128 pertukaran penempatan Pendeta dalam gereja-gereja aliran Pentakosta juga memungkinkan
Pendeta menganggap bahwa gereja menjadi miliki pribadi atau individu. Dalam kasus 2 dua, subjek menjadi Gembala jemaat setelah kepemimpinan dalam
Gereja Bethel Indonesia GBI Salatiga sebelumnya dipegang oleh ayahnya yaitu Pdt. Andreas Muliatno Rusli. Jadi kepemimpinan Pdt. Andreas Muliatno Rusli digantikan oleh putranya
sendiri yakni Pdt. Gideon Rusli yang telah menjadi Gembala jemaat sampai saat ini. Kondisi ini cenderung mengarah pada adanya kepentingan pribadi pemimpin ketika mealakukan
pengorbanan kepada gereja yang dipimpin. Kondisi ini yang oleh peneliti maksudkan menjadi alasan adanya gaya atau tipe kepemimpinan transaksional jika dilihat dari sisi lain. Jadi nilai
yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa, dalam hal ini pengorbanan yang dilakukan, dapat atau dimungkinkan menjadi sebatas proses pertukaran
exchange process
.
4.2. Pemimpin yang Mampu Menjadi Teladan
Role Model
kepada Orang-orang yang Dipimpinnya.
Dari hasil teknik wawancara mendalam, baik kepada informan kunci maupun kepada informan pendukung, diperoleh data yaitu kedua Pendeta beretnis Tionghoa ternyata mampu
menjadi teladan atau
role model
yang baik bagi para pengikutnya. Hal tersebut dilakukan kedua subjek sebagai cara atau upaya dalam proses mempengaruhi para pengikutnya untuk mencapai
tujuan bersama. Kedua subjek yang adalah Pendeta beretnis Tionghoa mengandalkan keteladanan, dengan menjadi
role model
bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dalam upaya menjadi teladan bagi pengikutnya, kedua subjek menunjukan karakter-karakter yan dimiliki oleh
seorang pemimpin yang melayani.
129 Karakter yang dimiliki kedua subjek ternyata memainkan peranan yang sangat signifikan dan
penting dalam proses kepemimpinannya. Penemuan ini sejalan dengan bagian yang diungkapkan oleh Neuschel yang menyatakan bahwa Karakter merupakan fondasi kemampuan
kepemimpinan. Karakter yang dimaksudkan lebih merupakan seluruh sistem nilai yang ditunjukan terus menerus. Ketika manifestasi ini jelas dan konsisten serta merefleksikan suatu
karakter integritas pribadi, citra inilah yang akan menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi pengikutnya. Sehingga kekuatan dari karakter yang dimiliki oleh pemimpin
menjadi faktor yang penting dan mendasar dalam mempengaruhi orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama.
Ada beberapa karakter yang ditunjukan dalam kepemimpinan kedua Pendeta beretnis Tionghoa, yang menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi orang-orang yang
dipimpin oleh kedua subjek, antara lain: amelayani dengan tekun, b kerendahan hati c setia, d fokus, e pemberdayaan, f rajin, g percaya h tegas, i berani mengambil keputusan
yang berisiko, j berintegritas, k empati, l mendengarkan, m disiplin, n rela berkorban. Semua karakter yang disebutkan diatas, yang dimiliki oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa
merupakan karakter yang telah meliputi dimensi karakteristik yang dimiliki oleh pemimpin yang melayani. Bagian-bagian karakter yang disebutkan tersebut juga telah di jelaskan pada bagian
bab sebelumya. Namun ada salah satu karakter yang menjadi penekanan dalam kepemimpinan kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang ditunjukan oleh keduanya, yaitu rela berkorban. Rela
bekorban menjadi salah satu karakter yang memberikan penaruh yang signifikan dalam proses kepemimpinan kedua Pendeta beretnis Tionghoa.
Hasil dari teknik wawancara dan observasi, terungkap bahwa kedua Pendeta beretnis Tionghoa menunjukan karakter sebagai pemimpin yang rela berkorban. Hal tersebut terlihat
130 dalam pengorbanan pribadi yang dilakukan oleh keduanya dalam rangka untuk kepentingan
orang lain dalam hal ini jemaat atau komunitas yang dipimpinnya. Satu hal yang menarik dari apa yang dilakukan oleh Pdt. Bambang Hengky sebagai Gembala jemaat Gereja Bethany
Salatiga berkaitan dengan karakter sebagai pemimpin yang rela berkorban adalah dengan menyerahkan semua kompleks yang dahulunya merupakan milik pribadi dari Pdt. Bambang
Hengky dan keluarga kepada gereja sepenuhnya. Tanah yang saat ini telah dibangun bangunan gereja dan berbagai unit pendukung lainnya seperti sekolah, koperasi, poliklinik, dll, telah
beralih kepemilikan menjadi milik jemaat lokal sepenuhnya. Pdt. Bambang Hengky memandang bahwa gereja membutuhkan tanah tersebut. Sehingga ia dan keluarga kemudian
memberikan aset tersebut menjadi milik gereja. Selain itu Pdt. Bambang Hengky juga tidak jarang berkorban dalam memberikan uang pribadi untuk disumbangkan ke gereja dalam rangka
digunakan dalam mencukupi kebutuhan gereja. Hal yang tidak jauh berbeda juga dilakukan oleh Pdt. Gideon Rusli kasus 2. Ia
berkorban dalam hal menjual 2 dua mobil milik pribadinya untuk membantu biaya pembangunan gedung gereja Bethel Indonesia GBI Salatiga, yang pada saat itu masih dalam
tahap pembangun serta membutuhkan biaya yang besar. Menarik yang diungkapkan oleh Bapak Cipto dan Ibu Ely sebagai anggota jemaat dan juga merupakan aktivis pelayanan kategorial saat
diwawancarai mengungkapkan bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah sosok pemimpin yang melibatkan pengorbanan pribadi meskipun tidak ada keuntungan pribadi yang didapatkan oleh
Pdt. Gideon Rusli. Ia memberikan teladan yang baik katika ia mengajarkan tentang memberikan yang terbaik yang dimiliki. Maka Pdt. Gideon Rusli terlebih dahulu memberikan teladan
bagaimana memberikan yang terbaik yang dimilikinya. Hal ini membuat jemaat tergerak untuk
131 dengan rela memberikan apa yang dimiliki untuk pembangunan gereja tersebut. Hasilnya
bangunan gereja tersebut bisa selesai pembangunannya saat ini. Karakter yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa tersebut merupakan
bagian dari kerakteritik dari kepemimpinan yang melayani, seperti yang diungkapkan oleh Patterson. Dari model teoritis yang dibuat oleh Patterson 2003 mengenai kepemimpinan
yang melayani
servant leadership
, yang terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan terdapat pembahasan tentang mengutamakan orang lain
altruism
. Tulisan Kaplan 2000 menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang
melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Sementara Dennis dan Bocarnea 2006 mengutip tulisan Eisenberg 1986 mendefenisikan perilaku altruistik
sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Dennis dan
Bocarnea 2006 mendefenisikannya sebagai perilaku yang dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau
memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain.
4.3. Pemimpin yang Bervisi