pertumbuhan dan memperbaiki kualitas lingkungan ambangnya.

Probiotik yang telah banyak diteliti dari organisme perairan untuk digunakan dalam akuakultur adalah dari kelompok bakteri asam laktat. Misalnya L. acidophilus, Streptococcus cremoris, L. bulgaricus-56 dan L. bulgaricus-57 menekan pertumbuhan V. alginolyticus secara in vitro dan secara in vivo pada udang Penaeus indicus (Ajitha et al., 2004). L. plantarum 44a yang mempunyai mekanisme penghambatan berdasarkan produksi asam, dan L.brevis 18f sebagai produser H2O2, diisolasi dari intestin ikan air tawar (Bream, Abramis barma dan

African catfish, Clarias gariepinis), menghambat A. hydrophila secara kuat pada pH 6 (Bucio et al., 2004). Lactobacillus agilis yang potensial dalam menghambat patogen Micobacterium fortuitum pada ikan (Sitepu et al., 2013), Lactobacillus acidophilus potensial menghambat bakteri Aeromonas hydrophila (Harahap et al., 2013), dan Lactobacillus plantarum potensial dalam menghambat petumbuhan bakteri Streptococcus agalactiae (Mayasari et al., 2013).


(17)

1.1 Rumusan Permasalahan

Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah:

1. Jenis BAL yang manakah yang efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen A. salmonicida penyebab penyakit pada ikan perairan tawar.

2. Apakah isolat A. salmonicida mampu membentuk biofilm pada permukaan PVC dan sisik ikan.

3. Apakah senyawa antimikrob BAL terplih mampu mengendalkan biofilm A. salmonicida.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini ialah:

1. Penapisan isolat BAL yang potensial dalam menghanbat pertumbuhan A.

salmonicida yang bersifat patogen pada ikan.

2. Mengetahui aktivitas antimikrob BAL potensial dalam menghambat

pertumbuhan A. salmonicida yang bersifat patogen pada ikan.

3. Mengetahui kemampuan bakteri patogen A. salmonicida dalam membentuk

biofilm dan kemampuan senyawa antimikrob BAL terpilih dalam pengendaliaan biofilm A. salmonicida.

1.5 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini didapatkan isolat BAL perairan tawar yang memiliki kemampuan mengendalikan A. salmonicida yang bersifat patogen pada ikan. Penelitian ini juga bermanfaat bagi masyarakat sebagai informasi dengan memanfaatkan potensi aktivitas antimikroba bakteri asam laktat yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk pemecahan masalah serangan patogen pada perikanan perairan.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Pada Ikan

Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit ikan tidak timbul sebagai kejadian mandiri tanpa adanya dukungan dari faktor lain tetapi merupakan hasil interaksi anatara jasad penyebab penyakit itu sendiri dan kondisi lingkungan hidupnya. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Selain itu makanan yang tidak mencukupi kebutuhan nutrisi baik dalam jumlah maupun mutunya serta kondisi lingkungan yang buruk dapat menyebabkan munculnya penyakit.

Terdapat banyak faktor yang menentukan seekor ikan menjadi sakit. Faktor utamanya adalah host (organisme peliharaan/inang), patogen (mikroba, parasit) dan lingkungan yang menyangkut fisik, kimia atau tingkah laku seperti stres. Penyakit non parasiter yaitu penyakit yang disebabkan bukan oleh hama maupun organisme parasit. Penyakit ini dapat dikelompokkan berdasarkan faktor penyebabnya yaitu lingkungan (dalam hal ini air sebagai media hidup, parameter-parameternya yaitu suhu, pH, oksigen terlarut, senyawa beracun, kekeruhan/kecerahan air, salinitas) dan pakan. Penyakit-penyakit parasiter yang menyerang ikan mas dan nila umumnya disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan cacing. Penyakit dapat merugikan usaha budidaya ikan karena secara potensial dapat menurunkan produksi dan kualitas ikan (Yurisman, 1994).

2.1.1. Penyebab Penyakit Ikan Golongan Bakteri

Beberapa jenis penyebab penyakit ikan golongan bakteri yang sering menimbulkan kerugian dalam usaha budidaya ikan antara lain meliputi Aeromonas hydrophila, Aeromonas salmonicida, Mycobacterium, Nocardia,


(19)

Edwardsiella tarda, Edwardsiella ictaluri, Streptococcus, Pasteurella, Yersinia ruckeri, dan Streptomyces.

Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan penyebab penyakit

haemorrhagic septicaemia yang juga disebut sebagai MAS (Motile Aeromonad Septicaemia), ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, lokal hemorrhagi terutama pada insang, borok, abses, exopthalmia dan perut kembung (Austin dan Austin, 1993).

Kemampuan menimbulkan penyakit dari bakteri Aeromonas hydrophila cukup tinggi. Gejala yang menyertai serangan bakteri ini antara lain ulser yang berbentuk bulat/tidak teratur dan berwarna merah keabu-abuan, inflamasi dan erosi di dalam rongga dan di sekitar mulut seperti penyakit mulut merah (red mouth disease). Tanda lain adalah haemorhagi pada sirip dan eksopthalmia (pop eye) yaitu mata membengkak dan menonjol (Nitimulyo et al., 1993). Selain itu ciri-ciri lainnya adalah pendarahan pada tubuh, sisik terkuak, borok, nekrosis, busung, dan juga ikan lemas sering di permukaan atau dasar kolam (Angka, 1990).

Bakteri A. salmonicida juga dimasukkankan ke dalam kelompok bakteri gram negatif dengan ciri-ciri berbentuk batang, non motil, serta terdapat diperairan air tawar, payau, dan laut, penyebab utama penyakit pada ikan salmonid dengan penyakit yang dikenal dengan nama furunkulosis. Tanda-tanda klinis serangan A. salmonicida antara lain adanya hemorrhage pada otot tubuh dan bagian tubuh lainnya, jaringan subkutan seperti melepuh dan berkembang menjadi borok yang dalam (ulcerative dermatitis). Pada beberapa kasus septicemia terjadi pembengkakan limpa, ginjal, dan ascites, necrosis pada jaringan, serta akumulasi sel bakteri dan sel inflamatori (sel fagositosis) akibat eksotoksin leukositolitik (Angka, 2005).

Bakteri Mycobacterium merupakan penyebab penyakit Tuberkulosis ikan. Bakteri ini telah diketahui menyerang 157 spesies ikan, 11 spesies amphibia, dan 27 spesies reptilia. Semua jenis salmon sangat mudah diserang. Mycobacterium fortuitum, M. marinum, M. chelonei ternyata memungkinkan menyerang tangan dan paru-paru manusia yang bekerja menangani ikan yang sakit Tuberkulosis.


(20)

Bakteri ini tersebar di seluruh dunia. Sumber infeksi utama Mycobacterium adalah ikan sakit, tetapi dimungkinkan juga dari sumber bukan ikan (air dan alat-alat karena bakteri ini diduga bersifat oportunistik). Cara penularan dan penyebaran diduga melalui beberapa cara yang memungkinkan yaitu melalui pakan dan air serta transovarian. Ikan yang terserang Tuberkulosis akan mengalami kerusakan organ dalam, kurus dan kemudian mati. Apabila terjadi luka akan kehilangan protein plasma dan ikan sangat mudah terserang Infeksi sekunder.

Penyakit Edwardsiellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Edwardsiella yaitu Edwardsiella tarda dan Edwardsiella ictaluri. Bakteri ini menyerang spesies spesies ikan di daerah tropis. Bakteri E. tarda dan E.ictaluri bisa bertahan hidup di air. Beberapa inang alamiah bisa bertahan sebagai carrier. Penularan secara horizontal yaitu kontak antara inang satu dengan inang lainnya atau melalui air. Gejala eksternal ikan yang terserang Edwardsiellosis pada infeksi ringan, hanya menampakkan luka-luka kecil. Ukuran luka sebesar 3 – 5 mm. Luka tersebut

berada disamping bagian belakang badan (posterio-lateral). Sebagai

perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung. Pada kasus akut akan terlihat luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran. Perkembangan lebih lanjut, luka-luka (rongga-rongga) berisi gas. Terlihat bentuk cembung, menyebar ke seluruh tubuh. Ikan tampak kehilangan warna, dan luka-luka kemudian merata di seluruh tubuh. Jika luka

digores, bau busuk (H2S) tersebar. Bekas jaringan mati bisa berisi 3 rongga.

2.1.2. Penyebab Penyakit Ikan Golongan Jamur

Salah satu kelompok jamur yang sering menyerang ikan air tawar adalah Saprolegnia sp. yang merupakan penyebab penyakit saproligniasis. Penyakit ini dikenal dengan nama fish mold yang dapat menyerang ikan dan telur ikan. Saprolegnia sp termasuk ke dalam Subdivisi Zygomycotina/ Zygomycetes, Kelas Oomycetes, Ordo Saprolegniales dan kelompok fungi non septat. Jamur ini bereproduksi secara seksual (spora~oospora) dan juga aseksual (antheridia dan oogonia) yang mengalami kematangan. Jamur ini menyerang sebagian besar ikan air tawar, umumnya ikan mas, tawes, gabus, gurami, nila, dan lele. Selain itu, juga


(21)

menyerang ikan kakap yang dipelihara di salinitas rendah. Jenis lain penyakit jamur yang termasuk berbahaya untuk ikan antara lain adalah Aspergillus flavus flavus, Aphanomyces, Branchiomyces, dan Ichthyophonus.

