KEMBAR MAYANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN JAWA DI DESA NAMBAHREJO KECAMATAN KOTAGAJAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

(1)

(2)

ABSTRAK

KEMBAR MAYANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN JAWA DI DESA NAMBAHREJO KECAMATAN KOTAGAJAH

KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

Oleh : Aurora Nandia .F

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting dan sakral bagi kehidupan masyarakat. Salah satu bagian terpenting dalam upacara perkawinan adat Jawa adalah panggih pengantin. Upacara panggih adalah upacara bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang merupakan upacara puncak dalam tradisi perkawinan adat Jawa yang dilaksanakan setelah ijab kabul atau akad nikah dan diselenggarakan di tempat keluarga pengantin perempuan. Dalam upacara panggih disertakan berbagai macam simbol, salah satunya yaitu menyertakan simbol kembar mayang. Kembar mayang merupakan simbol yang berbentuk bunga yang dirangkai menggunakan janur dan dedaunan, dan fungsinya sebagai petunjuk dan nasehat bagi pengantin dalam mengarungi hidup baru.

Masyarakat Desa Nambahrejo mayoritas adalah masyarakat Jawa. Semakin berkembangnya zaman sebagian masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo mulai jarang menggunakan upacara adat perkawinan Jawa secara lengkap seperti penggunaan upacara panggih pengantin dan menyertakan kembar mayang di dalamnya, walaupun masih ada yang melaksanakan upacara adat perkawinan Jawa secara lengkap namun jumlahnya sedikit dibandingkan dengan yang tidak melaksanakannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan meneliti makna dari simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa, khususnya yang ada di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apa sajakah makna dari simbol kembar mayang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata cara penggunaan dan juga mengetahui makna yang terkandung dari simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa, di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah.


(3)

pohon pisang, dedaunan, janur, dan kelapa muda. Dalam setiap simbol kembar mayang memiliki makna tersendiri yang merupakan nasehat terbentuknya keluarga baru.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Pembatasan Masalah ... 7

1.4 Rumusan Masalah ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 8

1.6 Kegunaan Penelitian ... 8

1.7 Ruang Lingkup ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tinjauan Pustaka ... 12

2.1.1 Konsep Makna ... 12

2.1.2 Konsep Simbol ... 13

2.1.3 Konsep Kembar Mayang ... 14

2.1.4 Konsep Upacara ... 16

2.1.5 Konsep Perkawinan Adat Jawa ... 18

2.2Kerangka Pikir ... 20

2.3Paradigma ... 22

BAB III Metode Penelitian 3.1 Metode Yang Digunakan ... 24

3.2 Variabel Penelitan ... 25

3.3 Populasi dan Sampel ... 26

3.3.1 Populasi ... 26

3.3.2 Sampel ... 27

3.4 Sumber Data ... 28

3.5 Tehnik Pengumpulan Data ... 30

3.5.1 Observasi ... 30

3.5.2 Wawancara ... 31

3.5.3 Studi Pustaka ... 31

3.6 Tehnik Analisis Data ... 32

3.6.1 Reduksi Data ... 33


(7)

4.1 Hasil Penelitian ... 37

4.1.1 Sejarah Singkat Desa Nambahrejo ... 37

4.1.2 Keadaan Geografis ... 37

4.1.3 Keadaan Penduduk ... 38

4.1.4 Keadaan Penduduk Berdasarkan Usia ... 39

4.1.5 Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama ... 40

4.1.6 Keadaan Penduduk Berdasarkan Suku ... 40

4.1.7 Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian... 41

4.1.8 Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 42

4.1.9 Sarana-Prasarana umum ... 43

4.2 Upacara Panggih Yang Menyertakan Kembar Mayang ... 44

4.3 Perlengkapan Upacara Panggih Pengantin ... 45

4.4 Jalannya Upacara Panggih dan Maknanya ... 47

4.5 Sejarah Kembar Mayang ... 54

4.6 Syarat Pembuatan Kembar Mayang ... 55

4.7 Simbol Kembar Mayang ... 56

4.7.1 Kembar Mayang Pengantin Perempuan ... 57

4.7.2 Kembar Mayang Pengantin Laki-Laki ... 73

4.8 Pembahasan ... 75

4.8.1 Makna Simbol Kembar Mayang ... 75

4.8.1.1 Kembar Mayang Pengantin Perempuan ... 76

4.8.1.2Kembar Mayang Pengantin Laki-Laki ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 83

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki adat istiadat yang merupakan aturan tata hidupnya. Kebiasaan hidup suku bangsa yang satu berbeda dengan suku bangsa lainnya. Kebiasaan yang dianut berpuluh-puluh tahun oleh suatu kelompok masyrakat atau suku bangsa dikenal sebagai tradisi. Kebudayaan Indonesia memiliki beraneka ragam budaya daerah yang menjadi kekayaan budaya bangsa. Masing-masing daerah memiliki ciri khas dan keunikan tertentu yang mewakili setiap daerahnya. Salah satu daerah yang memiliki ciri khas dalam budayannya adalah Jawa.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan. Suku Jawa sendiri dikenal sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi kokoh yang masih bertahan sampai saat ini. Sepanjang sejarahnya, segala jenis pengaruh kebudayaan yang berasal dari luar selalu berkembang dan akhirnya terbentuk wujud baru tanpa meninggalkan ciri khas kejawaannya yang tradisional.

Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebudayaan setiap daerah


(9)

memiliki arti tersendiri yang memiliki keunikan masing-masing didalamnya. Van Peursen dalam Budiono Herusatono berpendapat mengenai kebudayaan, Kebudayaan meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan lain sebagainya. Kebudayaan juga diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang, dimana manusia tidak hidup begitu saja di tengah alam, namun berusaha mengubah alam itu. Di dalam pengertian kebudayaan juga terdapat tradisi, yang merupakan pewarisan berbagai norma, adat istiadat dan kaidah-kaidah. Namun tradisi bukanlah sesuatu yang tidak bisa diubah, tradisi justru terpadu dengan berbagai perbuatan atau tindakan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya (Budiono Herusatoto, 2012: 15).

Kebudayaan Indonesia memiliki keaneka ragaman budaya daerah yang menjadi sumber kekayaan kebudayaan bangsa. Masing-masing daerah memiliki ciri khas tertentu yang mewakili setiap daerahnya. Salah satu hasil kebudayaan yang masih terus dilestraikan sebagai warisan budaya dalam suku Jawa adalah upacara adat perkawinan. Upacara adat perkawinan yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Upacara perkawinan adalah termasuk upacara adat yang harus dijaga dan dilestarikan, karena dari situlah akan tercermin jati diri bangsa, bersatunya sebuah keluarga bisa mencerminkan bersatunya sebuah negara.

