Demokratisasi Desa LANDASAN TEORI

bersifat sebagai fasilitator, yaitu memberikan pedoman, arahan, bimbingan, pelatihan, dan supervisi termasuk pengawasan represif terhadap Peraturan Desa dan APBDes, kedua, bahwa melihat fungsi, tugas, dan wewenangnya, maka BPD merupakan aktor sentral yang memiliki peran strategis, yaitu sebagai agen demokratisasi di desa Susiatik, 2004: 25-26. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sekarang sudah tidak berlaku lagi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Fungsi Badan Permusyawaratan Desa menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

G. Demokratisasi Desa

Dalam memahami demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaaan, prosedur dan lembaga memang sangat penting tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif. Pemilihan Kepala Desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara Pemerintah Desa, BPD dan Masyarakat. Dalam konteks ini, untuk memahami dan meletakkan demokrasi yang relevan dengan konteks desa ke dalam tiga ranah utama, yaitu : Pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; Kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintahan desa; serta Partisipasi masyarakat dalam Pemerintahan dan Pembangunan. 1. Pengelolaan Kebijakan Desa Sebuah kebijakan peraturan desa yang demokratis apabila berbasis masyarakat, berasal dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggung jawab dan transparan oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dipandang dari Pemerintahan di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan, dan birokrasi. Masalah ini merupakan tantangan serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent maupun kepemimpinan yang birokratis, melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan yang transformative, yaitu para pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa, serta dapat membangkitkan kreasi dan potensi desa. Legitimasi pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi dan responsivitas. Pertama, akuntabilitas menunjuk pada institusi dan proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan penghitungan account terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan Kedua, transparasi keterbukaan dalam pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Ketiga, responsivitas atau daya tanggap pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap atau faham terhadap aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai preferensi utama pengambilan keputusan di desa Eko, 2003 : 283. 3. Partisipasi Masyarakat Partisipasi merupakan kunci utama dalam masyarakat sipil yang menghubungkan antara rakyat biasa ordinary people dengan pemerintah. Partisipasi bukan sekedar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoritis partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka inclusion dan keikutsertaan involvement. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses politik, terutama kelompok- kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya. Secara substantif partisipasi masyarakat mencakup tiga hal. Pertama, Voice suara, setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan, pemerintah sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan keputusan. Kedua, akses yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol yakni setiap warga atau elemen- elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah Eko, 2003 : 285. Dalam konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata-mata di domonasi oleh elit-elit desa pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka masyarakat, melainkan juga melibatkan unsur-unsur yang lain seperti perempuan, pemuda, kaum tani, buruh dan sebagainya. Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks mendukung kebijakan desa atau sekedar menerima sosialisasi kebijakan desa, melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal. Partisipasi dalam pembangunan desa misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam merumuskan kebijakan pembangunan rencana strategis desa, progam pembangunan dan APBDES, dan lain lain, antara lain melalui forum RT, musbangdes maupun rembug desa. Forum-forum tersebut juga bisa digunakan bagi pemerintah desa untuk mengelola proses akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah desa. Membangun civil society maupun masyarakat partisipatif di desa tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa bersifat korporatis bentukan dari atas secara seragam, tetapi organisasi itu bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa memanfaatkan organisasi-organisasi lokal RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan, karang taruna, kelompok tani, dan lain lain, bukan hanya untuk kegiatan seremonial atau untuk self-help, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan desa Eko, 2003 : 286.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa (Studi Tentang Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Pada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Telaga Sari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

27 261 148

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Studi Pada BPD Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhanbatu Selatan)

5 96 117

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Dalam Otonomi Desa

3 68 100

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Tentang Proyek Desa Di Desa Gunung Tua Panggorengan Kecamatan Panyabungan)

35 350 77

Relasi Antara Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Mewujudkan Good Governance (Studi Kasus: Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara)

1 62 186

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

1 71 103

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Kewenagan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Sistem Pemerintahan Desa

8 114 106

Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria

0 40 88

Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) Dalam Proses Demokratisasi Di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (Suatu Tinjauan di Desa Simalingkar A dan Desa Perumnas Simalingkar)

1 49 124

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Desa yang Demokratis (Studi Kasus Di Desa Wedelan, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara”.

0 0 1