A. flavus merupakan jamur yang mampu memproduksi aflatoksin (Handajani & Purwoko, 2008) dan merupakan jamur patogen potensial yang dapat mengakibatkan aspergillosis (Malau, 2012). Aflatoksin merupakan suatu metabolit sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang A. flavus (Mehan et al., 1991), yang terdiri dari empat komponen induk yaitu, aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin G1 (AFG1) dan aflatoksin G2 (AFG2). Di antara keempat jenis aflatoksin ini, diketahui aflatoksin B1 (AFB1) dan aflatoksin B2 (AFB2) termasuk yang berbahaya, sehingga pengembangan penelitian banyak difokuskan pada aflatoksin jenis ini (Coallier & Idzack, 1985). Serangan cendawan A.flavus mengakibatkan berbagai kerusakan meliputi kerusakan fisik, kimia, bau, warna, tekstur, dan nilai nutrisi, serta berakibat pada kesehatan manusia dan hewan (Talanca & Mas’ud, 2009).

A. flavus merupakan kapang saprofit. Koloni yang sudah menghasilkan spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi ketika spora mulai muncul. Koloni A. flavus dapat mencapai diameter 3-5 cm dalam waktu tujuh hari, dan berwarna hijau kekuningan karena lebatnya konidiofor yang terbentuk. Kepala konidia khas berbentuk bulat, kemudian merekah menjadi beberapa kolom, dan berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua kekuningan. Konidiofor berwarna hialin, kasar dan dapat mencapai panjang 1,0 mm (ada yang sampai 2,5 mm). Vesikula berbentuk bulat hingga semibulat, dan berdiameter 25-45 µm. Fialid terbentuk langsung pada vesikula atau pada metula, dan berukuran (6-10) x (4,0-5,5) µm. Metula berukuran (6,5-10) x (3-5) µm. Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, berdiameter 3,6 µm, hijau pucat dan berduri (Gandjar et al., 1999). Secara makroskopis jamur yang tumbuh terlihat warna koloni hijau kekuningan yang merupakan indikator adanya jamur A. flavus. Secara mikroskopis pada A. flavus tampak vesikel agak lonjong dengan dinding konidia lebih halus dan tidak bergerigi (Safika, 2008).


(22)

Kondisi optimum jamur ini untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada

suhu 25-35 0C, kelembaban relatif 85 % dan kadar air 16 %, serta pH 6.

Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan terjadi bila strain aflatoxigenic berhasil tumbuh dan membentuk koloni serta selanjutnya memproduksi aflatoksin. Jamur A. flavus akan menghasilkan 50 % strain aflatoxigenic (Cotty & Melon, 2004).

Jamur Apanomyces dilaporkan menyerang lobster air tawar, crayfish, sea mullet, yellow fin bream, dan sand whiting. Jamur ini menyerang organ persendian dan pergerakan. Ikan yang terserang mengalami paralisis, terlihat diam terlentang di dasar akuarium atau kolam sampai mati. Tidak ada respon terhadap rangsangan eksternal yang diberikan. Jaringan yang terinfeksi umumnya daerah persendiaan berwarna kekuningan atau cokelat dan mengalami nekrosis. Aphanomyces merupakan parasit obligat, menginfeksi daerah lunak persendian dan ruas abdomen. Jamur ini membentuk hifa disepanjang syaraf ventral dan ganglion otak. Keadaan ini menimbulkan gangguan serta kerusakan organ lokomotor dan juga sistim kekebalan dari ikan yang terinfeksi.

Branchiomycosis adalah penyakit ikan yang disebabkan jamur Branchiomyces sanguinis. Inang definitif dari jamur ini dilaporkan meliputi Cyprinus carpio, Tinca tinca, Carrasius auratus, Esox lucius, Gasterosteus aculeatus, dan Salmonid. Tandatanda klinis serangan Branchiomycosis meliputi adanya nekrosis pada insang yang berwarna keputihan. Ikan mengalami kesulitan bernafas atau asphyxia, megap-megap di permukaan air. Insang memperlihatkan tanda-tanda hemorhagik. Ikan terlihat berkumpul di daerah pemasukan air dan tidak mau makan. Kejadian infeksi dipengaruhi oleh suhu perairan. Infeksi hanya terjadi pada musim panas, terutama pada bulan Juli – Agustus di daerah yang bermusim empat. Morbiditas penyakit ini dapat mencapai 50 %, sedang pada infeksi yang bersifat akut dapat menimbulkan kematian sebanyak 30 – 50 % dari populasi ikan yang terinfeksi dalam waktu 2 – 4 hari, terutama diakibatkan karena terjadinya anorexia. Branchiomycosis akut dapat dikenali dengan terjadinya nodul putih pada insang sebagai suatu luka patogenomonik. Infeksi dari jamur ini dapat terjadi secara langsung dari spora yang menempel pada insang atau dengan cara


(23)

tertelan (Anderson, 1995). Sand paper disease adalah penyakit yang disebabkan jamur Ichthyophonus hofferi. Inang definitif cendawan ini dilaporkan meliputi Clupea harengus harengus, Salmo gairdneri, Salvelinus fontinalis.

2.2. Bakteri Asam Laktat (BAL)

BAL ditemukan pertama kali oleh Pasteur, seorang profesor kimia di University of Lille pada tahun 1878. Pada tahun 1889, Tissier, peneliti Prancis menemukan bakteri yang mendominasi saluran usus bayi yang minum air susu ibu yaitu Bifidobacterium. BAL berbentuk bulat maupun batang, Gram positif dan (dengan sedikit perkecualian) tidak motil, katalase negatif, tidak mempunyai sitokrom, aerotoleran, anaerobik hingga mikroaerofolik, serta membutuhkan nutrisi yang kompleks seperti asam amino, vitamin (B1, B6, B12 dan biotin), purin dan pirimidin (Surono, 2004). Walaupun BAL dapat hidup dengan dan tanpa oksigen, sumber energi terbesarnya untuk tumbuh adalah fermentasi gula. Bakteri ini mempunyai kapasitas respirasi yang sangat terbatas dan tidak dapat memperoleh ATP dari proses respirasi (Salminen & Wright, 2004).

BAL dibagi menjadi tiga grup berdasarkan pola fermentasinya, yaitu : a. Grup I : BAL homofermentatif obligatif, yang mengubah heksosa menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof, namun tidak bias memfermentasikan pentosa ataupun glukonat. BAL grup ini termasuk dalam termobakterium, yang kekurangan glukosa-6 fosfat dehidrogenase dan 6-fosfoglukonat. Sebagian besar

BAL grup ini tumbuh pada suhu 450C namun tidak tumbuh pada suhu 150C

(Hopzapfel, 1998).

b. Grup II : BAL heterofermentatif fakultatif, yang memfermentasikan heksosa secara homofermentatif namun sebagian galur pada beberapa kondisi mempunyai metabolisme heterofermentatif dari heksosa menjadi asam laktat, karbondioksida dan ethanol atau asam asetat. Pentosa difermentasi melalui fosfoketolase menjadi asam laktat, karbondioksida dan ethanol atau asam asetat. Produksi asam asetat terjadi jika NAD+ dapat diregenerasi tanpa pembentukan ethanol, misalnya melalui reduksi fruktosa atau molekul oksigen. BAL grup ini termasuk dalam


(24)

streptobakterium, yang mempunyai dua enzim dehidrogenase tetapi menggunakan jalur Embden-Meyerhof untuk fermentasi glukosa (Hopzapfel, 1998).

c. Grup III : BAL heterofermentatif obligatif, yang memfermantasikan heksosa menjadi asam laktat, karbondioksida dan etanol atau asam asetat, jika terdapat akseptor elektron alternatif. Pentosa diubah menjadi asam laktat dan asam asetat. BAL grup ini termasuk dalam betabakterium, yang kekurangan fruktosa 1.6 difosfat aldolase (Hopzapfel, 1998). BAL sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan. Bakteri ini hidup pada susu, daging segar, dan sayur-sayuran. Pada proses fermentasi daging spontan, BAL yang berasal dari bahan mentah atau lingkungan menyebabkan terbentuknya asam laktat dari penggunaan karbohidrat, maupun rendahnya nilai pH (5.9 sampai 4.6) (Surono, 2004).

2.2.1. Probiotik

Probiotik yaitu suplementasi sel mikroba atau komponen sel mikroba pada pakan yang menguntungkan inang (Irianto, 2003). Beberapa jenis bakteri-bakteri probitiok yang telah banyak diaplikasikan pada budi daya air tawar, air payau dan air laut diantaranya: Bacillus sp. (Boonthai et al., 2011); Bacillus subtilis (El-Dakar et al., 2007; Keysami et al., 2012; Keysami et al., 2007; Kumar et al., 2008; Merrifield et al., 2010; Mohapatra et al., 2012); Bacillus licheniformis (Merrifield et al., 2010); Enterococcus faecium (Gopalakannan and Arul, 2011; Merrifield et al., 2010); B. coagulans- Rhodopseudomonas palustris- Lactobacillus acidophilus ( Wang, 2011); Lactococcus lactis dan Saccharomyces cerevisae.

Pada budi daya ikan, probiotik diberikan sebagai campuran makanan dan ada yang ditaburkan pada kolam pemeliharaan. Untuk probiotik yang dicampur pakan, bisa dicampurkan dengan pakan buatan pabrik (pelet) maupun pakan alami seperti dedaunan. Penebaran probiotik pada kolam akan membantu tumbuhnya plankton-plankton dan mikroorganisme lainnya dalam air kolam sebagai makanan alami ikan. Probiotik jenis ini akan menggemburkan dasar kolam sekaligus memelihara kualitas air seperti Nature atau Super Plankton. Probiotik ini cukup


(25)

diguyurkan ke air kolam pada pagi hari setiap dua minggu sekali supaya air selalu sehat, tidak blooming dan penuh dengan plankton sebagai pakan alami.