Perkawinan bagi manusia yang berbudaya, tidak hanya sekedar meneruskan naluri para leluhurnya secara turun temurun untuk membentuk suatu keluarga dalam suatu ikatan resmi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga mempunyai arti yang luas bagi kepentingan manusia itu sendiri dan lingkungannya. Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk bersatu-padu dengan saling berpasang-pasangan dalam suatu ikatan perkawinan yang syah untuk membina kebahagiaan bersama dan


(10)

keturunannya sebagai penyambung sejarahnya. Menurut Adamson Hoebel dalam Depdikbud :

Perkawinan ialah merupakan suatu hubungan kelamin antara orang laki-laki dengan orang perempuan, yang membawa hubungan-hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat laki-laki dengan orang perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.” (Adamson Hoebel dalam depdikbud, 1997:67)

Perkawinan bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sakral dan dianggap sangat penting karena dalam pelaksanaan perkawinannya penuh dengan ritual-ritual yang apabila ditelaah memiliki banyak makna yang dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan doa agar kedua mempelai selalu mendapat hal-hal yang terbaik dalam bahtera rumah tangganya. Seperti yang dijelaskan dalam Depdikbud 1997 :

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan berbagai unsur adat Jawa saling bertemu, diantaranya unsur religi. Perkawinan ini merupakan fase penting pada proses pengintegrasian manusia di dalam tata alam yang sakral. Dikatakan orang, bahwa perkawinan adalah menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup yang baru. Proses ini tidak hanya saja dialami oleh perseorangan saja melainkan juga kadang-kadang menjadi tanggungjawab bersama bagi seluruh masyarakat” (Depdikbud, 1997:187).

Perkawinan bagi manusia yang berbudaya, tidak hanya sekedar meneruskan naluri para leluhurnya secara turun temurun untuk membentuk suatu keluarga dalam suatu ikatan resmi antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga mempunyai arti yang luas bagi kepentingan manusia itu sendiri dan lingkungannya. Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk bersatu-padu dan saling berpasang-pasangan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah untuk membina kebahagiaan bersama dan keturunannya sebagai penyambung sejarahnya.


(11)

Perkawinan bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sakral dan dianggap sangat penting karena dalam pelaksanaan perkawinan penuh dengan ritual-ritual yang apabila ditelaah memiliki banyak makna yang dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan doa agar kedua mempelai selalu mendapat hal-hal yang terbaik dalam bahtera rumah tangga. Banyak orang Jawa yang masih berpegang teguh dengan kepercayaan kejawen. Kejawen adalah pandangan rohani yang bersumber pada nilai-nilai kehidupan orang Jawa yang telah mengalami interelasi dengan agama-agama baru (Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katolik) yang sempat tumbuh berkembang di Jawa, dan diwujudkan kedalam sikap prilaku nyata orang Jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Upacara adat perkawinan Jawa memiliki tata cara yang sudah ditentukan. Bagi orang Jawa salah satu bagian terpenting dalam upacara perkawinan adat Jawa adalah panggih pengantin, atau temon (dalam bahasa Indonesia = bertemu). Upacara panggih yaitu upacara saat bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, diselenggarakan di tempat keluarga pengantin perempuan. Upacara ini diselenggarakan sesudah acara ijab kabul atau akad nikah. Upacara panggih tidak semata-mata mempertemukan kedua pengantin di pelaminan, tetapi rangkaian upacara yang sarat akan makna. Dalam prosesi upacara panggih disertakan berbagai simbol yang mengandung makna mengenai filsafah hidup orang Jawa tentang kehidupan berumah tangga. Salah satu simbol yang digunakan dalam upacara panggih adalah kembar mayang.


(12)

Kembar mayang merupakan simbol yang berbentuk bunga yang dirangkai menggunakan janur dan dedaunan, dan fungsinya sebagai petunjuk dan nasehat bagi pengantin dalam mengarungi hidup baru. Kembar mayang memang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa ketika ada hajatan pernikahan, yang biasanya ditampilkan ketika resepsi. Tetapi, lambat laun nilai budaya ini mulai memudar, dari sejarah sampai filosofinya banyak yang tidak tahu. Oleh karena itu, banyak masyarakat sekarang yang tidak memahami makna dan simbol kembar mayang dan hanya sekedar mengikuti kebiasaan dari orang-orang terdahulu.

Sebagian besar penduduk Lampung Tengah adalah suku Jawa. Desa Nambahrejo sebagai bagian dari Kabupaten Lampung Tengah merupakan wilayah dengan mayoritas masyarakatnya adalah suku Jawa. Suatu hal yang aneh dimana telah diketahui bahwa masyarakat Desa Nambahrejo adalah Suku Jawa, tetapi pada fakta di lapangan hanya sebagian kecil warga masyarakat yang masih menggunakan upacara panggih dengan menyertakan kembar mayang di dalam tata cara upacara adat perkawinannya. Masyarakat yang masih melaksanakan Upacara adat perkawinan Jawa dalam perkawinan menganggap upacara adat Jawa ini sangat penting dan sakral. Masyarakat masih sangat meyakini kepercayaan tentang Jawa, mereka merasa apabila tidak melakukan upacara perkawinan sesuai adat Jawa, pengantin yang akan mengarungi bahtera hidup baru dalam keadaan bahaya (masalah batin). Namun, ada pula sebagian masyarakat yang sudah tidak menggunakan upacara adat perkawinan Jawa secara lengkap karena beberapa alasan. Diantaranya mereka menilai upacara panggih yang menyertakan kembar


(13)

mayang tidak begitu penting, mereka tidak berminat melaksanakan upacara tersebut, karena keadaan ekonomi, ada pula yang beranggapan bahwa upacara panggih yang menyertakan kembar mayang sebagai kegiatan yang ribet, atau dasar lainnya.

Banyak masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo yang tidak mengetahui tentang makna yang terkandung pada simbol kembar mayang dalam upacara adat perkawinan Jawa. Mereka hanya melakukan upacara sesuai dengan tata cara yang benar, tetapi kurang memahami makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang. Banyak masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo terutama para pemuda, yang diharapkan dapat menjadi calon penerus yang dapat melestarikan tradisi Jawa khususnya di dalam upacara perkawinan adat Jawa tetapi mereka tidak tahu tentang makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang itu. Orang yang mengetahui tentang arti pada simbol kembar mayang di Desa Nambahrejo hanyalah orang-orang tertentu saja, seperti para sesepuh desa, tokoh adat, dan dhukun manten atau orang yang memandu dalam tata cara perkawinan adat Jawa. Kembar mayang memiliki banyak makna yang terkandung di dalamnya, makna-makna yang ada pada setiap simbol dalam kembar mayang memiliki arti yang berpengaruh dalam kelangsungan hidup rumah tangga kedua pengantin.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud meneliti “Makna dari simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah.


(14)

1.2Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah :

1. Tujuan menyertakan kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa. 2. Fungsi menyertakan kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa. 3. Makna simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa.

4. Persepsi masyarakat yang beraneka ragam tentang penggunaan kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa.

1.3Pembatasan Masalah

Agar penyusunan penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan dan permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka penulis perlu membatasi permasalahan yang akan dibahas yaitu makna simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah.

1.4Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apa sajakah makna simbol kembar mayang dalam upacara adat perkawinan Jawa di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah?


(15)

1.5Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah.

2. Agar masyarakat tidak hanya mengetahui penyertaan kembar mayang dalam upacara adat perkawinan Jawa tetapi juga mengetahui makna yang terkandung dari simbol-simbol pada kembar mayang.

1.6Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Untuk menambah wawasan penulis tentang makna simbol kembar mayang pada upacara perkawinan adat Jawa.

2. Dapat menambah wawasan bagi pembaca mengenai kebudayaan Jawa, khususnya Kembar Mayang.

3. Sebagai sumbangan referensi bagi mahasiswa dan masyarakat umum agar mengetahui makna simbol kembar mayang pada upacara perkawinan adat Jawa.

