Realita Penyelenggaraan Evaluasi di Lapangan

29 ketidak siapan mahasiswa untuk menghadapi suatu tugas yang sifatnya berupa kegiatan lapangan yang harus terjun langsung ke sekolah untuk memperoleh data menjadi hambatan penerapan authentic assessment.

6. Realita Penyelenggaraan Evaluasi di Lapangan

Meskipun secara teoretik penyelenggaraan sistem evaluasi beserta teknik evaluasi, termasuk program perbaikannya, yang digariskan dalam Kurikulum 1994 sudah cukup lengkap. Namun demikian, banyak kendala yang ditemukan di lapangan. Salah satu alasan yang mengemuka yang selalu terungkap melalui berbagai penelitian misalnya banyak guru yang memiliki beban tugas lebih dari yang diwajibkan sebanyak 18 jam per minggu. Bahkan akhir-akhir ini seperti yang diberitakan di media masa, Kanwil Depdiknas DKI Jaya menegaskan bahwa beban mengajar harus 24 jam. Banyak sekolah yang belum memiliki laboratorium yang memadai, misal di SMU masih berupa laboratorium IPA satu lab dipakai untuk Fisika, Kimia dan Biologi, itupun umumnya hanya ada satu ruang. Akibatnya kegiatan praktikum dilaksanakan secara terpisah dengan pembelajaran di kelas. Penyelenggaraan program perbaikan secara klasikal sulit dilaksanakan karena padatnya materibahan ajar. Penyelenggaraan program perbaikan di luar jam pelajaran pada pagi hari praktis tidak dapat dilaksanakan, sementara penyelenggaraan pada sore hari tidak didukung ketersediaan finansial. Berkait dengan pelaksanaan sistem evaluasi hasil belajar di sekolah, penelitian dalam jangka waktu lima tahun terakhir yang sempat dihimpun menunjukkan kenyataan yang belum menggembirakan. Penelitian Toto Kuwato dan Djemari Mardapi 1999 yang diselenggarakan di Propinsi DIY, Sumatera barat, dan Kalimantan barat menunjukkan hasil sebagai berikut. 1. Sistem ujian yang ada selama ini belum seperti yang diharapkan. Masih banyak guru yang belum secara rutin menyusun kisi-kisi ulangan, menelaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil ulangan, menginformasikan kegagalan siswa kepada orang tua, dan belum sepenuhnya menindaklanjuti kegagalan siswa melalui program perbaikan. Guru belum diwajibkan menyusun kisi-kisi ulangan. 30 2. Dalam menyiapkan pelajaran umumnya para guru hanya mencontoh rencana pelajaran dan analisis materi pelajaran AMP yang disusun oleh MGMP. 3. Soal-soal ujian SMU belum dikalibrasi, sehingga sulit untuk membandingkan mutu sekolah baik antar wilayah maupun antar tahun. 4. Faktor finansial menjadi kendala pengembangan bank soal di tingkat wilayah. 5. Mutu alat tes belum baik karena tidak selalu disertai dengan penyusunan kisi- kisi soal. Mutu soal secara kualitatif juga belum baik, karena masih banyak yang belum memenuhi persyaratan baik dari aspek materi, konstruksi dan bahasa. Hasil tes belum sepenuhnya menggambarkan tercapainya pelaksanaan kurikulum. 6. Keterkaitan antara ulangan harian, ulangan cawu, ulangan kenaikan kelas belum baik akibat tidak adanya kisi-kisi ulangan. 7. Program perbaikan belum dilaksanakan secara terencana. Hanya sekedar menyelenggarakan ulangan susulan dalam selang waktu yang sangat pendek tanpa ada tindakan pembelajaran lagi oleh guru. 8. Kurangnya dorongan dari pihak kepala sekolah kepada guru yang telah mengikuti pelatihan untuk menerapkan pengetahuannya di sekolah. 9. Informasi hasil ujian bagi pihak-pihak terkait, baik siswa, orang tua siswa, sekolah, dan Kanwil Depdiknas sendiri, belum dapat diperoleh secara lengkap. Kalaupun ada dokumen, belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Penelitian Toto Kuwato dan Djemari Mardapi 1999 juga menyertakan program tindakan untuk meningkatkan sistem evaluasi di sekolah. Dengan melibatkan kepala sekolah dan pengawas bidang studi secara efektif, guru mampu merencanakan, melaksanakan dan menindaklanjuti hasil penilaian dengan baik. Namun demikian, taraf serap siswa tetap rendah dan rendahnya taraf serap siswa ditentukan oleh pandangan guru yang menganggap mudah suatu konsep atau memang karena kemampuan awal siswa yang rendah, jadi bukan karena rendahnya mutu soal yang dibuat guru. Hasil penelitian Bambang Subali 1997 menunjukkan bahwa kualitas alat uji yang dibuat guru Biologi SMU di Kodya Yogyakarta