Aplikasi probiotik tidak hanya berfungsi sebagai agen biokontrol untuk mengurangi serangan penyakit atau bioremediasi untuk memperbaiki kualitas lingkungan, melainkan dapat pula meningkatkan nilai nutrisi pakan dan laju penyerapan nutrien sehingga memungkinkan udang mencapai pertumbuhan yang maksimum. Aplikasi bakteri probiotik dalam perbaikan nutrisi pakan dapat dilakukan baik melalui pengkayaan pakan alami maupun pakan buatan (Widanarni et al., 2008a)

Mikroflora saluran pencernaan ikan gurame yang terpilih sebagai kandidat probiotik adalah mikrob yang menguntungkan serta dapat menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan ikan. Mikroflora menguntungkan yang ditemukan pada saluran pencernaan ikan gurame adalah Moraxella sp., Bacillus sp., Carnobacterium sp., Lactobacillus sp,. dan Streptococcus sp., yang dapat berperan sebagai nutrien tambahan bagi ikan dan suplemen dalam kultur pakan alami, yaitu bermanfaat melalui metabolit seperti vitamin B12 dan enzim yang disekresikannya ke dalam medium kultur, selain itu dapat juga meningkatkan kecernaan nutrien pakan melalui enzim pencernaan eksogen yang disekresikannya.

2.2.2. Manfaat Probiotik

Probiotik merupakan makanan tambahan berupa sel-sel mikroba hidup, yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan inang yang mengkonsumsinya melalui penyeimbangan flora mikroba intestinalnya (Fuller, 1987). Selanjutnya Verschuere et al., (2000) menyatakan bahwa probiotik sebagai penambah mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi komunitas mikroba lingkungan hidupnya. Pendapat lain oleh Salminen et al., (1999) bahwa probiotik merupakan segala bentuk preparasi sel mikroba atau komponen sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi kesehatan dan kehidupan inang.

Irianto (2003) menyatakan bahwa probiotik dapat mengatur lingkungan mikrobia pada usus, menghalangi mikroorganisme patogen dalam usus dengan


(26)

melepas enzim-enzim yang membantu proses pencernaan makanan sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan. Dalam proses peningkatan aktivitas pencernaan, probiotik memiliki mekanisme dalam menghasilkan beberapa enzim exogenous untuk pencernaan pakan seperti amilase, protease, lipase, dan selulase (Bairage et al., 2002; Aslamyah, 2006; Taoka et al., 2007; Wang, 2007 & Wang et al., 2008). Hasil penelitian Widanarni et al., (2009) menunjukkan bahwa bakteri SKT-b mampu menghasilkan enzim protease dan amilase. Enzim exogenous tersebut akan membantu enzim endogenous pada inang untuk menghidrolisis nutrien pakan.

2.3. Biofilm

Biofilm tidak hanya berupa kumpulan sel mikroorganisme yang menempel pada permukaan padat dalam lingkungan yang berair, namun secara struktural dan dinamis berupa sistem biologi yang komplek (Stoodley et al., 2006). Biofilm mampu menempel pada permukaan stainless steel pada alat pengolahan makanan laut (Jamilah et al., 2004).

Penempelan biofilm dapat terjadi pada permukaan biotik dan nonbiotik. Faktor pembentukan dan penyebaran biofilm diantaranya sistem quorum sensing dan molekul seperti autoinduser 2 (Abee et al., 2011). Bakteri patogen yang membentuk biofilm memerlukan usaha pengontrolan yang lebih keras dibanding keadaan planktonik (Silitonga, 2013).

Pembentukan biofilm tersusun dari beberapa tahapan (Aparna and Yadav, 2008). Tahap pertama terbentuknya biofilm dimulai dengan perlekatan sel mikroba planktonik pada permukaan substrat. Setelah itu, koloni akan mengikatan diri lebih kuat pada permukaan dengan menggunakan pili. Selama tahap ini sel bakteri mengalami pertumbuhan logaritmik.

Tahap kedua, bakteri mengalami multifikasi sambil mengeluarkan sinyal kimia untuk berkomunikasi secara internal. Substansi EPS mulai dihasilkan berdasarkan mekanisme genetik. Tahap ketiga biofilm terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan koloni. Pada tahap in ketebalan biofilm lebih dari 10 mikrometer. Tahap keempat, ketebalan lapisan biofilm pada tahap ini mencapai


(27)

lebih dari 100 nanometer dan dapat mencapai 300-400 milimeter seperti yang dibentuk oleh algal mats. Beberapa hari setelah tahap ke empat, biofilm akan memasuki tahap kelima. Pada tahap ini terjadi dispersi sel sehingga memungkinkan beberapa bakteri meninggalkan biofilm untuk berkembang kembali menjad sel planktonik (Aparna and Yadav, 2008)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2014 bertempat di laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan di laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung reaksi, cawan petri, pro pipet, pipet serologi, spatula, jarum ose, autoklaf, inkubator, beaker glass, bunsen, mikroskop cahaya, obyek glass, shaker, spektrofotometer, pH meter, water bath, hot plate, cork borer, sentrifuse dan vortex. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain usus ikan mas (C. carpio) yang sehat diambil dari penjual komersil, akuades, alkohol 70 %, larutan Mc Farland, media MRS broth, media MRS agar, media MHA, media NB larutan pepton steril, kultur stok Lactobacillus sp., dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan. A. salmonicida dan A. flavus koleksi Balai Riset Perikanan Air Tawar Sempur, Bogor


(28)

3.3. Rancangan Percobaan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dimulai dengan isolasi dan karakterisasi BAL dari sumber isolasi usus ikan Mas (C. carpio) yang sehat diambil dari penjual komersil sebanyak 4 ekor. Penapisan atau seleksi BAL dalam menghambat pertumbuhan A. salmonicida. Uji aktivitas senyawa antimikroba ekstrak kasar BAL isolat potensial dalam menghambat pertumbuhan A. salmonicida pada kepadatan sel 108 CFU/mL. Data diperoleh disajikan dalam gambar dan tabel.

3.4. Isolasi dan Karakterisasi BAL

Isolasi BAL dilakukan menurut metode Bucio et al., (2006) dengan modifikasi. Saluran pencernaan ikan sehat dipisahkan dari rongga tubuh, diambil, disayat untuk kemudian dibersihkan isinya. Selanjutnya ditiriskan dinding usus bagian dalam dikerik dengan menggunakan spatula steril. Cairan mukosa usus diambil sebanyak 1 mL dan dihomogenkan di dalam 9 mL larutan PBS (phosphat buffer saline) kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-8 secara berseri. Dari setiap pengenceran 10-4 hingga 10-8 diambil 0,1 ml dan disebarkan pada medium

MRS agar, diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24-48 jam. Koloni yang tumbuh

terpisah, berwarna putih pada MRSA dimurnikan dengan metode kuadran gores hingga diperoleh koloni murni. Kultur murni ditandai dengan morfologi yang seragam. Seluruh isolat yang telah diperoleh dikarakterisasi berdasarkan pada karakteristik morfologi dan uji biokimiawi yaitu:

a. Uji Morfologi dan Pengecatan Gram

Isolat murni ditumbuhkan pada media cair MRS dan diinkubasikan selama 24

jam, pada suhu 30 oC kemudian dilakukan pengecatan Gram sekaligus diamati

bentuk selnya (bulat, bulat batang, tetrad, batang).

b. Uji Motilitas

Uji motilitas dilakukan dengan menumbuhkan kultur pada media SIM dan


(29)

pertumbuhan bakteri pada media di dalam tabung reaksi. Bakteri yang tidak motil hanya tumbuh terbatas pada bekas goresan jarum inokulasi.

c. Uji biokimiawi (Uji Katalase, Uji Sitrat dan Uji TSIA)

Uji katalase dilakukan dengan meneteskan larutan H2O2 3% pada kultur muda

(umur 24 jam). Sifat reaksi terhadap uji katalase ditentukan dengan pemunculan

gelembung gas yang memberikan indikasi pembentukan gas CO2. Uji sitrat

dilakukan dengan media SCA (Simon Citrat Agar), uji positif terjadi jika terdapat perubahan warna pada media yang semula berwarna hijau menjadi biru. Uji TSIA dilakukan dengan media miring TSIA. Gores permukaan media dengan ose bengkok, kemudian tusuk bagian tengah media secara lurus dan diinkubasi selama 24-48 jam. Uji positif dilihat dengan adanya endapan hitam.

3.5. Seleksi BAL Potensial dalam menghambat pertumbuhan A. salmonicida

Seleksi BAL potensial dalam menghambat bakteri A. salmonicida dilakukan dengan metode Banerjee et al., (1999) untuk menentukan isolat terpilih yang nantinya akan diteruskan pada pengujian selanjutnya. Patogen uji sebanyak 5-10

koloni dikultur dalam 50 mL media NB dan diinkubasi 24 jam pada suhu 28 0C

yang telah dibuat dengan OD600 = 0,5 setara 108 CFU/ml yang diukur dengan

menggunakan spektrofotometer diusap kultur cair patogen A. salmonicida dengan cotton bud steril pada media MHA, uji antagonis dengan mentotolkan kultur bakteri BAL dengan tusuk gigi steril pada media MHA yang telah diusap kultur

cair patogen tersebut, diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24-48 jam. Diameter

zona penghambatan diukur dengan mengamati zona bening yang terbentuk.

