121 sebagai kegiatan yang dipaksaka, justru sebaliknya semua terdorong untuk mensukseskannya
sebagai tanggung jawab bersama
2
. Pendapat lain yang sejalan dengan hasil temuan, dijelaskan oleh Siagian. Ia menejelaskan
bahwa seorang pemimpin yang demokratis akan dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan organisasional. Perilakunya mendorong orang-orang yang
dipimpinnya menumbuhkan dan mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan pendapat, saran dan bahkan kritik orang lain, terutama
orang-orang yang dipimpinnya. Bahkan seorang pemimpin yang demokratis tidak akan takut membiarkan para bahwahannya berprakarsa meskipun ada kemungkinan prakarsa itu akan
berakibat pada kesalahan Jika terjadi kesalahan, pemimpin yang demokratis berada di samping orang-orang yang dipimpinnya yang berbuat kesalahan itu bukan untuk menindak atau
menghukumnya, melainkan meluruskannya sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dipimpinnya tersebut belajar dari kesalahannya itu dan dengan demikian menjadi anggota
organisasi yang lebih bertanggung jawab
3
. Hal ini sesuai dengan hasil temuan yang memperlihatkan bahwa kedua subjek sebagai pemimpin dengan tipe demokratis sangat dihormati
dan disegani oleh orang-orang dipimpinnya.
4.1.3. Gaya kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan berikutnya, yang ditunjukan dan dimiliki oleh Pendeta beretnis Tionghoa adalah gaya kepemimpinan situasional. Gaya kepemimpinan situsional adalah gaya
kepemimpinan yang mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi dan keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi
2
Ibid.
3
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan Jakarta: Rineka Cipta, 2010, 43.
122 secara efektif dan efisien. Kepemimpinan situasional menekankan bahwa keefektifan
kepemimpinan seseorang bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dalam menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa dari orang-orang yang dipimpin.
Hal tersebut ditemukan pada kasus 1 satu. Terlihat subjek cenderung menunjukan gaya kepemimpinan yang disebut sebagai gaya kepemiminan situasional. Gaya kepemimpinan
situasional diperkenalkan oleh Blanchard 1997
4
. Gaya kepemimpinan ini dikembangkan dari keyakinan dan nilai tentang orang, yaitu: orang dapat dan ingin dikembangkan. Salah satu
defenisi dari ketrampilan pemimpin situsional, yang diungkapkan oleh Blanchard adalah adanya keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan berbagai macam gaya kepemimpinan dengan
baik
5
. Inti utama dari kepemimpinan situasional adalah bagaimana pemimpin mengembangkan semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya tahapan dari pengikut
yang ada. Hal ini bila ditelaah lebih lanjut merupakan prinsip utama dari
servant leadership
yaitu bagaimana pemimpin dapat melayani pengikutnya untuk perkembangan dan kemajuan bersama
6
.
Bagian yang diungkapkan dan dijelaskan oleh Blanchard tersebut sejalan dengan hasil temuan berkaitan dengan gaya kepemimpinan dari subjek dalam kasus 1satu. Hasil data yang
diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi, ditemukan gaya kepemimpinan yang subjek terapkan selama ini menyesuaikan dengan orang-orang yang ia
pimpin. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik. Sebagai pemimpin bagi jemaat dengan jumlah ribuan jiwa, ia merasa adanya perbedaan
yang ditunjukan oleh setiap orang, termasuk didalamnya adalah rekan-rekan pelayanannya, baik itu dalam hal kompetensi maupun komitmen ketika melayani. Kondisi ini membuat subjek harus
4
Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,31.
5
Ibid.
6
Ibid.
123 dapat menyesuaikan dan menempatkan gaya kepemimpinan yang tepat ketika berhadapan
dengan setiap orang yang dipimpinnya.
Baginya gaya kepemimpinan yang terbaik adalah gaya kepemimpinan yang mampu menyesuaikan dengan siapa pemimpin itu sedang berhadapan. Kadang sebagai pemimpin ia
harus mampu memberikan
directing
bagi mereka dengan komitemen tinggi tetapi masih memiliki kemampuan atau kompentesi rendah karena masih kurangnya pengalaman. Kondisi ini
sesuai dengan perilaku dasar kepemimpinan situasional, yakni perilaku direktif. Perilaku diriketif adalah perilaku yang diterapkan apabila pemimpin dihadapkan pada tugas yang rumit dan
bawahan belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut, atau pemimpin berada di bawah tekanan waktu penyelesaian, maka pemimpin akan menjelaskan apa
yang perlu dikerjakan. Ia kadang juga harus menjadi pelatih, bagi mereka yang sudah mulai memiliki kompetensi
yang boleh dikatakan sedang namun komitmen yang mulai rendah. Menjadi suporter yang memberika dukungan ketika berdahapan dengan mereka yang memilki kompetensi tinggi namun
komitmenya variabel. Serta sebagai pemimpin ia pun harus dapat memberikan delegasi
delegation
ketika berhadapan dengan mereka yang telah memiliki komitmen tinggi sekaligus
memiliki kompetensi yang tinggi.
Subjek mampu memainkan fungsinya sebagai pemimpin dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang dapat menyesuaikan dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kondisi ini
sesuai dengan hal utama yang menjadi penekanan dalam gaya kepemimpinan situasional, yakni bagaimana pemimpin dapat mengembangkan semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka
sesuai dengan gaya dan tahapan dari pengikut yang ada.
