Ebtanas Sebagai Salah Satu Model Sistem Evaluasi

34 Penataran Pengujian Pendidikan. Namun demikian ada kritik terhadap penyelenggaraan kegiatan pelatihan, termasuk pelatihan evaluasi, yaitu adanya pembatasan umur peserta yaitu tidak boleh lebih dari 40 tahun, penyelenggaraan pelatihanpenataran yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas juga tidak berjalan secara efektif, banyak guru yang hanya sekedar mengikuti pelatihanpenataran informasi dari beberapa guru inti di DIY. Hasil survei di DIY, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat ada yang sudah berkali-kali disertakan dalam penataran tetapi ada yang belum pernah mengikutinya, sementara semua guru sangat mengharapkan dapat mengikuti pelatihan Toto Kuwato dan Djemari Mardapi, 1999. Di Jawa Timur diperkirakan berkisar antara 45 – 65 guru MIPA yang telah mengikuti penataran evaluasi, namun sebagian besar 75 masih mengharapkan dapat mengikutinya lagi Gatot Muhsetyo, 2000. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA UM Lukman Hakim, 2000 menunjukkan bahwa selain Ebtanas, ulangan cawu pun hanya mengukur aspek kognitif dan untuk IPA tidak pernah menyangkut pengukuran terhadap kemampuan proses IPA. Guru jarang melakukan pengukuran untuk mengukur ketercapaian setiap tujuan pembelajaran khusus yang dirumuskan karena keterbatasan waktu, Jadi, masih bersifat sampling. Sementara hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA Universitas Negeri Padang Idrus Ramli, 2000 menunjukkan bahwa bahan evaluasi tidak berorientasi pada kurikulum tetapi berorientasi pada Ebtanas dan UMPTN, bentuk soal obyektif tidak memotivasi siswa, nilai cawu I dan II tidak berperan untuk kenaikan kelas, demi prestise sekolah sering nilai siswa dimodifikasi ditinggikan yang justru berdampak negatif terhadap motivasi belajar siswa.