3.7. Kurva Pertumbuhan Isolat BAL

Sebanyak 5 ose kultur BAL terpilih dimasukkan kedalam 30 mL media cair

MRSB, kemudian diinkubasi pada suhu 28 0C, pada rentang waktu 3 jam selama

24 jam, dihitung nilai kerapatan optik atau optical density (OD) isolat terpilih BAL dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm menurut metode Hadioetomo (1990).


(30)

3.8. Produksi Senyawa Antimikroba BAL

Produksi Senyawa Antimikroba dilakukan dengan memproduksi senyawa antimikroba ekstrak kasar BAL yang berasal dari kultur cair berumur 15 jam. Kultur cair MRS ditambahkan sebanyak 10 mL ke dalam 400 mL media NB,

diinkubasi pada suhu 28 0C selama 15 jam. Kemudian sebanyak 100 mL kultur

disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu 4 0C selama 15 menit.

Selanjutnya dilakukan penyaringan senyawa antimikroba dengan kertas saring

0,22 µm (MS® Syringe filter) sehingga diperoleh ekstrak kasar senyawa

antimikroba BAL.

3.9. Uji Aktivitas Senyawa Antimikroba BAL terhadap bakteri patogen A.

salmonicida.

Pengujian terhadap bakteri patogen dilakukan dengan menyebarkan suspensi kultur bakteri uji di atas media MHA. Kertas cakram ditetesi dengan senyawa antimikroba sebanyak 30 μl dan diletakkan di atas sebaran biakan

patogen uji dengan OD600=0,5, lalu diinkubasi pada suhu 28-30 °C selama tiga

hari. Pengamatan dilakukan terhadap pengukuran zona hambat yang terbentuk di sekitar cakram kertas yang menunjukkan adanya aktivitas antimikroba.

Kertas cakram kloramfenikol 10 μg digunakan sebagai pembanding dengan

senyawa antmikro. Pengujian kemampuan senyawa antimikrob dilakukan dengan metode difusi cakram.

3.10. Pembentukan Dan Penghitungan Sel Biofilm A. salmonicida

Lempeng permukaan padat dibuat untuk pengujian in vitro dalam hal ini permukaan plastik PVC dan sisik ikan. Lempeng plastik PVC dan sisik ikan

dipotong seluas 1 cm2 kemudian dicuci dengan larutan detergen pada bak

sonikator selama 15 menit. Kedua lempeng lalu di autoklaf selama 15 menit,

tekanan 1 atm pada suhu 121 0C. Sisik ikan dan PVC dianalogikan sebagai


(31)

Isolat murni A. salmonicida ditumbuhkan pada media NB sebanyak 50 ml

dengan konsentrasi sel 108 CFU/ml dalam labu erlenmeyer. Secara terpisah

masing-masing lempeng dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian

diaerasi selama 15 menit setiap harinya pada suhu ruang 28 0C. Pembentukan

biofilm diamati pada periode 1, 3 dan 5 hari untuk melihat penempelan sel biofilm. Lempeng diangkat dari kultur, masing-masing dibilas sebanyak 3 kali dengan 10 ml akuades steril kemudian dimasukkan ke 9 ml larutan garam fisiologis NaCl 0,85 % yang ditambah dengan 0,5 g manik-manik kaca mikro (glass bead), kemudian dihomogenkan untuk melepas sel biofilm selama 2 menit. Selanjutnya dilakukan pengenceran berseri. Sebanyak 0,1 ml kultur disebar pada

media PCA, diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24 jam. Setelah itu dilakukan

perhitungan jumlah sel dengan metode TPC. Perlakuan diulang sebanyak 2 kali. Kontrol berupa larutan yang berisi masing-masing lempeng tanpa penambahan sel A. salmoncida menurut metode (Jamilah dan Priyani, 2012).

3.11. Pengendalian Sel Biofilm A. salmonicida dengan Senyawa Antimikrob BAL Potensial

Lempeng plastik PVC dan sisik ikan yang telah ditumbuhi biofilm A. salmoncida yang berumur 1, 3, dan 5 hari disiapkan. Masing-masing lempeng plastik PVC dan sisik ikan yang terpisah dimasukkan ke dalam tabung steril yang berbeda lalu ditambahkan masing-masing senyawa antimikrob BAL terpilih pada

suhu 28 0C dengan waktu kontak 1 jam dan diaerasi selama 15 menit. Setelah

waktu kontak 1 jam lempeng diangkat dari kultur dan masing-masing dibilas sebanyak 3 kali dengan 10 ml akuades steril lalu dimasukkan ke 9 ml larutan garam fisiologis NaCl 0,85 % yang ditambah dengan 0,5 g manik-manik kaca mikro (glass bead), kemudian dihomogenkan untuk melepas sel biofilm selama 2 menit, selanjutnya dilakukan pengenceran berseri. Sebanyak 0,1 ml kultur disebar

pada media PCA secara aerobik, kemudian diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24

jam, dilakukan perhitungan jumlah sel dengan metode TPC. Perlakuan diulang sebanyak 2 kali.


(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat

Hasil isolasi BAL yang diisolasi dari usus ikan mas diperoleh 6 isolat bakteri yaitu UM1, UM2, UM3, UM4, UM5, dan UM6 yang berbeda dari segi warna, bentuk, tepian dan elevasi koloni. Beberapa isolat BAL yang diujikan dalam penelitian ini diperoleh dari stok kultur laboratorium Mikrobiologi Universitas Sumatera Utara yang diisolasi dari usus ikan nila oleh Harahap et al., 2013 yaitu US7. Isolat AK1, AK3, dan AK5 diisolasi dari air kolam oleh Mayasari et al., 2013, sedimen kolam 2 isolat yaitu EK2 dan EK5 yang diisolasi oleh Sitepu et al., 2013 juga digunakan dalam penelitian ini. Isolat yang berbeda dipisahkan dengan menggunakan metode cawan gores pada media MRSA sehingga diperoleh biakan murni untuk keperluan karakterisasi.

Berdasarkan pengamatan morfologi isolat BAL yang diperoleh dari usus ikan mas bervariasi umumnya bentuk koloni bulat, tidak beraturan dan cekung. Tepi koloni umumnya tidak teratur namun beberapa ada yang halus dan bergelombang. Warna koloni BAL umumnya putih susu dan krem. Elevasi dari koloni BAL hasil isolasi juga bervariasi diantaranya datar, berbukit dan timbul (Tabel 4.1).

Hasil pewarnaan Gram pada seluruh isolat BAL merupakan bakteri Gram positif. Bakteri gram positif mempunyai dinding sel yang tebal tersusun dari lapisan peptidoglian yang terdri atas protein, asam teikoat, dan polisakarida serta bagian luar dielilingi dan dibungus oleh lapisan sulfur protein (Capucino dan Sherman, 2001). Berdasarkan pengamatan terhadap hasil uji biokima, secara umum isolat bakteri asam laktat menunjukkan uji negatif terhadap hidrolisis pati, uji sitrat dan hidrolisis gelatin. Pada uji katalase bakteri asam laktat postif namun beberapa negatif yaitu UM3, UM5, AK5 dan EK2. Pada uji motilitas UM5 dan UM6 berbentuk pedang dan terdapatnya endapan hitam.


(33)

Tabel 4.1. Karakteristik morfologi dan Biokimia Isolat BAL

Kode Isolat

Morfologi

koloni Gram

B ent uk Uji biokimia E nda pa n R et aka n G ela tin K at al as e M ot ilita s

Pati Sitrat

UM1 UM2 UM3 UM4 UM5 UM6 AK1 AK3 AK5 EK2 EK5 US7

Putih susu, bulat, utuh, datar Krem, bulat, utuh, datar Krem, tidak teratur, gelombang, datar Putih, bulat, utuh, datar Krem, cekung, gerigi,cembung Putih, bulat, gerigi, datar Putih susu, bulat, tidak teratur, timbul Krem, bulat, tidak teratur, timbul Putih susu, bulat, halus, timbul Putih susu, bulat, halus, timbul Putih susu, bentuk -I, gerigi, timbul Krem, filiform, lobat, umbonat + + + + + + + + + + + + Kokus Kokus Kokus Kokus Kokus Kokus Kokus Kokus Basil Kokus Basil Kokus - - - - - - - - - - - - - - - - + - + - + - - - - - - - - - - - - - - - + + - + - + + + - - + + - - - - + + - - - - + + - + - - + - - - - - - - - - - - + + - - - - - -


(34)

AK = Air Kolam EK = Endapan Kolam US = Usus ikan Nila

Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri probiotik yang dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inangnya dengan cara meningkatkan sifat-sifat dari mikroflora dalam saluran pencernaan. Spesies mikroba yang umum digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Bifidobacteria, Enterococcus, Saccharomyces, dan Lactococcus. Menurut Cowan (1974) bahwa bakteri probiotik merupakan bakteri berbentuk batang, beberapa berbentuk kokus, tergolong bakteri Gram positif pada kultur muda dan akan menjadi bakteri Gram negatif ketika memasuki fase stasioner dalam pertumbuhannya, bersifat motil, memproduksi spora (endospora) yang biasanya resisten pada panas, aerob (beberapa spesies anaerob fakultatif), katalase positif dan oksidasi bervariasi. Namun beberapa spesies dapat membentuk katalase atau sitokrom pada media yang mengandung hematin atau senyawa terkait dan beberapa lactobacilli juga dapat menghasilan non-heme katalase yang dissebut pseudocatalase, yang menyebaban kebingungan untuk identifikasi BAL (Holzapel et al., 2001).