4. Sebagai sarana untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan bangsa khususnya kebudayaan Jawa.


(16)

1.7Ruang Lingkup Penelitian

Pada ruang lingkup yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah dan yang menjadi objek penelitian adalah simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa. Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Nambahrejo karena sebagian besar masyarakat kelurahan Nambahrejo adalah Suku Jawa. Masyarakat Jawa di desa Nambahrejo yang sebagian besar merupakan suku Jawa, sebagian kecil dari masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo masih menggunakan kembar mayang dalam upacara adat perkawinan. Mereka melaksanakan upacara adat perkawinan Jawa secara lengkap yang menyertakan kembar mayang di dalamnya, tetapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang tersebut. Mereka hanya melakukan upacara sesuai dengan tata cara yang benar, tetapi kurang memahami makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang.

Masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo terutama para pemuda, mereka sebagai calon penerus kehidupan tetapi mereka banyak yang tidak tahu tentang makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang itu. Orang yang mengetahui tentang arti pada simbol kembar mayang di Desa Nambahrejo hanyalah orang-orang tertentu saja, seperti para sesepuh desa, tokoh adat, dan dhukun manten atau orang yang memandu dalam tata cara perkawinan adat Jawa. Menurut pandangan orang Jawa yang ada di Desa Nambahrejo, kebudayaan perkawinan adat Jawa yang masih lengkap serta menggunakan kembar mayang patut untuk dilestarikan. Semakin


(17)

berkembangnya zaman, kebudayaan ini semakin ditinggalkan oleh masyarakat karena alasan berbagai faktor. Maka di Desa Nambahrejo, sebagian kecil masyarakatnya yang masih kental akan kejawenannya masih menggunakan perkawinan adat Jawa ini secara lengkap.

Kelurahan Nambahrejo terbagi dalam enam Lingkungan (Dusun) yaitu Dusun I, Dusun II, Dusun III, Dusun IV, Dusun V dan Dusun VI. Penelitian ini akan dilakukan pada tahun 2013, dan bidang ilmu yang sesuai dengan penelitian ini adalah Antropologi Budaya. Penelitian ini termasuk ke dalam Antropologi Budaya karena yang menjadi kajiannya adalah aktivitas masyarakat dalam melaksanakan upacara adat perkawinan Jawa.


(18)

DAFTAR REFERENSI

Budiono, Herusutoto. 2012. Mitologi Jawa. Yogyakarta : Oncor Semesta Ilmu. Hlm 15.

Depdikbud. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : PN Balai Pustaka. Hlm 67.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengkaji masalah-masalah yang akan menjadi pokok kajian. Dalam penelitian ini akan diajukan konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teori bagi penelitian yang dilakukan. Adapun konsep dalam penelitian ini adalah :

2.1.1 Konsep Makna

Setiap upacara perkawinan yang ada pada suku bangsa mayoritas memiliki berbagai macam simbol-simbol yang disertakan di dalam upacara tersebut, dari berbagai macam simbol itu biasanya mengandung makna. “Makna dapat kita artikan sebagai arti dari sebuah kata atau benda. Makna muncul pada saat bahasa dipergunakan, karena peranan bahasa dalam komunikasi dan proses berfikir, serta khususnya dalam persoalan yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami ataupun meyakini” (Sumaryono, 1993: 131). Makna dapat diartikan sebagai kata yang terselubung dari sebuah kata atau benda, sehingga makna pada dasarnya lebih dari sekedar arti. Makna tidak dapat langsung terlihat dari bentuk kata atau bendanya, karena makna yang ada dalam kata ataupun benda sifatnya terselubung.


(20)

Menurut Ariftanto dan Maimunah, “Makna adalah arti atau pengertian yang erat hubungannya antara tanda atau bentuk yang berupa lambang, bunyi, ujaran dengan hal atau barang yang dimaksudkan”(Ariftanto dan Maimunah, 1988: 58). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka yang dimaksud makna adalah kata yang terselubung dari sebuah tanda atau lambang, dan hasil penafsiran dan interprestasi yang erat hubungannya dengan sesuatu hal atau barang tertentu yang hasilnya relatif bagi penafsirnya.

2.1.2 Konsep Simbol

Setiap suatu hal atau benda yang ada di dunia pasti memiliki simbol yang bermakna. Simbol-simbol yang ada pada setiap hal atau benda memiliki arti tertentu baik yang tersirat maupun yang tersurat. Menurut Pierce dalam Kris Budiman, “Simbol adalah suatu tanda atau gambar yang mengingatkan seseorang kepada penyerupaan benda yang kompleks yang diartikan sebagai sesuatu yang dipelajari dalam konteks budaya yang lebih spesifik atau lebih khusus” (Kris Budiman, 2000: 108). Rafael Raga Maran juga menyatakan “Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan makna dari suatu abstrak”(Rafael Raga Maran, 2000: 43).

Mac Iver dan Page juga merumuskan “Simbol-simbol atau lambang-lambang dengan istilah nilai-nilai : perwakilan suatu arti atau suatu nilai, suatu tanda lahir atau gerak yang oleh asiosasi membawa suatu perasaan” (Mac Iver dan Page dalam S. Takdir Alijahbana, 1986: 188). Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan diatas maka, dapat diambil kesimpulan bahwa simbol adalah sebuah obyek yang berfungsi sebagai sarana untuk


(21)

mempresentasikan sesuatu hal yang bersifat abstrak, misalnya burung yang terbuat dari janur dalamkembar mayangsebagai simbol kedamaian.

2.1.3 Konsep Kembar Mayang

Dalam perkawinan Jawa upacara panggih merupakan representatif filsafah hidup orang Jawa tentang kehidupan berumah tangga. Salah satu simbol yang disertakan dalam upacarapanggihadalahkembar mayang.

Upacara panggih di jaman moderen ini, jarang sekali digunakan oleh masyarakat luas. Masyarakat Jawa yang menggunakan upacara panggih dalam perkawinan dapat ditemui di sebagian kecil masyarakat. Dalam upacara panggih yang lengkap dapat kita temui simbol kembar mayang. kembar mayang dapat diartikan sebagai lambang terbentuknya keluarga baru, namun juga dapat diartikan sebagai hiasan pada saat pernikahan. R. Srisupadmi Murtiadji dan R. Suwardanidjaja berpendapat :

Kembar mayang menurut arti katanya adalah sepasang bunga pohon pinang yang serupa. Kembar dalam bahasa Jawa berarti serupa, serupa berarti sama rupa (bentuk dan warna). Sedangkanmayangadalah bunga pohon pinang. Wujud kembar mayang dalam upacara perkawinan adalah dua rangkaian hiasan janur kuning. Umumnya kembar mayang berfungsi sebagai tanda dalam mengawali dan mengakhiri tradisi upacara perkawinan. Namun, kembar mayang juga berfungsi simbolis, melambangkan kedua mempelai yang bahagia (R. Srisupadmi Murtiadji dan R. Suwardanidjaja, 2012: 89).

Pendapat lain dari Rohmadi Untoro Siswoyo yang menyatakan :

Kembar mayang adalah dua buah rangkaian hiasan yang terdiri dari godongan (berbagai macam daun) terutama daun kelapa (janur) yang ditancapkan ke sebuah potongan batang pisang. Daun kelapa tersebut dirangkai dalam bentuk gunung, keris, cambuk, payung, belalang, burung. Selain janur dilengkapi pula dengan daun-daun lain seperti daun beringin, puring, dadap serep dan juga dlingo bengle. Maknanya sebagai perlambang terbentuknya keluarga baru dan untuk membuang


(22)

sial/mbucal sengkolo (tolak bala) pada kedua pengantin. Bunga mayangnya merupakan bunga pinang yang sedang mekar, berurai indah dan berbau wangi (dikutip dari http:// kmb/Rohmadi Untoro Siswoyo -fikrah.htm).