belum memuaskan. Masih ada kesalahan yang menonjol dari aspek materi, konstruksi maupun dari aspek bahasa. Guru tidak merumuskan pencapaian prestasi belajar yang lain selain 31 prestasi kognitif. Hasil penelitian Bambang subali 1995 terhadap kualitas soal Biologi SMU yang ada dalam buku kumpulan soal yang dikeluarkan oleh Depdikbud dan yang ada di dalam buku ajar yang dipakai di lingkungan DIY masih menunjukkan adanya kesalahan dari aspek materi, konstruksi maupun bahasa. Sementara banyak guru dalam menyusun soal justru mengacu pada soal-soal yang ada dalam buku-buku tersebut. Dalam program penerapan IPTEK tentang pengembangan bank soal yang dilaksanakan oleh Djemari Mardapi dkk. 1997 salah satu kendala yang dijumpai saat melaksanakan penataran guru adalah adanya kesulitan guru untuk mengembangkan indikator dalam kisi-kisi soal, dan guru juga sulit menulis soal sesuai dengan tuntutan persyaratan yang ada. Penelitian Djemari Mardapi dkk. 1999 terhadap kegiatan guru dalam melakukan penilaian di kelas untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas di SD dan SLTP serta di SMU, hasilnya sebagai berikut. 1. Perencanaan guru dalam kegiatan penilaian cukup memadai, tetapi dalam hal penyusunan kisi-kisi masih tergolong rendah, dan kisi-kisi soal masih sulit dilacak arsipnya. 2. Teknik penilaian yang dipakai guru umumnya dalam bentuk tes dan pengamatan terhadap hasil pekerjaan rumah serta kegiatan di kelas. Guru belum terbiasa menggunakan angket dan skala sikap sebagai teknik penilaian. 3. Hanya sebagian kecil guru yang melaksanakan ujian keterampilan di laboratorium bagi mata pelajaran yang memiliki kegiatan laboratorium. 4. Laporan hasil ulangan belum disampaikan secara periodik oleh guru ke kepala sekolah maupun kepada pihak orang tua siswa. 5. Program perbaikan umumnya hanya ditujukan untuk memperbaiki nilai dengan menyelenggarakan ulangan perbaikan, bukan dilakukan dalam bentuk program pembelajaran yang terencana. 6. Sebagaian guru menyatakan melaksanakan analisis hasil ulangan, namun masih bersifat global berupa analisis skor hasil ulangan, belum sampai untuk menemukan konsepsubkonsep yang belum dikuasai siswa. 7. Sebagian besar kepala sekolah menyatakan telah mendorong guru untuk menyusun kisi-kisi, menelaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil 32 ulangan, melaksanakan kegiatan remediasi, disamping guru harus menyususn perencanaan pembelajaran. Namun demikian pemantauan oleh kepala sekolah belum berjalan dengan baik. Penelitian Wuryadi dan Bambang Subali 2000 yang menggunakan guru Biologi SLTP dan SMU juga siswa dan orang tua SLTP dan SMU sebagai responden menunjukkan bahwa: 1. pemahaman guru terhadap prosedur penilaian cukup baik dan merata, dan tidak begitu terkait dengan kefavoritan sekolah tempat mereka bekerja, latar belakang pengalaman ataupun jenjang pendidikan, namun data dokumen menunjukkan belum semua melaksanakannya; 2. keterlaksanaan penilaian proses belum baik, demikian pula dalam hal penerapan prinsip-prinsip penilaian untuk menilai prestasi belajar Biologi juga dalam memanfaatkan hasil ulangan untuk meningkatkan prestasi siswa; 3. strategi guru merencanakan penilaian, utamanya dalam menyusun kisi-kisi soal umumnya dibuat bersama melalui kegiatan MGMP dan menyatu dalam SAP; 4. dalam menyusun soal ulangan sebagian besar guru melakukannya sendiri dan dalam beberapa hal masih ada kesalahan dari aspek materi, konstruksi serta bahasa, 5. hanya sebagian kecil guru yang menambah bentuk pilihan ganda dengan bentuk lain untuk meningkatkan kemampuan siswa menempuh ujian; 6. lebih banyak guru yang menjadwalkan ulangan dibanding yang membuat kesepakatan dengan siswa, dan pelaksanaannya jika bahan sudah habis; 7. sebagian besar hanya mengukur aspek kognitif, dan banyak yang menyatakan sampai jenjang evaluasi walaupun dokumen menunjukkan hanya sampai jenjang pemahaman; 8. hampir semua guru hanya mengandalkan hasil ulangan harian dan ulangan cawu sebagai dasar pemberian nilai, dan dengan kriteria keberhasilan yang beragam, hampir semua guru berorientasi pada pengembangan TPK yang bersifat penguasaan mastery objectives; 9. program pengayaan belum sesuai pedoman yakni