4.2. Seleksi Bakteri Asam Laktat Potensial dalam Menghambat Bakteri Patogen Aeromonas salmonicida dengan Difusi Cakram

Hasil seleksi isolat BAL yang potensial memperlihatkan bahwa terdapat hasil yang bervariasi dalam menghambat mikroba patogen Aeromonas salmonicida. Sembilan isolat mampu menghambat mikroba uji Aeromonas salmonicida yaitu isolat UM1, UM2, UM3, UM4, UM5, UM6, AK1, EK5 dan EK2 sedangkan 3 isolat lainnya yaitu US7, AK3 dan AK5 tidak mampu menghambat mikroba uji Aeromonas salmonicida. UM1 memiliki luas zona hambat terbesar pada Aeromonas salmonicida sebesar 8,35 mm. UM4 memiliki zona hambat terbesar kedua dalam menghambat Aeromonas salmonicida sebesar 7,6 mm. Isolat UM1 dan UM4 ini dikategorikan memiliki zona hambat yang tergolong kuat. Menurut Pan et al (2009), zona bening yang berdiameter hambat 0-3 mm tergolong lemah, diameter hambat 3-6 mm tergolong baik, diameter


(35)

hambat lebih besar dari 6 mm tergolong kuat. Hasil uji antagonis isolat BAL terpilih terhadap Aeromonas salmonicida dan dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Uji Antagonis Isolat BAL terhadap Mikroba Patogen Aeromonas salmonicida

Kode Besar Zona Hambat Terhadap

Isolat A. salmonicida (mm) Hari ke- 1 Hari ke- 2 UM1 7,7 8,35

UM2 7.56 7,59

UM3 7,24 7,13

UM4 7,58 7,6

UM5 7,21 6,17

UM6 7,45 7,5

AK1 7,4 7,48

EK5 7,43 7,52

US7 0 0

EK2 7,42 7,35

AK3 0 0

AK5 0 0

Tabel 4.2 terlihat bahwa aktivitas antagonistik terhadap bakteri patogen uji Aeromonas salmonicida oleh bakteri asam laktat ternyata menunjukkan kemampuan menghambat yang berbeda. Adanya perbedaan ukuran zona hambat pada setiap isolat BAL mungkin disebabkan senyawa antibakteri yang dihasilkan pada setiap isolat berbeda sehingga berpengaruh terhadap ukuran zona bening yang terbentuk. Bakteri asam laktat yang mengandung probiotik misalnya Lactobacillus spp. menghasilkan enzim-enzim pencernaan seperti lactase yang memanfaatkan karbohidrat yang tidak dapat dicerna menjadi dapat dicerna serta dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Bacillus sp. dimanfaatkan sebagai agen biokontrol (probiotik) karena memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa organik dan menggunakannya untuk menunjang pertumbuhannya. Hal ini disebabkan karena, Bacillus sp. memiliki enzim proteolitik yang dihasilkan secara ekstraseluler yang berperan dalam menguraikan protein dan juga memiliki enzim lipolitik yang berperan dalam menguraikan


(36)

lemak sehingga mampu mendegradasi sampah-sampah organik yang dipecah menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (Mansyur et al., 2008).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil berbeda yang diiisolasi dari keju oleh Susanti et al., (2007) pengujian senyawa aktivitas antagonistik terhadap S. aureus isolat KJ-1 yang diisolasi dari keju menunjukkan aktivitas penghambatan yang terbesar yaitu 5,5 mm dengan metoda difusi agar, sedangkan Lactobacillus mesenteroides FNCC023 memberikan penghambatan yang kecil terhadap B. cereus yaitu sebesar 4,0 mm. Lactobacillus mesenteroides FNCC023 memberikan penghambatan yang kecil terhadap E. coli yaitu sebesar 3,8 mm.

Gambar 4.1. Uji Antagonis Isolat BAL Terhadap Mikroba Patogen Aeromonas salmonicida (a) Isolat UM1 selama 48 jam (b) Isolat UM4 selama 48 jam.

Pada isolat UM3, UM5 dan EK2 terhadap Aeromonas salmonicida diperoleh data zona hambat yang menurun pada hari kedua. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, antara lain yaitu tidak dihasilkan lagi metabolit sekunder dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji. Selain itu juga tergantung dari sifat isolat bakteri, baik bersifat bakteriostatik maupun bakteriosidal.

Beberapa isolat tidak mampu menghambat patogen uji dugaan yang menyebabkan isolat tersebut tidak mampu menghambat mikroba patogen yang diuji yaitu isolat bakteri tersebut menghasilkan senyawa antibakteri namun tidak bersifat aktif terhadap bakteri uji Aeromonas salmonicida. Bakteri menghasilkan senyawa antibakteri secara intraseluler sehingga senyawa antibakteri yang

b a


(37)

dihasilkan oleh bakteri tersebut tidak terekskresi dan terakumulasi dalam media tumbuh. Dari hal ini dapat diketahui bahwa setiap isolat bakteri asam laktat yang diperoleh menghasilkan metabolit dan kemampuan menghambat yang berbeda-beda pada beberapa mikroba patogen.

Verschuere et al., (2000) mengemukakan bahwa mekanisme bakteri antagonis yang dapat digunakan sebagai biokontrol adalah menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, terjadi kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu atau kompetisi pemanfaatan energi dan kompetisi tempat menempel. Aktivitas antibakteri terbentuk setelah memasuki fase stasioner mengikuti mekanisme quorum sensing yang merupakan sistem komunikasi antar sel dalam merespon perubahan lingkungan. Pembentukan senyawa metabolit ini merupakan suatu bentuk respon bakteri untuk pertahanan melawan mikroba lain (Abee et al., 2011; Whitehead et al., 2001; Tinaz, 2003). Selain itu juga faktor yang mempengaruhi pembentukan metabolit yaitu nutrien dan laju pertumbuhan bakteri.

4.3. Kurva Pertumbuhan BAL Potensial

Pertumbuhan biakan isolat potensial UM1 dan UM4 diamati dengan mengukur densitas optik (OD) pada rentang waktu 3 jam selama 30 jam. Pertumbuhan isolat UM1 dan UM4 ditandai dengan meningkatnya nilai densitas medium selama rentang waktu inkubasi. Penentuan kurva pertumbuhan BAL bertujuan untuk mengetahui fase stasioner pada isolat UM1 dan UM4 karena senyawa antimikrob dihasilkan pada fase tersebut (Drider, 2006).

Kurva pertumbuhan (Gambar 4.3) menunjukkan bahwa isolat UM1 dan UM4 memiliki fase adaptasi pada waktu pertumbuhan dari 0 hingga 6 jam pertama. Fase adaptasi yang cukup lama disebabkan karena bakteri tersebut tumbuh sebelumnya pada media yang berbeda. Media tumbuh isolat sebelumnya adalah media MRSA selanjutnya dilakukan penyegaran pada media NB. Menurut Ghali et al., (2003), jika media dan lingkungan pertumbuhan sama seperti media dan lingkungan sebelumnya maka mungkin tidak diperlukan waktu adaptasi. Kurva pertumbuhan isolat UM1 dan UM4 dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut:


(38)

Gambar 4.3. Kurva pertumbuhan isolat UM1 dan UM4 pada media NB Bakteri mengalami pertumbuhan yang lambat dan memasuki fase stasioner isolat BAL pada jam ke-21. Isolat BAL mengalami fase pertumbuhan yang relatif tetap hingga jam ke-30 dikarenakan jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Produksi atau pemanenan senyawa antimikrob isolat UM1 dalam pengendalian biofilm Aeromonas salmonicida dilakukan pada fase akhir

logaritimik atau fase awal stasioner berdasarkan kurva pertumbuhan yaitu jam

ke-21. Pemanenan pada fase ini dilakukan dengan harapan bakteri mulai memproduksi senyawa metabolit antmikrob BAL. Pada saat fase ini terjadi kondisi biakan rutin, akumulasi produk limbah, kekurangan nutrien, perubahan pH, dan faktor lain yang mendesak senyawa antimikrob BAL keluar sehingga pada fase inilah diduga senyawa antimikrob telah dihasilkan oleh BAL misalnya seperti produk-produk yang mungkin dapat menghambat pertumbuhan patogen penyebab penyakit pada ikan seperti asam laktat, asam piruvat, bakteriosin dan lain sebagainya.

Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian Mayasari et al., 2013 yaitu bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum yang diinkubasi pada media NB pada

suhu 37 0C mencapai fase akhir logaritmik atau fase awal stasioner pada jam

ke-15. Hal ini menunjukkan kecepatan pertumbuhan sel BAL dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme.


(39)

4.4. Uji Aktivitas Senyawa Antimikroba Isolat BAL Potensial UM1 dan UM4 Terhadap Mikroba Patogen Aeromonas salmonicida

Dari hasil pengukuran besar zona hambat yang diperoleh dari masing-masing isolat BAL terhadap mikroba patogen uji, dua isolat yaitu UM1 dan UM4 yang memiliki zona hambat paling besar digunakan untuk produksi senyawa antibakterinya dan dilihat efetivitasnya dalam menghambat bakteri patogen uji Aeromonas salmonicida. Hasil pengamatan pada uji ativitas senyawa antimikrob UM1 dan UM4 memiliki potensi antimikrob yang berbeda pada hari pertama dan hari kedua, dapat ditunjukkan oleh Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil uji aktivitas senyawa antimikrob BAL terhadap bakteri uji Aeromonas salmonicida

BAL

Diameter Zona Hambat terhadap Patogen Aeromonas salmonicida (mm)

Kloramfenikol (kontrol)

Senyawa antimikrob BAL

Hari 1 Hari 2 Hari 1 Hari 2

UM1 15,58 15,88 8,60 8,85

UM4 16,12 16,23 8,53 8,55

Dari tabel diatas diperoleh hasil bahwa masing-masing isolat memiliki kemampuan menghambat yang bervariasi. Secara umum, besar zona hambat yang ditunjukkan dari hari pertama sampai hari kedua terjadi peningkatan. Hal ini disebabkan karena pada hari ke dua metabolit sekunder dari BAL tersebut dihasilkan lebih banyak sehingga penghambatannya lebih terlihat jelas pada hari kedua dibandingkan dengan hari pertama. Senyawa atau metabolit antibakteri BAL lebih efektif daripada isolat BAL dilihat dari besar zona penghambatan yang dihasilkan pada senyawa antibakteri BAL. Efektivitas senyawa antibakteri BAL dalam menghambat bakteri patogen dipengaruhi oleh kepadatan dan strain BAL serta komposisi media. Selain itu, produk substansi penghambat dari BAL


(40)

dipengaruhi oleh media pertumbuhan, pH dan suhu lingkungan. Menurut Salminem et al., (2004), BAL mampu menghasilkan zat atau senyawa antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Selain itu juga dapat memproduksi senyawa asam organik yang berfungsi sebagai asidulan atau pengawet.