Dari pernyataan kedua ahli di atas, dapat di simpulkan bahwa kembar mayang merupakan sepasang hiasan yang terbuat dari janur dan dedaunan yang fungsinya sebagai temu pengantin Jawa, atau sebagai tanda mulai dan berakhirnya upacara perkawinan. Selain itu juga sebagai lambang terbentuknya keluarga baru.

Masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo sebagian kecil masih menggunakan upacara adat perkawinan Jawa secara lengkap yang menggunakan upacara panggih penganten dan menyertakan simbol kembar mayang di dalamnya. Banyak masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo yang tidak mengetahui tentang arti kembar mayang. seperti halnya menurut Sidik Gondowarsito dalam Depdikbud juga menjelaskan :

Kembar mayang juga disebut semacam bouquet (karangan bunga) dari janur (daun kelapa muda), berupa bunga mayang (bunga pinang) beberapa jenis daun-daunan, kelapa gading dan kesemuanya itu berbentuk pohon hayat (pohon surga) dengan nenas atau bunga pisang (ontong) sebagai mahkota di atasnya. Hal ini melambangkan pohon kehidupan dan pohon yang dapat memberikan segala sesuatu yang diinginkan (Sidik Gondowarsito dalam Depdikbud, 1977: 51).

Kembar mayang selain sebagai hiasan dalam perkawinan adat Jawa, kembar mayang juga memiliki banyak makna yang terkandung di setiap simbol yang ada didalamnya. Kembar mayang bagi orang Jawa merupakan petunjuk atau nasehat dalam mengarungi hidup baru. M. Hariwijaya pun menjelaskan, “Kembar mayang yang merupakan sekar manca warna paring ing dewa atau aneka macam bunga karunia dewa, tidak bisa dibeli dengan uang, tetapi harus dengan tekad dan keteguhan hati, bekti ing laki atau


(23)

berbakti kepada suami, manut miturut atau tunduk dan patuh terhadap orang tua”(M. Hariwijaya, 2008: 111). Suwarna Pringga Widagda juga menyatakan bahwa “Kembar mayang merupakan serangkaian bunga yang maknanya untuk menghilangkan segala marabahaya, agar perjalanan mempelai wanita mulus tiada aral melintang”(Suwarna Pringga idagda, 2003: 4).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kembar mayang atau dengan kata lain dikenal dengan bouquet(karangan bunga), adalah rangkaian hiasan yang dibuat dari janur, bunga mayang, dan beberapa jenis dedaunan (berbagai macam daun) yang semuanya di tancapkan kesebuah potongan batang pisang. Kembar mayang berbentuk pohon hayat yang melambangkan pohon kehidupan dan pohon yang dapat memberikan segala sesuatu yang diinginkan. Kembar mayang juga dapat mengandung suatu simbol atau lambang dengan beragam bentuk dan dengan makna yang hanya dapat diartikan oleh masyarakat perkampungan daerah tersebut .

2.1.4 Konsep Upacara

Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara dalam pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara penghormatan bendera, melainkan upacara yang pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.


(24)

Upacara adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap, yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, upacara juga diartikan sebagai suatu kegiatan pesta tradisional yang diatur menurut tata adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka memperingati peristiwa-peristiwa penting atau lain-lain dengan ketentuan adat yang bersangkutan (Ariyono suyono, 1985: 423).

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain, upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.

Upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara labuhan, upacara camas pusaka dan sebagainya. Upacara adat yang dilakukan di daerah,sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah (dikutip dari http://catatanseni.blogspot.com/2012/05/definisi-upacaraadat.html)

Selain itu, Thomas Wiyasa Bratawidjaja berpendapat bahwa :

Berbagai macam upacara adat yang terdapat di dalam masyarakat pada umumnya dan masyarakat Jawa khususnya adalah merupakan pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai luhur tersebut diwariskan secara turun-temurun dari ke generasi berikut. Yang jelas adalah bahwa tata nilai yang dipancarkan melalui tata upacara adat merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa yang serba hati-hati agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan keselamatan baik lahir maupun batin (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 9).

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan upacara adat adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang pada saat perayaan tertentu yang dianggap penting oleh masyarakat menurut tata adat dan aturan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, dan upacara adat merupakan salah satu aset budaya bangsa yang harus dilestarikan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal. Salah satu upacara adat yang


(25)

penting bagi orang Jawa yaitu upacara adat perkawinan Jawa yang di dalamnya mengandung banyak makna simbolis tentang nilai luhur kehidupan berumah tangga.

2.1.5 Konsep Perkawinan Adat Jawa

Kebudayaan sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebudayaan juga diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang, dimana manusia tidak hidup begitu saja di tengah alam, namun berusaha mengubah alam itu. Di dalam pengertian kebudayaan juga terdapat tradisi, yang merupakan pewarisan berbagai norma, adat istiadat dan kaidah-kaidah. Perkawinan merupakan bagian dari kebudayaan karena merupakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia.

R. Srisupadmi Murtiadji dan R. Suwardanidjaja berpendapat mengenai arti perkawinan :

Perkawinan merupakan suatu peristiwa besar dan penting dalam sejarah kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, perkawinan dirayakan dengan serangkaian upacara yang mengandung nilai budaya luhur dan suci. Tidak segan-segan orang mencurahkan segenap tenaga, mengorbankan banyak waktu, dan mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan upacara meriah ini.” (R. Srisupadmi Murtiadji dan R. Suwardanidjaja, 2012: 6).

Menurut Koentjaningrat dalam Depdikbud :

Perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial yang luas, artinya perkawinan itu bukan suatu problem yang menyangkut kebutuhan dan kepentingan individu tertentu (pemuda dan gadis yang akan kawin), maka orang yang hendak mengambil inisiatip untuk kawin harus memenuhi syarat-syarat tertentu ; yang secara garis besar berupa tiga macam yaitu : mas kawin atau bride price, pencurahan tenaga untuk


(26)

kawin atau bride service, dan pertukaran gadis atau bride exchange (Koentjaningrat dalam Depdikbud, 1977: 41)

Pendapat lain dari Admad Rifqi Hidayat yang menyatakan :

Perkawinan Adat Jawa merupakan budaya warisan yang sarat makna, karena itu perkembangan kebudayaan Jawa merupakan sesuatu yang menarik untuk diamati. Dalam paradigma masyarakat Jawa, perkawinan bukan sebatas proses hubungan antara laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga yang didasari unsur pelestarian tradisi. Oleh karena itu masyarakat Jawa sering menggunakan beragam pertimbangan dari bibit (merupakan latar belakang keluarga yang baik), bebet (mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari), dan bobot (berkualitas, bermental baik, bertanggungjawab, dan berpendidikan).

