PENDAHULUAN Laporan Rapid Assessment

1 MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia

A. PENDAHULUAN

Pada Oktober 2010, Parjo 26 tahun, gay, melihat seorang temannya yang juga gay dipukuli oleh orang ‐orang dari kelompok Islamis‐radikal di lokasi berkumpulnya gay, waria, dan wanita pekerja seks, di Jempingan, Solo. Parjo melihat temannya itu dipukuli helm di kepala dan tubuhnya berkali‐kali. Saat itu ada sekitar 10 orang Islamis‐radikal membawa pemukul dari kayu dan besi. Parjo berusaha membela temannya sehingga terjadi perkelahian. Keesokan harinya, Parjo dipanggil ke Polres Sukoharjo berdasarkan laporan dari kelompok Islamis‐radikal tersebut. Parjo dilaporkan telah melakukan penganiayaan. Dalam proses penyidikannya, Parjo kesulitan menghadirkan temannya yang dianiaya itu. Si teman tersebut menghilang tidak jelas ke mana, mungkin dia merasa ketakutan. Parjo melaporkan kasusnya ke Yayasan Gessang sebagai LSM pendamping. Yayasan Gessang mencoba mencari bantuan hukum ke dua lembaga bantuan hukum yang ada di Solo, tapi tidak mendapat tanggapan. Akhirnya, setelah melalui lima kali proses persidangan di PN Solo, Parjo divonis 6 bulan penjara dengan tuduhan penganiayaan, dan dimasukkan di Rutan Solo. 1 Kisah Parjo di Solo ini merupakan tipikal kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami oleh komunitas LGBTI lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks di Indonesia. Mereka mendapatkan serangan dari kelompok masyarakat yang tidak menyetujui dan membenci nya. Komunitas LGBTI tidak mendapatkan jaminan keamanan dari negara. Bahkan dalam banyak kasus, negara justru menjadi pelaku kekerasan terhadap kelompok ini. Sementara, komunitas ini sendiri belum cukup berdaya dengan dirinya sendiri. Keadaan menjadi sedemikian rumit karena masih banyak individu atau lembaga pembela HAM mainstream yang belum memasukkan pembelaan hak‐hak komunitas LGBTI sebagai bagian dari agenda perjuangannya, bahkan beberapa kelompok mungkin masih dihinggapi oleh homofobia. Harus diakui bahwa pelanggaran HAM seringkali mengenai orang‐orang yang rentan. Di antara kelompok ini adalah mereka yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dengan mayoritas. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender sendiri merupakan masalah serius yang sedang mendapat perhatian internasional saat ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sonia Onufer Corrêa, “Human rights are for everyone, without reservation. Yet women, men and persons whose sexuality does not confirm with dominant norms face rape, torture, murder, violence, and abuse because of their sexual orientation or gender identity.” 2 Pernyataan ini jelas 1 Data berasal dari Yayasan Gessang Solo. 2 Dikutip dari http:www.yogyakartaprinciples.org , diakses pada 1 November 2011. MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia | 2 menunjukkan bahwa sekian banyak daftar pelanggaran HAM bisa mengenai komunitas LGBTI yang masuk melalui pintu orientasi seksual dan identitas gender. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan idetnitas gender sangat mudah ditemukan. Sekalipun sudah ada jaminan dalam Konstitusi dan UU HAM, namun LGBTI tetaplah warga negara yang sangat rentan untuk dilanggar hak‐haknya. Pelanggaran ini bisa berlapis‐lapis. Seseorang yang ketahuan gay akan begitu saja terancam karirnya dalam satu lembaga pekerjaan formal; Seorang waria akan segera terusir dari lingkungan keluarganya begitu dia mulai berdandan. Dan, ini berarti dimulainya berbagai pelanggaran hak‐haknya yang lain. