Menurut Solichin 2004, data hotspot sebaiknya diartikan sebagai indikasi adanya kemungkinan kebakaran yang harus dianalisa, dimonitor, dan terkadang
perlu di chek kelapangan untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini innitial attack khususunya pada saat musim kering, dimana
penyebaran api akan sangat cepat. Menurut Handhadari 2002 dalam Wardani 2004, meskipun disebut
titik panas hotspot, tidak semua hotspot merupakan actual fire api sebenarnya di lapangan. Bahkan, beberapa data tangkapan titik api dapat saja keliru di
lapangan. Satelit NOAA-AVHRR, JICA atau Departemen Kehutanan mengekstraksi titik panas menggunakan dua algoritme, yaitu contextual algoritm
untuk menangkap data di siang hari pada ambang temperatur 42
o
C dan simple algoritm untuk menangkap data di siang hari pada temperatur 37
o
C. Beberapa kelemahan tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya
adalah sensor tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut akan sangat merugikan bila kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut
tertutup asap. Kejadian itu sangat sering terjadi dimusim kebakaran, sehingga jumlah hotspot yang terditeksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya.
Karena itu analisis lanjutan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi apakah hotspot merupakan kebakaran atau pembakaran, atau terletak diwilayah
yang memiliki resiko kebakaran sangat tinggi seperti lahan gambut dan lain sebagainya. Analisa dapat dilakukan dengan melakukan overlay antar data
hotspot dan data atau peta penggunaan lahan atau data penutupan lahan dengan
sistem informasi geografis. Biasanya hotspot yang terletak di daerah pemukiman atau tranmigrasi hanya merupakan pembakaran untuk penyiapan ladang. Dalam
hal ini, hotspot hanya mengidentifikasikan terjadinya panas atau bila hotspot terjadi di wilayah seperti HPH, HTI atau perkebunan, maka kemungkinan besar
kebakaran dengan asumsi, perusahaan tidak melakukan pembakaran karena dilarang Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004.
C. INDEKS KEKERINGAN KEETCH DAN BYRAM KBDI
Indeks kekeringan adalah nilai yang mewakili pengaruh bersih net evapotranspirasi dan presipitasi dalam menghasilkan defisiensi kelembaban
kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala flammability bahan-bahan
organik pada tanah Deeming,1995. Sistem bahaya kebakaran ini dikembangkan oleh John E. Deeming tahun
1995 yang didasarkan pada indeks musim kemarau Keetch-Byram KBDI-Keetch Byram Drought Indek
. Sistem ini dikembangkan di Amerika Serikat tahun 1968 sampai sekarang, tetapi KBDI telah diterapkan pula dengan beberapa modifikasi
oleh orang-orang Australia dan negara lain yang sebagian besar beriklim tropis Deeming, 1995.
Menurut Keetch dan Byram 1968 dalam Affan 2002, formulasi yang digunakan untuk menghitung nilai KBDI, sebagai berikut :
KBDI
T
= Σ KBDI
Y
– 10Chnet + DF
T
Dimana : KBDI
T
: Indeks kekeringan hari ini KBDI
Y
: Indeks kekeringan kemarin Chnet : Curah hujan bersih
DF
T
: Faktor kekeringan hari ini Untuk menghitung KBDI pada daerah tertentu harus dimulai pada posisi
tertentu harus dimulai pada posisi nol, yaitu pada saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak 150 – 200 mm dalam seminggu. Dari kemungkinan
KBDI menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran yang diekspresikan melalui nilai indeks yang berkisar dari 0 – 2000 Keetch dan Byram, 1988 dalam
Affan 2002. Kisaran nilai KBDI 2000 tersebut kemudian dibagi menjadi tiga sub
kisaran. Setiap sub kisaran menunjukkan kelas sifat bahaya kebakaran. Tabel 1. Kriteria Kerawanan Kebakaran Berdasarkan Indeks Kekeringan Keetch-
Byram Interval kelas Keterangan
0 - 999 Sifat Kelas Rendah
1000 - 1499 Sifat Kelas Sedang
1500 - 2000 Sifat Kelas Tinggi
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan
Maret 2006 hingga Juni 2006.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Pengumpulan bahan-bahan penelitian bersumber dari Japan International Co-operation Agency
JICA, Badan Meteorologi dan Geofisika dan Departemen Kehutanan Jakarta. Adapun bahan yang digunakan dalam
penelitian adalah berupa data sekunder, sebagai berikut : 1.
Data Hotspot bulanan di propinsi Kalimantan Barat mulai bulan Januari 2003 sampai Desember 2004.
2. Data Hotspot bulanan di beberapa kabupaten di propinsi Kalimantan Barat
mulai bulan Januari 2003 sampai bulan Desember 2004. 3.
Data Hotspot bulanan pada penutupan lahan yang ada di propinsi Kalimantan Barat mulai bulan Januari 2003 sampai bulan Desember 2004.
4. Data suhu udara maksimum, curah hujan dan kelembaban udara harian
untuk mandapatkan nilai KBDI skala harian selama dua tahun 2003- 2004 dari tujuh stasiun cuaca di propinsi Kalimantan Barat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis menulis dan perangkat lunak Microsoft Office 2000 dan Minitab versi 11.
C. Pelaksanaan Penelitian
1. Pengolahan data. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menganalisis data titik panas dan
data suhu maksimum, kelembaban udara serta curah hujan untuk mendapatkan indeks kekeringan Keetch – Byram KBDI. Tahapan pengolahan data yang
dilakukan adalah sebagai berikut : a.
Penghitungan jumlah titik panas bulanan propinsi Kalimantan Barat tahun 2003 - 2004.