(dikutiphttp://kejawenpringgitan.suaramerdeka.com/2012/25/simbolism e-perkawinan-Jawa.html)

Perkawinan bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sakral dan dianggap sangat penting karena dalam pelaksanaan perkawinannya penuh dengan ritual-ritual yang apabila ditelaah memiliki banyak makna yang dapat ditafsirkan sebagai suatu perwujudan doa agar kedua mempelai selalu mendapat hal-hal yang terbaik dalam bahtera rumah tangganya. Seperti yang dijelaskan dalam Depdikbud, 1977 :

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan berbagai unsur adat Jawa saling bertemu, diantaranya unsur religi. Perkawinan ini merupakan fase penting pada proses pengintegrasian manusia di dalam tata alam yang sakral. Dikatakan orang, bahwa perkawinan adalah menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup yang baru. Proses ini tidak hanya saja dialami oleh perseorangan saja melainkan juga kadang-kadang menjadi tanggungjawab bersama bagi seluruh masyarakat (Depdikbud, 1977: 187).

Masyarakat Jawa memaknai peristiwa perkawinannya dengan menyelenggarakan berbagai upacara yang termasuk rumit. Upacara ini dimulai dari tahap pra perkawinan sampai terjadinya perkawinan dan pasca perkawinan. Tahapan pra perkawinan terdiri dari nontoni, lamaran, asok tukon, paningset, srah-srahan, pasang tarub, sangkeran, siraman ngerik,


(27)

midodareni. Tahap perkawinan terdiri dari akad nikah, panggih atau temu pengantin, pawiwahan pengantin, pahargyan atau resepsi perkawinan. Kemudian pada tahap pasca perkawinan terdiri dariboyong pengantin.

Perkawinan adat Jawa merupakan ikatan lahir-batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ikatan tersebut melibatkan pihak keluarga dan kerabat yang bersangkutan dan perkawinan tersebut dilakukan melalui rangkaian upacara adat tradisional Jawa yang mengandung banyak makna simbolis tentang nilai leluhur kehidupan berumah tangga. Tradisi kejawen nampak pada saat prosesi pelaksanaan upacara perkawinan dengan menggunakan berbagai macam sesaji/ sesajen. Sesaji/ sesajen yang dipersiapkan merupakan refleksi kepercayaan pada berbagai macam roh-roh yang dipercaya dapat menolak kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.

2.2 Kerangka Pikir

UpacaraPanggih merupakan acara puncak pada perkawinan adat Jawa. Upacara Panggih merupakan upacara saat bertemunya pengantin pria dan pengantin wanita setelah akad nikah. Diselenggarakan di tempat keluarga pengantin wanita. Pasangan pengantin melaksanakan langkah-langkah sakral yang terdapat dalam upacara panggih. Upacara Panggih ini tidak hanya mempertemukan kedua pengantin, tetapi rangkaian upacara yang sarat makna. Melalui upacara ini hak dan kewajiban sebagai suami istri disampaikan secara simbolik dalam tahap-tahap upacara Panggih.Salah satu


(28)

simbol yang disertakan dalam upacara panggih adalah simbol kembar mayang.

Kembar mayang merupakan suatu simbol yang disertakan dalam serangkaian upacara adat perkawinan Jawa. Kembar mayang disertakan pada upacara panggih yaitu pada saat bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Kembar mayang merupakan simbol yang berbentuk bunga yang dirangkai menggunakan janur dan dedaunan, dan fungsinya sebagai petunjuk dan nasehat bagi pengantin dalam mengarungi hidup baru. Kembar mayang memang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa ketika ada hajatan pernikahan, yang biasanya ditampilkan ketika resepsi. Lambat laun nilai budaya ini mulai memudar, dari sejarah sampai filosofinya banyak yang tidak tahu. Hanya sekedar mengikuti kebiasaan dari orang-orang terdahulu.

Upacara panggih yang menyertakan kembar mayang sebagai bagian dari perkawinan adat Jawa sudah jarang dilaksanakan olem masyarakat Jawa di Kelurahan Nambahrejo. Masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo masih banyak yang tidak mengetahui tentang makna yang terkandung pada simbol kembar mayang dalam upacara adat perkawinan Jawa. Mereka hanya melakukan upacara sesuai dengan tata cara yang benar, tetapi kurang memahami makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang. Masyarakat Jawa di Desa Nambahrejo terutama para bujang dan gadis, mereka sebagai calon penerus kehidupan tetapi mereka tidak tahu tentang makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang itu. Orang yang mengetahui tentang arti pada simbol kembar mayang di Desa Nambahrejo hanyalah orang-orang tertentu saja, seperti para sesepuh desa, tokoh adat, dan


(29)

dhukun manten atau orang yang memandu dalam tata cara perkawinan adat Jawa.

Kembar mayang bukanlah sekedar pelengkap pada saat diadakan upacara adat perkawinan Jawa. Kembar mayang juga merupakan salah satu bagian terpenting dalam rangkaian upacara perkawinan adat Jawa. Oleh karena itu, kita diharapkan tidak hanya mengetahui tata cara penggunaannya saja tetapi juga harus mengetahui makna yang terkandung dari simbol kembar mayang.

2.3 Paradigma

Kembar mayangdalam upacara Adat Perkawinan Jawa

Makna

Kembar MayangPengantin Perempuan

Kembar MayangPengantin Laki-laki

Lambang Terbentuknya Keluarga Baru

: Garis Hubungan


(30)

DAFTAR REFERENSI

Sumaryono. 1999. Hermeneutiks:Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kansius. Hlm 131.

Ariftanto dan Maimunah. 1988.Kamus Istilah dan Tata Bahasa Indosesia.Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 58.

Kris, Budiman 2000.Kosa Semiotika. Yogyakarta : Lkis. Hlm 108.

Rafael, Raga Maran. 2000. Manusia dan Kebudayaan (Dalam Prespektif Ilmu Budaya Dasar).Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 43.

S. Takdir, Alisjahbana. 1986. Antropologi Baru. Jakarta : PT. Dian Rakyat. Hlm 188.

Sri Supadmi ,Murtiadji, dan Suwardanidjaja. 2012. Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm 89.

http://kmb/RohmadiUntoroSiswoyo-fikrah.htm. diakses tanggal 2 Januari 2013 pukul 20.12 WIB

Depdikbud. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : PN Balai Pustaka. Hlm 51.

M, Hariwijaya. 2004. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta : Hanggar Kreator. Hlm 111.

Suwarna, Pringgawidagda. 2003. Pawiwahan dan Pahargyan. Yogyakarta : PT Mitra Gama Widya. Hlm 4.

Ariyono, Suyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Academika Presindo. Hlm 423.

http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-adat.html.diakses tanggal 2 Januari 2013 pukul 21.00 WIB.

Thomas Wiyasa, Brawidjaja. 2000. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hlm 9.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Metode yang digunakan

Dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada pada setiap penelitian, berbagai metode digunakan oleh para peneliti. Dengan penggunaan suatu metode, suatu permasalahan dalam penelitian tidak akan terlalu sulit untuk dipecahkan. Menurut Joko Subagyo :

Metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan. Di dalam penelitian dikenal adanya beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode yang relevan terhadap permasalahan tertentu, mengingat bahwa tidak setiap permasalahan yang dikaitkan dengan kemampuan si peneliti, biaya dan lokasi dapat diselesaikan dengan sembarang metode penelitian (Joko Subagyo, 2006: 2).

Pendapat lain dari Mardalis, “Metode di sini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian itu sendiri diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan

sistematis untuk mewujudkan kebenaran” (Mardalis 2004: 24). Seperti

halnya yang dinyatakan oleh Sumadi Suryabrata, “Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-siatuasi atau kejadian-kejadian” (Sumadi Suryabrata, 1989: 19).


(32)

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Mardalis, penelitian ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan hipotesa, melainkan hanya mendiskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti. Moh. Nazir berpendapat, bahwa :

Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Moh. Nazir, 2005: 54).