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender ini di lapangan terwujud dalam berbagai pelanggaran. Pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender mengakibatkan berbagai pelanggaran lain, misalnya, penghukuman tanpa proses peradilan extrajudicial executions, kekerasan dan penyiksaan violence and torture, tertutupnya akses kepada keadilan access to justice, tidak adanya hak kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat rights to freedom of expression and assembly, pekerjaan employment, kesehatan health, pendidikan education, partisipasi publik public participation, sampai pada isu‐isu keimigrasian dan pengungsi immigration and refugee issues, serta berbagai hak dasar lain. Sedemikian rupa pelanggaran HAM terhadap komunitas LGBTI ini, sampai kita bisa dengan mudah menemukan kisah pelanggaran ini mulai dari terbangun di pagi hari sampai kembali berangkat tidur. Sekalipun demikian, belum ada yang sungguh‐ sungguh melakukan pendokumentasian atas ini. Bahkan upaya akademik untuk merumuskan instrumen HAM yang secara langsung terkait dengan komunitas LGBTI pun baru terjadi pada tahun 2006, 3 jauh terlambat jika dibandingkan dengan HAM untuk perempuan dan anak, dua komunitas lain yang dianggap memiliki posisi rentan dalam hal pelanggaran HAM. 4 Jika berpedoman pada data di Kementrian Kesehatan tahun 2006 yang mengestimasi jumlah gay dan LSL laki‐laki berhubungan seks dengan laki‐laki sebanyak 1.149.270 orang dan waria transgender laki‐laki ke perempuan sebanyak 35.300, 5 maka ini berarti ada 1.284.270 jiwa atau 0,6 penduduk Indonesia rentan dilanggar 3 Rumusan Yogyakarta Principles dihasilkan dalam pertemuan sejumlah ahli dalam bidang HAM di Yogyakarta pada 6-9 November 2006. Setelah pertemuan tersebut, 29 ahli dari 25 negara mengadopsi rumusan yang secara lengkap berjudul Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity. 4 HAM untuk kaum perempuan sudah terumuskan dalam CEDAW Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women dan sudah diterima oleh Sidang Umum PBB tahun 1979, sementara hak anak juga sudah terumuskan dalam CRC Convention on the Rights of Child, di mana keduanya sudah diratifikasi oleh Indonesia. Indonesia sendiri sudah punya UU perlindungan anak dan peradilan anak dan UU penghapusan KDRT. 5 www.aids-ina.org , diakses pada 23 Maret 2008. 3 | MEREKA YANG TERABAIKAN: Pelanggaran HAM pada Komunitas LGBTI di Indonesia hak ‐haknya. 6 Jumlah itu akan terus bertambah jika kita memasukkan perempuan lesbian, biseksual, transgender perempuan ke laki‐laki laki‐laki trans[gender] dan interseks. Yang juga tidak kalah penting adalah pelanggaran HAM terhadap individu atau lembaga yang mempromosikan HAM LGBTI. Di beberapa negara, forum‐forum dan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan hak dan membela kesetaraan atas dasar orientasi seksual dan identitas dilarang oleh penguasa, dan pesertanya dilecehkan dan diintimidasi oleh polisi dan kelompok nasionalis dan keagamaan ekstrem. Para human right defenders yang bekerja pada isu‐isu orientasi seksual dan identitas gender menghadapi ancaman, kantornya dirusak, mereka diserang, disiksa, dilecehkan secara seksual, bahkan dibunuh. Semua ini hampir bisa dikatakan tidak mendapatkan perhatian serius dari penguasa politik. 7 Salah satu poin penting yang tertuang dalam Yogyakarta Principles, prinsip‐prinsip HAM yang secara eksklusif terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender, adalah rekomendasi terhadap lembaga HAM nasional, lembaga profesional, lembaga PBB, funder, LSM dan berbagai lembaga lain untuk mengambil tanggung jawab dalam mempromosikan dan melindungi HAM LGBTI dan mengintegrasikan prinsip‐prinsip ini ke dalam kerangka kerja mereka. Dalam kerangka mengambil bagian tanggung jawab dalam mempromosikan dan melindungi HAM LGBTI itulah laporan ini perlu dibaca. Mekanisme kunci HAM yang dirumuskan PBB meletakkan negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memastikan adanya perlindungan bagi semua orang dari pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berbasis orientasi seksual dan identitas gender. Sekalipun demikian, seringkali di lapangan hal ini tidak berjalan dengan baik. Banyak negara yang selama ini memiliki catatan HAM yang baik pun memiliki catatan minor dalam hal pemenuhan HAM komunitas LGBTI ini. Laporan ini sendiri bertujuan untuk memberi gambaran awal situasi HAM LGBTI di Indonesia. Seperti yang sudah bisa diduga sejak awal, diskriminasi terhadap individu ‐individu dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dari mainstream menjadi basis bagi berbagai pelanggaran HAM berikutnya.

B. KLARIFIKASI METODOLOGIS