Gambar 4.5. Hasil Uji Antagonis Senyawa antimikrob selama 48 jam (a) Senyawa antimikrob UM1 (b) Senyawa antimikrob UM4 terhadap Aeromonas salmonicida

Dalam penelitian ini tidak diidentifikasi jenis antimikroba apa yang dihasilkan, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bakteri asam laktat menghasilkan beberapa senyawa yang menghambat pertumbuhan mikroba. Isolat BAL menghasilkan senyawa antimikroba diantaranya adalah asam laktat, asam-asam organik, hidrogen peroksida, dan selain itu juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa komplek protein spesifik yang bersifat bakterisidal (Permanasari, 2004). Bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL diketahui mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Bakteriosin merupakan senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Lubas et al., 2012). Penelitian Isnansetyo et al., (2002), menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampu menghambat pertumbuhan V. alginolyticus karena menghasilkan senyawa 2,4 diacetylploroglucinol. Penelitian Saputri (2012), Pediococcus pentosaceus mampu menghasilkan agen antimikroba (bakteriosin) yaitu Pediosicin yang menghambat beberapa spesies patogen seperti Listeria monocytogenesis yang dapat

UM4 UM1

a

Kloramfenikol Kloramfenikol

UM1


(41)

menyebabkan Listeriosis. LA-5 juga memproduksi CH5 bakteriosin yang ditandai tidak hanya sebagai antibakteri jangkauan luas, tetapi juga mempunyai aksi penghambatan terhadap ragi tertentu (Salminen, 2004).

4.5. Pembentukan biofilm

Pembentukan biofilm dilakuan pada bakteri uji Aeromonas salmonicida yang dibentuk pada dua lempeng yaitu sisik ikan yang dianalogikan sebagai permukaan biotik dan plastik PVC dianalogikan sebagai permukaan abiotik pada permukaan padat lingkungan akuakultur. Biofilm merupakan pertumbuhan mikroorgansime secara terstruktur pada permukaan padatan sehingga membentuk lapisan tipis (Prakas, 2003).

Tabel 4.4. Perhitungan rata-rata jumlah sel biofilm A. salmonicida pada lempeng sisik ikan dan plastik PVC

Rata-Rata Jumlah Sel Biofilm CFU/Lempeng Permukaan

Lempeng Hari Ke-1 Hari Ke-3 Hari Ke-5

Sisik 0,83 x 108 0,90 x 109 0,69 x 107

PVC 0,68 x 108 0,74 x 109 0,46 x 108

Pada rentang hari ke-3 terlihat adanya peningkatan jumlah sel biofilm sebesar 10 kali. Peningkatan jumlah sel biofilm ini terjadi karena adanya faktor yang mempengaruhi penempelan bakteri pada permukaan meliputi ketersediaan nutrisi, suhu, pH dan aliran material yang dapat mengikat antara bakteri dengan permukaan lempeng (Kumar dan Ramjee, 2006). Selain itu juga pada tahap ini kemungkinan ekstrapolisakarida (EPS) sudah banyak dihasilkan. Pada dasarnya EP berperan dalam proses penempelan, akan tetapi EPS juga berperan dalam perlindungan sel biofilm. EPS melindungi dengan cara menyelubungi koloni bakteri yang menempel. Pada kondisi ekstrim misalnya kehadiran senyawa antimikroba EP akan menghalangi antimikroba masuk ke membran bakteri (Jamilah et al., 2004).


(42)

Hasil jumlah sel biofilm Aeromonas salmonicida rata-rata diperoleh sangat besar jika dibandingkan dengan hasil biofilm yang sudah diteliti oleh peneliti yang sebelumnya Harahap et al., (2013) terhadap biofilm Aeromonas hydrophilla. Hal ini pada umumnya dikarenakan, ketersediaan nutrisi, suhu air dan laju alir cairan yang memadai serta karakteristik bakteri seperti adanya flagela dan permukaan sel yang terasosiasi dengan polisakarida atau protein yang mempercepatan proses pelekatan. Aeromonas salmonicida mempunyai faktor virulensi dari flagella motil. Flagella yang dideskripsikan oleh Rabaan et al., 2001 dan Kirov et al., 2002 berfungsi sebagai alat untuk menempel pada inang dan sebagai faktor untuk mempermudah kolonisasi.

Menurut Olson (2002), mikroba dalam biofilm hidup dan berkembang dalam matriks yang diproduksi oleh mikroba itu sendiri dari bahan EPS yang membentuk lingkungan bagi mikroba tersebut. EPS yang terkandung dalam biofilm seperti DNA ekstraseluler (eDNA), polisakarida ekstraseluler, serat amiloid dan protein biofilm saling terkait. Komponen matrik ini menjadi target untuk berkombinasi dengan enzim seperti DNAse dan protease (Abee et al., 2011).

Pada hari ke-5 A. salmonicida mengalami penurunan jumlah sel biofilm

rata-rata sebesar 102 pada sisik dan plastik PVC. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh beberapa sel mengalami kematian karena ketersediaan nutrisi yang berkurang dan sel biofilm pada hari ke-5 terlepas dari permukaan membentuk sel planktonik. Selain itu juga umur sel biofilm merupakan faktor yang menyebabkan berbedanya ketahanan sel biofilm (Jamilah et al., 2004). Pembentukan biofilm bakteri melalui 3 tahapan proses, yaitu tahap pelekatan bakteri pada permukaan padatan (attachment), kolonisasi, dan tahap pertumbuhan biofilm (Prakash et al., 2003).

Pada kedua jenis permukaan diketahui PVC cenderung lebih rata permukaannya dibandingkan dengan sisik ikan. Jumlah sel biofilm pada permukaan sisik lebih banyak dari plastik PVC, hal ini dapat disebabkan oleh karena mikroba lebih senang membentuk biofilm serta melekat pada permukaan substrat yang kasar dan lebih cepat terbentuk pada material hidrofobik. Koloni


(43)

akan mengikatkan diri lebih kuat pada permukaan dengan menggunakan pili (Aparna dan Yadav, 2008).

Hasil penelitian Sastrawidana dan Sukarta (2010), menunjukkan hasil yang berbeda, yang melakukan kajian pembentukan biofilm konsorsium bakteri lokal pada reaktor anaerob-aerob menggunakan batu vulkanik. Konsorsium bakteri lokal pada batu vulkanik terdiri dari Pseudomonas sp., Aeromonas sp., dan Flavobacterium sp. Hasil perhitungan menggunakan metode total plate count

menunjukkan jumlah koloni bakteri sebesar 20,51x109 CFU/gram batu vulkanik.

4.6. Pengendalian Biofilm

Biofilm Aeromonas salmonicida mengalami penurunan jumlah sel setelah dikontakkan dengan senyawa antimikrob UM1 selama 1 jam. Jumlah sel biofilm

mengalami penurunan sebanyak 101 CFU/lempeng pada masing-masing lempeng

sisik dan plastik PVC. Hasil penelitian ini menunjukkan biofilm Aeromonas salmonicida pada PVC dan sisik ikan dianggap kurang efisien karena hanya 101 setelah dikontakkan 1 jam. Menurut Cutright (2001), jumlah bakteri yang

dianggap efisien digunakan untuk merombak limbah adalah sebesar 103-108

cfu/liter limbah cair atau 104-107CFU/gram limbah padat. Penurunan jumlah sel

biofilm A. salmonicida senyawa antimikrob dapat dilihat pada Tabel 4.5. berikut: Tabel 4.5. Penurunan rata-rata jumlah sel biofilm A. salmonicida pada lempeng

sisik ikan dan plastik PVC setelah kontak 1 jam dengan senyawa antimikrob UM1.