Seperti halnya yang dinyatakan oleh Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, bahwa :

Penelitian deskriptif bersifat menggambarkan atau melukiskan suatu hal. Melukiskan dan menggambarkan dalam hal ini dapat dalam arti sebenarnya (harfiah), yaitu berupa gambar-gambar, foto-foto yang didapat dari data lapangan atau peneliti menjelaskan hasil penelitian dengan gambar-gambar dan dapat pula berarti menjelaskan dengan kata-kata (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009: 129). Dengan demikian maka, dapat disimpulkan bahwa penelitian deskriptif hanya menggambarkan tentang keadaan-keadaan atau situasi-situasi sesuai dengan fakta, tanpa harus menggunakan ataupun menguji hipotesa.

3.2Variabel Penelitian

Variabel penelitian diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian, sering pula dinyatakan variabel penelitian ini sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Sumadi Suryabrata, 1989: 79). Sedangkan menurut Yatim Riyanto, “variabel adalah gejala yang menjadi objek penelitian, dimana setiap gejala yang muncul dan dijadikan objek penelitian adalah variabel penelitian”. Variabel


(33)

dalam penelitian ini ialah Makna dari simbol kembar mayang pada upacara perkawinan adat Jawa.

3.3Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi merupakan keseluruhan subyek penelitian. Menurut Hadari

Nawawi “Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari

manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian” (Hadari Nawawi, 2001: 141).

Berdasarkan pendapat di atas, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Jawa yang berdomisili di Kelurahan Nambahrejo yang berjumlah 892

KK. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 1. Jumlah Anggota Populasi

No Nama Dusun Jumlah Kepala Keluarga 1 2 3 4 5 6 Dusun I Dusun II Dusun III Dusun IV Dusun V Dusun VI 207 173 176 135 124 77


(34)

Sumber : Monografi Kelurahan Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2013.

3.3.2 Sampel

“Sampel adalah salah satu cara pembatasan (penyempitan) wilayah

yang akan digarap. Dengan kata lain sampel adalah sumber dari informasi data itu sendiri” (Suwardi Endraswara, 2006: 15). Sampel secara sederhana diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian. Dengan kata lain sampel adalah sebagian dari populasi untuk mewakili seluruh populasi (Hadari Nawawi, 2001: 144).

Tidak ada aturan yang tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharsimi Arikunto yang menjelaskan :

Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Sampel bertujuan memiliki syarat-syarat :

a. Pengambil sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi. b. Subyek yang diambil sebagai sampel benar-benar subyek yang

paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi. c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam

studi pendahuluan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka dari 892 Kepala Keluarga, yang dijadikan sampel hanya 3 Kepala Keluarga.


(35)

Tabel 2. Jumlah Sampel

No Nama Umur Pekerjaan

1 Sujarwo 46 Dalang Jawa dalam upacara panggih pengantin

2 Bedoyo 59 Ahli pembuatan kembar mayang 3 Sarwini 62 Dalang Jawa dalam upacara panggih

pengantin

Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik snowball sampling (getok tular), yaitu teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Banyaknya sampel ditentukan dengan terpenuhinya kebutuhan peneliti tentang data yang diperlukan. Penggunaan snowball sampling juga didasarkan pada pertimbangan tertentu ng dibuat oleh peneliti sendiri yaitu masyarakat yang mengetahui kembar mayang. Karenanya dari 892 Keluarga, penulis hanya mengambil 3 orang untuk dijadikan sampel.

3.4Sumber Data

Sumber data merupakan hal yang amat penting dalam setiap penelitian. Sumber data berasal dari mana saja, baik itu sumber tertulis maupun sumber lisan. Suharsimi Arikunto menyatakan bahwa :

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan. Apabila peneliti


(36)

menggunakan teknik observasi maka sumber datanya bisa berupa benda, gerak, atau proses sesuatu (Suharsimi Arikunto, 1986: 102)”. Karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data kualitatif maka, peneliti memerlukan sumber data yang berasal dari informasi individu manusia yang disebut dengan informan. Hal ini sesuai dengan pendapat H. B. Sutopo bahwa :

Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data yang berupa manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasi. Peneliti dan narasumber disini memiliki posisi yang sama, oleh karena itu narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi inilah sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut informan dari pada sebagai responden (H. B. Sutopo, 2006: 57)”.

Dengan demikian, peneliti merujuk kepada pendapat Abdurrahmat Fathoni yang menyatakan bahwa :

Responden adalah sumber data primer, data tentang dirinya sendiri sebagai objek sasaran penelitian, sedangkan informan ialah sumber data sekunder, data tentang pihak lain, tentang responden. Oleh sebab itu informan hendaknya dipilih dari orang yang banyak mengetahui atau mengenal keadaan responden (Adburrahmat Fathoni, 2006: 105). Oleh karena itu, peneliti menetapkan informan dengan kriteria sebagai berikut :

1. Individu yang bersangkutan merupakan tokoh adat dari masyarakat setempat.

2. Individu yang bersangkutan merupakan ahli yang berpengalaman mengenai pembuatan kembar mayang.

3. Individu yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas dalam menjelaskan arti kembar mayang.


(37)

Berdasarkan kriteria tersebut maka, informan yang sesuai sebagai sumber data dalam penelitian ini sebaiknya diperoleh dari individu yang memiliki informasi, menguasai informasi, dan bersedia memberikan informasi-informasi yang relevan dengan objek penelitian.

3.5Teknik Pengumpulan Data

Agar penelitian mendapatkan data-data yang akurat dan relevan maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara :

3.5.1 Observasi

Teknik observasi digunakan agar memperoleh data yang diinginkan dengan cara mengamati secara langsung objek yang akan diteliti. Menurut Joko Subagyo :

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penilaian atas perubahan tersebut (Joko Subagyo, 2006: 63).

Pendapat lain dari Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar , bahwa : Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, direncanakan dan dicatat secara sistematis, serta dapat dikontrol keandalan (reliabilitas) dan kesasihannya (validitasnya) (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009: 52).

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang akan diteliti yaitu kembar mayang.


(38)

3.5.2 Wawancara

Menurut Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar,

Wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewee. Wawancara berguna untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer) ; pelengkap teknik pengumpulan lainya ; menguji hasil pengumpulan data lainnya (Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009: 55).

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa wawancara membutuhkan interaksi dan komunikasi secara langsung dari pewawancara dan orang yang diwawancarai agar mendapat data-data sesuai dengan yang diharapkan dalam penelitian. Seperti halnya yang dikatakan oleh Moh. Nazir bahwa “Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka dengan penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)” (Moh. Nazir, 2005: 193). Berdasarkan definisi tersebut maka peneliti akan melakukan teknik wawancara dengan tokoh adat yang ahli dalam pembuatan kembar mayang di desa Nambahrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah.

3.5.3 Studi Pustaka

Menurut Joko Subagyo, apa yang dimaksud dengan “Riset kepustakaan atau sering juga disebut studi pustaka, adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan


(39)

disertasi, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain” (Joko Subagyo, 2006: 109). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, studi pustaka merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti untuk memperoleh data yang berasal dari literatur-literatur. Literatur-literatur tersebut tidak hanya berupa buku-buku saja, tetapi juga dapat berasal dari sumber bacaan lain yang dapat menunjang penelitian.

