131 dengan rela memberikan apa yang dimiliki untuk pembangunan gereja tersebut. Hasilnya
bangunan gereja tersebut bisa selesai pembangunannya saat ini. Karakter yang ditunjukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa tersebut merupakan
bagian dari kerakteritik dari kepemimpinan yang melayani, seperti yang diungkapkan oleh Patterson. Dari model teoritis yang dibuat oleh Patterson 2003 mengenai kepemimpinan
yang melayani
servant leadership
, yang terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan terdapat pembahasan tentang mengutamakan orang lain
altruism
. Tulisan Kaplan 2000 menyatakan bahwa altruism adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang
melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun tidak ada keuntungan pribadi. Sementara Dennis dan Bocarnea 2006 mengutip tulisan Eisenberg 1986 mendefenisikan perilaku altruistik
sebagai perilaku sukarela yang dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Dennis dan
Bocarnea 2006 mendefenisikannya sebagai perilaku yang dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin beresiko atau
memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain.
4.3. Pemimpin yang Bervisi
Salah satu dimensi
dari karakteristik kepemimpinan yang melayani, berdasarkan model teoritis yang dibuat oleh Patterson tentang tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan mengenai
servant leadership
kepemimpinan melayani, yaitu: adanya dimensi visi
vision
yang dimiliki seorang pemimpin.
Visi dan kepemimpinan tidak dapat dipisahkan. Blanchard 2000 mendefinisikan visi sebagai gambaran masa depan yang menghasilkan gairah. Pemimpin tanpa visi adalah
pemimpin yang liar. Bahkan ia sebenarnya sama sekali tidak dapat disebut sebagai pemimpin
7
. Hubungan yang tidak terpisahkan antara visi dan kepemimpinan diperlihatkan dari kedua Pedeta
7
Sendjaya, Kepemimpinan Kristen….,42.
132 beretnis Tionghoa selama mejalankan kepemimpinan mereka. Dari data yang disajikan yang
diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dan observasi maka ditemukan bahwa kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang menjadi subjek dalam penelitian ini, termasuk sebagai pemimpi
yang bervisi. Ditemukan pada kasus 1, bahwa subjek dalam menjalankan kepemimpinannya memberikan
penekanan utama kepada visi gereja yang adalah visi bersama dalam komuitas. Subjek memahami visi gereja tidak terlepas dari pemahaman bahwa pelayanan tidak hanya terbatas pada
4 empat tembok gereja. Dalam hal ini subjek sebagai pemimpin selalu berupaya memikirkan bagaimana caranya untuk dapat menggerakan jemaat orang-orang yang dipimpin agar
terpanggil dalam pengembangan masyarakat. Wujud dari visi tersebut terlihat dari kehadiran dari unit-unit kerja yang diharapkan mampu memberkati kota Salatiga, antara lain: Sekolah,
Koperasi, Hotel, Yayasan Sosial, Poliklinik serta juga memiliki 2 dua radio. Kehadiran unit- unit kerja yang dimiliki gereja Bethany Salatiga dalam rangka untuk membuka lapangan kerja
bagi masyarakat yang membutuhkan pekerjaan termasuk jemaat Gereja Bethany Salatiga sendiri yang merupakan bagian dari masyarakat kota Salatiga.
Selain memahami visi dengan baik dan jelas, serta tahu kearah mana gereja akan bergerak, kedua subjek adalah pemimpin yang mampu menterjemahkan visi dengan baik kepada orang-
orang yang dipimpinnya. Hal tersebut terlihat dari upaya yang dilakukan oleh keduanya. Dalam hal ini visi besar dari gereja diturunkan ke dalam tema-tema tahunan dan kemudian lebih
diperjelas lagi melalui tema-tema bulanan. Selain itu dalam rangka memastikan visi bersama terus dipegang oleh orang-orang yang dipimpinnya maka keduanya mampu menjadi pemimpin
terus berupaya membagikan visi bersama kepada orang-oran yang dipimpinnya. Dalam kasus 1 satu, ditemukan bahwa subjek secara rutin mengadakan pertemuan dengan sekitar 250 pekerja
133 dari semua unit pelayanan dan gereja-gereja cabang yang dimiliki Gereja Bethany, setiap
bulannya pada minggu pertama setiap hari Sabtu untuk membagikan visi bulanan dan terus memotivasi para pelayan untuk terus dapat bergerak ke arah pencapaian visi besar gereja yang
menjadi visi bersama. Tidak berhenti disitu, subjk juga membagikan visi yang telah ia bagikan kepada para pelayan dan pemimpin-pemimpin gereja juga dibagikan kepada jemaat melalui
pertemuan FA
Family Altar
, buletin dan pesan gemabala. Jadi terlihat bahwa subjek mampu menggerakan jemaat untuk terus bergerak menuju visi besar dari gereja. Subjek adalah sosok
pemimpin yang selalu memberikan waktu untuk terus menggerakan dan membagikan visi kepada jemaat.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh subjek 1 satu, dalam kasus 2, subjek pun adalah pemimpin yang menempatkan visi gereja yang adalah visi bersama pada salah
satu bagian yang terpenting dalam kepemimpinanya. Terlihat sebagai pemimpin subjek selalu berupaya untuk orang-orang yang dipimpinnya untuk tidak melepaskan visi gereja. Maka visi
gereja selalu dibicarakan minimal 2 dua kali dalam setahun. Tepatnya pada awal tahun dan pertengahan tahun untuk terus mengingatkan jemaat untuk visi besar yang dimiliki. Selain itu
visi gereja yakni “Menjadi jemaat lokal yang memberkati kota, bangsa dan dunia dengan pelayanan yang holist
ik dan terpadu” dijabarkankan ke dalam program-program dalam 5 lima bidang atau depertemen yang ada. Sehingga menurutnya ketika orang mengikuti program yang
telah direncanakan maka ia akan digiring untuk bergerak ke arah visi gereja. Sebagai pemimpin subjek menggunakan berbagai cara untuk menggerakan orang kepada visi bersama. Hal yang
biasa dialakukan subjek adalah melalui mimbar. Selain itu juga ada pendekatan secara pribadi yang dilakukan subjek, melalui percakapan secara pribadi berkaitan dengan visi gereja dengan
orang-orang yang dipimpinnya.
134 Hasil temuan ini memperlihatkan adanya kesesuaian dengan penjelasan dari salah satu
dimensi karakter pemimpin yang melayani, yang dijelaskan oleh Sendjaya. Dalam pejelasan dimensi transforming Influence, dikatakan bahwa seorang pemimpin harus selalu dapat berupaya
memastikan setiap individu dalam organisasi memegang visi yang dibagikan bersama.Lebihdari itu apa yang dilakukan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa yang telah dijelaskan dari hasil
temuan juga sejalan dengan hasil temuan dari Laub 1999 yang menemukan bahwa visi bersama membangun orang lain memberdayakan mereka dan melayani kebutuhan orang lain
melayani mereka. Hal ini telah diperlihatkan oleh kedua Pendeta beretnis Tionghoa dalam kepemimpinan mereka. Sehingga keduanya dapar dikatakan sebagai pemimpin yang visoner
karna memimpin dengan memiliki visi yang jelas sebagai pemimpi dan adanya upaya untuk menterjemahkan visi secara jelas kepada orang-orang yang dipimpin. Lebih dari itu ada upaya
untuk menggerakan orang-orang yang dipimpinnya ke arah visi bersama yang dimiliki.
4.4. Adanya Pengaruh dari Kultur sebagai Seorang Etnis Tionghoa terhadap Proses Kepemimpinan