Permukaan lempeng

Rata-rata jumlah sel CFU/lempeng sebelum dan setelah kontak dengan senyawa ekstrak kasar BAL

Hari ke-1 Hari ke-3 Hari ke-5 sebelum setelah sebelum setelah sebelum setelah Sisik 0,83 x 108 0,55 x 107 0,90 x 109 0,26 x 108 0,69 x 107 0,16 x 106 PVC 0,68 x 108 0,37 x 107 0,74x 109 0,21 x 107 0,46 x 108 0,17 x 107

Penurunan biofilm A. salmonicida yang hanya 10 kali dapat disebabkan oleh karena biofilm hanya 1 jam dikontakkan dengan senyawa antmikrob


(44)

sehingga pengendalian dengan senyawa antimikrob yang dikontakkan selama 1 jam kurang efektif. Selain disebabkan olehmekanisme substrat bakteri asam laktat yang terpilih yaitu UM1 kurang selektif untuk mengendalikan biofilm A. salmonicida sehingga berdampak pada kinerja probiotik tersebut, biofilm A. salmonicda juga mempunyai senyawa ekstrapolisakarida (EPS) yang dapat menjadi sistem pertahanan bagi A. salmonicida tersebut. Senyawa antimikrob yang menghambat dan mengendalikan sel bakteri bergantung pada banyak faktor yaitu ketahanan sel bakteri terhadap senyawa antimikrob tertentu, jumlah sel, suhu, dan waktu yang digunakan selama dikontakkan dengan senyawa antimikrob (Astuti, 2012). Asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri probiotik akan berdifusi ke dalam sel mikroba patogen sehingga mengganggu sistem transportasi sel bateri patogen. Selain Jenis bakteri yang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati sangat bervariasi, terdiri dari berbagai genus dan spesies, akan tetapi sifatnya sangat strain spesifik (Salminen, 2004). Perbedaan dalam karakteristik spesies probiotik dan strain yang berbeda berarti langkah yang harus diambil ialah memilih strain yang paling tepat untuk aplikasi bakteri patogen tertentu. Jadi kemungkinan bakteri asam laktat UM1 tidak spesifik sebagai agen pengendali biofilm A. salmonicida. Biofilm A. salmonicida juga menghasilkan senyawa ekstrapolisakarida yang berfungsi untuk melindungi bakteri. Matriks ekstraselular dikeluarkan oleh bakteri untuk membantu penempelannya pada PVC dan sisik. Semakin banyak jumlah senyawa ekstraselular tersebut semakin menghalangi kemampuan penetrasi senyawa antimikrob. Selain menghalangi penetrasi, kehadiran senyawa ekstraselular yang sebagian besar merupakan senyawa organik, akan menghambat mekanisme kerja senyawa antimkrob tidak semua bakteri dapat dibunuh, tapi yang rusak ialah senyawa ekstrapolisakarida dan sebagian bakteri yang dekat dengan permukaan (Dewanti & Wong, 1995).

Penelitian yang sama dalam mengendalikan biofilm dan hasil yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian Mayasari et al., (2013) pengendalian biofilm patogen Streptococcus agalactiae yang dikontakkan dengan senyawa antimikrob BAL Lactobacillus plantarum selama 1 jam adalah sebesar 10 kali. Selain dengan senyawa antimikrob BAL pengendalian sel biofilm sudah banyak


(45)

dilakukan salah satunya adalah dengan klorin dan panas. Penelitian Silitonga et al., (2013) pembentukan sel biofilm bakteri patogen oportunistik Salmonella dengan panas dan klorin pada hari ke enam jumlah sel biofilmnya yaitu sebesar

6,35x104 CFU/SS dan pengendaliannnya setelah dikontakkan dengan panas 1000C

selama 5 menit dan klorin 225 ppm selama 2 menit ialah sebesar 0,28x104

CFU/SS.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini ialah isolat BAL UM 1 dalam menghambat Aeromonas salmonicida yaitu sebesar 8,35 mm. Aktivitas senyawa antimikrob BAL UM1 dalam menghambat Aeromonas salmonicida yaitu sebesar 8,85 mm. Kemampuan A. salmonicida dalam membentuk biofilm pada sisik ikan lebih besar jika dibandingkan dengan plastik PVC dan pegendalian biofilm dengan penggunaan senyawa antimikrob isolat BAL potensial UM1 kurang efektif

karena hanya mengalami penurunan jumlah sel rata-rata sebesar 101

CFU/lempeng atau sekitar 10 kali.

5.2. Saran

1. Perlu penelitian lanjutan terkait variasi waktu kontak dalam pengendalian biofilm A. salmonicida untuk melihat kemampuan pelepasan biofilm dengan rentang waktu kontak yang lebih lama.

2. Perlu penelitan lanjutan terkait ketahanan senyawa antimikrob BAL potensial pada variasi pH, suhu dan detergen.

3. Perlu penelitian lanjutan terkait dosis antimikrob BAL yang diberikan pada setiap ekor ikan


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Abbee, T., ovacs, A. K., Kuipers, O. P., Veen, S. 2011. Biofilm Formation and Dispersal in Gram-Positve Bacteria. J. Copbio. 22: 172-179.

Afrianto E, Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Jogjakarta: Penerbit Kanisius.

Ahmad RZ. 2009. Cemaran Kapang Pada Pakan dan Pengndaliannya. J. Litbang Pertanian. 28: 15-22.

Ajitha, S., M. Sridhar, N. Sridhar, I.S.B. Singh, & V. Varghese. 2004. Probiotic effects of lactic acid bacteria against Vibrio alginolyticus in Penaeus (Fenneropenaeus) indicus (H. Milne Edwards). Asian Fish. Sci., 17: 71-80. Alker AP, Garriet WS & Kiho K. 2001. Characterization of Aspergillus sydowii

(Thom et Chruch), a Fungal Pathogen of Calibbean Sea Fan Corals. Hidrobio. 460: 105-111.

Anderson, DP dan A.K Siwicki 1995. Injection or Immersion Delivery of Selected Immunostimulant to Trout Demonstrate Enhancment of Non Spesific Defence Mechanism and Protective Immunity In Discasc in Asian Aquaculture II. Shariff, MJ, R Arthur, R.P Subasinghe (Eds). Fish Health Section Asian Sociaty p : (413-426);

Aparna, M. S., Yadav, S.2008. Biofilms: Microbes and Disease. J. Infect Dis. 12 (6): 526- 530.

Aslamyah S. 2006. Penggunaan mikroflora saluran pencernaan sebagai probiotik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan bandeng.[Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Atabek, A. 2006. Investigating Bacterial Outer Membrane Polymers dan Bacterial Interactions with Organic Molecules Using Atomic Force Microscopy. Chemical Engineering. Thesis. USA: Worcester Polytechnic Institute.

Austin, B. Dan D. A. Austin. 1993. Bacterial Fish Patogens “Diseases in farmed and Wild Fish”. Second Edition. Ellis Horwood Limited, England. Hlm 171-177.

Bairage A, Ghosh KS, Sen SK, Ray AK. 2002. Enzyme producing bacterial flora isolated from fish digestive tracts. J. Aquacult Int, 10: 109-121.


(47)

Banerjee UC, Sani RK, Azmi W, and Soni R. 1999. Thermostable alkaline protease from Bacillus brevis and its characterization as a laundry detergent additive. Proc. Biochem, 35:213-219.

Bucio A, Hartermink R, Scharama JW, Verreth J, and Rombouts FM. 2006. Presence of lactobacilli in the intestinal content of freshwater fish from a river and from a farm with a recirculation system. J. Food. Microbiol. 23 (5) : 476-482.

Cappucino, J. G. And Sherman, N. 2001. Microbiology. A Laboratory Manual. Sixth Edition. Rockland Community Collage, New York.

Characklis, W. G and Marshall, K. C. 1990. Biofilms Jhon Wi;ley & Sons, Inc, New York. 3-195.

Coallier., and E. S. Idziak. 1985. Interaction between Streptococcus lactis and Aspergillus flavus on Production of Aflatoxin. Microbiol 49: 163-167. Cotty, P.J. and J.E. Melon. 2004. The Use of Atoxigenic Strains of A. flavus to

Prevent Aflatoxin Contamination. Food and Feed Safety Unit, SRRC, New Orleans, LA.

Cowan ST and Steel’s. 1974. Manual for The Identification of Medical Bacteria. Cambridge University Press, London. 238 pp

Cutright, T.J. 2001. Biotechnology: Principles and Advances in Waste Control. Departement of Civil Engineering. University of Akron.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. Pusat Karantina Ikan : Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. hal 5.

Dewanti, R & Hariyadi. 1997. Pembentukan biofilm bakteri pada permukaan padat. Bul Teknol dan Industri Pangan. 8 : 71-74

Donlan, R. M. 2002. Biofilms: Microbial life on Surfaces. Emerging Infectious Diseases. 8: 881-890

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Flemming, H. C., and Wingender, H. 2008. Biofilm Control: Conventional and Alternative Approaches. Springer Verlag Berlin Heidelberg. Springer Series on Biofilms. Biofilm Centre, University of Duisburg-Essen, Duisburg. Germany.

Gandjar I, Samson RA, Karin VA, Oetari dan Iman S. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


(48)

Gavin R., A. A. Rabaan, S. Merino, J. M. Tomas, I. Gryllos & J. G. Shaw, 2002, Lateral Flagella of Aeromonas Species are Essential for Epithelial Cell Adherence and Biofilm Formation. Molecular Microbiology 43 (2): 383-397.

Ghali, A. E., Tango, M. S. A and Adams, M. A. 2003. Enhanced Lactic Acid Production from Cheese Whey with Nutrien Supplement Addition. Agricultural Engineering International: J. Scientific Research and Development. Manuscrip

Ghanbari, M., M. Rezaei, M. Jami, & R.M. Nazari. 2009. Isolation and characterization of Lactobacillus species from intestinal contents of Beluga (Huso huso) and Persian sturgeon (Acipenser persicus). Iranian J. of Vet Research, 10 (2): 152-157.

Handajani dan Purwoko. 2008. Aktivitas Ekstrak Lengkuas (Alpinia galanga) Terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp. Penghasil Aflatoksin dan Fusarium moniliforme. Biodiver. 9 (3): 161-164.

Harahap, D., Jamilah I., Rusmallin H. 2013. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat Perairan Tawar Dalam Menghambat Bakteri Aeromonas hydrophila. J. Biosains UNIMED 1(3):48

Hood. S. and Zottolla, E. A. 1995. Biofilms in Food Processing. J. Food Control, 6: 8-18

Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley & S.T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 6th Edition. Baltimore: Williams and Wilkins.