7. Ebtanas Sebagai Salah Satu Model Sistem Evaluasi

Ebtanas diselenggarakan dengan tujuan antara lain sebagai berikut Depdikbud, 1986. 1. Merintis terciptanya standar nasional mutu pendidikan dasar dan menengah. 2. Menyederhanakan prosedur penerimaan peserta didik baru pada sekolah yang lebih tinggi. 3. Mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah. 35 4. Menunjang tercapainya tujuan kurikulum. 5. Mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasar kurikulum, buku, dan alat peraga yang telah ditetapkan. Melihat tujuan-tujuan di atas, tampak bahwa Ebtanas dilihat dari sudut pandang sebagai evaluasi program didudukkan sebagai penilaian dalam skala makro. Depdiknas sendiri berpendapat bahwa penilaian dalam skala makro sebaiknya tidak dilakukan sendiri oleh Depdiknas karena Depdiknas sebagai penyelenggara pendidikan. Sebaiknya penilaian dilakukan oleh lembaga lain yang idependen. Selama ini dalam jajaran Depdiknas, sudah ada Inspektorat Jenderal namun lebih berkaitan dengan tugas managerial, sementara hasil program pendidikan adalah perubahan perilaku yang sulit untuk diukur Depdikbud, 1997. Namun demikian, pelaksanaan Ebtanas yang hanya mengandalkan pada ujian tertulis apalagi hsnys dalam bentuk obyektif dipandang oleh banyak pihak tidak akan dapat mencerminkan hasil pendidikan sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan institusionallembaga. Kritik terhadap penyelenggaraan ujian yang sifatnya nasional salah satunya dikemukakan oleh Nitko 1996 yaitu bahwa: 1. hasil-hasil tes tampak tidak peka, baik terhadap perbaikan masukan in-put pendidikan, maupun terhadap persepsi guru dan orang tua perihal prestasi peserta didik; 2. laporan hasil tes tidak menerangkan tentang pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari oleh peserta didik. Akibatnya pengambilan keputusanpengembang kurikulum tidak mengetahui aspek kurikulum mana yang harus diperbaiki; 3. hasil-hasil ujian memberikan dasar yang rapuh untuk membimbing peserta didik ke arah kejuruan dan pengembangan karir; 4. kesesuaian antara tujuan belajar yang dinyatakan dalam kurikulum resmi dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam setiap tahun dalam ujian seringkali tidak jelas bagi guru. Akibatnya para guru mengabaikan kurikulum resmi dan menggunakan soal-soal ujian yang telah lalu sebagai bahan ajar; 5. para pendidik di semua jenjang pendidikan menunjukkan kelemahan-kelemahan tersebut, bahkan ada yang menyandarkan pada hasil sekali ujian, sehingga beresiko tinggi karena mengabaikan kinerja peserta didik bertahun-tahun di kelas; 36 6. keluasaan dan kekayaan pembaharuan kurikulum diabaikan oleh para guru, yang atas kemauannya sendiri mempersempit kurikulum sehingga menjadi tugas-tugas yang bakal muncul dalam ujian. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Penilaian untuk mendukung implementasi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994, secara tegas ada delapan prinsip penilaian yang harus diperhatikan. Pertama yaitu prinsip menyeluruh dalam arti bahwa aspek yang dinilai harus mencakup aspek pengetahuan, sikap, perilaku dan nilai, serta keterampilan. Penilaian juga harus mencakup aspek proses dan hasil belajar dan mencakup seluruh bahan pelajaran yang telah dipelajari siswa. Kedua, prinsip berkesinambungan dalam arti harus dilakukan secara berencana, bertahap serta terus menerus untuk memperoleh gambaran perkembangan siswa. Ketiga, berorientasi pada tujuan dalam arti penilaian harus mencerminkan seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dapat dicapai. Keempat prinsip obyektif dalam arti penilaian harus menghindarkan diri dari subyektivitas penilai dan mencerminkan tingkat keberhasilan yang sebenarnya. Kelima, prinsip terbuka dalam arti proses penilaian harus diketahui dan diterima oleh semua pihak yang terkait siswa, orang tua, masyarakat, dan sekolah. Keenam, prinsip kebermakanaan dalam arti hasil penilaian harus bermakna dan berguna untuk meningkatkan hasil belajar siswa, memberikan laporan tentang kemajuan hasil belajar siswa dan harus bermakna untuk memperbaiki dan meningkatkan cara belajarnya, sedangkan bagi guru harus bermakna sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran yang diselenggarakan. Ketujuh, prinsip berkesesuaian dalam arti bahwa penilaian harus sesuai dengan pendekatan kegiatan pembelajaran yang diikuti dalam melaksanakan kurikulum. Apabila digunakan pendekatan eksperimen maka kegiatan melakukan percobaan harus menjadi salah satu obyek yang dinilai. Apabila menggunakan pendekatan keterampilan proses, maka keterampilan proses juga harus menjadi obyek penilaiannya. Kedelapan adalah prinsip mendidik. Dalam hal ini hasil penilaian harus dapat dipakai untuk memberikan dorongan kepada siswa agar dapat meningkatkan diri dalam belajarnya, sehingga hasil penilaian akan merupakan penghargaan bagi siswa yang berhasil dalam belajar dan sebagai peringatan bagi siswa yang tidak berhasil Depdikbud, 1994. Kenyataan menunjukkan bahwa Ebtanas sebagai satu-satunya penilaian yang berskala nasional untuk menilai prestasi 37 hasil belajar siswa belum sejalan dengan prinsip-prinsip penilaian yang diacu dalam pelaksanaan Kurikulum 1994. Dengan adanya Ebtanas yang hanya memfokuskan pada ujian tertulis yang hanya menguji penguasaan aspek kognitif, dan hasil Ebtanas dijadikan alat untuk seleksi di SLTP dan SMU memperkuat kritik yang yang dikemukakan oleh Nitko. Banyak guru yang menggunakan soal-soal Ebtanas sebagai acuan dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran peserta didiknya, hal ini didukung temuan penelitian Wuryadi dan Bambang Subali, 2000 yang menggunakan responden guru Biologi SLTP dan SMU di Propinsi DIY, yaitu bahwa sebagian besar guru menyelesaikan materi kurikulum untuk selanjutnya berkonsentrasi menghadapi Ebtanas dengan menyelenggarakan latihan soal-soal, padahal dalam buku Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Biologi di SMU Depdikbud, 1995, bahwa guru tidak boleh mengubah tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan dalam GBPP. Penelitian Djemari Mardapi dkk. 1999 yang khusus mengenai Ebtanas menunjukkan hasil sebagai berikut. 1. Selama lima tahun terakhir sudah ada pedoman penyelenggaraan Ebtanas baik untuk pusat maupun wilayah, namun belum ada pedoman tentang pemanfaatan hasil Ebtanas. 2. Ebtanas cenderung memacu guru menyelesaikan KBM berdasar kurikulum untuk mata pelajaran yang diujikan melalui Ebtanas, tetapi tidak untuk mata pelajaran yang tidak diujikan melalui Ebtanas. 3. Ebtanas belum mampu mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan perkembangan skor hasil Ebtanas yang berfluktuatif. Guru belum menindaklanjuti umpan balik hasil Ebtanas dan belum ada pemantauan secara nasional khususnya untuk pendidikan di SD. 4. Ebtanas baru mampu menciptakan baku mutu pendidikan untuk SLTP dengan menggunakan soal yang sudah dikalibrasi, namun belum untuk SD dan SMU. 5. Untuk sementara hasil Ebtanas NEM dapat dijadikan alat seleksi, namun perlu dipikirkan alat seleksi yang lain seperti tes potensi akademik, mengingat: a. NEM merupakan alat seleksi yang obyektif dan efisien. 38 b. Karakteristik alat tes untuk mengukur prestasi berbeda dengan alat tes untuk seleksi c. Tidak ada korelasi yang signifikan antara NEM dan prestasi siswa mengikuti pelajaran di sekolah selanjutnya. 6. Hampir semua responden berharap agar penyelenggaraan Ebtanas dilanjutkan namun perlu ada perbaikan terutama dalam obyektivitas pengawasan, sistem koreksi, dan penentuan NEM. Namun demikian, ada perbedaan pendapat di kalangan pakar. Sebagian pakar menyatakan bahwa Ebtanas memiliki manfaat seperti: a meningkatkan standar mutu pendidikan, b mendorong siswa meningkatkan KBM, dan c meningkatkan perhatian orang tua terhadap aktifitas belajar anak; namun ada sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak ada manfaatnya diselenggarakan Ebtanas, dan guru belum mampu memanfaatkan informasi hasil Ebtanas dengan baik.

8. Pertanyaan Penelitian