3.6Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisislah, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. “Data mentah yang telah dikumpulkan perlu dipecahkan dalam kelompok-kelompok, diadakan kategorisasi, dilakukan manipulasi, serta diperas sedemikian rupa, sehingga data tersebut mempunyai makna untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk menguji hipotesis” (Moh. Nazir, 2005: 346). “Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data kualitatif, dengan demikian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif” menurut H.B. Sutopo (2006:105). Teknik analisis data kualitatif bersifat induktif karena analisis sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran suatuprediksi atau hipotesis penelitian, tetapi semua simpulan yang dibuat sampai dengan teori yang mungkin dikembangkandibentuk dari semua data yang telah berhasil ditemukan dan dikumpulkan di lapangan. Analisis data yang bersifat induktif ini keseluruhan prosesnya pada umumnya dilakukan dengan tiga macam kegiatan yakni:


(40)

1. Analisis dilakukan di lapangan bersamaan dengan proses pengumpulan data.

2. Analisis dilakukan dalam bentuk interaktif.

3. Analisis bersifat siklus, yakni mulai dari pemilihan topik, mengajukan pertanyaan, pengumpulan data, menyusun catatan studi (pengaturan data), analisis data dan penelitian laporan studi (H.B. Sutopo, 2006: 108).

Pada dasarnya proses analisis data dilakukan secara bersamaan dengan penggumpulan data. Analisis data dilakukan dengan melalui beberapa tahap. Dibawah ini merupakan tahap-tahap dalam proses analisis data kualitatif menurut H.B. Sutopo (2006:114-116).

3.6.1 Reduksi Data

Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Reduksi data sudah dilangsungkan sejak peneliti mengambil keputusan, melakukan pemilihan kasus, menyusun pertanyaan penelitian yang menekankan pada fokus tertentu tentang kerangka kerja konseptual dan juga waktu menentukan cara pengumpulan data yang akan digunakan karena teknik pengumpulan data tergantung pada jenis data yang akan digali dan jenis data ini sudah terarah dan ditentukan oleh beragam pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah penelitian.


(41)

3.6.2 Sajian Data

Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi lengkap yang untuk selanjutnya memungkinkan peneliti dapat menarik kesimpulan. Sajian data ini disusun berdasarkan pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data dan disajikan dengan menggunakan kalimat dan bahasa peneliti yang merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga bila dibaca akan bisa mudah dipahami.

3.6.3 Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah data-data telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan secara utuh, setelah semua makna-makna yang muncul dari data yang sudah diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang jelas kegunaan dan kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan.


(42)

DAFTAR REFERENSI

Joko P , Subagyo. 2006. Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek). Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm 2.

Mardalis. 2004. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta : Bumi Aksara. Hlm 24.

Sumadi, Suryabrata. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. Hlm 19. Moh, Nazir. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Hlm 54.

Husaini, usman dan purnomo Setiady Akbar. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : PT Bumi Aksara. Hlm 129.

Sumadi, Suryabrata. 1983. Op. Cit. 79.

Hadari, Nawawi. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta : Gadjah Mada University Pres. Hlm 141.

Suwardi, Endraswara. 2006. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : CAPS. Hlm 15.

Hadari, Nawawi. 2001. Op. Cit. Hlm 144.

Suharsimi, Arikunto. 1986. Prosedur penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta : Bina Aksara. Hlm 99.

Suharsimi, Arikunto. 1986. Ibid. Hlm 102.

H. B Sutopo, 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Hlm 57.

Abdurrahmat, Fathoni. 2006. Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 105.

Joko P, Subagyo. 2006. Op. Cit. Hlm 63.

Husaini, Usman dan purnomo Setiady Akbar. 2009. Op. Cit. Hlm 52. Husaini, Usman dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Ibid. Hlm 55. Moh, Nazir. 2005. Op. Cit. Hlm 193.


(43)

Joko, Subagyo. 2006. Op. Cit. Hlm 109. Moh, Nazir. 2005. Op. Cit. Hlm 346. H. B, Sutopo. 2006. Op. Cit. Hlm108. H. B, Sutopo. 2006. Ibid. Hlm 108. H. B, Sutopo H. B. 2006. Ibid. Hlm 114


(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan pedoman yang penulis kemukakan sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menyimpulkan bahwa :

a. Kembar Mayang merupakan perlengkapan yang disertakan dalam upacara panggih pengantin dalam upacara adat perkawinan Jawa. Simbol kembar mayang selain dibuat untuk melengkapi acara panggih pengantin atau temu pengantin dalam perkawinan adat Jawa, kembar mayang juga merupakan simbol yang mengandung arti-arti kehidupan dalam terbentuknya keluarga baru.

b. Kembar Mayanag terdiri dari kembar mayang pengantin perempuan dan kembar mayang pengantin laki-laki. kembar mayang terdiri dari batang pohon pisang, janur, dan dedaunan. Sedangkan, kembar mayang pengantin laki-laki hanya terdiri dari kelapa muda dan janur.

c. Makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai nasehat dalam mengarungi hidup baru. Makna tersebut ada pada kembar mayang pengantin perempuan dan kembar mayang pengantin laki-laki.


(45)

5.2Saran

a. Upacara panggih yang menyertakan kembar mayang hendaknya harus tetap dilestarikan karena merupakan warisan tradisi masyrakat Jawa yang masih ada dan masih berlaku sampai sekarang.

b. Makna yang terkandung dalam kembar mayang hendaknya lebih diperkenalkan pada masyarakat luas agar masyarakat lebih mengerti makna dari simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa.


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1986. Antropologi Baru. Jakarta : PT. Dian Rakyat.487 Halaman .

Any, Andjar. 1986. Perkawinan Adat Jawa Lengkap. Surakarta : PT Pabelan. 120 Halaman.

Ariftanto dan Maimunah. 1988. Kamus Istilah dan Tata Bahasa Indosesia. Jakarta : Rineka Cipta. 205 Halaman.

Arikunto, Suharsimi. 1986. Prosedur penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta : Bina Aksara. 413 Halaman.

Budiman, Kris. 2000. Kosa Semiotika. Yogyakarta : Lkis. 212 Halaman.

Brawidjaja, Thomas Wiyasa. 2000. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 146 Halaman.

Depdikbud. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : PN Balai Pustaka. 88 Halaman.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : CAPS. 189 Halaman.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 158 Halaman.

Hadiwijono, Harun. 1983. Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. 152 Halaman.

Hariwijaya, M. 2004. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta : Hanggar Kreator. 251 Halaman.

Herusutoto, Budiono. 2011. Mitologi Jawa. Yogyakarta : Oncor Semesta Ilmu. 151 Halaman.

Komaruddin. 1987. Metode Penulisan Skripsi Dan Tesis. Bandung : Angkasa. 212 Halaman.


(47)

Murtiadji, Sri Supadmi dan Suwardanidjaja. 2012. Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 103 Halaman. Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta : Gadjah Mada

University Pres. 141 Halaman.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. 544 Halaman.

Pandanaran, Singgih S. 2012. Misteri Bumi Jawa. Yogyakarta : In Azna Books. 139 Halaman.

Prasetyo, Yanu Endar. 2010. Mengenal Tradisi Bangsa. Yogyakarta : IMU. 126 Halaman.

Pringgawidagda, Suwarna. 2003. Pawiwahan dan Pahargyan. Yogyakarta : PT Mitra Gama Widya. 110 Halaman.

Purwadi. 2007. Enslikopedia Adat-Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta : Pura Pustaka. 642 Halaman.

Santosa, Imam. Budi. 2012. Spiritualisme Jawa Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Yogyakarta : Memayu Publishing. 246 Halaman.