124 Subjek mampu berganti gaya kepemimpinan dengan cepat dan sesuai ketika berhadapan
dengan orang dengan tipe yang berbeda-beda. Kemampuannya tersebut dirasakan oleh orang- orang yang dipimpinnya, termasuk oleh orang-orang tedekatnya. Menurut Pdm. Satrio Sambodo
ketika berhadapan dengan para Pendeta Muda, subjek sering memberikan delegasi dalam menjadi perpanjangan tangan dari gembala jemaat untuk menjangkau jemaat-jemaat dengan
berbagai persoalan yang ada. Mereka diberikan kesempatan untuk mengambil kebijakan dalam gereja sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam gereja dan
merugikan orang lain. Kondisi ini juga sesuai dengan penjelasan dari salah satu perilaku
mendasar dari gaya kepemimpinan situasional, yakni perilaku delegatif. Perilaku delegatif ini
diterapkan apabila orang-orang yang dipimpin sudah sepenuhnya paham dan efisien dalam kinerja tugas, sehingga pemimpin dapat melepaskan mereka untuk menjalankan tugasnya sendiri.
Hal inilah yang dilakukan oleh subjek terhadap para Pendeta Muda yang telah dianggap
memiliki kinerja tugas yang tinggi dan efisien. 4.1.4.
Gaya Kepemimpinan Pengayom
Headmanship
Selain menunjukan gaya kepemimpinan dengan kinerja dan relasi tinggi, demokratis, dan situasional, kedua subjek juga menunjukan tipe atau gaya kepemimpinan pengayom
Headmanship
. Nawawi dan Hadari menjelaskan bahwa tipe kepemimpinan pengayom menempatkan seseorang sebagai kepala pada dasarnya berfungsi sebagaimana layaknya seorang
kepala keluarga. Pemimpin memiliki kesediaan dan kesungguhan dalam mengayomi orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan dijalankan dengan melakukan kegiatan kepeloporan,
kesediaan berkorban, pengabdian, melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok. Pemimpin ibarat ayah yang berfungsi
mengayom anggotanya ibarat anak-anak dan anggota keluarganya yang lain.
125 Hal yang dijelaskan oleh Nanawi dan Hadari dapat terlihat pada kedua kasus dalam
penelitian ini. Dalam kasus 2 dua, dari teknik observasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci dan informan pendukung maka terungkap bahwa Pdt. Gideon Rusli adalah
pemimpin yang mendasari relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya pada sebuah nilai bahwa semua yang ada dalam gereja adalah keluarga. Maka secara otomatis hubungan yang tercipta
dalam jemaat, diharapkan seperti hubungan atau relasi dalam konteks keluarga. Sebagai keluarga, ia berperan sebagai bapak dan jemaat adalah anak-anaknya. Hal tersebut juga
dilakukannya dengan rekan-rekan pelayanannya. Subjek mengaku bahwa mereka sebagai satu tim berjuang bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Jadi sejauh ini relasi yang terus dibangun
adalah relasi seperti keluarga. Upaya membangun hubungan sebagaimana sebuah keluarga diwujudkannya dengan
merasakan apa yang orang-orang dipimpinnya rasakan. Ibu Ely dan Bapak Cipto sebagai angota jemaat, berkisah ketika rumah mereka rusak karena terkena bencana angin ribut maka Pdt.
Gideon Rusli sebagai pemimpin mau langsung bergerak membantu mereka dan keluarga yang lain, yang juga terkena bencana. Keperduliannya tersebut atas dasar pandangannya bahwa semua
yang ada dalam jemaat adalah keluarga sehingga harus saling membantu. Kondisi ini sesuai dengan bagian dari penjelasan dalam gaya kepemimpinan pengayom, yaitu pemimpin memiliki
kesediaan dan kesungguhan dalam melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok.
Dalam membangun relasi dengan orang-orang yang dipimpinnya, sebagai pemimpin ia menyukai untuk melakukannya melalui sentuhan secara personal. Dalam hal ini ia sebagai
pemimpin berusaha menyediakan waktu untuk dapat membangun komunikasi pribadi dengan orang-orang yang dipimpinnya. Walaupun secara ideal tidak semua jemaat dapat didekati secara
126 personal namun ia sebagai pemimpin berusaha kalau ada jemaat baru maka ia menyediakan
waktu untuk melakukan kunjungan dan melakukan sentuhan secara personal. Dalam kasus 1 satu, ditemukan hal yang tidak jauh berbeda dengan kasus 2 dua. Hasil
wawancara diperoleh keterangan dari salah satu orang yang dipimpin subjek, mengaku bahwa ia menemukan sosok Gembala jemaat memperlakukan dirinya sebagai anak. Ia sendiri merasa
memiliki bapak rohani yang perduli dan sangat baik dalam mendidik dirinya. Labih lanjut dijelaskan bahwa Pdt. Bambang Hengky adalah sosok pemimpin yang memiliki “hati bapak”.
Hati bapak yang dimaksudkan adalah ia sebagai sosok yang sangat mengasihi orang-orang yang dipimpinnya, selalu mau berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya dan memperlakukan
mereka sebagai anak-anaknya sendiri. Bentuk kasihnya dia tunjukan melalui tindakan-tindakan yang tegas tetapi disisi lain ia pun bisa mempelakukan orang-orang yang dipimpinnya dengan
penuh kelembutan.
4.1.5. Gaya Kepemimpinan Transaksional