belum untuk mermperkaya konsep namun masih ditujukan untuk meningkatkan penguasaan konsep; 33 10. guru kurang berorientasi pada pengembangan psikomotor melalui kegiatan laboratorium dengan alasan keterbatasan waktu dan tenaga dan banyak guru yang belum memakai hasil penilaian keterampilan laboratorium sebagai bagian dari penilaian; 11. semakin favorit sekolah semakin banyak orang tua yang menilai positif terhadap penyelenggaraan penilaian dalam mata pelajaran Biologi, namun menurut siswa justru semakin favorit sekolah semakin rendah persepsi siswa terhadap penyelenggaraan penilaian yang dilakukan guru. Penelitian yang dilaksanakan oleh FMIPA UNY dalam rangka program kerjasama dengan JICA Sukirman, 2000 dengan menggunakan SD, SLTP dan SMU di Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada dasarnya pemahaman guru MIPA dalam hal penyelenggaraan evaluasi sudah cukup memadai, namun belum sepenuhnya diimplermentasikan di lapangan, bahkan untuk aspek tertentu guru hampir tidak melaksanakannya, termasuk penilaian terhadap kemampuan proses sainsketerampilan psikomotor. Guru juga tidak secara rutin menyusun kisi-kisi soal, melakukan telaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil evaluasi ataupun menindaklanjuti dengan kegiatan perbaikan yang terprogram. Penelitian yang sama yang dilaksanakan oleh FMIPA Universitas Negeri Malang Gatot Muhsetyo, 2000 menunjukkan secara umum guru sudah melaksanakan prosedur penilaian dengan baik, namun hanya 45-74 guru MIPA yang melakukan analisis item. Selain itu, hampir semua guru melaksanakan kegiatan laboratorium namun kurang dari setengahnya yang melakukan penilaian terhadapnya, dan hanya sedikit pula yang mempertimbangkan hasil kerja laboratorium untuk penilaian akhir siswa. Demikian pula penelitian yang sama yang dilakukan FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Utari Soemarmo, 2000 menunjukkan bahwa dalam menyelenggarakan penilaian hanya sebagian guru yang melakukan analisis butir soal, dan hanya sebagian yang memanfaatkannya untuk umpan balik. Dalam hal penyelenggaraan pelatihanpenataran termasuk di dalamnya dalam bidang evaluasi, sudah banyak diselenggarakan pelatihanpenataran pengujian baik yang berskala nasional, regional maupun lokal. Untuk keperluan tersebut Pusisjian Balitbang Depdiknas telah menerbitkan buku panduan dengan judul Bahan 34 Penataran Pengujian Pendidikan. Namun demikian ada kritik terhadap penyelenggaraan kegiatan pelatihan, termasuk pelatihan evaluasi, yaitu adanya pembatasan umur peserta yaitu tidak boleh lebih dari 40 tahun, penyelenggaraan pelatihanpenataran yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas juga tidak berjalan secara efektif, banyak guru yang hanya sekedar mengikuti pelatihanpenataran informasi dari beberapa guru inti di DIY. Hasil survei di DIY, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat ada yang sudah berkali-kali disertakan dalam penataran tetapi ada yang belum pernah mengikutinya, sementara semua guru sangat mengharapkan dapat mengikuti pelatihan Toto Kuwato dan Djemari Mardapi, 1999. Di Jawa Timur diperkirakan berkisar antara 45 – 65 guru MIPA yang telah mengikuti penataran evaluasi, namun sebagian besar 75 masih mengharapkan dapat mengikutinya lagi Gatot Muhsetyo, 2000. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA UM Lukman Hakim, 2000 menunjukkan bahwa selain Ebtanas, ulangan cawu pun hanya mengukur aspek kognitif dan untuk IPA tidak pernah menyangkut pengukuran terhadap kemampuan proses IPA. Guru jarang melakukan pengukuran untuk mengukur ketercapaian setiap tujuan pembelajaran khusus yang dirumuskan karena keterbatasan waktu, Jadi, masih bersifat sampling. Sementara hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA Universitas Negeri Padang Idrus Ramli, 2000 menunjukkan bahwa bahan evaluasi tidak berorientasi pada kurikulum tetapi berorientasi pada Ebtanas dan UMPTN, bentuk soal obyektif tidak memotivasi siswa, nilai cawu I dan II tidak berperan untuk kenaikan kelas, demi prestise sekolah sering nilai siswa dimodifikasi ditinggikan yang justru berdampak negatif terhadap motivasi belajar siswa.

7. Ebtanas Sebagai Salah Satu Model Sistem Evaluasi