Hopzapfel WH. 1998. The Gram-poisitive bacteria associated with meat and meat products. Dalam : The Microbiology of Meat and Poultry. Davies A and R. Board (editors). London : Blackie Academic & Proffesional

Irianto A. 2005. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Iribarren, D., P. Dagá. And M. T. Moreira., G. Feijoo. 2012. Potential environmental effects of probiotics used in aquaculture. Aquacult Int 20:779-789.

Isnansetyo, A. 2005. Bakteri Antagonis Sebagai Probiotik Untuk Pengendalian Hayati Pada Aquakultur. J. Perikanan VII (1): 1-10


(49)

Jamilah, I., Priyani, N., Nurcahya, K. 2004. Pemeriksaan Biofilm pada Alat Pengolahan Makanan Laut di Beberapa Tahap Pemrosesan. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.

Kumar, A. and Ramjee, P. 2006. A review Article: Biofilm. J. K. Science. 8 (1): 14- 17

Lorito MG, Harman E, Hayes CK, Broadway RM, Tronsmo SL, Woo and Di Pietro A. 1992. Chitinolytic Enzimes Produced by Tricoderma harzianum: Antifungal Activity or Purified Endochitinase and Chitobiosidase. Phytopathol. 83: 302-307.

Lubas, M. B., Wloch, M. B., Gosiewski, T. 2012. Antibacterial Activity of Selected Standard Strains of Lactid Acid Bacteria Producing Bacteriosin. Postepy Hig Med Dosw. 66: 787-794.

Malau, J. 2012. Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Infeksi Aspergillus sp. pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Mayasari, U., Jamilah I., Rusmarllin H. 2013. Penapisan dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat Asal Perairan Tawar Lokal dalam Menghambat Patogen Streptococcus agalactiae. J. Biosains UNIMED. 1(3): 9.

Mansyur, Abdul dan Tangko, Abdul Malik. 2008. Probiotik: Pemanfaatannya Untuk Pakan Ikan Berkualitas Rendah. Media Akuakultur, Vol. 3 (2). Mehan, V. K., Mc Donald, D, Haravu, L. J. and Jayanthi, S. 1991. The Groundnut

Aflatoxin Problem Review and Literature Database. India: International Crops Research Institute for the Semi Arid Tropics.

Nitimulyo, K.H.,. A. Isnansetyo, Triyanto, I. Istiqomah, & M. Murdjani. 2005. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi Vibrio spp. Patogen penyebab Vibriosis pada Kerapu di Balai Budidaya Air Payau Situbondo. J. Perikanan VII(2): 80-94.

Nofiani R., Nurbetty S., dan Sapar A. 2009. Aktivitas antimikroba ekstrak metanol bakteri berasosiasi dengan spons dari Pulau Lemukutan Kalimantan Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 1(2): 33-41.

Olson, M. E., Ceri, H., Douglas, W., Morck, Buret, A. G. 2002. Biofilm bacteria: formation and comparative susceptibility to antibiotics. J. Veterinary Research. 66: 86-92.


(50)

Olufemi, BE & Okaeme AT. 1997. Fungi Assosiated with Tilapia Culture Ponds in Nigeria. J. Aquacult. Trop. 12: 267-274.

Osman K. M., L. A. Mohamed, E. H. Abdel Rahman & W.S. Soliman, 2009, Trials for Vaccination of Tilapia Fish Against Aeromonas and Pseudomonas Infections Using Monovalent, Bivalent and Polyvalent Vaccines, World J. of Fish and Marine Sciences 1 (4): 297-304.

Pan, X., Chen, F., Wu, Tianxing, W., Honggang, T., Zhanyu, Z. 2009. The acid, Bile Tolerance and Antimicrobial Property of Lactobacillus acidophilus NIT. J. Food Control 20: 598-602

Permanasari, R. 2008. Karakteristik substrat antimikroba bakteri asam laktat hasil isolasi dari daging sapi dan aktifitas antagonistiknya terhadap bakteri patogen. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prakash, B., Veeregowda, B.M. & Krishnappa, G. 2003. Biofilms : A survival strategy of bacteria. Current Sci. 85(9): 1299-1307.

Pramudita, Sarjito, B. S Prayitno. Identifikasi Bakteri Agensia Penyebab Motile Aeromonas Pada Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) Yang Berasal Dari Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal. Jurnal Akuakultur Manegement dan Teknologi 2(2):1-9.

Pusat Karantina Ikan dan Pengkajian Mutu Hasil Perikanan. 2007. Tk I Panjang, Bandar Lampung.

Qureshi, N., Annous,B.A., Ezeji,T.C., Karcher, P., & Maddox, I.S. 2005. Biofilm reactors for industrial bioconcersion processes: employing potential of enhanced reaction rates. Microbial Cell Factories 4: 1-24.

Rabaan A.A., I. Gryllos, J.M. Tomas, & J.G. Shaw, 2001, Motility and The Polar Flagellum are Required for Aeromonas caviae Adherence to HEp-2 Cells. Infection & Immunity 69(7): 4257-4267.

Safika, 2008. Korelasi Aspergillus flavus dengan konsentrasi aflatoksin B1 pada Ikan Kayu. Aceh: Fakultas Kedokteran Hewan. 2(2): 170-175.

Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria. Microbiology and Functional Aspects. 2nd Edition, Revised and Expanded. New York : Marcell Dekker, Inc.,

Saputri F. 2012. Pengaruh Pemberian Probiotik Bakteri Asam Laktat (Bal) Pediococcus Pentosaceus Terhadap Keseimbangan Mikroflora Usus Dan


(1)

Lampiran 3. Alur Kerja Seleksi BAL Potensial dalam Menghambat Pertumbuhan A. salmonicida

diinokulasikan mikroba patogen dengan metode usap menggunakan cotton bud dengan absorbansi 0,5 standar

Mc-Farland 108 CFU/ml

diletakkan cakram kertas yang telah ditetesi dengan suspensi BAL pada jarak yang telah ditentukan

diletakkan cakram pembanding yaitu khloramphenikol

diinkubasi pada suhu 28-30 oC selama 3

hari

diamati dan diukur zona hambat yang terbentuk

Media MHA


(2)

Lampiran 4. Alur kerja Kurva Pertumbuhan BAL

dimasukkan kedalam 30 mL media cair MRSB diinkubasi pada 28 0C

dihitung nilai kerapatan optik atau optical density (DO) isolat terpilih BAL dengan menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm, pada rentang waktu 3 jam selama 24 jam

Kultur BAL

terpilih


(3)

Lampiran 5. Alur Kerja Produksi Senyawa Antimikroba BAL

diinokulasikan sebanyak 10 mL kedalam 400 media NB

diinkubasi pada suhu 28 0C selam 15 jam

disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm pada suhu

4 0C selama 15 menit sebanyak 100 mL kultur

disaringan senyawa antimikroba dengan kertas saring

0,22 µm (MS® Syringe filter)

Kultur cair BAL berumur 21 jam


(4)

Lampiran 6. Uji Aktivitas Ekstrak Kasar Senyawa Antimikroba BAL dalam menghambat pertumbuhan bakteri A. salmonicda

dituang ke dalam cawan petri

dibiarkan memadat

diinokulasi bakteri patogen Aeromonas salmonicida diletakkan cakram yang telah ditetesi dengan senyawa antimikroba ekstrak kasar BAL pada jarak yang telah ditentukan

diletakkan cakram pembanding Khlorampenikol

diinkubasi pada suhu 28-30 oC selama 3 hari

diamati dan diukur zona hambat yang terbentuk Media

MHA

Hasil

Media MHA Padat Media MHA


(5)

Lampiran 7. Alur Kerja Pembentukan Biofilm Aeromonas salmonicida

Dipotong seluas 1cm2 dan dicuci pada bak sonikator selama 15 menit di autoklaf kedua lempeng selama 15

menit, tekanan 1 atm pada suhu 121 0C.

ditumbuhkan A. salmonicida pada media NB sebanyak 50 ml dengan konsentrasi

sel 108 CFU/ml dalam labu erlenmeyer.

diangkat dari kultur, masing-masing dibilas sebanyak 3 kali dengan 10 ml akuades steril

dimasukkan ke 9 ml larutan garam fisiologis NaCl 0,85 % yang ditambah dengan 0,5 g manik-manik kaca mikro (glass bead),

dihomogenkan untuk melepas sel biofilm selama 2 menit.

dilakukan pengenceran berseri.

disebar 0,1 ml kultur pada media PCA,

diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24

jam.

dilakukan perhitungan jumlah sel dengan metode TPC

Jumlah Sel Biofilm Biofilm terbentuk

1,3, dan 5 hari Lempeng PVC dan


(6)

Lampiran 8. Bagan Alir Pengendalian Sel Biofilm oleh biomassa sel BAL

dipreparasi berdasarkan perlakuan sebelumnya

dibilas 3x dengan akuades steril untuk melepas sel plantonik

dimasukkan dalam masing-masing tabung steril,

ditambahkan 9 mL kultur BAL dengan

kepadatan 108 CFU/mL yang berasal dari

kurva pertumbuhan

dibilas 3x dengan akuades steril untuk melepas sel plantonik

dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl 0,9% dan 0,5 g serbuk kaca (glass bead)

dilakukan pengenceran berseri

disebar 0,1 ml dari tiap pengenceran pada media PCA

diinkubasi pada suhu 28oC selama 24 jam.

dihitung jumlah koloni yang tumbuh Jumlah sel

biofilm Lempeng Biofilm

Jumlah Sel Biofilm