Subagyo. Joko P. 2006. Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek). Jakarta : PT Rineka Cipta. 236 Halaman.

Soedirjo, Wignyo. 2012. Tuladha Tanggap Wacana Basa Jawi. Yogyakarta : Grafika Mulia. 128 Halaman.

Sumaryono. 1999. Hermeneutiks : Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kansius. 131 halaman.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. 126 Halaman.

Sutawijaya, Danang dan Sudi Yatmana. 1990. Upacara Pengantin Tata Cara Kejawen. Semarang : Aneka Ilmu. 76 Halaman.

Sutopo, H. B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. 147 Halaman.

Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Academika Presindo. 423 Halaman.

Usman, Husaini dan purnomo Setiady Akbar. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : PT Bumi Aksara. 186 Halaman.


(48)

Sumber lain :

http://kmb/RohmadiUntoroSiswoyo-fikrah.htm. diakses tanggal 2 Januari 2013 pukul 20.12 WIB

http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-adat.html.diakses tanggal 2 Januari 2013 pukul 21.00 WIB.

http://kejawenan-pringgitan.suaramerdeka.com/2012/25/simbolisme-perkawinan-Jawa.html. 2 Januari 2013 pukul 21.45 WIB.


(1)

H. B, Sutopo. 2006. Ibid. Hlm 108. H. B, Sutopo H. B. 2006. Ibid. Hlm 114


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan pedoman yang penulis kemukakan sebagai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menyimpulkan bahwa :

a. Kembar Mayang merupakan perlengkapan yang disertakan dalam upacara

panggih pengantin dalam upacara adat perkawinan Jawa. Simbol kembar mayang selain dibuat untuk melengkapi acara panggih pengantin atau temu pengantin dalam perkawinan adat Jawa, kembar mayang juga merupakan simbol yang mengandung arti-arti kehidupan dalam terbentuknya keluarga baru.

b. Kembar Mayanag terdiri dari kembar mayang pengantin perempuan dan kembar mayang pengantin laki-laki. kembar mayang terdiri dari batang pohon pisang, janur, dan dedaunan. Sedangkan, kembar mayang pengantin laki-laki hanya terdiri dari kelapa muda dan janur.

c. Makna yang terkandung dalam simbol kembar mayang mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai nasehat dalam mengarungi hidup baru. Makna tersebut ada pada kembar mayang pengantin perempuan dan kembar mayang pengantin laki-laki.


(3)

masih ada dan masih berlaku sampai sekarang.

b. Makna yang terkandung dalam kembar mayang hendaknya lebih diperkenalkan pada masyarakat luas agar masyarakat lebih mengerti makna dari simbol kembar mayang pada upacara adat perkawinan Jawa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1986. Antropologi Baru. Jakarta : PT. Dian Rakyat.487 Halaman .

Any, Andjar. 1986. Perkawinan Adat Jawa Lengkap. Surakarta : PT Pabelan. 120 Halaman.

Ariftanto dan Maimunah. 1988. Kamus Istilah dan Tata Bahasa Indosesia. Jakarta : Rineka Cipta. 205 Halaman.

Arikunto, Suharsimi. 1986. Prosedur penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta : Bina Aksara. 413 Halaman.

Budiman, Kris. 2000. Kosa Semiotika. Yogyakarta : Lkis. 212 Halaman.

Brawidjaja, Thomas Wiyasa. 2000. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. 146 Halaman.

Depdikbud. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : PN Balai Pustaka. 88 Halaman.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : CAPS. 189 Halaman.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Metode Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm 158 Halaman.

Hadiwijono, Harun. 1983. Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. 152 Halaman.

Hariwijaya, M. 2004. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta : Hanggar Kreator. 251 Halaman.

Herusutoto, Budiono. 2011. Mitologi Jawa. Yogyakarta : Oncor Semesta Ilmu. 151 Halaman.

Komaruddin. 1987. Metode Penulisan Skripsi Dan Tesis. Bandung : Angkasa. 212 Halaman.


(5)

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. 544 Halaman.

Pandanaran, Singgih S. 2012. Misteri Bumi Jawa. Yogyakarta : In Azna Books. 139 Halaman.

Prasetyo, Yanu Endar. 2010. Mengenal Tradisi Bangsa. Yogyakarta : IMU. 126 Halaman.

Pringgawidagda, Suwarna. 2003. Pawiwahan dan Pahargyan. Yogyakarta : PT Mitra Gama Widya. 110 Halaman.

Purwadi. 2007. Enslikopedia Adat-Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta : Pura Pustaka. 642 Halaman.

Santosa, Imam. Budi. 2012. Spiritualisme Jawa Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Yogyakarta : Memayu Publishing. 246 Halaman.

Subagyo. Joko P. 2006. Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek). Jakarta : PT Rineka Cipta. 236 Halaman.

Soedirjo, Wignyo. 2012. Tuladha Tanggap Wacana Basa Jawi. Yogyakarta : Grafika Mulia. 128 Halaman.

Sumaryono. 1999. Hermeneutiks : Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Kansius. 131 halaman.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. 126 Halaman.

Sutawijaya, Danang dan Sudi Yatmana. 1990. Upacara Pengantin Tata Cara Kejawen. Semarang : Aneka Ilmu. 76 Halaman.

Sutopo, H. B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. 147 Halaman.

Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta : Academika Presindo. 423 Halaman.

Usman, Husaini dan purnomo Setiady Akbar. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : PT Bumi Aksara. 186 Halaman.


(6)

Sumber lain :

http://kmb/RohmadiUntoroSiswoyo-fikrah.htm. diakses tanggal 2 Januari 2013 pukul 20.12 WIB

http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-adat.html.diakses tanggal 2 Januari 2013 pukul 21.00 WIB.

http://kejawenan-pringgitan.suaramerdeka.com/2012/25/simbolisme-perkawinan-Jawa.html. 2 Januari 2013 pukul 21.45 WIB.


Dokumen yang terkait

Upacara Adat Kenduri SKO (Studi Deskriptif di Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci)

18 180 93

Eufemisme Dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di Medan

2 64 1

DESKRIPSI SOSIAL EKONOMI KELUARGA PETANI PADI SAWAH DI DESA KOTAGAJAH KECAMATAN KOTAGAJAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2010

2 33 63

Tradisi Tumplek Ponjen dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jawa (Studi Etnografi di Desa Kedungwungu Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal Propinsi Jawa Tengah)

2 65 89

BENTUK PENYAJIAN MUSIK DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT GAYO DI DESA UMANG KECAMATAN BEBESEN KABUPATEN ACEH TENGAH.

1 7 25

ASPEK PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM PROSESI INJAK TELUR PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA Aspek Pendidikan Spiritual dalam Prosesi Injak Telur Pada Upacara Perkawinan Adat Jawa, Studi Kasus di Desa Palur Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 1 19

ASPEK PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM PROSESI INJAK TELUR PADA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA Aspek Pendidikan Spiritual dalam Prosesi Injak Telur Pada Upacara Perkawinan Adat Jawa, Studi Kasus di Desa Palur Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo.

0 1 13

ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS PADA KEMBAR MAYANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS PADA KEMBAR MAYANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus di Desa Cangakan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar).

0 0 16

PENDAHULUAN ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS PADA KEMBAR MAYANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus di Desa Cangakan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar).

0 0 8

PERUBAHAN TATA UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA DI DESA SIDOMULYO 1998

0 0 91